Kayana memejamkan matanya dan menutup rapat mulutnya sendiri. Dia terlihat pasrah jika memang Sarah dan yang lainnya akan menemukan dirinya yang sedang bersembunyi di dalam tempat sampah.Di saat keadaan Kayana sedang terjepit. Tiba-tiba ponsel Kayana bergetar kuat hingga getaran itu menimbulkan pantulan yang dahsyat di dalam kotak tong sampah itu.Antara bingung dan ketakutan, Kayana berusaha membuat ponsel miliknya diam. Pada saat itu Kayana pun pasrah."Apakah ini akhir dari semuanya?" bisiknya pelan.Kayana pasrah saat itu dan tiba-tiba tutup kotak sampah terbuka. Kayana terkejut. Dia takut untuk menoleh ke atas."Kay," panggil seseorang pada saat itu dan barulah Kayana berani menoleh ke atas. Kayana tidak bisa menahan air matanya saat mengetahui yang datang adalah Evan."E-Evan ... hiks." Kayana langsung berdiri dan meraih uluran tangan Evan."Kau tidak apa-apa?" tanya Evan. Kayana pun menggelengkan kepalanya. Evan menarik Kayana ke atas hingga keluar dari kotak sampah itu. "Kay,
Satu hari yang lalu,Bima mengerutkan kedua alisnya saat membaca layar ponselnya. Bima pun menggerakkan jempolnya di atas layar dan menempelkan benda pipih itu pada telinganya.Tidak ada jawaban dari seberang sana.Bima memasukkan benda pipihnya ke dalam saku jaketnya, lalu Bima mengambil topi hitamnya dan memakainya.Freya mendekati Jehan dan menatap tajam ke dua mata Jehan. "Apa ada yang kau sembunyikan dari kami semua?" tanyanya."Ti-tidak ada. Ke-kenapa memangnya?" ucap Jehan terlihat terbata-bata, akan tetapi tenang.Freya tersenyum smirk, "Aku tahu jika kau mengetahui di mana Kayana bersembunyi.""Ka-Kayana. Tidak ... aku tidak melihatnya," elak Jehan."Benarkah?" ucap Freya. Gadis itu melangkah ke salah satu kotak sampah. Sarah yang berdiri tidak jauh dari Jehan hanya melirik sekilas ke arah Jehan."Sebenarnya apa yang sedang kalian bahas?" tanya Sarah."Tidak ada. Aku tadi lihat Kayanya lari ke arah sana," kata Jehan langsung menyambar saat Freya akan membuka mulutnya.Sarah t
Bima memang sudah bisa menebak, tapi dia tidak bisa langsung bertindak begitu saja tanpa bukti yang jelas dan akurat. Kasus itu bukan kasus yang biasa saja.Bima mengendarai mobilnya dengan sangat cepat. Entah dia hendak pergi ke mana.Bukan karena kasus yang rumit atau susah dipecahkan, tapi terkadang ada pihak dari sekolah yang menutupinya sehingga membuat proses penyelidikan tidak berjalan lancar.Suatu hari Bima menerima sepucuk surat yang tergeletak di atas meja kerjanya. Bima pun membaca surat tersebut dengan kerutan yang menyatukan kedua alisnya.Bima berdiri dan bergegas melangkahkan kakinya dengan cepat. Tanpa basa-basi Bima membuka pintu dengan kasar.BRAAKK!"Apa kau tidak tahu cara sopan masuk ke dalam ruangan ku?" protes Pak Andi."Ma-maaf, Pak. Saya hanya———""Tidak perlu kau teruskan lagi. Kasus itu resmi ditutup," potong Pak Andi."Ta-tapi kenapa, Pak? Bukankah Anda pernah bilang ingin sekali memecahkan kasus ini? Kenapa semua kasus yang terjadi di SMA HARAPAN tidak sa
Bima menghempaskan tubuhnya. Dia menatap langit-langit kamarnya dan dia teringat ucapan wanita itu. Bima menarik napas panjang, lalu membuangnya perlahan. Tubuh Bima bergerak ke sana kemarin mencari tempat yang nyaman.Bima berdecak, "Ck, aku harus bagaimana?" Bima mengelus kepalanya sendiri. Dia belum bicara jujur tentang pemberhentian dia dari kasus Adelia. Sebenarnya Bima ingin sekali menuntaskan kasus Adelia sampai selesai, tapi entah kenapa atasannya justru mengeluarkan surat yang isinya kasus ditutup. "Apakah dia disuap?" pikir Bima menebak. "Ah, aku tidak boleh suuzan," lanjutnya.Bima bangun dari rebahannya. Dia berjalan menuju jendela dan membukanya. Angin meraba masuk menerpa kulit wajah Bima. Seolah angin itu membawa sebuah ide."Aku harus mencari titik terang."Bima kembali menutup jendela dan melangkah menuju meja kerjanya. Bima membuka laptop yang ad di atas meja. Bima mulai bermain di atas keyboard. Mencari tahu info detail kejadian-kejadian yang pernah terjadi sebelum
