Risha tampak berjalan mondar mandir di teras rumah, Lily yang melihatnya bingung. Bahkan pembantunya juga ikut merasakan hal yang sama. Risha seperti orang gelisah, sesekali menggigiti kuku jari telunjuk sampai Lily memberi peringatan. "Bunda itu nanti kumannya masuk mulut!" Risha terkesiap lalu meminta maaf, dia tersenyum canggung dan berkata lupa kalau menggigiti kuku jari itu tidak boleh. "Bunda ngapain sih? Ayo ke kamar Lily aja, nanti juga Papa pulang," ucap Lily. Ternyata Risha menunggu Adhitama pulang. "Iya Nyonya, ini juga udah mau Magrib lho, tidak baik di luar rumah," kata pembantu. Risha diam mencerna ucapan pembantunya. Dia melihat Lily yang mendekat padanya lalu meraih tangannya mengajak masuk. Mereka akhirnya pergi ke kamar Lily, tapi sebelum itu Risha mengambil ponselnya dulu yang ada di nakas untuk menghubungi Adhitama. Dia berjalan lalu berhenti di koridor, baru saja menempelkan ponsel ke telinga, dia mendengar nada dering dari arah belakang. Risha
Hari berikutnya Kakek Roi mengajak bertemu Lily dan Risha di butik untuk mengukur pakaian yang akan dipakai saat acara pesta perusahaan. Lily datang bersama Risha dan Audrey. Kakek Roi lega melihat Risha, kedatangan wanita itu menunjukkan kalau rasa marahnya sudah hilang. “Apa kamu sudah tidak marah, Sha?” tanya Kakek Roi. Risha menoleh Kakek Roi, lalu membalas, “Kalau aku masih marah, aku tidak akan mau bertemu Kakek.” Kakek Roi tersenyum getir, lalu berkata, “Kakek minta maaf karena sudah membohongimu.” Risha merasa kasihan pada Kakek Roi, sehingga dia membalas, “Sudah, Kek. Jangan dibahas lagi. Aku mungkin belum bisa melupakan itu semua, tapi aku sudah memaafkan Kakek.” Kakek Roi akhirnya bisa tersenyum. Dia mengangguk lega. “Tapi ada syaratnya, Kakek harus membayar semua pesanan bajuku di butik ini,” seloroh Risha. Kakek Roi tertawa lalu membalas, “Tentu saja.” Sementara dua orang itu sedang berbincang, Audrey tampak berdiri di dekat Lily yang sedang melihat-li
Setelah pulang dari butik. Risha meminta Audrey menjaga Lily sementara dia pergi ke kantornya karena ingin melakukan live. Sudah lama dia tidak pernah melakukan live dan berinteraksi dengan customernya, Risha melakukan ini agar tidak dianggap menghilang setelah produknya sempat terkena masalah. Risha langsung masuk ke live yang sebelumnya dipandu oleh salah satu staffnya. Risha menyapa ramah, lalu mulai menjelaskan kondisi My Lily sekarang. “Saya mohon maaf sekali atas kasus overclaim yang terjadi. Tapi sekarang, kami selalu menguji langsung produk My Lily setelah diproduksi untuk memastikan komposisi di dalam produk tidak ada yang overclaim lagi dan tentunya produknya bagus juga aman untuk digunakan.” Setelah mengatakan itu, banyak yang memberikan komentar negatif, tapi ada juga yang memberi komentar positif dan mendukung, sehingga Risha merasa sangat lega. Sampai Risha terkejut saat membaca salah satu komentar. ‘Apa benar model bernama Sevia mati karena berurusan dengan Bu Own
