“Gini loh, gini, Nita! Masa kerjaan begini saja kamu enggak becus? Mana masakan satu pun belum ada yang mateng. Aduh, punya mantu kok lemot banget, ya?” omel Ibu Mertua pagi itu.
Bukan! Bukan aku yang diomeli, sebab saat ini aku hanya duduk santai di kursi yang berlawanan dengan wanita kurus bernama Nita itu. Tidak ada satu tumpuk sayur pun di depanku, apalagi pisau serta talenan untuk memotong sayur.
Kedua tanganku bersih, jauh dari bau bawang apalagi amis ikan. Kuku-kukuku juga berkilauan, karena tidak pernah mengerjakan pekerjaan rumah selama menjadi menantu ibu mertua.
Tapi berbeda dengan Nita, wanita kurus yang sudah lebih dulu menginjakkan kaki di rumah ini, diperlakukan layaknya pembantu. Lihat saja, bagaimana lelahnya dia sejak pagi, mencuci piring, menyapu kemudian memasak. Namun, tidak pernah sekalipun kata-kata keluhan meluncur bebas dari bibirnya yang tipis.
“Nita ... ini gimana ini? Ikannya kamu cuci kok masih ada darahnya? Buta, ya?” lanjut ibu mertua seraya menerawang bagian perut ikan bandeng.
Wanita berusia enam puluh tahunan yang rambutnya telah memutih sebagian, dengan gaya boob serta setelannya yang selalu sama itu tidak henti-hentinya memarahi Nita. Sakitnya, Nita tetap tidak membantah. Diturutinya semua perintah ibu mertua dengan sukarela.
“Biar Gina aja, Bu?!” tawarku. Kasihan juga jika Nita yang terus bekerja.
“Eh ... eh, nggak usah, Gin! Kamu duduk aja di situ, ya? Nanti Teguh pulang kamu masih cantik dan wangi.”
Berbeda bukan respons ibu mertua? Hal itulah yang membuatku muak berpijak di rumah ini. Padahal, bukan aku yang tersiksa, bukan aku juga yang ditindas ibu mertua. Namun, aku tidak tega, jika wanita sebaik Nita akan terus bekerja keras di bawah telapak kaki ibu mertua.
“Kita sewa pembantu saja, Bu?!” tawarku lagi.
Ibu mertua terlihat melotot. Mungkin, khawatir jika menyewa pembantu, maka uang yang berkumpul di rekeningnya akan berkurang.
“Aku yang bayar, Bu,” lanjutku santai.
Sudah tahu benar karakter dari wanita ini, sebab itulah, aku tidak akan ambil pusing lagi. Rencana menyewa seorang pembantu di rumah bukanlah untuk ibu mertua, melainkan semata-mata hanya untuk Nita, mengurangi bebannya di rumah terkutuk ini.
“Nggak usah, Gin! Kamu kan sudah banyak transfer Ibu uang. Kalau kamu keluar uang lagi, Ibu jadi enggak enak. Mending, uangnya kamu kasih Ibu saja, hehe.”
“Aku sudah transfer Ibu bulan ini, kok. Dua juta setengah ya, Bu?” sahutku santai.
Aku mulai melirik ke arah Nita, wanita yang masih menundukkan wajah, menatap talenan yang kosong. Mungkin, Nita malu denganku, atau juga malu dengan nasibnya sendiri.
“Loh, kok?” Ibu mertua mendekat. Tidak terima dengan jumlah yang aku berikan.
“Maaf Bu ... mulai sekarang aku kasih dua juta setengah saja. Enggak lima juta lagi. Bukan kewajibanku nafkahin ibu dan rumah ini, tapi kewajibannya Bang Teguh dan Bang Willy— suaminya Nita,” tegasku pada ibu mertua.
Mendengar ucapanku barusan, wajah ibu mertua berubah pucat. Terlihat olehku juga, bagaimana ibu mertua mengepal tangan, mungkin ingin melayangkan satu bogem mentah ke arahku, sama seperti yang selama ini dia lakukan pada Nita.
