“Aku sedang tidak bisa bersamamu.”“Aku akan tetap bersamamu. Semingguku bersamamu belum berakhir.”King terkekeh. Menutup setengah wajahnya dengan tangan. Membiarkan raut tampan beringas mengerikannya tercemari lebih banyak.“Aku sedang marah, Mina. Kau sebaiknya tidak di sini bersamaku, apalagi berjarak terlalu dekat denganku seperti ini.”“Semakin kau larang, semakin kulakukan.” Mina membalas King serupa perkataan yang pernah diucapkan pria itu padanya. “Bukan salahmu.”“Memang bukan. Justru karena bukan, aku merasa semakin marah.”Dia memang tidak tertebak. “Lampiaskan padaku.” Gila. Mina tahu perkataannya sungguh tidak masuk akal.“Melampiaskan kemarahanku?” Satu alis King naik, rautnya meremehkan.“Apa pun. Kemarahan, kesenangan, semua yang kau rasakan.”King terkekeh, makin keras tawanya. Tiba-tiba tangannya terjulur untuk menyentuh wajah istrinya dengan tangan berlumuran darah bertepatan setelah tawa itu terhenti.“Kau yakin?”Mina mengangguk. Merasai sentuhan kasar, aroma dar
“Besok akhir kebersamaan kita.”“Sementara,” ralat Mina. Perasaannya tidak nyaman.“Tujuh hari itu lama.”“Katakan apa yang sebenarnya ingin kau katakan, King.” Mina meraih tangan King, menggenggam erat. Mendadak sekali menjadi budak cinta. Salah? Tidak. King juga suami Mina, berhak menerima apa yang Red dapatkan dari Mina. Apa boleh begitu? Entah. Mina tidak mau peduli.“Tujuh hari itu lama bagiku. Mungkin bisa kupakai untuk pergi ke banyak tempat.” King tidak membalas remasan tangan Mina yang makin mengerat. Manusia satu ini memang tidak usah ditebak apa maunya.Mina melepas tangannya. Seperti tersadar kemudian bahwa dia cuma dimanfaatkan. Lebih bagus dipermainkan, karena mungkin sikap manis King yang berubah-ubah terasa menyenangkan baginya. Namun kalau dipikir lagi, apa bedanya? Dimanfaatkan dan dipermainkan berdampak menyakitkan pada akhirnya.“Ya, pergilah. Kau mungkin bisa mengajak Indila bersamamu, daripada si jalang itu mengganggu kemesraanku dengan Red seminggu ke depan.” Mi
Seolah Indila tidak di sana, Red memacu dirinya bergerak cepat menyusul Mina. Dikejarnya si istri yang baru akan menutup pintu.“Aku mau masuk.” Ditahannya pintu menggunakan kaki.Mina melepas pegangannya di pintu, lalu berbalik. Berjalan menuju kamar mandi, menanggalkan pakaiannya tanpa sekalipun peduli keadaan.Setelah mengatur agar segala berada dalam kendalinya, Red menghampiri Mina. Diangkatnya, dibawa ke kamar mandi.“Sirami aku seperti kau pernah melakukannya dulu,” pinta Mina.Oh, yang waktu itu. Ketika Mina mengigau tentang Gabin, sementara Red langsung menyiramnya tanpa ampun untuk bantu menyadarkan Mina.Red meraih shower, mulai menyemprotkannya ke tubuh tanpa pakaian si istri. Kali ini berbeda dengan yang sebelumnya. Red ikut-ikut basah, sambil menatap Mina yang kakinya terluka.Memeluk Mina, yang dipeluk spontan berontak. Marah tanpa suara, tapi Red tidak sedikit pun mengendurkan dekapan eratnya.Mina berteriak. Sejadi-jadinya. Red mengecup kening basah si istri yang kini