Haris duduk berhadapan dengan Alma di sofa ruang kerjanya. Dia harap-harap cemas karena Alma kemarin berkata dia akan meluruskan semua yang Haris tidak ketahui tentang malam itu. “Apa kamu baik-baik saja? Wajahmu terlihat pucat,” kata Haris. Alma meremas jemari tangannya di atas paha, dia sampai tak sadar Haris sejak tadi terus mengamati. "Kalau kamu sakit lebih baik ke dokter dulu, apa mau aku antar?" Haris menawarkan bantuan. Alma menggeleng, dia menolak tawaran Haris kemudian memberanikan diri menatap pria itu. "Sebenarnya malam itu tidak terjadi apa-apa di antara kita," kata Alma. Haris terdiam, entah kenapa hatinya seketika kecewa. "Saya meminta maaf karena sudah lancang masuk ke kamar Anda, saya mendengar Anda menyebut nama Bu Risha dan berkata ingin merebut Bu Risha dari Pak Tama," kata Alma. "Benarkah aku berkata begitu?" tanya Haris yang tak percaya begitu saja ucapan Alma. Alma mengangguk, berharap Haris percaya dan tak lagi bertanya hal lain. Namun, dia
Risha yang sedang memeriksa laporan penjualan produknya kaget mendapat panggilan dari Haris. Dia semakin heran karena Haris tiba-tiba saja menanyakan soal ciri wanita hamil."Kenapa Kak Haris bertanya soal wanita hamil? Memangnya ada apa?"Risha diam menunggu jawaban Haris, dia sampai menjauhkan ponsel dari telinga untuk memeriksa apakah panggilan itu masih terhubung karena tak ada jawaban.“Kak!” Risha memanggil nama Haris.“Aku hanya penasaran saja,” jawab Haris.“Kenapa tidak Kakak cari saja di internet,” ucap Risha. Dia hanya asal bicara tapi Haris menanggapinya serius.Haris malah minta maaf karena sudah menganggu Risha lalu mematikan panggilan itu.Risha semakin heran, tak biasanya Haris bersikap seperti ini padanya.“Dia kenapa? Kenapa tiba-tiba bertanya soal wanita hamil,” gumam Risha. Dia meletakkan ponselnya dan kembali melanjutkan pekerjaan.Sementara itu Haris merasa sangat bodoh, dia kemudian membuka ponselnya dan mencari artikel seperti apa yang Risha katakan.Haris tak
Malam itu Pesta ulangtahun perusahaan Mahesa diselenggarakan. Risha dan Lily sudah siap untuk pergi ke pesta. Mereka ada di ruang keluarga menunggu Adhitama turun. “Lily sudah cantik ‘kan, Bunda?” tanya Lily sambil menggoyangkan gaunnya. “Iya dong, anak bunda pasti cantik,” puji Risha gemas karena Lily narsis. Lily tertawa, lalu menoleh saat melihat ada yang datang. “Kak Audrey.” Lily melebarkan senyum. Risha menoleh. Dia melongo melihat penampilan Audrey. Bukannya memakai gaun, Audrey malah memakai jas pria dengan rambut panjangnya yang diikat ekor kuda sangat rapi. Audrey sedikit membungkuk pada Risha. “Kenapa kamu jadi ganteng?” tanya Risha yang terkejut. Lily menatap Risha dan Audrey secara bergantian, lalu berkata, “Tuh ‘kan, Kak Audrey lebih keren kalau nyamar begini. Cocok pakai jas, kan Bunda?” Risha terkejut karena masih termangu melihat penampilan Audrey. Dia menoleh pada Lily lalu membalas, “Iya, cocok kalau begini.” “Siapa yang keren?” tanya Adhitama tiba-tiba
Saat acara dimulai, para karyawan dan sekretaris berada di meja masing-masing. Mereka duduk berkelompok di meja bundar yang sudah disediakan. Di salah satu meja. Haris memandangi Alma yang berkumpul dengan staff lainnya. Haris sedang berpikir, dia ingin menanyakan sesuatu pada Alma dan malam ini harus mendapatkan kepastian. Saat Haris masih memandang Alma, ternyata sekretarisnya itu juga menoleh padanya, hingga mereka pun saling tatap. Meski begitu Haris sama sekali tidak mengalihkan