Hari itu karena masih belum mendapat sekretaris pengganti, Haris pergi makan siang di kantin. Saat sedang makan. Rara tiba-tiba mendekati Haris karena melihat pria itu duduk sendirian. “Kamu sendirian?” tanya Rara lalu langsung duduk di kursi yang berhadapan dengan Haris. Haris terkejut Rara muncul di sana dan langsung duduk, tapi dia membiarkan saja. “Selamat untuk pernikahanmu,” ucap Rara. “Terima kasih,” balas Haris singkat. Haris melanjutkan makan. Dia tidak memedulikan keberadaan Rara di depannya. Namun, saat Haris masih sibuk makan, tiba-tiba Rara kembali bicara. “Apa kamu yakin kalau Alma mencintaimu bukan karena hartamu?” tanya Rara memancing. Haris melirik tajam pada Rara, lalu membalas, “Jangan berpikiran buruk apalagi menjelek-jelekkan istriku.” “Aku tidak menjelekkan, hanya saja semua orang juga berpikir sama denganku,” ujar Rara sambil melirik ke samping. Rara yakin karyawan yang berada di sana sedang memperhatikannya dan Haris. Haris ingin mengaba
Perasaan Haris tak karuan, apalagi Alma tak langsung menjawab pertanyaannya. “Aku baik-baik saja. Lagi pula aku sudah biasa hidup sederhana,” ujar Alma menjawab pertanyaan Haris. Haris terkejut. Dia malah tampak seperti orang putus asa di mata Alma, hingga istrinya itu tiba-tiba memeluk dirinya. “Kita pasti bisa melewati ini semua, semua akan baik-baik saja,” ucap Alma sambil mengusap lembut punggung Haris. Alma bahkan masih bisa memulas senyuman hangat. Haris tiba-tiba merasa bersalah karena sudah membohongi Alma, tapi mau bagaimana lagi, dia harus membuat Rara kalah dan pergi jauh dari kehidupannya dan Alma untuk selamanya. ** Keesokan harinya. Haris dan Alma sudah mengemas barang mereka, keduanya menemui pembantu dan membuat mereka bingung karena Haris dan Alma membawa koper. “Kami pamit dulu, Bi,” kata Haris. “Memangnya Tuan mau ke mana? Liburan?” tanya pembantu. Haris dan Alma saling tatap, lalu Haris menjawab, “Mulai saat ini kami akan pindah dari rumah ini.”
[Suamimu berselingkuh, Sha. Aku melihatnya mengunjungi rumah seorang wanita dan memeluknya!] Mengingat isi pesan singkat yang dia terima beberapa waktu lalu membuat hati Risha sakit. Setelah lama menjalin pernikahan tanpa cinta, akhirnya sekarang dia mendapatkan jawaban atas sikap dingin suaminya, Adhitama. “Kenapa kamu menangis?" Pertanyaan itu membuat Risha menoleh, menatap sosok sang suami yang baru saja keluar dari kamar mandi setelah membersihkan diri. Pria itu baru saja pulang setelah sekian lama mengurus perusahaannya di luar kota. Akan tetapi, bukan ucapan cinta dan kasih sayang yang dia ucapkan guna melepas rindu, melainkan menyeret Risha ke dalam kamar dan memaksa wanita itu melakukan kewajibannya. Dengan wajah dingin, Adhitama berkata, "Jangan bersikap seperti kamu tidak menginginkannya. Ini tujuan utamamu menghubungiku, bukan?" Pria itu menanggalkan pakaiannya tanpa sedikit pun peduli dengan ekspresi Risha yang terluka. Sesak, sungguh sesak dada Risha mendenga