Logan tertawa. Tawa keras yang artinya pertanyaan sekaligus permintaan Indila terdengar lucu baginya. “Kalau itu yang kau mau, tentu saja aku akan melakukannya, meski tetap tidak bisa kubiarkan kau menjalin hubungan dengan Red. Setidaknya, sekarang bukan lagi aku yang harus kau hadapi, melainkan Mina. Menantuku adalah singa betina yang jinak, namun menggigit bila diganggu.”Indila coba tersenyum, walau dadanya bergemuruh dikuasai amarah. “Terima kasih untuk segalanya, Tuan. Aku permisi dulu kalau begitu.”Senyum di wajah Logan memudar. Telapak tangannya terbuka mengarah ke pintu. “Ya, silakan.”***“Kenapa pistol yang kuberikan malah kau simpan di tumpukan kaosmu di lemari pakaian?” Red bertanya selagi mengobati luka-luka di kaki Mina. Bahkan sempat dipijatnya bagian-bagian di mana si istri terpincang saat berjalan. Antisipasi sebelum perlu memeriksakannya ke dokter.“Oh, di sanakah? Aku mencarinya ke mana-mana.” Mina melihat ke arah lemari pakaiannya.“Berarti bukan kau yang menyimpa
Sejenak Mina terpana, bukan terpesona. Hanya tidak menyangka bahwa Red memiliki inisiatif untuk memperlakukannya selayaknya seorang istri normal seperti kebanyakan pasangan di luar sana.“Jam berapa?” Pura-pura Mina sibuk menumpuk piring kosong dan menyatukan gelas kotor.“Kujemput jam tujuh.”“Okay.”Red sudah meninggalkan meja makan, namun mendadak kembali lagi. “Kau perlu setidaknya bertingkah lebih nyata sebagai seorang istri.”Mina menahan tawa. Lagi, berpura-pura sibuk mengelap meja. “Beritahu aku. Seperti apa contohnya?”“Mengantarkanku sampai pintu depan. Memeluk dan mencium sambil dilepas pergi.”Banyak maunya. “Okay. Kuletakkan piring di wastafel—oh, terima kasih.” Mina tertawa karena Red yang melakukannya. Membawa piring beserta gelas ke tempat cuci piring.“Apa kita sungguh perlu melakukan ini?” Mina keheranan karena sambil berjalan menuju garasi, Red memintanya menggandeng lengan.“Menurutku perlu. Duniaku terlalu kaku dan canggung. Ketegangan setiap saat kurasakan ketika
Dengan gemas, King menampar bokong Mina yang tidak meronta, namun si istri terus melawan dengan cara meninjunya.“Kau tidak punya hak! Turunkan aku atau kuceraikan kau secara sepihak!” ancam Mina. Memang tidak akan mempan, tapi berusaha melawan tanpa kenal takut memang menjadi suatu keharusan bila berurusan dengan King.Setidaknya, lawan!“Cerai berarti bisa kupaksa kau untuk menikah denganku lagi.”Huft! Baiklah. Tenang, Mina! Tenangkan diri.“Kita perlu bicara, King.”“Tidak ada perintah yang boleh kau berikan padaku.” King tertawa tanpa suara. Selagi Mina tidak sedang bisa melihat ekspresinya, maka dia sedikit puas hanya dengan begini.“Itu ajakan, bukan perintah.” Mina mencubit pinggang King kuat-kuat. Karena percuma, dia coba menggelitik. Namun rupanya King tidak merasa geli sama sekali.Gila! Apa King tidak punya radar geli di bagian mana pun di tubuhnya? Apa dia bukan manusia?“Baiklah. Ayo, bicara.” Kini King menggendong Mina di depan. Membiarkan si istri berada sedikit lebih
“Aku pun sama. Pernikahan adalah beban terbesar dalam hidupku. Tidak akan ada banyak kebaikan dan bahagia yang mungkin bisa kuberikan untukmu. Namun yang pasti, jika sudah terikat denganku, maka selamanya harus begitu, kecuali maut memisahkan.”Mina merasa ngeri mendengarnya. Benar, bukan? Mungkin, jika di film-film berkisah romantis, ucapan seperti yang dikatakan Red-lah yang begitu dinantikan oleh si pemeran utama wanita. Namun di kehidupan nyata, bukankah terdengar sangat menakutkan?Berusaha waras, Mina coba tersenyum masih dengan bibir bergetar. Entah kenapa mereka tidak tiba juga di restoran tempat di mana seharusnya keduanya menghabiskan makan malam pertama sebagai sepasang suami istri.“Bagaimana dengan King?”“Kau berharap dia berpikiran yang sama denganku?”Mina menggeleng cepat-cepat. “Tidak, tidak. Bukan itu. Kau tahu maksudku.”Memang. Red jelas tahu maksud dari kekhawatiran Mina. “Biasanya, dia akan bosan dengan sendirinya.”“Bagaimana dengan statusku yang sebagai saksi