Tapi aku, tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Akan kulindungi Nita sebagaimana aku melindungi diriku sendiri. Wanita itu, tidak boleh lagi terluka lebih dari ini.
“Uang dua juta setengahnya lagi, akan kuberikan sebagai gaji pembantu di rumah ini, Bu. Aku akan mencari pekerja, biar Nita dan aku bisa berleha-leha. Lagipula, kami itu menantu di rumah ini, bukannya pembantu, bukan juga gudang uang buat ibu,” tegasku lagi.
Aku beranjak dari duduk, memutari meja makan yang juga dibeli dari uang pemberianku. “Bangun kamu, Nit!”
“Mbak ... ini belum selesai, nanti ....”
“Bangun saja, Nit. Hari ini, biar kita makan pesan antar. Kamu pilih mau makan apa! Mbak yang akan bayar.”
Segera, aku menarik tangan Nita, menyeret paksa wanita ringkih itu hingga terseok-seok mengikuti. Tidak lagi kuperdulikan ibu mertua yang sibuk mengomel-ngomel di sana, di dapur yang masih berantakan.
“Hei ... mantu durhaka kamu, Nita!” Malah Nita yang kena maki.
——
Kutepis sementara kekesalan terhadap ibu mertua. Hal paling penting saat ini adalah, menyusun strategi agar Nita bisa diperlakukan sama denganku, serta ibu mertua yang berhenti menggerogoti uang-uangku.
“Mbak ... jangan begini?” protes Nita. Meski sebuah protes sekalipun, suara Nita begitu lemah. Tidak ada setitik tenaga pun terdengar dari ucapannya itu.
Ya ampun, Nita! Kenapa nasibmu buruk begini?
“Mbak, besok-besok ibu akan lebih kejam sama aku. Mbak jangan tentang ibu demi aku. Aku ikhlas, Mbak.”
“Ikhlas?” Aku memekik cukup keras. Tidak perduli jika ibu mertua mendengarnya. Kamarku dan Bang Teguh, cukup dekat dengan dapur dimana ibu mertua berada.
“Aku senang, Mbak. Asal bisa sama Bang Willy di sini, aku sudah senang.”
“Nita! Kamu ini kenapa, sih? Kenapa membiarkan orang lain menginjak-nginjak dirimu, hah?”
“Karena ....” Nita berhenti berbicara. Dia menatap lantai kamarku dengan sorot matanya yang sedih.
“Nita enggak punya uang milyaran kayak Mbak Gina,” lanjutnya yang membuat batinku tertekan.
“Gina ... Gin? Bukan pintunya?” Kudengar ibu mertua menggedor-gedor pintu kamarku.
Pembicaraanku dengan Nita sejenak terhenti. Wanita itu terlihat bingung, seperti panik hingga melirik sana sini.
“Kenapa, Nit? Jangan takut, ada Mbak di sini.”
“Mbak temui ibu, jangan bilang-bilang kalau Nita masuk ke sini. Ibu enggak izinin soalnya,” jelas Nita seraya bergerak menuju kamar mandi dalam.
Ditutupnya rapat-rapat pintu kamar mandi, lalu memutuskan untuk bersembunyi di sana. Nyess hatiku melihat bagaimana Nita ketakutan setiap kali melihat ibu mertua.
“Gina? Kamu di dalam, kan?”
Kuabaikan Nita sementara demi menghadapi ibu mertua yang kejam itu. Perlahan, aku menekan knop pintu meski rasa dongkol bersarang. Lalu dibaliknya, ibu mertua menyembul datang dengan sesuatu di tangannya.
Paket! Ya itu pasti paket. Ibu mertua pasti baru selesai membeli sesuatu dari toko online.
“Gin ... em, ini paketnya. Kamu pegang uang enggak? Lima ratus ribu saja, Gina. Ini COD, Ibu enggak pegang uang sama sekali. Mas kurirnya nungguin di depan.” Taktik baru ibu untuk menggerogotiku.
Sudah bukan kali pertama ibu mertua belanja COD, lalu memintaku untuk membayarnya dengan sejuta alasan dan jurus yang sudah dia persiapkan. Padahal, jelas-jelas jika di dompetnya selalu tersedia uang hingga jutaan jumlahnya. Memang dasarnya, ibu mertua hanya mau barang gratisan.