Adhitama Mahesa, pengusaha muda bertangan dingin. Keluarga Mahesa adalah keluarga terpandang yang begitu dihormati dan disegani di ibu kota, dan Adhitama adalah calon pewaris utama. Adhitama memiliki reputasi yang sangat baik sehingga tidak ada orang yang berani menentang ataupun menolaknya. Selama tiga puluh tiga tahun hidup, ia terbiasa dengan hal itu. Namun, kini, ada seseorang yang ingin menolak untuk hidup bersama dirinya. Dan, itu adalah istrinya. “Mas Adhitama, mari berpisah.” Permintaan tersebut, melukai harga dirinya. Adhitama meletakkan cangkir teh di tangannya dan berbalik, menatap Risha dalam diam. “Berpisah?” Darimana pemikiran wanita itu untuk meminta cerai darinya? Adhitama selalu memperlakukan wanita itu dengan baik selama dua tahun pernikahan mereka. Adhitama juga telah bertanggung jawab baik secara lahir maupun batin. Namun, wanita itu tiba-tiba mengatakan ingin berpisah darinya? “Ya. Mas Tama tenang saja. Aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi, jadi
“Kamu masih bisa tersenyum setelah mendapati suamimu selingkuh, ha?” Amarah Niki naik, tidak habis pikir bagaimana Risha masih bertahan dalam pernikahannya. Niki adalah sahabat satu-satunya yang dimiliki Risha, Niki tahu semuanya. Jadi, ketika Niki tanpa sengaja melihat Adhitama bersama wanita lain, ia langsung memberitahukan Risha. Tidak percaya dengan apa yang ia lihat pertama kali, Niki secara sukarela menyelidiki Adhitama hingga akhirnya tahu jika suami dari sahabatnya itu memiliki wanita lain di kota lain. “Sudahlah jangan membahas itu,” ucap Risha. Hari itu Niki yang kebetulan memiliki urusan di kota tempat Risha tinggal memutuskan menemani sang sahabat pergi ke rumah sakit. Setelah perdebatan Risha dengan Adhitama malam itu, Risha akhirnya tetap menuruti permintaan Adhitama untuk memeriksa kandungannya. Risha tidak bisa melawan, setelah perdebatan itu, Adhitama menghukumnya dengan menghujamnya berkali-kali di ranjang, hingga Risha kelelahan. Itu adalah kali pertama
Sesak di dada Risha semakin menjadi-jadi. Apakah wanita itu begitu penting hingga suaminya bahkan tidak ingin menjawab pertanyaannya dan tetap memilih untuk pergi? “Kalau Mas Tama memikirkan permintaanku, kita tak perlu berdebat. Bukankah akan lebih mudah bagi Mas Tama kalau kita berpisah?” Risha bertekad tidak akan berhenti sampai Adhitama setuju dengan permintaannya. “Sampai kapanpun jangan harap mendapat keinginanmu yang satu itu,” ucap Adhitama dingin. Ia tidak memiliki waktu, jadi harus segera siap-siap. Adhitama mengambil acak beberapa baju dan memasukkanya ke dalam koper karena sadar Risha tak mau membantunya. Risha masih diam di tempatnya melihat Adhitama menutup dan menyeret koper itu. Adhitama tak mengucapkan satu patah katapun berjalan melewati Risha. Namun, langkahnya terhenti, ketika Risha dengan seluruh kekuatannya berkata, “Kalau begitu, tolong berhenti menemui kekasihmu itu, Mas.” “Apa maksudmu?” tanya Adhitama saat melihat kilatan emosi dari tatapan mata Rish
Risha tak bisa mengabaikan pesan itu begitu saja. Itu yang membuatnya kini berada di sebuah restoran, duduk berhadapan dengan wanita yang selama ini hanya dia dengar ceritanya dari Niki.Akan tetapi, Risha tak memandang Sevia, melainkan pada koper yang berada di samping tempat duduk wanita itu. Mana mungkin Sevia berada di Jakarta tanpa tujuan?Meski mencoba tenang, tetapi senyum getir tergambar jelas di paras ayu Risha.Mungkinkah Adhitama berbohong? Keluar kota hanya alasan bagi suaminya itu?“Maaf kalau aku sudah bersikap lancang meminta bertemu dengan Kakak,” ucap Sevia.Bicaranya lemah lembut, bahkan memanggil Risha dengan sebutan ‘kak’ padahal Risha tahu kalau mereka seumuran.Risha hanya menatap tanpa memberi respon, melihat Sevia tampak ingin berbicara lagi.“Aku mengajak Kakak bertemu karena merasa butuh bicara soal Mas Adhitama.”Senyum sumbang tergaris di bibir mungil Risha mendengar ucapan Sevia. Bukankah seharusnya dia sudah bisa menebak maksud wanita itu ingin menemuinya