“King sialan! Pergi jauh-jauh dari pandangan mataku!” Mina memaki dalam hati, marah pada dirinya sendiri karena bayangan itu mengganggu momen ini. Tubuhnya berkhianat, tetap merespons setiap sentuhan Red, tapi pikirannya terbagi.Red menyadari Mina mulai menjauh dalam pikirannya. Menunduk, tangannya menggenggam dagu Mina dengan lembut namun tegas, memaksa mata mereka bertemu. “Tatap aku, Mina. Jangan palingkan wajahmu dariku,” bisiknya serak dan penuh otoritas.Segera Red mempercepat gerakannya. Pinggul menghantam lebih keras, lebih dalam, hingga Mina tidak bisa lagi menahan erangan yang keluar dari mulutnya.Tangan Red mengangkat pergelangan tangan Mina, menahannya di atas kepala sementara dia terus mendorong. Tubuh mereka saling menempel erat, kulit bertemu kulit dalam panas yang membakar. Mina merasakan tekanan yang semakin memuncak di dalam dirinya, setiap gesekan membawanya lebih dekat ke tepi, meski bayangan wajah King masih memenuhi pikirannya.Red menunduk lagi, bibirnya kini
Red terlihat terkejut, lalu menunduk, menghindari tatapan Mina. “Mina ... aku minta maaf. A-aku tidak pernah bermaksud begini. Aku tidak mau kau pergi. Aku cuma ... butuh waktu untuk ini.”“Waktu?” Mina melangkah lebih dekat. “Waktu tidak akan menunggu anak-anak kita tumbuh. Mereka butuh stabilitas sekarang, Red. Kita harus jadi tim. Kalau kalian mencintaiku, kalian akan mencintai mereka juga. Menerima keputusan dan rencana yang ingin kulakukan untuk kita semua.”Sunyi melingkupi ruangan beberapa detik sebelum King mendekat, memegang erat tangan Mina. “Aku akan melakukan apa pun yang kau katakan, Mina. Tapi jangan coba-coba mengambil keputusan untuk meninggalkanku.”Mina menarik napas dalam, menatap King dan Red. “Bukan aku yang harus memutuskan, King. Itu ada di tangan kalian berdua. Ikuti aturanku atau tidak sama sekali. Aku bebas pergi, jika kalian memutuskan tidak setuju dengan aturanku.”***Mina merasa kontradiksi saat kontraksi pertama datang. Di satu sisi, dia merasa ketakutan
King menarik napas panjang sebelum tiba-tiba menyeringai penuh kepuasan. “Aku tahu ini akan terjadi. Aku tahu kau akan memilihku. Kau pun tidak tahan untuk tidak mengandung bayi dariku.” Nadanya menggoda, tapi jelas sangat bangga.Namun, momen itu segera terganggu oleh suara pintu lain yang terbanting. Red masuk dengan wajah kecewa, menekan semua emosi sekuat tenaga. Dia memang masih Red Blackwood yang dulu, namun sejak Ophelia hadir, hubungan King dan Mina yang terlalu intim di matanya, tidak lagi terasa mengganggu.“Begitu rupanya.” Suaranya sedikit bergetar, tapi Red tertawa. “Aku dengar dari ibu, kalau kau mau mengandung bayi hasil dari hubungan dengan pria yang paling kau cintai. Itu artinya dia?”Mina berdiri, mencoba memberi penjelasan. “Red, ini bukan cuma soal cinta. Karena aku pun menyayangimu. Kalau kau ingin kita berpisah, aku tidak bisa melakukannya, karena itu artinya Ophelia harus bersamaku.”Mina menambahkan, agar tidak ada lagi kesalahpahaman. Sejak awal, bukan dia ya