“Maaf, Bu ... enggak ada. Habis!” jawabku dingin.
“Loh, masa sih? Kan uangmu banyak, Gin.”
“Iya, banyak tapi di rekening, Bu. Aku enggak megang uang cash lagi. Semua serba debit.”
“Terus ini gimana, Gin?”
“Coba Ibu cek di dompet Ibu, kali aja keselip tuh lima ratus ribu. Bisa buat bayar CODnya.”
Wajah ibu mertua kembali memerah. Baru sesaat lalu, dirinya naik pitam karena aku yang menentangnya dan membela Nita. Sekarang, naik lagi berkat penolakanku membayar belanjaan ibu mertua.
“Sudah dulu, Bu? Aku mau ke gudang. Oh iya, Nita juga kuajak. Urusan makan siang dan malam, nanti aku pesankan sekalian,” ujarku terakhir kali pada ibu mertua.
— Bersambung
Follow aku di: @bemine_3897
“Jadi ini gudangnya, Mbak Gini?” Nita menatap takjub bangunan tiga lantai yang telah menjadi sarang uangku selama ini.Bangunan luas yang kubeli dari hasil menabung, penjaja barang dagangan selama bertahun-tahun, hingga merambati bisnis online tujuh tahun lalu itu, berdiri megah di depan kami berdua. Dijejeri oleh beberapa motor yang merupakan milik para pekerja. Serta satu unit mobil berjenis Range Rover yang bersembunyi di bagasi.Khusus kendaraan besi yang besar itu, adalah milikku sendiri. Aku sengaja menyimpannya di gudang agar ibu mertua tidak tahu tentang hal ini. Bukannya bersikap pelit, tetapi satu unit mobil berjenis Jazz yang kubawa pulang, lebih sering dipakai ibu mertua dibandingkan olehku sendiri. Digunakannya untuk pamer kesana kemari, jika dirinya telah berhasil mencapai puncak kejayaan dalam hidupnya.Tidak apa-apa jika aku dianggap pelit sekalipun. Nyatanya, selama dua tahun menikahi Bang Teguh, aku telah menggelontorkan uang dalam
“Baru pulang kamu?!” hardik ibu mertua tepat setelah Nita menginjak lantai rumah.Aku yang baru memarkirkan mobil di garasi, menghela napas dalam-dalam. Entah bagaimana caranya menyelamatkan Nita dari kekangan ibu mertua, jika dirinya saja tidak mau berusaha lepas darinya.“Enak ya ... dibelain Gina?! Kamu deketin Gina sekarang biar kecipratan kaya, gitu?” Lagi ... ibu mertua tanpa henti mencibir. Bukan! Lebih tepatnya menghina. Suaranya menggema jelas hingga ke teras rumah. Entah apa kata tetangga setiap mendengar keruhnya suasana rumah ini. Raungan tanpa henti dari ibu mertua seolah menjadi melodi yang akan terus berputar.Kulangkahkan kaki, menyusul Nita agar ibu mertua sedikit melunak padanya. Namun, kutemukan sesuatu yang mencengangkan saat ini.Pria yang kunikahi dua tahun lalu itu, sudah duduk santai di sofa, menikmati makanan yang kupesan melalui ojek online. Sedang ibu mertua, masih saja melanjutkan marah-marahnya.