Sudah dua hari sejak Adhitama pergi, Risha memilih tinggal di apartemennya untuk menenangkan diri. Pagi itu dia berada di dapur untuk menyiapkan sarapan sambil melamun. Sejak suaminya pergi hari itu sampai saat ini, ia tidak memberikan kabar apa pun pada Risha. Apakah suaminya itu begitu senang bertemu dengan Sevia hingga ia melupakan istrinya sendiri? “Kenapa aku harus pusing memikirkan mereka?” Risha menggeleng pelan, mencoba menepis rasa penasaran dan kekesalan yang mulai timbul di hati. Risha menarik napas pelan dan memejamkan mata untuk menenangkan diri, tetapi terganggu dengan suara bel pintu apartemennya yang berbunyi. “Siapa yang tahu aku ada di sini?” tanya Risha lantas buru-buru ke depan. Di depan pintu Risha terpaku. Di sana Adhitama berdiri diam menatap padanya. Risha melihat kembali sang suami. Wajahnya yang tampan, rambutnya yang hitam legam, dan mata gelap nan tajam itu pernah membuat Risha begitu mencintai Adhitama. Hingga saat ini. Namun, Risha telah be
Perasaan Haris tak karuan, apalagi Alma tak langsung menjawab pertanyaannya. “Aku baik-baik saja. Lagi pula aku sudah biasa hidup sederhana,” ujar Alma menjawab pertanyaan Haris. Haris terkejut. Dia malah tampak seperti orang putus asa di mata Alma, hingga istrinya itu tiba-tiba memeluk dirinya. “Kita pasti bisa melewati ini semua, semua akan baik-baik saja,” ucap Alma sambil mengusap lembut punggung Haris. Alma bahkan masih bisa memulas senyuman hangat. Haris tiba-tiba merasa bersalah karena sudah membohongi Alma, tapi mau bagaimana lagi, dia harus membuat Rara kalah dan pergi jauh dari kehidupannya dan Alma untuk selamanya. ** Keesokan harinya. Haris dan Alma sudah mengemas barang mereka, keduanya menemui pembantu dan membuat mereka bingung karena Haris dan Alma membawa koper. “Kami pamit dulu, Bi,” kata Haris. “Memangnya Tuan mau ke mana? Liburan?” tanya pembantu. Haris dan Alma saling tatap, lalu Haris menjawab, “Mulai saat ini kami akan pindah dari rumah ini.”
Hari itu karena masih belum mendapat sekretaris pengganti, Haris pergi makan siang di kantin. Saat sedang makan. Rara tiba-tiba mendekati Haris karena melihat pria itu duduk sendirian. “Kamu sendirian?” tanya Rara lalu langsung duduk di kursi yang berhadapan dengan Haris. Haris terkejut Rara muncul di sana dan langsung duduk, tapi dia membiarkan saja. “Selamat untuk pernikahanmu,” ucap Rara. “Terima kasih,” balas Haris singkat. Haris melanjutkan makan. Dia tidak memedulikan keberadaan Rara di depannya. Namun, saat Haris masih sibuk makan, tiba-tiba Rara kembali bicara. “Apa kamu yakin kalau Alma mencintaimu bukan karena hartamu?” tanya Rara memancing. Haris melirik tajam pada Rara, lalu membalas, “Jangan berpikiran buruk apalagi menjelek-jelekkan istriku.” “Aku tidak menjelekkan, hanya saja semua orang juga berpikir sama denganku,” ujar Rara sambil melirik ke samping. Rara yakin karyawan yang berada di sana sedang memperhatikannya dan Haris. Haris ingin mengaba