King tentu menggunakan kesempatan itu untuk menyusup masuk.King memasuki kamar Jemima tanpa ragu, hampir tanpa suara. Dia ahli dalam bertindak begini. Sebelum pada tujuannya, ditatapnya sejenak bayi Mina dan Red.“Ophelia, jangan sampai terbangun, apalagi berisik kalau tidak ingin aku marah dan membawamu pada ayahmu. Tetap tenang,” ucap King dalam suara pelan dan berat.Kini matanya langsung tertuju pada Mina yang terlelap di sisi ranjang. Wajah si istri terlihat begitu tenang, rambutnya sedikit berantakan menyentuh pipi. Sesuatu di dalam dada King bergemuruh, seperti kebahagiaan kecil yang sulit dijelaskan. Belakangan, entah kapan tepatnya, ada banyak perasaan ‘brutal’ pada Mina jadi melemah, bukan berkurang, tapi seakan melembut dengan sendirinya.King berjalan mendekat, mengatur langkahnya agar tidak terlalu berat.Duduk di tepi ranjang, membiarkan ujung jarinya dengan lembut menyentuh rambut Mina, menyelipkannya ke belakang telinga. Reaksi Mina sedetik kemudian—menggeliat pelan,
Sudah dua hari berlalu dari seks agak lama di mobil dan kembali hal serupa terulang.Kali ini, tangga. Tangga menuju kamar atap, menjadi saksi selanjutnya. Mina sedang naik duluan, membawa sekeranjang pakaian kotor, saat King tiba-tiba menarik pinggangnya dari belakang.Mina hampir jatuh, tapi King memegangnya erat-erat, mendorong sampai punggung Mina menempel ke dinding tangga.King menarik celana Mina dengan cepat, tangannya masuk ke dalam, menyentuh Mina sampai si istri mengerang pelan. Mina mencengkeram pegangan tangga, mencoba menahan diri.King tidak bicara, langsung membuka celananya sendiri. Dia mengangkat satu kaki Mina, meletakkan di bahunya, lalu masuk ke dalam Mina dengan gerakan keras.Selain tangganya sempit, mereka harus cepat karena situasi tidak mendukung. Mina menggigit bibirnya agar tidak bersuara, tapi King menarik dagunya, mencium bibirnya kasar ketika akhirnya ada desah yang sempat lolos sedetik lalu.Mereka bergerak bersama, membawa getaran hebat yang menjalar p
Mina tahu perasaannya tak sederhana. Antara King dan Red. Ada dorongan yang tak bisa dibendung, perasaan yang terjebak antara dua dunia, dua suami yang sangat berbeda. Kali ini lebih menantang karena mereka berbaur bersama di satu atap. Beruntung sekarang Jemima sering berada di tengah-tengah mereka, mengurangi kegiatan sosialnya demi untuk cucu tercinta.Jemima-lah yang membuat jarak di antara King, Mina dan Red benar-benar punya celah. Dan itu sungguh bagus.Red sedang keluar, katanya bertemu Logan sementara Jemima tengah membawa Ophelia jalan-jalan di seputaran rumah—halaman depan, juga memamerkan si cucu pada tetangga.Mina ditarik King ke sini. Ditatapnya ke depan, mata terfokus pada pintu garasi yang tertutup rapat.Suasana di dalam mobil terasa sunyi. Cuma ada suara debar jantung Mina yang berdetak lebih cepat. King duduk di sampingnya, jarak mereka begitu dekat, namun tidak ada kata-kata yang keluar seperti kenakalan dan kebrutalan King yang biasa. Mungkin belum.“Kenapa harus
Red dan Mina masih duduk. Tanpa jarak di antara mereka. Mina menyandarkan kepalanya ke bahu Red, sementara pria itu menggenggam tangan si istri begitu erat—tidak menyakiti. Mereka menunggu, terus menanti.“Harusnya aku selalu ada di sisinya,” gumam Mina akhirnya, suaranya dipenuhi rasa bersalah. Dalam situasi dan kondisi begini, segala perasaan marah serta bencinya pada Zara, benar-benar hilang entah ke mana.Red menoleh, menatap Mina dengan sorot yang lembut tetapi tegas. “Sekarang kau sudah di sini. Kita akan melewati ini bersama."Sebelum Mina sempat menjawab, pintu ruang bersalin terbuka, dan seorang perawat keluar. Mereka berdua langsung bangkit serempak.“Bagaimana dia?” tanya Mina, nadanya nyaris panik.“Zara melewati masa kritisnya. Perdarahannya sudah teratasi, dan kondisinya mulai stabil,” kata perawat itu dengan senyum menenangkan. “Bayi perempuan, sehat dan sempurna.”Mina menutup wajah dengan kedua tangannya, terisak lega. Sementara Red entah bagaimana merasa sangat berbe