pandangan layaknya orang yang ketahuan sedang mengamati secara diam-diam. Di saat bersamaan, Andre juga tak sengaja menoleh pada Alma, hingga dia menyadari ke mana arah tatapan Alma. Dia patah hati, tapi karena Alma masih baik padanya, Andre pun bersikap biasa. Dia bersyukur karena hubungan pertemanan dengan Alma masih terjaga dengan baik. Setelah acara sambutan. Mereka pun melanjutkan dengan menikmati hidangan yang sudah tersedia. Para karyawan itu mulai mengobrol dari membahas masalah pekerjaan sa
Di dalam ruang pesta, Risha tampak menyembunyikan wajah ke pundak Adhitama. “Siapa yang memberi ide untuk mengadakan acara dansa seperti ini? seperti acara pernikahan saja,” gerutu Rissa merasa kurang nyaman. “Aku,” jawab Adhitama. Risha melongo. “Dulu aku tidak pernah terpikirkan ingin melakukan ini waktu kita menikah, jadi anggap saja sekarang ini gantinya,” ujar Adhitama menjelaskan. “Tentu tidak terpikirkan karena dulu Mas Tama tidak cinta padaku,” balas Risha sambil tersenyum masam. Dia bertahan beberapa tahun dengan cinta bertepuk sebelah tangan. “Dulu, perasaan sukaku padamu hanya sebatas pada adik, bukan cinta pada wanita. Karena itu aku agak berat menerimamu,” ujar Adhitama menjelaskan. Risha langsung memasang wajah masam lalu mengeluh. “Kenapa Mas Tama jujur sekali?” Adhitama menahan tawa, lalu membalas, “Itu dulu, kalau sekarang aku cinta sekali dan ingin seumur hidup bersamamu.” Risha tersenyum. Dia semakin memeluk erat pada Adhitama ketika masih berdans
Haris tak punya pilihan selain pergi ke Mahesa. Setelah sarapan dia pamit ke Alma yang tampak masih saja mencemaskan kondisinya. Tanpa Haris tahu, Alma takut jika sampai Haris kenapa-napa. Dia khawatir dan berpikiran negatif pada Adhitama. 'Bagaimana kalau setelah sampai di sana tiba-tiba sudah ada polisi dan Haris ditangkap?' Sebaik-baiknya Adhitama yang dia tahu, tapi mengingat bagaimana sikap Risha tempo hari membuat Alma khawatir. "Kabari aku kalau sudah sampai Mahesa ya," ucap Alma. Dia berdiri di depan Haris yang tampak gagah seperti biasa. "Aku pasti akan mengabarimu, baik-baik di rumah dan jangan pergi ke mana-mana, aku akan menyelesaikan masalah secepatnya dan langsung pulang," kata Haris. Alma mengangguk, dia meminta Haris hati-hati sesaat sebelum pria itu naik ke taksi online yang sudah dipesan. Alma melambaikan tangan, dia berniat masuk ke dalam setelah taksi yang suaminya tumpangi pergi, akan tetapi tetangganya yang kebetulan melintas lebih dulu menyapa.
Meski curiga dengan kedatangan Rara dan sikap Haris setelahnya, tapi Alma masih bisa bersikap biasa. Seperti saat menjelang tidur malam ini, Alma yang baru saja memastikan semua pintu sudah tertutup mendekat ke lemari untuk mengambil selimut. Dia tersenyum pada Haris yang tampak bersandar pada kepala ranjang sambil menonton berita dari televisi berukuran tak seberapa. "Kamu pasti merasa aneh, karena TV di kamarku hanya sebesar tempe," kata Alma. Dia mendekat ke ranjang lalu membentangkan selimut menutupi kakinya dan Haris. Mendengar ucapan merendah Alma yang lucu, Haris hanya tertawa. "Masih bagus masih bisa nonton TV," balas Haris. Alma hanya tersenyum simpul, dia mengatur bantalnya lalu tiduran miring memandang Haris yang masih duduk. "Pak Haris!" Alma iseng memanggil suaminya lalu terkekeh kecil. Haris menoleh sambil menekuk bibir, tangannya terulur melewati kepala Alma lalu membelai pipi wanita itu. "Bapak kenapa bisa ganteng banget? Makan apa dulu waktu kecil?" Haris ma
