"Sayang...kok kamu tau, kalau aku di sini?" tanya Rasya sambil mensejajarkan langkahnya di sisi Nisa.
"Feeling aja, orang kota kayak Mas Rasya 'kan gak mungkin jalan-jalan ke sawah!" jawab Nisa asal.Rasya tersenyum mendengar tebakan Nisa "Cie...cie... ternyata feeling-nya, mantul banget ya? Kayaknya udah mulai jatuh cinta nih...!" ucap Rasya menggoda.Nisa melototkan matanya pada Rasya, tak menyangka, jika sosok yang nampak mendominasi selama ini, bisa mengeluarkan kata-kata narsis seperti itu."Matanya jangan digedein donk sayang, 'kan jadi makin cantik, ntar aku cium ya?" ucap Rasya lagi sambil tersenyum."Idih...Mas Rasya apaan sih, kok baru kumpul beberapa saat sama ibu-ibu, udah pinter ngegombal gitu!" ucap Nisa kesal."Hahaha.....ternyata kumpul sama Ibu-ibu, gak buruk-buruk amat ya, sayang!" celetuk Rasya. Selama ini, Rasya tak pernah merasakan kedekatan sama siapapun, semenjak kematian kedua orangtuanya.Hanya p"Kakek aku itu dari desa ini juga, Nisa..! Dan rumahnya dulu di atas bukit sana!" jawab Rasya sambil menunjuk ke arah bukit.Nisa nampak kaget, dia ingat jika pemilik dari rumah yang ada di bukit itu, adalah seorang laki-laki tua, tapi masih terlihat segar, yang dikenal warga mempunyai sifat dermawan dan sangat baik.Sekelebat bayangan masalalu, terlintas di benak Nisa, ia teringat pada sesosok pemuda yang pernah ditolongnya saat kecelakaan di pinggir jalan, juga mengatakan jika kakeknya adalah penghuni rumah di bukit itu.Nisa langsung mengingat isi kotak yang ia lihat sebelumnya, "Bukankah pemuda itu, dulu membalas pertolonganku dengan memberi sebuah jam tangan dan sebuah gelang yang berinisial RM? Apakah pemuda itu adalah Mas Rasya, atau ada cucu lainnya dari Kakek itu?" batin Nisa sambil menatap intens Rasya.Pikiran Nisa berkecamuk, ia mencoba mengingat kembali raut wajah pemuda yang ada dipikirannya, dan membandingkan dengan wajah Rasya di d
Setelah mengingat kembali tiap janji dan kata yang terucap, membuat Nisa semakin merasa bersalah."Tapi...!"Nisa tak sanggup melanjutkan kata-katanya. "Kata tapi, adalah bentuk dari sebuah keraguan, apakah kamu masih menyimpan rasa itu dalam hatimu, Nis?" tanya Rasya menatap lekat manik mata Nisa yang hitam pekat.Nisa menggelengkan kepala, tapi rasa bersalah, seolah telah mengkhianati pria yang menantinya, membuat Nisa menangis lagi.Rasya langsung menghapus airmata Nisa, "Apa yang membuat hatimu sedih, Nis? Apakah rasa ragu, atau rasa terpaksa membuat kamu harus meneteskan airmata suci ini?" tanya Rasya lembut."Aku malu, Mas...!" ucap Nisa dengan bibir bergetar."Malu...?" Rasya mengernyitkan alisnya bingung."Apakah karena statusmu, hingga rasa malu itu hadir?" tebak Rasya yang tau dengan sisi lembut Nisa, yang tak ingin menyakiti hati pasangannya.Nisa menganggukkan kepala, ia tak sanggup menatap lurus mat
"Hahaha, Mas Rasya, Mas Rasya...! Sabar ya sayang, jika sudah waktunya, kita gak bakal tidur terpisah lagi, kok!" jawab Nisa, yang langsung membuat pundak Rasya merosot."Yaaaa....kenapa harus tidur terpisah sih, Nis! 'Kan jauh dari Ayah!" protes Rasya."Bukankah Mas Rasya ingin mengajak, dan membimbingku untuk menuju Jannah-NY? Jika sekarang aja Mas Rasya udah ngajak maksiat, bagaimana kita akan mendapatkan Jannah-NY, sayang!" ucap Nisa memberi pengertian pada pria di depannya, yang sekarang sudah berubah status menjadi calon suaminya."Astaghfirullah, maaf sayang!" ucap Rasya menyadari kesalahannya."Gak apa-apa! Mas Rasya sabar, ya? Malam ini, Mas Rasya tidur di sini, aku akan tidur di rumah Mbok Surti, di sebelah!" jawab Nisa tersenyum manis."Lho...kamar 'kan ada dua sayang, kenapa gak beda kamar aja sih?" protes Rasya kembali."Iya... walaupun beda kamar, tapi tetap satu atap 'kan, Mas! Aku gak mau kita khilaf, yang akhirny