Pagi itu, Haris sedang menatap layar laptopnya. Ketukan pintu pelan membuatnya menoleh. Kepala HRD Mahesa melangkah masuk dengan membawa map tebal."Selamat pagi, Pak Haris," sapa wanita itu sopan."Pagi. Silakan duduk, Bu Mira," jawab Haris sambil berdiri dari kursi empuknya menuju sofa.Haris bersikap biasa, seolah tidak terjadi apa-apa di antara mereka. Padahal dulu dia pernah marah ke wanita itu.Mira tersenyum kecil sambil membuka map di tangannya. "Saya ke sini untuk membahas soal sekretaris baru yang akan ditugaskan ke Bapak. Ada beberapa kandidat yang sudah kami seleksi, tapi kami ingin tahu lebih detail mengenai kriteria yang Bapak inginkan."Haris menyandarkan punggung dan melipat tangan di depan dada. "Maaf, aku lupa bilang semoga tidak terlambat memberitahu, yang paling penting aku ingin sekretarisku berjenis kelamin laki-laki."Mira terlihat sedikit terkejut. "Oh, apakah ada alasan khusus, Pak?""Alasannya simpel," jawab Haris dengan nada tenang. "Aku lebih nyaman bekerj
Pagi pertama sebagai pengantin baru terasa berbeda. Haris membuka mata perlahan, mengerjap-ngerjapkan kelopak matanya yang masih berat. Sinar matahari yang menyusup melalui sela-sela tirai kamar membuat Haris menyadari bahwa hari baru telah tiba. Di sisinya, Alma masih terlelap dengan posisi miring ke arahnya, wajah wanita itu terlihat damai dan polos. Haris tersenyum sendiri, tangannya bergerak lembut membelai rambut istrinya. "Alma, bangun, ini sudah pagi," bisik Haris. Suaranya hangat namun cukup untuk membuat Alma mengerutkan kening kecil. "Hmm... ya ampun, maaf aku bangun kesiangan," jawab Alma sambil bergeser sedikit sambil berusaha membuka matanya. "Tidak apa-apa! Hari ini spesial, hari pertama kita jadi suami-istri," kata Haris sambil terkekeh. Mendengar itu, Alma membuka matanya lebar, dia menatap Haris yang tersenyum penuh cinta di depannya. Pipi Alma langsung merona. "Kita sudah menikah ya? Rasanya masih seperti mimpi buatku." Haris mengangguk sambil mera
Haris benar-benar menunggu Alma. Dia berdiri di kamar sambil melihat Alma mengambil baju di lemari juga beberapa barang pribadi lainnya.“Sudah?” tanya Haris ketika Alma berjalan ke arahnya.“Sudah,” jawab Alma dengan kedua tangan penuh pakaian.Haris membantu membawa pakaian Alma dan kembali ke kamarnya.“Aku mau mandi dulu, setelah itu nanti kamu,” kata Alma sambil meletakkan pakaiannya di sofa.Haris hanya mengangguk dan menuruti keinginan Alma.Alma masuk kamar mandi dan membersihkan diri, baru setelahnya bergantian dengan Haris. Alma agak canggung, apalagi saat keluar dari kamar mandi Haris memandangnya tanpa berkedip.Alma tak mau menatap wajah Haris, dia langsung duduk dan membiarkan pria itu masuk ke kamar mandi.Saat Haris masih di kamar mandi, Alma bingung harus melakukan apa. Bahkan dia takut naik ke ranjang, sehingga memilih duduk di sofa yang ada di kamar sambil menyalakan televisi.Alma merasa aneh. Jantungnya berdegup tak karuan, sampai-sampai dadanya berdebar cepat kar
Hari itu pernikahan Haris dan Alma digelar. Acara pernikahan mereka dilakukan secara sederhana, hanya keluarga yang diundang. Apalagi mereka sama-sama sudah tidak punya orang tua, sehingga tamu yang datang pun beberapa saja.Mereka melangsungkan akad di KUA, lalu setelahnya menikmati jamuan di rumah Haris dengan hidangan yang bisa dibilang cukup Istimewa.“Selamat, ya.” Risha memberikan ucapan selamat lagi pada Alma sambil memberikan kado pernikahan untuk wanita itu dan Haris.“Terima kasih,” balas Alma dengan senyum penuh kebahagiaan.Kakek Roi juga datang ke acara itu. Dia memberikan hadiah untuk Haris dan Alma sambil memberikan doa tulusnya.“Terima kasih.” Haris menerima pemberian Kakek Roi.“Semoga pernikahan kalian langgeng,” ucap pria tua itu sambil menepuk lengan Haris.Haris mengangguk. Dia merasa sangat bersyukur, begitu juga dengan Alma yang terus berterima kasih.Mereka makan bersama, suasananya begitu hangat dan kekeluargaan, meski hanya sedikit orang yang datang. Lalu Li