Rara menatap Alma yang berdiri di hadapannya. Dia sengaja datang ke sana karena kesal Adhitama memecatnya. Bahkan Rara berniat memberitahukan kebohongan Haris pada Alma, juga taruhan mereka. “Ada perlu apa?” tanya Alma lagi karena Rara tidak kunjung menjawab. Saat Rara hendak bicara, dia melihat Haris keluar dan membuat Rara memilih menahan diri. Sementara itu Haris jelas terkejut melihat Rara berada di sana. “Mau apa kamu ke sini?” tanya Haris tanpa basa-basi. Dia takut jika Rara sampai bicara macam-macam ke Alma. “Oh, aku ke sini ingin mengantar dokumen saja. Tadi mampir ke rumahmu, tapi kata pembantumu kamu pergi dan mungkin ada di rumah Alma,” jawab Rara. Alma tidak memiliki perasaan curiga sama sekali. Dia malah mempersilakan Rara masuk. “Aku buatkan minum dulu,” ucap Alma setelah Rara duduk. Haris memandang Alma yang berjalan ke dapur, begitu Alma sudah menghilang dari pandangan, Haris langsung menatap benci pada Rara. “Apa maksudmu datang ke sini?” Haris mengam
Beberapa saat berselang Alma sudah selesai berbelanja di warung. Dia langsung pulang sambil tersenyum membawa belanjaan yang dibelinya. “Aku sudah beli kebutuhan kita, kamu jangan cemas,” ucap Alma dengan bangga memperlihatkan apa yang dibawanya pada Haris. Haris merespon dengan senyuman saat melihat Alma tersenyum lepas. Alma pergi ke dapur untuk memasak, lalu Haris menyusul. “Biar aku bantu,” ucap Haris sambil membuka kantong plastik berisi belanjaan Alma. “Tidak usah, kamu tunggu saja,” tolak Alma. “Aku bisa bantu,” kekeh Haris. Alma menatap Haris yang memaksa, lalu akhirnya membiarkan saja Haris membantu. “Apa yang harus aku lakukan?” tanya Haris.Alma sejenak tampak berpikir sebelum menjawab, “Bantu saja aku mengupas bawang." “Bawang yang mana?” tanya Haris menatap bawang putih dan merah di meja. “Semuanya, bawang merahnya lima biji, bawang putihnya empat,” jawab Alma. Haris mengangguk. Dia mulai mengupas bawang merah lebih dulu. Awalnya biasa saja, tapi saat mengupas
Perasaan Haris tak karuan, apalagi Alma tak langsung menjawab pertanyaannya. “Aku baik-baik saja. Lagi pula aku sudah biasa hidup sederhana,” ujar Alma menjawab pertanyaan Haris. Haris terkejut. Dia malah tampak seperti orang putus asa di mata Alma, hingga istrinya itu tiba-tiba memeluk dirinya. “Kita pasti bisa melewati ini semua, semua akan baik-baik saja,” ucap Alma sambil mengusap lembut punggung Haris. Alma bahkan masih bisa memulas senyuman hangat. Haris tiba-tiba merasa bersalah karena sudah membohongi Alma, tapi mau bagaimana lagi, dia harus membuat Rara kalah dan pergi jauh dari kehidupannya dan Alma untuk selamanya. ** Keesokan harinya. Haris dan Alma sudah mengemas barang mereka, keduanya menemui pembantu dan membuat mereka bingung karena Haris dan Alma membawa koper. “Kami pamit dulu, Bi,” kata Haris. “Memangnya Tuan mau ke mana? Liburan?” tanya pembantu. Haris dan Alma saling tatap, lalu Haris menjawab, “Mulai saat ini kami akan pindah dari rumah ini.”
