Alma mematikan panggilan dari perawat, dia menoleh Haris sambil berusaha menyembunyikan rasa takut dan kagetnya. “Pak, saya minta izin ke rumah sakit karena adik saya sekarang kritis,” ucap Alma dengan nada bergetar. Haris sangat terkejut. Dia menoleh Alma sekilas lantas kembali menatap ke arah depan. “Akan kuantar,” balas Haris. “Tidak usah, Pak. Saya akan pergi sendiri, Anda juga harus menemui klien penting,” tolak Alma. Haris diam sejenak untuk berpikir. Dia lalu menepikan mobil agar Alma bisa turun. “Hati-hati di jalan,” ucap Haris ketika Alma baru akan menutup pintu mobil. Alma menganggukkan kepala. Dia menutup pintu lalu mencari taksi agar bisa segera ke rumah sakit. Haris sendiri tetap pergi menemui klien meski sendiri, meski mobil sudah menjauh Haris masih mengamati Alma dari kaca spion. Beberapa saat kemudian Alma sudah berada di dalam taksi. Dia sangat cemas memikirkan kondisi adiknya. Dia bahkan meminta sopir mengemudi lebih cepat agar bisa segera sampai d
Siang itu Adhitama tampak memapah Risha menuju kamar. Risha merasa kondisinya sudah membaik, tapi Adhitama masih saja memperlakukannya seperti pesakitan. “Istirahatlah dan jangan banyak pikiran,” ucap Adhitama sambil menyelimuti kaki Risha. Risha melayangkan protes ke Adhitama, tapi suaminya itu tiba-tiba menatapnya dingin, hingga mau tak mau dia mengangguk menerima perintah Adhitama.Risha malah tersenyum, dia menatap punggung Adhitama yang berjalan menuju lemari untuk mengganti pakaiannya, saat sedang mengambil baju ganti ponsel Adhitama berbunyi dan ternyata pengacaranya menghubungi. “Halo.” Adhitama menjawab panggilan dari sang pengacara. “Halo, Pak Tama. Maaf baru memberi kabar, saya tahu istri Anda sedang sakit jadi saya tidak berani mengganggu," ucap pengacara itu."Tidak apa-apa ini kami sudah pulang dari rumah sakit," balas Adhitama. "Ada apa?" tanyanya kemudian. "Saya mendapat informasi penting tentang Sevia,” ucap pengacara Adhitama dari seberang panggilan. Ekspresi w
Meli masih tidak menjawab apa-apa atas pertanyaan Sevia dan Ferdy. Meskipun sudah dipukuli tapi dia tak mengakui siapa sosok pria yang ditanyakan oleh dua orang itu. Hingga, Ferdy dan Sevia berhenti karena takut jika besok pagi orang-orang curiga melihat luka lebam pada Meli. "Dasar sialan, awas kamu!" Sevia mengancam sebelum pergi dari gudang. Meli sendiri malah memulas senyum tipis. Setelah memastikan Sevia dan Ferdy benar-benar meninggalkannya, Meli mengeluarkan ponsel yang ternyata merekam semua percakapan mereka tadi. "Habis kau jalang!" gumam Meli. Pagi harinya perawat lain yang sedang bersiap memeriksa kondisi pasien tampak kaget melihat Meli yang babak belur. Perawat bertanya pada wanita itu tentang apa yang terjadi tapi Meli berpura-pura dengan menggeleng ketakutan lalu menutup mukanya. "Apa kamu berkelahi? Dengan siapa?Ha!" Perawat itu mencoba mencari tahu, tapi Meli masih tak mau menjawab. Si Perawat itu hanya bisa geleng-geleng kemudian pergi memeriksa pasie