Haris tertawa terbahak-bahak setelah Alma menceritakan tentang kecemasannya. Alma tidak memberitahu Haris bahwa pikirannya itu berasal dari ucapan Rara.“Apa kamu ingat golongan darah orang tuamu?” tanya Haris.“O dan B,” balas Alma.“Lalu golongan darahmu sendiri?”“B.” Alma menjawab singkat seperti orang yang takut membuat kesalahan.“Jadi coba kamu pikir, golongan darahku A, berapa persen kemungkinan aku ini sedarah denganmu? Ada-ada saja,” kata Haris.Pria itu lantas menutup laptopnya dan berdiri.“Sudah jangan berpikiran macam-macam, aku senang kamu bisa sampai di sini,” ujar Haris. “Tidak ada staf yang menggunjingmu lagi ‘kan?” tanyanya sambil merapikan rambut Alma yang sedikit berantakan.Alma merasa berdebar lagi seperti pagi tadi, pipinya bersemu merah.“Kita bisa pergi sekarang ‘kan?” Alma mundur satu langkah, dia tersenyum canggung lalu membalikkan badan.Alma buru-buru berjalan menjauhi Haris sambil memegang erat tali tas yang melingkar di depan dada.Haris buru-buru menyu
Pagi itu untuk pertama kali Haris merasa senang duduk di meja makan.Pembantu terus saja menggoda dengan berkata masakan Alma memang sangat luar biasa.Alma sendiri tersenyum malu mendengar pujian itu, dia duduk tepat di seberang Haris. Alma sesekali memandang pada Haris, pria mapan, tampan dan baik hati itu masih tidak dia percayai memiliki perasaan padanya.“Sepertinya makananmu itu tidak akan berkurang kalau kamu hanya melihatku, dan tidak menyuapkannya ke dalam mulut,” ucap Haris tanpa memandang ke Alma.Mendengar itu pembantu rumah tidak bisa menyembunyikan senyum, sedangkan Alma menunduk menahan malu.“Ini sudah berkurang banyak,” jawab Alma seraya menyembunyikan rasa malu.**Setelah sarapan Haris berangkat ke kantor dan Alma mengantarnya sampai ke depan.Meskipun ragu, tapi Alma memberanikan diri meminta izin ke Haris untuk pulang ke rumahnya hari itu.“Aku harus membereskan rumah, aku juga meninggalkan cucian piring kotor, jika tidak diurus bisa-bisa berjamur,” kata Alma.Ala
Alma tak menyangka Haris akan menahannya di rumah pria itu. Dia tidak bisa melakukan apa-apa selain menerima dan mengikuti apa keinginan Haris. Bahkan seperti apa yang pria itu katakan, sudah ada banyak baju untuknya di sana.Meskipun agak canggung kepada pembantu rumah, tapi Alma mencoba untuk bersikap baik.Seperti pagi itu, dia bangun pagi lantas pergi ke dapur untuk membantu menyiapkan sarapan.Awalnya pembantu rumah Haris kaget bahkan memohon Alma untuk tidak melakukan itu. Namun, Alma bersikeras, dia berkata tidak mau menumpang dan makan secara cuma-cuma di sana.“Sudah sewajarnya, karena Mba Alma calon istri Tuan Haris.”Ucapan pembantu membuat Alma menghentikan gerakan tangannya memotong wortel, dia menoleh karena kaget.Bagaimana bisa pembantu rumah tahu kalau dia calon istri Haris?“Apa Pak Haris bilang aku ini calon istrinya?” tanya Alma setengah tak percaya.“Iya, dia bahkan meminta kami menjaga Mba Alma seperti menjaga keluarga sendiri,” kata pembantu itu. “Syukurlah kare