Setelah menolak permintaan Bang Teguh untuk membeli tanah seharga 2 Milyar itu, ibu mertua mulai menatapku dengan sorot mata penuh kebencian seperti yang selama ini diberikannya pada Nita. Tidak cukup sampai di situ, intonasi bicara ibu mertua berubah drastis, penuh cibiran dan ketidaksukaan.Aku yang merasakan dengan jelas perubahan itu hanya bisa berpura-pura acuh. Karena, aku yakin benar jika semua yang dilakukan ibu mertua, hanya untuk menekanku, agar segera menyetujui keinginan putranya, membeli tanah dengan harga yang fantastis lalu mengganti namanya atas nama Bang Teguh. Sudah sinting hidup ini! Entah kenapa dulu, kuterima lamaran pria ini.“Gin!” Seruan dari suara Bang Teguh memanggil namaku.Hampir saja, aku duduk bengong di meja makan. Makanan yang sudah kuambil hanya tercampur aduk di piring. Tidak sesuap pun masuk ke dalam tenggorokan, apalagi jatuh ke lambung yang sudah daritadi meronta minta bagian.“Enggak usah dipanggil,
Pagi ini, setelah memeriksa gudang dan pesanan pembeli, aku menyegerakan diri melangkah menuju rumah sakit tempat dimana mertuaku dirawat. Menggunakan jasa ojek online, aku menumpang hingga tiba di gedung bertingkat megah yang dipilih ibu mertua sebagai tempatnya berobat.Sejenak, aku menghela napas kala melihat bagaimana bagusya bangunan ini. Rumah Sakit Budiantara namanya. Salah satu perusahaan jasa yang menawarkan fasilitas mewah dan berkelas, tentunya dengan harga yang tidak ramah di kantong.Aku bergegas menuju ruang tempat di mana ibu mertua dirawat, tentunya sesudah membelikannya sekeranjang besar buah-buahan bagus dan segar dari toko buah yang berjalan beberapa meter dari rumah sakit. Aku tidak mau dianggap menantu celit dan kikir, hanya karena menghadiahinya buah-buahan dalam jumlah terbatas. Lagipula, Bang Teguh juga yang akan menikmatinya nanti.Baru langkah pertama memasuki lantai dasar, aroma menusuk dari alkohol dan obat-obatan menyeruak di rongga
Aku segera kembali ke rumah Bang Teguh dengan menyewa ojek yang mangkal di dekat rumah sakit meski kusadari beberapa kali ponsel berdering nyaring, mendendangkan panggilan dari suamiku sendiri. Mungkin, pria itu tidak menyangka jika aku benar-benar akan menentang dirinya dan memilih pulang dibandingkan menemui ibu mertua yang sibuk berpura-pura sakit.Begitu tiba di depan pagar, ojek yang telah menempuh jarak cukup jauh untukku itu meminta tebusan mencapai lima puluh ribu. Aku sedikit mengernyit awalnya, lalu mengeluarkan uang seratus ribu yang berjubel di dalam dompet dan memberikannya padanya.Terlihat dia yang mulai merogoh kantong jaket serta sakut celana. “Enggak ada kembaliannya, Mbak. Uang pas aja. Si Mbak pelanggan pertama,” pintanya santun.Aku mengulas senyum, kembalian sebesar itu memang tidak lagi terasa banyak sejak Rabbi memberi harta yang berlimpah. “Buat Bapak aja kembaliannya. Semoga bermanfaat.” Lantas, aku segera mendor
“Susah ya, ngomong sama menantu kayak kamu. Belagu!” Ibu mertua mencebik dengan keras, kemudian dia berusaha bangkit dari kursi yang didudukinya saat datang tadi.Melihatnya bergerak, aku masih diam membisu. Kenyataan pahit yang ditorehkannya selama ini membuatku enggan membantu.“Gin! Kamu diam aja di situ?” seru Bang Teguh tidak terima.“Istrimu tidak tahu diri, Guh! Sudah untung kamu mau nikah sama dia, kalau enggak jadi perawan tua sekalian!” Lagi ... ibu mertua mengumpatiku.“Sudah, Bu ... jangan marah-marah lagi, biar Teguh yang ngajarin Gina nanti. Sekarang, Ibu fokus istirahat dulu, ya?” pinta Bang Teguh tanpa beranjak dari posisinya saat ini.Aku menyunggingkan senyum, ucapan serta perbuatannya sama sekali tidak sinkron. Perkataan pria itu seolah-olah telah menempatkan ibu mertua di atas tahta, namun nyatanya memapahnya ke kamar saja tidak pernah dia dilakukan.“Nita!” Ibu
