-Kita tidak bisa tahu siapa teman yang baik dan buruk, tapi kita bisa memilih mana yang bisa dijadikan teman yang baik dan buruk-
••Kayana masih terngiang-ngiang dengan apa yang Bima ucapkan. Kayana terus menatap benda yang ada di tangannya. Berkali-kali dia membaca rangkaian huruf yang ada di kertas tersebut."Aahh, aku harus bagaimana?" keluh Kayana lalu terduduk lemas di atas sebuah bangku.Termenung gadis cantik itu di sana. Tatapan nanar kembali menghiasi saat ingatan itu berjalan melintas. Perlahan kedua tangannya memegang kepalanya dan Kayana menggeleng pelan."Adel, kenapa kau melakukan tindakan bodoh?" Isak tangis mulai terdengar mewarnai sekitar. "Tidak kah kau ingat akan janjimu padaku diwaktu itu? Kau bilang akan mengejar impian bersama denganku, tapi kini ...." Kayana terdiam sesaat, tangan kanannya terangkat ke atas dan menyekat air matanya. Kayana mendongakkan kepalanya agar air mata itu tidak kembali meluncur lolos dari tempatnya.Kepala itu kembali menunduk dan kedua bahu tersebut bergerak bergejolak naik turun seiring dengan irama. "Aku tidak bisa menahannya. Aku benar-benar kehilangan sosok sahabat. Sahabat yang setia menemaniku kala aku sedih dan bahagia."Kayana, gadis cantik yang kini duduk sendirian kembali terisak. Air matanya seakan tidak bisa ditahan lagi. Sosok Adelia memang sangat berarti bagi Kayana. Ya, Kayana memang tumbuh di keluarga yang kurang harmonis. Ayah Kayana pergi meninggalkan dia dan Ibunya tanpa alasan yang jelas. Sampai Kayana beranjak remaja pun, sang ayah tidak pernah memberi kabar pada ibunya.***Di kediaman Adelia, tampak Bu Dewi terisak menangis meratapi kepergian sang putri semata wayangnya. Wanita berparas cantik itu duduk di samping jasad Adelia yang terbujur kaku. Saat itu Adelia benar-benar terlihat sangat cantik.Di samping Bu Dewi, terlihat Kayana duduk dengan mengenakan pakaian hitam. Ada beberapa teman sekelas Adelia yang juga datang untuk melayat dan melihat Adelia untuk terakhir kalinya.Bima, polisi muda dan tampan yang diberi tugas untuk menangani kasus Adelia juga terlihat melayat di sana. Mata polisi muda itu selalu tertuju pada sosok Kayana.Pemakaman Adelia berjalan lancar dan para pelayat satu persatu meninggalkan makam Adelia. Kini yang tersisa hanyalah Dewi, Kayana, dan Bima. Air mata masih terus mengalir membasahi pipi Dewi. Sesekali tangan Dewi terangkat ke atas dan menyapu buliran bening itu dengan tisu yang selalu dia pegang dari awal proses pemakaman sampai dengan akhir dari pemakaman Adelia.Bima melangkah mendekati Bu Dewi. "Saya ikut bersedih, tapi Bu Dewi tidak perlu khawatir. Saya akan menangani kasus Adelia sampai terungkap siapa dalang dari kasus ini."Bu Dewi menatap Bima tanpa ekpresi apapun. Namun, pada akhirnya Bu Dewi menganggukkan kepala sebagai tanda jika dia berharap sepenuhnya pada Bima.Bima tersenyum dan beralih menatap Kayana. "Kau masih ingat dengan pesanku kemarin?"Kayana dengan mata masih basah dan sembab membalas tatapan Bima, lalu gadis itu menganggukkan kepalanya. Setelah itu Bima pamit pada Dewi dan melangkah meninggalkan keduanya."Kay ...," ucap Bu Dewi dengan lirih memanggil Kayana.Kayana membalikkan badannya dan menatap wanita yang ada di depannya. Entah dorongan apa, Kayana langsung memeluk wanita itu. Kayana memang sudah menganggap Bu Dewi sebagai ibunya sendiri. Begitu pula sebaliknya dengan Bu Dewi.Dalam