“Mina.” Suara King terdengar tegas dari luar mobil. Pria itu membuka pintu pengemudi dengan gerakan cepat, membuat Mina terkejut.“Hei, ada apa, King?” King menatapnya dalam, mata kelamnya dipenuhi ketegasan yang tidak bisa dibantah. “Kau tidak akan menyetir dalam kondisi seperti itu,” katanya sambil menarik tubuhnya menjauh dari pintu. “Pindah ke kursi penumpang.”“Seperti apa?” Mina tertawa, tawa yang kering.“Tanganmu gemetar, kau gelisah.”“Aku baik-baik saja.” Mina tetap bergeming, meski tahu argumennya tidak akan bertahan lama—King tidak pernah bisa dibantah.King mendekat lebih jauh, satu tangannya bersandar pada atap mobil, menciptakan bayangan besar di atas Mina. “Aku tidak akan mengulanginya, Mina. Pindah sekarang.” Ada sesuatu dalam nada suaranya yang membuat Mina segera menyerah tanpa banyak perlawanan.Mina menelan sisa protesnya, membuka sabuk pengaman, dan keluar dari mobil. “Kenapa tiba-tiba kau berubah pikiran?” tanyanya, menatap King yang kini mengambil alih posisi p
Langkahnya terseok-seok menuju tempat tidur, mencoba meraih kursi dekat jendela, berpegangan pada meja kayu yang sudah mulai terlihat lusuh. Semua terasa begitu mencekam. Seperti ada banyak hal yang terpendam dalam dirinya, tapi rasa sakit itu memaksa dia untuk mengabaikannya. Semua terfokus pada satu hal—bayi yang semakin mendekat.Detik demi detik terasa lambat. Dia mengumpulkan kekuatan, meskipun lututnya hampir tak mampu menopang tubuhnya yang lelah. Sejak awal hamil, dia sudah terbiasa mandiri—tanpa bantuan Logan, tanpa banyak orang. Tapi ini berbeda. Inilah ujian terberatnya.Pikiran tentang Logan kembali menghantui. Bayangan wajahnya muncul di pikirannya, tetapi segera dia buang jauh-jauh. Tidak ada gunanya. Tidak ada gunanya menunggu sesuatu yang tidak pasti.Hingga akhirnya, sebuah teriakan keluar dari tenggorokannya. Sebuah teriakan yang penuh keputusasaan, namun di saat yang sama, penuh dengan kekuatan yang belum pernah dia rasakan sebelumnya. Dengan setiap tarikan napas ya
“Em, sepertinya begitu.” Berusaha tidak memperlihatkan kekesalan beserta kekecewaan, Red mengangguk, merelakan istrinya pergi menemui kakaknya. Mina sudah melepas diri sepenuhnya dari Red, tapi kemudian mengingat Zara. Didekatinya Red dengan cepat sambil berkata, “Jaga dia. Ingat, bayi kita ada padanya. Pastikan semua yang dia butuhkan terpenuhi. Andai kau keberatan, beritahu aku.”Red mengangguk, merebut wajah Mina sambil dihadiahkan sebuah ciuman kilat.Red menahan napas sejenak setelah bibirnya meninggalkan Mina. Matanya menelusuri wajah istrinya, mencoba menghafal setiap detail sebelum harus melepaskannya lagi—meskipun ini bukan pertama kalinya.“Pergilah,” katanya akhirnya, suaranya terdengar datar, tapi genggaman di pinggang Mina sedikit lebih erat sebelum dia benar-benar melepaskan.Mina menatap si suami pertama sejenak, seperti ingin memastikan semuanya baik-baik saja, lalu akhirnya berbalik, meninggalkan Red seperti biasa.Red menatap punggung Mina yang menjauh. Berat di dad