Setelah mendapat laporan dari perawat Dokter lantas mendatangi kamar Meli. Dia melihat Meli yang babak belur seperti baru saja dianiaya. Dokter itu mengobati dibantu satu perawat, sekalian melakukan pendekatan untuk mengetahui apa yang terjadi.“Kamu berkelahi dengan siapa sampai babak belur begini?” tanya dokter sambil mengobati Meli.Meli hanya diam, bersikap seperti tak ingat dan tak tahu apa-apa sehingga dokter benar-benar yakin kalau dia memang gila sampai tidak menyadari apa yang terjadi pada diri sendiri. Bahkan beberapa saat kemudian Meli pura-pura menangis dan ketakutan sambil merapat ke dinding.Dokter menghela napas karena Meli tak bisa diajak komunikasi. Dia menoleh pada perawat yang membantunya.“Nanti cek kamera Cctv di sekitar dia ditemukan, seharusnya terlihat siapa yang menghajarnya sampai begini!” perintah dokter.“Baik, Dok.”Ferdy waspada setelah apa yang dilakukannya pada Meli, apalagi dokter sudah memeriksa meski tidak ada tanda-tanda dirinya dipanggil.“Semalam
Dokter, Adhitama, dan pengacara langsung menuju ke ruang isolasi di mana Sevia berada. Saat sampai di sana, mereka semua terkejut melihat Sevia terus membenturkan keningnya di dinding, padahal sudah ada perawat yang berusaha mencegah. “Tarik dia!” perintah dokter karena kondisi Sevia sudah sangat mengerikan. Adhitama memalingkan muka saat melihat banyak darah di wajah Sevia. Perawat berusaha menjauhkan Sevia dari dinding, hingga tiba-tiba Sevia jatuh pingsan. “Angkat, bawa dia ke rumah sakit segera!” perintah dokter karena di rumah sakit jiwa tidak memiliki alat lengkap untuk pemeriksaan luka secara detail. Adhitama sama sekali tak bersimpati. Dia menatap dingin ketika melihat Sevia digendong keluar dari ruang isolasi. “Ikutlah dengan mereka. Awasi dan pantau bagaimana kondisi Sevia, aku tidak mau kecolongan lagi kali ini!” perintah Adhitama pada pengacaranya. “Baik, Pak.” Pengacara Adhitama segera menyusul perawat dan dokter yang sudah lebih dulu membawa Sevia. Adhitama memi
Pagi itu saat baru saja bangun Adhitama sudah tidak melihat Risha di kamar. Setelah mandi dan memakai baju rapi, Adhitama pergi mencari Risha di ruang makan, ternyata Risha sedang sibuk di dapur menyiapkan sarapan. Tentu saja hal itu membuat Adhitama sangat terkejut. “Kenapa kamu yang masak? Kamu tidak usah menyiapkan sarapan, lagi pula ada pembantu yang akan membuatnya,” kata Adhitama. “Tidak apa-apa, Mas.” Risha menanggapi dengan senyum. Wajahnya tampak semringah bahkan meski memakai apron penampilan Risha tetap mempesona. “Aku tidak mau kamu kecapekan, Sha.” Adhitama bicara sambil menatap cemas. Risha menoleh pada Adhitama dan membalas, “Tidak capek, kok Mas. Aku malah senang bisa bikin sarapan buat Mas Tama sama Lily." Adhitama diam. Dia lalu mengajak Lily duduk bersamanya di ruang makan. Risha menyajikan sarapan di meja, lalu melayani Adhitama dan Lily bergantian seperti biasa. Adhitama terus menatap Risha, memperhatikan dan merasa meski tampak biasa tapi ada yang
Sevia masih tidak sadarkan diri dan masih ada di rumah sakit. Dokter dan perawat di sana masih terus memantau kondisinya meskipun Dokter merasa sedikit janggal. “Ini aneh, hasil CT-Scan tidak menunjukkan gejala atau masalah yang serius di kepala, semua baik. Kenapa dia belum sadar?” Dokter berbicara ke perawat. “Saya juga bingung, Dok.” Perawat itu juga merasa aneh, apalagi ketika diperiksa semua tanda vital Sevia aman dan baik. “Jangan-jangan dia hanya bersandiwara dan sengaja tidak bangun,” ucap perawat curiga karena sudah mendengar cerita tentang kelakuan Sevia. “Bisa jadi.” Perawat lain ikut membenarkan. Dokter menatap perawat, lalu berkata, “Kalau begitu tetap pantau dia dan jangan sampai lengah.” Setelah mengatakan itu Dokter keluar dari ruangan Sevia. Di luar dia bertemu dengan polisi yang masih berjaga. “Kondisi pasien atas nama Sevia sebenarnya baik-baik saja, tapi entah kenapa dia tidak bangun-bangun juga, saya agak curiga kalau dia sebenarnya hanya bersandiwar