pelukan Kayana, bahu Bu Dewi bergejolak naik turun. Wanita itu kembali menangis dan Kayana dengan sabar menenangkannya."Bu Dewi, Anda harus kuat dan tabah. Anda tidak boleh lemah, Adelia pasti akan sedih jika melihat Anda seperti ini," kata Kayana sambil menepuk punggung Dewi.Sesaat setelah Dewi tenang. Dewi merenggangkan pelukannya. Wanita itu menatap Kayana dengan begitu dalam. Tangannya yang lembut membelai surai hitam Kayana. Dewi tersenyum dan mengusap pipi Kayana. Kayana menangkap kerinduan yang teramat sangat dari mata Dewi. "Kay, Ibu minta tolong ya. Kau harus sering-sering mengunjungi Adelia, agar Adel tidak sedih dan kesepian."Kayana tersenyum, "Itu pasti, Bu."***Pagi yang gelap karena mendung, tapi bukan berarti hujan akan turun. Tampak riuh dan ramai di kelas Kayana. Satu persatu murid yang dicurigai oleh Bima dipanggil untuk diinterogasi. Sarah, Jehan, dan Freya lolos dari interogasi tersebut karena mereka mempunyai alibi yang cukup kuat. Hal ini membuat Kayana mengerutkan alisnya."Bagaimana bisa?"Memang pada waktu kejadian ketiga orang itu berada di dalam kelas. Mereka bertiga sedang duduk di pojokan bercanda bersama."Kay!" teriak salah seorang murid laki-laki. Kayana menoleh ke arahnya. Hendy berjalan mendekati Kayana yang tengah duduk menyandar pada bangku kayu."Ada apa?" tanya Kayana."Kau dipanggil Bu Ratna," jawab Hendy."Bu Ratna? Ada apa, ya?" ujar Kayana."Aku tidak tahu. Cepatlah pergi ke kantor guru," kata Hendy menyuruh Kayana untuk segera menemui Bu Ratna.Kayana pun bergegas melangkah meninggalkan kelasnya untuk menuju ruang guru. Jehan sempat menyenggol lengan Sarah dan menggerakkan dagunya. Sarah pun menoleh ke arah dagu Jehan bergerak."Mau ke mana dia?" ujar Sarah dengan melipat kedua tangannya di dada."Halah, paling juga dia dipanggil Bu Ratna untuk diinterogasi juga seperti kita," celetuk Freya."Paling tidak kita bertiga aman, Sar," sambung Jehan."Hmm ... aku punya ide." Sarah tersenyum smirk."Ide apa? Jangan bilang kau akan———""Tepat sekali," tukas Sarah memotong ucapan Jehan dan memukul lengan Jehan dengan keras. Jehan sempat terkejut dan mengusap berkali-kali lengannya. "Permainan baru akan dimulai," lanjut Sarah menatap Jehan lalu beralih pada Freya."Apa kau akan melakukan hal itu lagi?" tanya Freya."Tentu saja. Aku belum puas melakukannya." Mendadak mimik muka Sarah berubah. Terlihat sorot dendam dimata Sarah. Jehan dan Freya hanya saling pandang.Kayana mengetuk pintu 3x dengan pelan karena pintu ruang guru pada saat itu dalam keadaan terbuka. Seketika yang ada di dalam ruangan tersebut mengalihkan atensinya pada Kayana yang tengah berdiri di ambang pintu."Kayana, masuklah." Bu Ratna menyuruh Kayana untuk masuk ke dalam ruangan tersebut."Bu Ratna memanggil saya?" tanya Kayana."Iya. Duduklah terlebih dahulu," ujar Bu Ratna sambil menepuk sofa persis di sampingnya.Kayana pun menuruti perintah wali kelasnya tersebut. Kayana duduk di samping Bu Ratna dan di depan Bu Ratna tampak Bima duduk dengan tenang.Mendadak jantung Kayana berdetak tidak menentu. Gadis itu mulai merasakan perasaan tidak enak. Dia mulai bertanya-tanya pada dirinya sendiri."Kay, Ibu memanggilmu ke sini karena Pak Bima ingin menanyakan sesuatu padamu."Sorot mata Kayana langsung menatap Bima. Sesaat setelah itu Kayana menarik napas. Kayana mencoba untuk tetap tenang dan tidak grogi."Tenanglah sedikit. Jangan tegang seperti itu. Apakah aku sangat menakutkan?" tanya Bima tersenyum.Kayana mulai bertanya-tanya, sebenarnya apa yang akan ditanyakan oleh Bima pada dirinya.