“Abang mau cerai?” tantangku sekali lagi.Kutahan sekuat hati selaksa air mata yang mulai membentuk di pelupuk. Tidak boleh sekalipun beningnya jatuh untuk Bang Teguh dan ibu mertua yang dengan mudahnya menoreh luka di batinku.“Eh .. siapa yang mau cerai, Gin!”“Itu, ibu ngomongnya gitu!” sambutku seraya mendelikkan mata dengan sengaja ke arah ibu mertua.“Bu ... Ibu ngomong apa, sih? Siapa yang mau bercerai?” Bang Teguh ikut melirik ibu mertua.Aku tersenyum tipis agar tidak terlalu kentara, kemudian memicingkan mata demi melihat sepuasnya perubahan raut wajah dari ibu mertua yang ditentang oleh putra kesayangannya. Inilah Bang Teguh yang sesungguhnya, demi menghindar dari perceraian yang memberinya kerugian, dia lebih memilih menbantah ibu mertua dibandingkan sebelumnya.“Abang pakai mobilnya, ya? Panas banget Gin.” Bang Teguh kembali mengemis. Aku muntab, lantas
“Maksudnya apa, Bu?” Aku menatap ibu mertua dengan sorot mata bingung.Wanita paruh baya itu menyunggingkan bibirnya, mungkin merasa malas saat mendengar suaraku.“Apa ini, Nit? Kwitansi apa ini?” tanyaku pada Nita seraya berharap wanita itu akan memberiku penjelasan. Meski demikian, Nita menggeleng, lantas menundukkan wajah. “Nita nggak tahu, Mbak.”“Ini, semuanya hutang-hutang Teguh, Mbak! Saya mau dibayar sekarang karena jatuh temponya udah terlalu lama. Gimana ini, saya juga butuh uang, masa sudah berbulan-bulan enggak balik uang saya?” jelas pria berkulit legam.Aku yang baru saja mendapatk an jawaban atas alasan dari kehadirannya lantas membelalakkan mata kembali. Kemudian, memandangi satu per satu lembar kehijauan yang dibubuhi tanda tangan milik Bang Teguh. Jumlah yang tertulis di atasnya tidak main-main, dan jika ditotal maka mencapai tiga puluh juta rupiah.“Saya berani pinjamin
Ting ... ting ... ting ....Suara adukan teh menjadi nada pengiring di antara aku dan ibu. Wanita yang berusaha menguatkan dirinya usai diterpa kenyataan itu terus memaksa untuk membuatkan minum.Deru napasnya terdengar lebih jelas dari pada biasanya sejak tadi. Aku sadar, umur ibu dan bapak kian bertambah setiap harinya. Resah yang dirasakan tidak lagi soal ikan yang terlalu mahal atau uang yang tak pernah cukup hingga hari esok, melainkan tentang anak-anaknya, terutama aku yang belum lama ini bercerai.“Ya-yakin mau jadi istrinya?” Ibu terbata-bata saat menanyaiku. Kalimat yang mungkin ingin ditanyainya sejak pertama kali melihat Mas Zildi.Wanita itu memutuskan untuk diam sesaat. Cangkir-cangkir di depannya dibiarkan kosong, padahal Mas Zildi sudah duduk di ruang tamu selama beberapa waktu.“Bu ... kemarin, Ibu keberatan karena Gagah tidak punya pekerjaan yan
Aku memastikan sekali lagi pintu rumah sudah terkunci rapat sebelum meninggalkan hunian. Sesuai dengan janji semalam, aku akan mengantar Adinda menuju kampung halamannya meski hati kecil ini dongkol luar biasa.Setelah subuh tadi, salah satu admin mengantarkan mobil Jazz merahku yang manis. Sebab, beberapa jam usai kami berangkat kemarin, Range Roverku dijemput oleh salah satu pekerja di bengkel Mas Zildi untuk dipoles kembali. Walau nantinya akan utuh seperti semula, nyatanya tetap tidak terasa sempurna.Terkadang, aku ingin meluapkan hal ini pada Adinda, yang sedang duduk diam di teras rumah seperti orang kehilangan jiwanya. Tetapi sekali lagi kutegaskan di dalam hati, jika Adinda juga korban dari kekejaman Bang Teguh dan ibunya. Dia tidak bersalah, hanya dipaksa keadaan untuk melakukan sesuatu demi menyelamatkan bayinya.“Berangkat sekarang, Din?” tawarku sebab Adinda masih diam di kursi. Dia memandang ke