Adhitama menatap Haris yang bingung dengan ucapannya. Dia mencoba membaca apa yang kakak angkat Risha itu pikirkan kemudian berkata," Iya, mereka tidak pacaran." Adhitama menyesap sedikit kopi yang baru saja dia buat lalu berjalan pergi dari pantry. Terang saja sikapnya itu membuat Haris kebingungan. Haris ingin mengejar Adhitama untuk bertanya lebih rinci, tapi dia mengurungkan niat karena masih ada karyawan lain di sana. "Sial! Ada apa denganku? Kenapa ada perasaan senang mendengar Alma tidak berpacaran dengan Andre," gumam Haris. Haris akhirnya kembali ke ruang kerjanya. Namun, setelah mendengar cerita Adhitama tadi dia merasa tidak bisa fokus bekerja. "Apa aku pastikan sendiri ke Alma? Tapi untuk apa?" Haris kembali berperang dengan pikirannya sendiri. Sore harinya sekitar jam tiga, Andre kembali ke kantor. Dia menemui Adhitama untuk meminta tandatangan, tapi terkejut mendapati Adhitama sudah rapi hendak pulang. "Apa Anda sudah mau pulang Pak?" Andre merasa tak enak
Risha dan Adhitama berjalan beriringan masuk ke sekolah Lily pagi itu. Mereka terlihat beberapa kali berhenti untuk berbicara dengan orangtua teman Lily yang juga datang ke sekolah.Hari itu acara kelulusan murid digelar, Risha sudah tidak sabar melihat bagaimana penampilan putri kecilnya di atas pentas.Risha duduk sambil harap-harap cemas menunggu acara dimulai.“Dia tidak akan membuat kesalahan ‘kan?” tanya Risha sambil meremas tangan. Padahal Lily yang akan tampil, tapi dia yang grogi.Adhitama yang melihat Risha beberapa kali menggigit bibir bawah hanya tersenyum, dia meraih tangan sang istri yang ada di atas paha lalu menggenggamnya erat.“Dingin sekali, kenapa kamu yang gugup begini?” tanya Adhitama.“Aku hanya khawatir. Lihat saja banyak orang begini, bagaimana kalau dia takut hingga membuat kesalahan. Dia pasti sedih dan bisa kehilangan rasa percaya diri, ini penampilan pertamanya di depan banyak orang,” jawab Risha.“Kamu harus yakin ke Lily, dia pasti bisa. Calon penerus Ma
Sore itu, Andre duduk di meja kerjanya sambil menatap layar laptop. Pekerjaan hari itu hampir selesai, tetapi ada satu hal lagi yang harus dia urus sebelum meminta izin pulang ke Adhitama.Andre melihat jam di tangannya, sudah hampir pukul lima sore. Andre menarik napas dalam-dalam sebelum berdiri dan melangkah ke ruangan Adhitama.“Pak, apa saya bisa bicara sebentar?” kata Andre, mencoba terdengar tenang meskipun ada sedikit kegugupan di suaranya.Adhitama yang masih berkutat dengan layar laptop menjawab, “Tentu. Ada apa?”“Saya mau minta izin, Pak. Lusa rencananya saya ingin mengambil cuti untuk jalan-jalan sebentar. Sudah lama saya tidak liburan."Adhitama sedikit terkejut mendengar permintaan Andre. Dia menghentikan pekerjaannya sejenak lalu memandang sekretarisnya itu. “Jalan-jalan? Ke mana? Memang kamu sudah punya pacar?” goda Adhitama.Andre tertawa kecil mendengar pertanyaan sang atasan. Pemuda itu sedikit berkilah dengan menjawab, “Memang pergi jalan-jalan harus bersama pacar