-Kamu tidak akan pernah mencapai tempat yang lebih tinggi jika kamu selalu menjatuhkan orang lain-•Hidup adalah sebuah perjalanan. Kita hanya mampu berjalan ke depan, tanpa menoleh ke belakang. Masa lalu hanyalah sebuah masa yang sangat tidak berguna.Masa depan menantimu, jangan kau terbelenggu di masa lalu yang kelam. Terkadang aku bingung terhadap semua orang. Mengapa? Aku berpikir, apa ini? Kenapa aku berbeda. Ralat, aku spesial. Mempunyai dua kepribadian bukanlah hal yang sulit bagiku. Musuh hanya seperti nyamuk di tanganku. Semua ku atur, semua ku bunuh. Jalan penuh duri terus ku lalui. Lelah? Tidak, aku tidak lelah sama sekali. Yang ku rasakan hanyalah hampa. Kau tahu? Kehilangan seorang yang di cintai itu sakit. Hmm. Pembullyan selalu datang menghampiriku? Orang tua ku bercerai, nenekku meninggal. Aku kuat? Ralat, aku sangat lemah. Aku berpikir, apa yang sedang di rencanakan Tuhan. Mereka menyebutku iblis, tapi ... Aku spesial, ku akui itu. "Dasar cupu! Lemah!" Bullya
Kayana berlari menyusuri trotoar malam itu. Sesekali dia menoleh ke belakang melihat apa mereka masih mengejar. Ah, ternyata mereka masih berada di belakang Kayana.Siapa mereka?Mereka pastinya adalah Sarah beserta antek-anteknya.Sarah dan gerombolan mengejar Kayana yang begitu sangat ketakutan. Kayana berlari sambil sesekali melihat ke belakang. Akhirnya Kayana memilih belok ke bangunan kosong dan sebagian sudah roboh.Kayana berhenti saat merasa mereka sudah tidak mengejarnya. Kayana membungkuk dan mengatur napasnya pelan-pelan agar kembali teratur. Merasa sudah aman, Kayana kembali meneruskan langkahnya."Hei!" Sebuah teriakan membuat Kayana harus kembali berlari."Aku pikir mereka sudah tidak mengejarku lagi, tapi dugaanku salah." Suara familiar yang sudah tidak asing bagi Kayana.Deru napas yang tidak teratur di sela-sela Kayana berlari dan gelapnya malam membuat Kayana makin kesulitan.Tiba-tiba Kayana berhenti saat dia melihat segerombolan pemuda tengah menghajar seseorang. K
Kayana merebut ponsel dari tangan Evan. Ponsel yang sudah benar-benar mati total itu adalah satu-satunya barang berharga yang dimiliki Kayana. Antara marah dan bingung, Kayana terlihat sangat kecewa sekaligus kesal karena dia sendiri tidak punya uang. "Berikan ponselmu padaku. Aku akan bertanggung jawab memperbaiki ponselmu itu," kata Evan.Bimbang yang dirasakan Kayana. Gadis itu tidak langsung merespons Evan. Netra hitam Kayana fokus menatap benda pipih yang sedang dia pegang. Evan pun kembali merebut ponsel dari tangan Kayana. "Berikan padaku!""Tidak per———""Sst ... jangan protes!" potong Evan tegas. "Aku janji ponsel ini akan kembali normal. Setelah itu aku akan langsung memberikan benda ini padamu. Paham," tegas Evan, lalu dia memasukkan ponselnya itu ke dalam saku celananya.***Setelah kejadian itu Kayana sering merenung sendiri dan untungnya besok adalah hari minggu jadi Kayana merasa lega akan keselamatan dirinya sendiri. Dia memikirkan tentang dirinya jika nanti bertemu