Indra seperti sapi yang dicucuk hidungnya, tanpa bertanya lagi, dia langsung menanda tangani berkas."Apa, Ibu dan bayi akan baik-baik saja, Dok?" tanya Indra sambil menyodorkan kembali berkas yang telah ia tanda tangani itu."Melihat kondisi pasien, kita sebagai tim medis, hanya bisa memastikan untuk menyelamatkan salah satunya, tapi semua tergantung kehendak yang di atas!" ucap Dokter wanita tersebut datar.Mendengar jika hanya salah satu yang bisa diselamatkan, Indra merasa seolah kepalanya ditimpa batu besar."Saya mohon Dok, tolong usahakan sebisa mungkin, agar keduanya bisa terselamatkan! Saya tidak mau kehilangan dari salah satunya!" ucap Indra bergetar.Di saat seperti ini, Indra baru menyadari, ternyata Dinda telah ada di dalam hatinya. Ia tak ingin mengulangi kesalahan di masalalu, di mana ia mementingkan orang tuanya, hingga menyebabkan ia berpisah, dengan wanita yang dicintainya, dan berada jauh dari putranya.Dokter
Tubuh Indra merosot jatuh ke lantai, hancur sudah perasaannya mendengar bahwa Dinda mengalami koma.Sebelum menjalani operasi, Dinda memohon pada tim dokter, agar mengutamakan keselamatan putrinya, walau harus mengorbankan keselamatannya.Para dokter telah mengatakan, jika itu terlalu berisiko, namun Dinda tetap kekeh agar bayinya diselamatkan. Akhirnya dokter menyetujui permohonan pasien.Namun karena kondisi pendarahan yang dialami Dinda sebelumnya, membuat ia mengalami koma, sesaat setelah proses operasi selesai."Aarghhhh....! teriak Indra sekencang mungkin, ia mencoba melepaskan beban di hatinya, yang serasa menghimpit paru-parunya, hingga membuat ia merasakan sesak tuk bernapas."Maaf Pak, di sini lingkungan Rumah Sakit, di mana pasien butuh ketenangan, jadi silahkan Bapak keluar, dan berteriak sepuasnya di luaran sana!" ucap seorang perawat yang mendengar teriakan Indra."Karena teriakan Bapak sebelumnya, sangat mengganggu
"Maass, bangun donk! Sholat subuh dulu, nanti baru lanjut lagi, tidurnya!" Nisa menggoyang-goyangkan tubuh Rasya, yang paling susah dibangunkan.."Hhmm....lima menit lagi sayang!" jawab Rasya."Ini udah kelima kalinya lho, Mas! Dari tadi lima menit, lima menit mulu!" jawab Nisa sewot."Hhoaaaammm.....iya iya! Ini Mas bangun!" ucap Rasya sambil membuka kelopak matanya, yang masih terasa berat."Buruan, Mas! Waktunya hampir habis, ini!" seru Nisa lagi, sambil merapikan bagian tempat tidur yang tak tertimpa tubuh Rasya."Sayang, habis sholat! Mas boleh minta jatah lagi, nggak?" ucap Rasya semangat sambil memandang ke arah Nisa."Maaaasss...! Giliran jatah, aja nggak pernah kendor! Sana, sholat dulu!" jawab Nisa sewot."Hehe....ya, kalau jatah itu, nggak boleh kendor, sayang! 'Kan lagi kejar target!" ujar Rasya dengan wajah mesumnya.Nisa memutar bola matanya mendengar jawaban Rasya, "Denger ya, Mas! Kalau sampai ke
Kesal, benci, kecewa perasaan Nisa saat ia kembali mengingat orang yang telah mengirim pesan.Tak ingin memikirkan masalalu, Nisa kembali meletakkan handphonenya dan pergi ke luar.Di meja makan, Nisa melihat suaminya dan putranya, telah duduk menunggunya."Bunda....!" panggil Ahmad."Udah siap semuanya, sayang?" tanya Nisa sambil mencium pipi putranya."Udah, Bun! Tinggal sarapan aja, lagi!" jawab Ahmad tersenyum menampakkan gigi putihnya."Anak Bunda emang pinter, deh..! Tunggu sebentar ya, sayang!" ucap Nisa."Kok cuma Ahmad yang dipuji, Bun! Emang, Ayah nggak pintar, ya?" timpal Rasya di tengah obrolan ibu dan anak tersebut.Nisa dan Ahmad serempak memandang Rasya, dan "Hahahaha....." gelak tawa serempak dari Nisa dan putranya."Ayah cemburu...?" tanya Nisa, yang membiasakan memanggil Rasya ayah, jika di depan Ahmad."Iya Bun, Ayah cemburu, kasihaaaan! Hahaha...!" timpal Ahmad sambil tertaw
"Hmmmph...boleh dicoba! Sebagai orang baru, kamu harus buktikan loyalitas kamu pada saya, baru saya bisa memberikan penilaian!""Baik, Tuan! Karena itu juga adalah tujuan saya, maka saya akan buktikan pada Tuan, bahwa saya adalah orang yang akan mendukung, apapun rencana Tuan, selanjutnya!" janji Jhon sungguh-sungguh."Jack...!""Ya, Tuan!""Kamu beri pasilitas untuknya seperti yang lainnya!" ujar Rasya sambil memandang Jhon."Dan untuk si tua bangka itu! Aku mau, hancurkan setiap bisnis gelapnya, dan ambil alih yang legal!" "Baik, Tuan!" jawab Jack."Dan kamu..!" tunjuk Rasya pada Jhon."Ikuti apapun perintah Jack, karena dia adalah rekanmu mulai saat ini!" "Baik Tuan!" Jhon bangkit dari duduknya, mengikuti rekannya yang sudah berdiri di sampingnya."Satu lagi, Jack!""Apa ada lagi, Tuan!" tanya Jack kembali duduk."Bagaimana dengan dua cecunguk itu!" "Yang satu m