Seminggu kemudian Alma dan Haris mengadakan syukuran atas kelahiran anak mereka.Syukuran di rumah mereka berjalan meriah. Tamu-tamu yang datang silih berganti, membawa suasana hangat penuh canda tawa.Alma, yang baru saja melahirkan putra pertamanya, tampak bahagia menyambut satu per satu tamu yang hadir.Andre melangkah masuk dengan senyum kecil di wajah. Berbaur dengan tamu-tamu lain yang sebagian besar dia kenal. Namun, saat melihat sosok gadis yang tengah mengobrol di sudut lain ruangan, Andre segera berjalan mendekatinya. Ia sudan lama tak bertemu dengan Mahira, tapi dia sebenarnya sudah menduga pasti akan bertemu dengan Mahira di rumah Alma."Andre! Lama nggak ketemu. Apa kabar?" tanya Mahira sambil tersenyum lebar.Andre mengangguk kecil. "Baik. Kamu gimana?""Aku? Baik juga. Ngomong-ngomong, kabar mamamu gimana? Sehat kan?""Sehat kok," jawab Andre.Mereka terlihat canggung, Mahira bahkan ingin menjauh tapi entah kenapa ada perasaan yang membuatnya ingin terus mengobrol denga
Risha baru saja keluar dari kamar Lily malam itu. Dia berjalan pelan sambil memandang pintu ruang kerja Adhitama. Risha ragu mungkinkah Adhitama masih berada di sana atau sudah kembali ke kamar mereka. Risha mengedikkan bahu, memilih mempercepat langkah menuju kamar tidur. Baru saja menutup pintu, Adhitama membuat Risha terkejut karena sudah berada di dalam. “Astaga Mas Tama!” pekik Risha setelah sebelumnya berjengket karena kaget. “Kamu itu kenapa?” Adhitama terkekeh kecil lalu menekuk tangan di depan dada. “Aku pikir Mas masih di ruang kerja,” balas Risha sambil naik ke atas ranjang lalu duduk di samping Adhitama. “Apa ada masalah lagi di Mahesa?” tanyanya penuh perhatian. “Tidak ada, hanya mengecek dan memastikan sesuatu.” Adhitama membalas sambil melingkarkan tangan melewati punggung Risha, memberi isyarat kalau dia ingin memeluk istrinya itu. “Bagaimana Pembangunan kantor dan pabrik barumu? Bukankah seharusnya bulan depan pabrik sudah bisa mulai beroperasi?” tanya Adhitama
“Sudah sayang, kamu sudah cantik!”Ucapan Adhitama membuat Risha menoleh dan tersenyum. Adhitama berjalan mendekat pada Risha yang masih mematut diri di depan cermin, memeluk pinggang lalu mencium pundak istrinya itu.“Lily sudah siap?” tanya Risha sambil memandang Adhitama dari pantulan kaca di hadapannya.“Sudah, dia senang sekali mendengar kita mau mengajaknya pergi belanja,” balas Adhitama. “Ternyata semua wanita sama, suka sekali dengan hal berbau materi,” imbuhnya.Risha tertawa lebar, dia memutar tubuh lalu memandang Adhitama yang semakin hari semakin terlihat menawan di matanya.“Jadi selama ini Mas Tama pikir aku ini matre? Begitu?” goda Risha.“Hm .. bagaimana aku menjawab? Yang pasti aku bahagia bisa memberimu segalanya.” Adhitama meraih pinggang Risha. Menarik tubuh wanita itu hingga menempel padanya.“Aku hanya butuh Mas cintai dan jadikan satu-satunya wanita di dalam hidup Mas Tama,” ujar Risha. Senyum tipis dan tatapan matanya yang penuh cinta melenakan Adhitama hingga
Andre sedang duduk di meja kerjanya, memeriksa laporan yang harus diserahkan ke Adhitama saat atasannya itu baru saja datang.Andre langsung berdiri dan menyapa dengan sopan. “Selamat pagi, Pak.”"Pagi, ikut ke ruanganku, ada yang mau aku bicarakan," ucap Adhitama seraya melangkah masuk.Andre mengangguk, dia berdiri dari kursinya kemudian menyusul Adhitama. Meskipun terdengar serius, tapi raut Adhitama tidak tampak mengintimidasi."Aku mendengar dari pengacara kalau masalah dengan ayahmu itu belum ada titik temu, bagaimana perkembangannya?” tanya Adhitama.Andre menarik napas dalam sebelum menjawab. “Sebenarnya semalam saya bertemu dengannya, yang bisa saya baca dia mulai terlihat khawatir. Mungkin karena saya bilang bekerja di Mahesa dan memiliki dukungan penuh dari perusahaan.”Adhitama tersenyum tipis. “Baguslah kalau begitu. Orang seperti Papamu itu biasanya hanya menggertak. Kalau ada yang kamu butuhkan, jangan ragu untuk bicara, aku pasti akan membantu,” ucapnya.“Terima kasih,