Kayana tersentak saat Evan tiba-tiba berhenti di depannya. Pemuda itu langsung memberi kode dengan menggerakkan kepalanya yang memakai helm. Kayana yang tidak peka hanya diam mematung, lalu Evan membuka kaca helmnya dan barulah Kayana paham siapa pemuda yang ada di depannya itu."Naiklah," kata Evan memberi perintah pada Kayana. Kayana sempat mengalihkan pandangannya dan tertuju pada Sarah, Jehan, dan juga Freya. Dengan buru-buru Kayana langsung naik ke bagian belakang motor milik Evan."Pegangan!" perintah Evan."A-apa? Pe-pegangan?" kata Kayana sedikit gugup.Lantas Evan kembali membuka helmnya dan menengok ke belakang. "Jika kau tidak pegangan. Kau akan jatuh," lanjutnya."Ah, i-iya." Kedua tangan Kayana mencubit jaket hitam yang dikenakan oleh Evan, tapi pemuda itu tidak menyadarinya. Dia langsung tancap gas motornya dan hampir saja membuat Kayana terjungkal ke belakang. Untungnya Kayana dengan reflek melingkarkan kedua tangannya di pinggang Evan.Tindakan Kayana membuat Evan kag
Detak jantung Kayana berdegup tidak beraturan. Kedua kakinya tampak gemetaran. Namun, Kayana berusaha untuk mengendalikannya. Walaupun begitu bahasa tubuh Kayana tidak bisa berbohong.Bingung, itulah yang dirasakan oleh Kayana. Kedua kakinya sungguh tidak bisa digerakkan. Kaki itu terasa sangat kaku dan berat untuk diayunkan ke depan. Padahal hanya empat kali langkah lagi menuju kelas Kayana.Kayana sendiri sebenarnya sudah siap dengan apa yang akan terjadi pada dirinya. Dia tahu dan paham jika dia pasti akan kena bully Sarah dan kawan-kawan. Kayana menarik napas panjang dan mengembuskan perlahan. "Aku harus bersikap tenang. Aku harus kuat dan tidak boleh lemah," bisik Kayana pada dirinya sendiri.Perlahan, tapi pasti Kayana mulai melangkahkan kakinya menuju ruang kelas. Namun, apa yang terjadi? Tafsiran Kayana salah besar. Ternyata semua aman, tidak terjadi apa-apa saat keduanya saling bertemu. Sarah terlihat biasa saja ketika berpapasan dengan Kayana. Hal ini yang membuat Kayana se
Evan hanya berdiri melihat Kayana berlalu pergi dari hadapannya. Lantas dia membalikkan badannya dan mendapatkan sebuah remasan kertas di bawah sana, tepat di samping sepatunya. Evan membungkuk dan mengambil gulungan kertas yang sudah kusut.Mata Evan mengikuti tiap baris rangkaian kata yang ada di sana. Mata Evan menatap jauh ke depan. Tangannya meremas selembaran yang ada di tangannya, lalu Evan membuang remasan kertas itu.Evan melangkah hendak menyusul Kayana, akan tetapi Evan ketinggalan jejak. Kayana sudah hilang dari pandangan Evan."Sial!" umpat Evan sambil menyepak angin di atas jalan yang terbuat dari semen.Sementara itu di lain tempat, seorang wanita tengah bingung dan cemas. Dia berjalan mondar-mandir di ruang tengah dengan membawa sebuah ponsel di tangan kanannya."Bagaimana bisa ketahuan? Kenapa aku benar-benar sial," umpatnya.Laras kembali berjalan mondar-mandir sambil menggigit kuku. Sampai-sampai Laras tidak sadar jika pintu utama terbuka. Dari balik pintu muncullah
Netra hitam Evan menatap dalam kedua bola mata Kayana. Lama mereka berdua saling pandang dalam keheningan suasana sekitar. Semilir angin sore itu menerbangkan anak rambut Kayana. Mereka berdua berdiri dengan radius yang cukup dekat."Kenapa kau berada di sini?" tanya Kayana."Aku tidak sengaja lewat jalan ini dan melihatmu sedang kebingungan," jelas Evan berbohong.Evan memang sengaja berada dilingkungan itu karena dia tahu Kayana pasti akan lewat di sana. Evan mundur dua langkah agar keduanya berdiri tidak begitu dekat."Maaf," kata Evan. Pemuda itu menggaruk kepalanya yang tidak gatal."Hmm, Evan ...." Kayana menggantungkan kalimatnya."Ada apa?" Evan membalikkan badannya. Lantas pemuda itu menatap gadis yang ada di depannya. "Kau ingin bicara apa?""Aku ...." Kayana berhenti sejenak. Jari jemarinya saling memainkan dan meremas jarinya sendiri. Evan jadi merasa heran melihat Kayana yang tampak bingung."Sebenarnya kau ingin bicara apa, Kay?""Ah, tidak. Tidak ada apa-apa," elak Kaya