Aku berseru, kemudian berjalan secepat mungkin menuju Adinda. Wanita yang masih menyusui bayinya itu terlihat tidak mengerti dengan teguranku barusan. Dia sibuk meninabobokan si kecil, sesekali menggodanya dengan botol susu meski sudah mendengar teriakanku sekalipun.Di depan netra ini, Adinda menyajikan pemandangan yang membuat jakun pria manapun akan bergetar. Adinda menyusui bayinya, membiarkan bagian dari tubuhnya yang berharga itu terlihat di depan siapapun. Tidak ada sehelai kain pun yang digunakannya untuk menutupi, setidaknya menghalangi, mengingat ada Mas Zildi di sini.Lekas aku berdiri di depan Adinda, menghindarkan Mas Zildi dari pemandangan yang mampu menodai matanya itu. Berulang kali aku menegur Adinda, geram sekaligus kesal. Bagaimana bisa dia bersikap begitu sembrono di depan seorang pria walau sedang dalam keadaan sulit sekalipun?“Mau pamer kamu, Din? Hah?” sergah Anha tanpa mau menanti.Dia menyerang
Proses pemeriksaan berjalan dengan lancar, meski awalnya perilakuku yang terkesan kasar karena merusak pintu rumah Bang Teguh sempat disinggung oleh pihak kepolisian. Tidak hanya mengenai adegan pengrusakan pintu itu, namun semua detail yang kutahu dan Adinda ingat, kami jabarkan tanpa cela. Semuanya harus berakhir di sini, tidak boleh lagi ada korban berikutnya yang muncul akibat dendam yang bersarang di hati Bang Teguh.Setelah berjam-jam berlalu, kami keluar dari kantor kepolisian dengan perasaan lega. Tugasku hanyalah menyerahkan rekaman CCTV dan bukti mobil yang tergores ke pihak kepolisian. Begitu juga dengan Adinda, semua kesaksiannya akan memperkuat hukuman untuk Bang Teguh nantinya ... semoga.Pamit dari kantor kepolisian, aku membawa Adinda dan bayinya pulang dengan menumpang mobil Mas Zildi. Wajah Adinda kusam dan lelah, sedang bayinya sesekali merengek tak nyaman dalam tidur.Mas Zildi memberi kami tumpangan hingga berhenti di sebua
“Adinda!” Bang Teguh menjeritkan nama wanita yang telah memberinya bayi mungil itu.Kami yang sedari tadi menjadi saksi lekas menolehkan wajah. Berharap di dalam hati jika Adinda tidak akan lagi bisa digoyahkan oleh pria yang telah menghancurkan hidupnya, juga berdo’a agar Adinda tidak lagi dibohongi oleh Bang Teguh.Aku menanti harap-harap cemas, wanita yang terlihat begitu bimbang didekat istri Pak RW itu. Dia memeluk bayi mungilnya yang terus merengek lapar. Bahkan bibir bayi itu mengering, tubuhnya pun pucat dan kecil. Aku yakin benar, si mungil yang dilahirkan Adinda tidak mendapatkan gizi yang cukup. Parahnya lagi, saat Adinda melepas dekapan bayinya, kutemukan sesuatu yang mencengangkan. “Adinda!” seruku sebelum dia kembali tergugah dengan suaminya yang sedang menanti akhir kisah.Mas Zildi serta dua wanita dewasa lainnya pun menoleh. Mereka mengikuti arah gerakku yang mencoba membuka selimut lusuh bayi mala