Di tengah hujan gerimis yang mengguyur kota, Mahira duduk di kursi penumpang mobil Andre sambil membuka jendela, membiarkan angin segar bercampur bau aspal basah masuk ke dalam mobil.Di tengah perjalanan menuju kos, tiba-tiba Mahira berkata, “Apa bisa berhenti sebentar di minimarket depan? Aku mau beli beberapa makanan buat stok di kos.”Andre mengangguk tanpa banyak bicara, lalu memutar setir ke arah minimarket yang Mahira maksud. Mobil itu melambat dan berhenti di depan minimarket yang terlihat ramai. Mahira keluar lebih dulu, lalu menoleh ke Andre yang masih duduk di kursi kemudi.“Yuk, ikut," ajaknya. Andre sebenarnya malas keluar mobil, tapi entah kenapa dia mengiyakan saja ajakan Mahira."Kamu kalau mau beli sesuatu boleh. Aku traktir, kamu pilih apa aja yang kamu mau.” Senyum Mahira mengembang. Pikirnya, Andre sudah banyak membantu jadi tidak ada salahnya mengeluarkan beberapa puluh ribu untuk membelikan pemuda itu sesuatu.Andre menghela napas sambil menggeleng. "Nggak usah.
Mahira duduk di ruang kecil kantor My Lily, matanya terus melirik jam dinding. Risha belum juga datang, dan dia sudah tidak sabar untuk meminta izin pada ibunda Lily itu.Meski terdengar keterlaluan, tapi Mahira berniat mengajukan diri agar diizinkan melakukan live penjualan sepanjang hari.Mahira masih menunggu dengan cemas, hingga Risha muncul dengan senyum maanis.“Pagi,” sapa Risha ke semua stafnya. Wanita itu berjalan ke ruang kerjanya dan disusul oleh Mahira.“Bu Risha, permisi. Apa saya boleh bicara?”Ucapan Mahira membuat Risha menghentikan langkah lalu menoleh.“Bicara apa?” tanya Risha dengan kening berkerut halus.“Begini Bu Risha. Saya mau meminta izin, boleh tidak hari ini saya mengambil alih live dari pagi sampai petang? Maksimal delapan jam.”Risha mengangkat alis, kaget dengan permintaan itu. “Kenapa tiba-tiba kamu ingin live selama itu?”Mahira menarik napas panjang, matanya sedikit berkaca-kaca. “Saya butuh uang, Bu. Papa saya … papa saya ditangkap polisi.”Risha ter
Lain di mulut lain di hati. Meski terlihat tak peduli, nyatanya Andre tidak benar-benar bisa mengabaikan Mahira. Malam itu, meskipun memaksakan diri untuk tidur, pikiran Andre tetap berkelana, memikirkan Mahira dan apa yang mungkin sedang terjadi.Pagi harinya, Andre bangun dengan perasaan yang masih sama. Namun, dia tetap berusaha untuk tidak memperlihatkan perasaannya kepada siapapun, termasuk ibunya.Andre bangkit dari tempat tidur dengan mata berat. Ponselnya tergeletak di meja dengan layar hitam tanpa notifikasi baru. Dia memegangnya lagi, ragu sejenak sebelum mengetik pesan lain untuk Mahira.[Kalau kamu butuh bantuan, bilang aja.]Setelah mengirim pesan itu, Andre termenung, berharap balasannya kali ini datang.Namun, keheningan tetap mengisi ruang kamarnya. Andre mendesah berat, merasa bersalah tapi masih enggan mengakui."Apa aku harus ke sana langsung?" gumamnya. Pikiran tentang Mahira di kos seorang diri terus menghantui Andre.***Matahari baru saja muncul, memancarkan sin