Kayana memejamkan matanya dan menutup rapat mulutnya sendiri. Dia terlihat pasrah jika memang Sarah dan yang lainnya akan menemukan dirinya yang sedang bersembunyi di dalam tempat sampah.Di saat keadaan Kayana sedang terjepit. Tiba-tiba ponsel Kayana bergetar kuat hingga getaran itu menimbulkan pantulan yang dahsyat di dalam kotak tong sampah itu.Antara bingung dan ketakutan, Kayana berusaha membuat ponsel miliknya diam. Pada saat itu Kayana pun pasrah."Apakah ini akhir dari semuanya?" bisiknya pelan.Kayana pasrah saat itu dan tiba-tiba tutup kotak sampah terbuka. Kayana terkejut. Dia takut untuk menoleh ke atas."Kay," panggil seseorang pada saat itu dan barulah Kayana berani menoleh ke atas. Kayana tidak bisa menahan air matanya saat mengetahui yang datang adalah Evan."E-Evan ... hiks." Kayana langsung berdiri dan meraih uluran tangan Evan."Kau tidak apa-apa?" tanya Evan. Kayana pun menggelengkan kepalanya. Evan menarik Kayana ke atas hingga keluar dari kotak sampah itu. "Kay,
Nama yang sama dengan sahabat Kayana. Gadis itu bernama Adelia. Jantung Kayana terasa berhenti sesaat ketika mendengar nama itu. Kayana sudah bisa menebak jika gadis itu baru saja menangis. Mata dan hidung merah, hal itu tidak bisa membohongi Kayana.Adelia Rahastri adalah nama gadis yang sekarang duduk di samping Kayana. Kepalanya menunduk ke bawah menatap jari jemarinya yang saling beradu.Tangan kiri Kayana terulur memegang kedua tangan Adelia. Kayana merasa sedang memegang kedua tangan sahabatnya sendiri. Kayana melihat bayangan Adelia tersenyum di sana. Pastinya Kayana langsung sadar jika bayangan itu hanyalah fatamorgana."Siapa namamu tadi?" tanya Kayana."A-Adel, Bu," jawabnya pelan.Kayana menarik napas pelan dan tersenyum, lalu tangannya terangkat menyibakkan rambut Adelia.Adelia terkejut saat tangan Kayana menyentuh rambutnya. Kayana pun heran melihat reaksi Adelia pada saat itu."Kenapa?" tanya Kayana."Ti-tidak, Bu," ujar Adelia gugup."Adel, ibu ingin tanya. Apakah kau
Setelah Kayana dan Evan menikmati kebebasannya. Mereka pulang bersama dan Evan pun diajak pulang ke rumah Kayana. Ternyata Bu Laras memang sudah mempersiapkan kebebasan sang putri.Evan pun sudah dianggap seperti keluarga sendiri oleh Bu Laras karena wanita itu sudah banyak mengetahui Evan dari putrinya, Kayana. Kayana sering bercerita jika Evan lah yang selalu melindungi Kayana. Maka dari itu Bu Laras begitu senang saat bisa bertemu dengan Evan secara langsung."Masuklah dan anggap rumah sendiri," kata Bu Laras pada Evan. Kayana pun menarik tangan Evan dan masuk ke dalam rumah. Tadinya Evan ingin menolaknya, akan tetapi Kayana memaksa Evan dan Evan tidak bisa menghindarinya.Evan duduk di sofa. Matanya terus mengikuti aktivitas Bu Laras yang sedang mempersiapkan hidangan untuk semuanya. Merasa tidak enak Evan pun berdiri dan menghampiri Bu Laras. Evan ingin membantu pekerjaan Bu Laras."Biar aku bantu, Tante," ujar Evan menawarkan bantuan."Tidak perlu, nak. Kau duduk di sana saja.