Adinda, ibu mertua dan Bang Teguh, mereka ada di dalam sana. Aku buru-buru mendekat, mengintip dari jarak yang begitu tipis agar bisa mendengar dengan jelas apa yang mereka bicarakan hingga menimbulkan bunyi yang begitu keras. Sesuatu terlihat melayang, piring keramik menyentuh dinding dan terbelah.“Abang?” Adinda kutemukan merintih di lantai.Dia bersimpuh di depan Bang Teguh dan ibu mertua. Bayi kecilnya ternyata dipeluk oleh wanita paruh baya gembrot yang sibuk tersenyum sinis pada Adinda.“Kamu itu bodoh, ya? Aku sudah bilang kan, setiap hari kamu harus kerja di sana. Hancurkan semua barang-barangnya Gina biar dia bangkrut!” balas ibu mertua yang ternyata disetujui Bang Teguh.“Bu ... kemarikan bayiku. Dia lapar, Bu ... hari ini belum nyusu sama sekali,” rintih Adinda dengan tangan terulur.“Enak saja, kamu itu enggak kerja hari ini. Artinya kamu itu lebih mendukung Gina d
“Aku akan mengecek CCTV!” seruku usai mengusaikan tangis.Kuredam semua kekagetan dan kegelisahan ini, lalu, berlari menuju ruang admin yang memiliki akses CCTV. Untungnya, aku sempat memasang benda mahal itu demi menghindari kejadian tak mengenakkan, walau belum mempekerjakan sekuriti di bagian depan.Begitu melangkah, kudapati Anha yang terkejut dengan sikapku. Dia mengikuti dari arah belakang bersama Mas Zildi dan si kecil Anggrek. Walau mereka tak saling kenal, meski belum pernah bertemu secara langsung, tapi keduanya seayun langkah saat mengejarku. “Buka rekaman CCTV di garasi!” Aku segera memerintah tiga pria yang duduk di kubikelnya.Mereka terlihat begitu bingung dengan seruan yang begitu tiba-tiba, namun salah satunya lekas berganti komputer. Kuikuti dia dengan perasaan berdebar, berharap jika CCTV merekam kehadiran dari orang yang telah melakukan hal buruk ini
“Kalau Adinda datang ke gudang, jangan izinkan dia masuk. Bawa ke kantor!” kataku pada para pekerja yang sudah berkumpul di gudang pagi ini.Mereka mengangguk setuju begitu mendengar perintah singkat ini. Sebagian terlihat menaruh simpati atas apa yang terjadi di gudang berkat kepercayaan yang kuberikan pada wanita itu, sebagiannya lagi terlihat acuh dan tak terlalu peduli.Ketiga adminku yang terpaksa bekerja dua kali lebih keras dibanding sebelumnya memberi laporan semalam, jika sebagian permasalahan tidak menemukan titik terang, hingga harus melibatkan pihak penengah dari marketplace tempat kami mencari rupiah.Baiklah ... tidak masalah. Wajar dan sangat dapat dimaklumi jika para pembeli merasa kecewa dengan barang-barang yang mereka terima.“Lalu Bu, bagaimana dengan keluhan itu?” Bu Mala menyahuti. Wajahnya yang sama lelahnya denganku melongok di antara kerumunan para pek
Usai menerima Adinda bekerja di gudang, aku bersikap seperti biasa. Membiarkan semua hal berlalu tanpa memberi peduli meski hanya sedikit. Termasuk soal Gagah yang pada akhirnya tidak lagi berusaha menghubungiku. Dia berhenti bekerja sebagai agen dari distributor langganan gudang tanpa alasan yang jelas, kemudian menghilang tanpa jejak.Dari karyawan yang menggantikan Gagah aku tahu satu hal, Gagah minta dipindahkan ke cabang yang berbeda karena alasan pribadi. Dan satu poin penting lain yang membuatku tercengang, menurut pria yang mengambil alih pekerjaan Gagah, pria itu sedang menjalin kedekatan dengan seorang gadis muda yang dikenalkan ibunya. Mereka berniat menikah, dan Gagah mulai membangun karir di daerah tempat gadis itu tinggal.Aku terdiam saat mendengar kisah itu, tidak pernah mengira jika Gagah yang mendeklarasikan perasaannya padaku begitu dalam bisa berpaling dalam waktu yang sangat singkat. Hal ini, membuatku bertanya-tanya, tentang kebenaran