Hari itu karena masih belum mendapat sekretaris pengganti, Haris pergi makan siang di kantin. Saat sedang makan. Rara tiba-tiba mendekati Haris karena melihat pria itu duduk sendirian. “Kamu sendirian?” tanya Rara lalu langsung duduk di kursi yang berhadapan dengan Haris. Haris terkejut Rara muncul di sana dan langsung duduk, tapi dia membiarkan saja. “Selamat untuk pernikahanmu,” ucap Rara. “Terima kasih,” balas Haris singkat. Haris melanjutkan makan. Dia tidak memedulikan keberadaan Rara di depannya. Namun, saat Haris masih sibuk makan, tiba-tiba Rara kembali bicara. “Apa kamu yakin kalau Alma mencintaimu bukan karena hartamu?” tanya Rara memancing. Haris melirik tajam pada Rara, lalu membalas, “Jangan berpikiran buruk apalagi menjelek-jelekkan istriku.” “Aku tidak menjelekkan, hanya saja semua orang juga berpikir sama denganku,” ujar Rara sambil melirik ke samping. Rara yakin karyawan yang berada di sana sedang memperhatikannya dan Haris. Haris ingin mengaba
Pagi itu, Haris sedang menatap layar laptopnya. Ketukan pintu pelan membuatnya menoleh. Kepala HRD Mahesa melangkah masuk dengan membawa map tebal."Selamat pagi, Pak Haris," sapa wanita itu sopan."Pagi. Silakan duduk, Bu Mira," jawab Haris sambil berdiri dari kursi empuknya menuju sofa.Haris bersikap biasa, seolah tidak terjadi apa-apa di antara mereka. Padahal dulu dia pernah marah ke wanita itu.Mira tersenyum kecil sambil membuka map di tangannya. "Saya ke sini untuk membahas soal sekretaris baru yang akan ditugaskan ke Bapak. Ada beberapa kandidat yang sudah kami seleksi, tapi kami ingin tahu lebih detail mengenai kriteria yang Bapak inginkan."Haris menyandarkan punggung dan melipat tangan di depan dada. "Maaf, aku lupa bilang semoga tidak terlambat memberitahu, yang paling penting aku ingin sekretarisku berjenis kelamin laki-laki."Mira terlihat sedikit terkejut. "Oh, apakah ada alasan khusus, Pak?""Alasannya simpel," jawab Haris dengan nada tenang. "Aku lebih nyaman bekerj
Pagi pertama sebagai pengantin baru terasa berbeda. Haris membuka mata perlahan, mengerjap-ngerjapkan kelopak matanya yang masih berat. Sinar matahari yang menyusup melalui sela-sela tirai kamar membuat Haris menyadari bahwa hari baru telah tiba. Di sisinya, Alma masih terlelap dengan posisi miring ke arahnya, wajah wanita itu terlihat damai dan polos. Haris tersenyum sendiri, tangannya bergerak lembut membelai rambut istrinya. "Alma, bangun, ini sudah pagi," bisik Haris. Suaranya hangat namun cukup untuk membuat Alma mengerutkan kening kecil. "Hmm... ya ampun, maaf aku bangun kesiangan," jawab Alma sambil bergeser sedikit sambil berusaha membuka matanya. "Tidak apa-apa! Hari ini spesial, hari pertama kita jadi suami-istri," kata Haris sambil terkekeh. Mendengar itu, Alma membuka matanya lebar, dia menatap Haris yang tersenyum penuh cinta di depannya. Pipi Alma langsung merona. "Kita sudah menikah ya? Rasanya masih seperti mimpi buatku." Haris mengangguk sambil mera
Haris benar-benar menunggu Alma. Dia berdiri di kamar sambil melihat Alma mengambil baju di lemari juga beberapa barang pribadi lainnya.“Sudah?” tanya Haris ketika Alma berjalan ke arahnya.“Sudah,” jawab Alma dengan kedua tangan penuh pakaian.Haris membantu membawa pakaian Alma dan kembali ke kamarnya.“Aku mau mandi dulu, setelah itu nanti kamu,” kata Alma sambil meletakkan pakaiannya di sofa.Haris hanya mengangguk dan menuruti keinginan Alma.Alma masuk kamar mandi dan membersihkan diri, baru setelahnya bergantian dengan Haris. Alma agak canggung, apalagi saat keluar dari kamar mandi Haris memandangnya tanpa berkedip.Alma tak mau menatap wajah Haris, dia langsung duduk dan membiarkan pria itu masuk ke kamar mandi.Saat Haris masih di kamar mandi, Alma bingung harus melakukan apa. Bahkan dia takut naik ke ranjang, sehingga memilih duduk di sofa yang ada di kamar sambil menyalakan televisi.Alma merasa aneh. Jantungnya berdegup tak karuan, sampai-sampai dadanya berdebar cepat kar