Setelah kejadian tersebut. Tidak ada yang berani mengganggu Kayana termasuk para wanita penghuni penjara. Evan memang selalu ada di samping Kayana begitu pula saat aktivitas sore hari itu. Jadwal para penghuni lapas membersihkan aula. Kayana dan Evan mendapat tugas membersihkan kamar mandi. Mereka berdua bercanda bersama. Evan begitu senang melihat wajah Kayana yang penuh cahaya serta rambut Kayana yang sudah mulai panjang. Begitu pula dengan Evan. Rambut Evan pun sudah mulai panjang.Hari itu memang ada jadwal pencukuran rambut setelah acara bersih-bersih. Evan membawa dua ember dan menaruhnya di lantai, lalu Evan mengguyurkan air di dalam ember tersebut ke lantai agar busa-busa itu segera hilang. Sedangkan Kayana masih sibuk dengan sikap di tangannya."Akhirnya selesai juga," cicit Kayana mengelap keringat yang mengalir di lehernya.Evan menoleh dan berkacak pinggang. "Sudah selesai? Jika begitu maukah kau membantuku?""Tentu saja." Kayana mengambil dua ember yang ada di samping Eva
Empat tahun penjara mungkin terdengar sangat lama bagi Bu Laras, tapi itu keputusan yang bisa di anggap ringan mengingat keduanya masih dibawah umur.Bu Laras selaku orang tua dari Kayana akhirnya menerima putusan tersebut. Wanita itu berlapang dada dan ikhlas terhadap hukuman untuk putrinya. Karena kejadian itu, Bu Laras mendapatkan hikmah. Wanita itu insyaf berjualan masker palsu dan mencoba mengawali usaha kecil-kecilan di rumahnya agar dia tidak terlalu memikirkan tentang Kayana. Sedangkan keluarga Sarah mengetahui perilaku almarhumah Sarah selama di sekolahan. Terutama kasus kematian Adelia yang secara langsung memang terjadi karena tekanan dari Sarah dan kawan-kawan. Keluarga Sarah meminta maaf secara langsung pada Bu Dewi orang tua Adelia yang kebetulan hadir dalam sidang vonis hukuman Kayana dan Evan.Kayana dan Evan menerima keputusan tersebut dengan hati yang ikhlas dan sabar. Masih beruntung vonis hukumannya dikurangi. Tadinya mereka harus menerima hukuman 10 tahun penjara
Setelah pengakuan dari Kayana dan akhirnya Kayana ditetapkan sebagai tersangka utama dalam kasusnya Sarah. Kayana dan Evan pun menunggu vonis hukuman yang akan dijatuhkan pada mereka berdua.Sejak pengakuan itu, Bu Laras selalu menangisi Kayana. Wanita itu sama sekali tidak menyangka jika putri semata wayangnya telah melakukan pembunuhan.Bukan pembunuhan, tapi memang tidak sengaja melakukannya. Bu Laras begitu sangat terpukul dengan keadaan yang terjadi. "Kayana oh Kayana, kenapa bisa terjadi? Padahal semua nilai mu itu bagus dan kau bisa masuk ke Universitas favoritmu dan kini semua hancur karena perbuatan mu itu hiks ...." Bu Laras menangis tersedu-sedu. Dia memikirkan tentang masa depan Kayana. "Maafkan Kay, Bu. Kay sudah mengecewakan Ibu, tapi sebenarnya kejadian itu tidak sengaja. Dia menarik tas Kay dan Kay mencoba melindungi diri Kay agar Kay tidak jatuh menggelinding ke bawah, tapi ternyata kejadiannya malah terbalik. Dia yang jatuh dan meninggal," jelas Kayana. Bu Laras ya
Dugaan Bima tepat sekali. Ternyata Bima bisa membaca orang dengan melihat gerak tubuhnya. Bima tahu selama ini Kayana telah berbohong, tapi Bima tidak begitu saja langsung menuduh. Apalagi Evan sudah berani berkorban untuk melindungi Kayana dan mereka berdua pura-pura tidak saling mengenal.Pengorbanan yang luar biasa dilakukan oleh seorang Evan. Padahal mereka sendiri bisa dibilang baru saling mengenal, tapi kenapa Evan sudah berani mengorbankan dirinya untuk melindungi Kayana. Itulah pertanyaan yang selalu melintas dalam benak Bima. Maka dari situlah Bima melakukan cara tersebut.Bima melakukan sebuah kebohongan pada Kayana tentang hukuman mati agar Kayana berubah pikiran dan ternyata rencana Bima berhasil. Rencana itu membuat Kayana langsung down. Gadis itu bereaksi menanggapi tentang vonis hukuman. Memang cukup jahat sekali dengan membawa serta hukuman mati, tapi mungkin cara itulah yang cocok untuk menarik umpan dan ternyata umpan langsung memakannya.Dalam perjalanan Bima dan Ka
Kayana memotong rambut panjangnya dan sekarang dia berpenampilan layaknya seorang cowok. Binar kebahagiaan terpancar dari raut wajah Kayana. Begitu pula dengan sang ibu. Bu Laras mendekati Kayana yang sedang duduk di kursi dan memegang hasil ujian. Bu Laras memeluk Kayana dari belakang."Selamat sayang, nilai mu benar-benar sempurna. Kau sudah menunjukkan pada ibumu ini jika kau bisa melakukannya. Ibu yakin kau bisa masuk ke perguruan tinggi favoritmu." Pelukan Bu Laras semakin kencang. Kayana pun meneteskan air mata. Tidak dipungkiri jika Kayana bahagia. Namun, dari senyum Kayana tersembunyi rasa bersalahnya pada Evan. Seharusnya Evan juga merasakan kebahagiaan ini.Bu Laras melepaskan pelukannya di tubuh Kayana saat gadis itu memutarkan badannya ke belakang. Kayana menatap mata sang ibu dengan seksama."Apakah Ibu yakin jika aku bisa meraih cita-cita ku?""Tentu saja." Bu Laras meyakinkan putri semata wayangnya. Keduanya pun tersenyum. Kayana kembali melihat nilai-nilai yang terter
Apa yang sebenarnya telah Bima lihat sehingga Bima berani menduga-duga?Hanya Bima dan authornya yang bisa menjawabnya. Bima terus memperhatikan Kayana dari kejauhan. Walaupun Bima sudah yakin, tapi Bima tidak ingin langsung bergerak. Bima ingin melihat keberhasilan Kayana dalam mendapatkan nilai yang sempurna.Hari yang ditunggu-tunggu telah tiba. Saatnya bagi Kayana untuk bertarung mendapatkan nilai yang bagus. Kayana melangkahkan kakinya masuk ke dalam ruang ujian. Dia mendapatkan tempat duduk di baris ke empat. Kayana begitu tenang duduk di sana. Padahal yang lainnya tengah sibuk sendiri. Ada yang meminta tolong untuk diberi contekan jawaban, ada yang sibuk menyembunyikan contekan dan sebagainya.'Huh, kenapa mereka berisik sekali. Sudah tahu akan menghadapi ujian akhir sekolah, tapi kenapa mereka tidak mau belajar," batin Kayana. Memang benar sih apa yang dikatakan Kayana. Kenapa mereka justru malah berisik meminta contekan."Kay ... nanti bagi kunci jawabannya, ya," teriak seseo
Bima memang tidak percaya pada penjelasan dari Kayana atau pun Evan. Bima masih terus menggali dan mencari bukti agar dia tidak salah melangkah dalam mengambil keputusan. Fokus Bima masih pada Kayana sehingga menjadikan Kayana sebagai tahanan luar. Kayana yang masuk sekolah sampai pulang sekolah selalu mendapat pengawasan dari pihak polisi."Ah, kenapa jadi banyak CCTV," gerutu Kayana yang baru saja keluar dari gerbang sekolah dan disambut dengan sebuah pemandangan seseorang berdiri diseberang jalan. Siapa lagi jika bukan Bima. Tentu saja hal itu membuat Kayana merasa tidak nyaman. Ruang geraknya menjadi sangat sempit. "Apa aku ini seperti penjahat?" geram Kayana pada saat itu. Tapi pada kenyataannya Kayana memang bersalah.Cuaca sore itu terlihat sangat tidak baik. Langit diwarnai dengan awan hitam yang bergulung-gulung semacam ombak laut yang saling berebut. Begitu pula dengan angin yang bertiup kencang dan hendak ingin menerbangkan siapa saja. Kayana mempercepat langkahnya agar ce