Langkah kaki Sarah, Freya, dan Jehan terhenti saat sebuah motor tiba-tiba menghadang mereka. Seorang pemuda turun dari motor tersebut dan membuka helm. Sarah menelan saliva nya sendiri saat melihat itu. Sorot mata elang yang begitu tajam menatap Sarah tanpa berkedip sedikit pun.Sarah mundur beberapa langkah ke belakang menarik lengan Freya dan juga Jehan. "Kau kenapa, Sar?" bisik Freya.Pemuda itu adalah Evan, dia melangkahkan kakinya satu langkah ke depan. "Sudah aku katakan padamu untuk tidak mengganggu Kayanya." Evan menunjuk Sarah. Terlihat Sarah kembali menelan air ludahnya sendiri. "Jika kau masih keras kepala. Aku pastikan hidupmu tidak akan nyaman," ancam Evan.Tanpa basa-basi Evan segera pergi dari sana. Dia tidak perlu menunggu jawaban dari Sarah, karena Evan sudah bisa menangkap bahasa tubuh Sarah.***Jehan berjalan mondar-mandir seperti sebuah setrika. Tangannya meremas baju yang dia kenakan. Terlihat raut wajah khawatir dan ketakutan tergambar begitu jelas. Kadang dia
"Jangan meminta maaf padaku, tapi minta lah maaf pada Kayana." Setelah melontarkan kalimat tersebut Evan pergi meninggalkan Sarah. Sarah diam mematung menatap kepergian Evan. Dia sama sekali tidak berpikir ke arah sana. Memang benar seharusnya dia meminta maaf pada Kayana bukan pada Evan."Lalu apakah aku harus melakukan hal itu?" ucapnya lirih.***Flashback satu hari sebelumnya.Sarah tampak duduk sendirian menikmati cuaca syahdu pada sore hari disebuah kafe. Rintik hujan yang turun pada saat itu menambah tenangnya suasana hati disertai sebuah alunan musik dari grup nomor satu di Korea, siapa lagi jika buka BTS. Di depan Sarah bertengger sebuah cangkir berisi Red Velvet serta sepiring puding mangga."Ah, sungguh nikmatnya sore hari ini. Hmm ... aku sangat menikmati kesendirianku tanpa mereka berdua." Sarah menarik piring berisi puding dan memakannya sedikit demi sedikit.Tiba-tiba Sarah dikejutkan oleh seseorang yang langsung begitu saja duduk di depan Sarah. Sarah hampir saja ma
Sarah dan Freya selalu teringat kata-kata Bima. Belum lagi ancaman dari Evan. Maka dari itu Freya lah yang aktif sekali mendekati Kayana. Namun, tidak untuk Sarah. Sarah tampaknya masih bimbang untuk mengakuinya. Padahal sebenarnya Jehan juga sudah jujur soal kejadian itu.Freya selalu mengurungkan niatnya untuk mendekati Kayana saat ada Sarah. Bukan karena takut, tapi Freya tidak ingin jika nanti Kayana menjadi bulan-bulanan Sarah dan yang lainnya.Jam istirahat telah berbunyi sebanyak tiga kali. Semua anak-anak keluar dari dalam kelas kecuali Kayana dan Freya. Gadis itu duduk di bangkunya dengan sebuah buku di tangannya. "Kay, kau tidak ingin pergi ke kantin?" Freya tiba-tiba mendekati Kayana. Kayana menggelengkan kepala. Gadis itu tidak berani menatap Freya. "Ayo ke kantin. Aku traktir," sambung Freya.Sekali lagi permintaan Freya ditolak oleh Kayana. Padahal itu kesempatan baik Freya untuk meminta maaf pada Kayana. Namun, karena Kayana tidak ingin membuat kesalahan yang berakhir
"Lihat saja permainan akan segera aku mulai." Sorot tajam mata itu tertuju pada satu obyek di depan sana.***Ancam demi ancaman diterima oleh Sarah. Siapa yang mengancam Sarah?Memang tidak ada yang mengancam Sarah. Hanya sebuah mimpi yang selalu datang setiap malam menghantui Sarah dikala dirinya terlelap tidur. Mimpi di mana Sarah selalu didatangi oleh Adelia. Adelia yang masih meminta Sarah untuk mengakui semua perbuatannya sebelum semuanya terlambat."Sarah, kau masih punya waktu untuk memperbaiki semuanya demi masa depanmu. Tentunya kau tidak ingin kan jika masa depanmu hancur hanya karena ego dan ketamakan mu itu." Wajah cantik itu memang tidak menakutkan. Tidak ada darah, tidak ada mata menyala merah, tidak ada kuku panjang atau pun sebagainya. Tapi hanya saja Sarah yang terlihat ketakutan sendiri. Sarah pun langsung terbangun dari tidurnya. Tubuhnya basah oleh keringatnya dan bahu itu bergejolak naik turun. Sarah menarik selimutnya dan mengusap wajahnya dengan selimut terse
Nama yang sama dengan sahabat Kayana. Gadis itu bernama Adelia. Jantung Kayana terasa berhenti sesaat ketika mendengar nama itu. Kayana sudah bisa menebak jika gadis itu baru saja menangis. Mata dan hidung merah, hal itu tidak bisa membohongi Kayana.Adelia Rahastri adalah nama gadis yang sekarang duduk di samping Kayana. Kepalanya menunduk ke bawah menatap jari jemarinya yang saling beradu.Tangan kiri Kayana terulur memegang kedua tangan Adelia. Kayana merasa sedang memegang kedua tangan sahabatnya sendiri. Kayana melihat bayangan Adelia tersenyum di sana. Pastinya Kayana langsung sadar jika bayangan itu hanyalah fatamorgana."Siapa namamu tadi?" tanya Kayana."A-Adel, Bu," jawabnya pelan.Kayana menarik napas pelan dan tersenyum, lalu tangannya terangkat menyibakkan rambut Adelia.Adelia terkejut saat tangan Kayana menyentuh rambutnya. Kayana pun heran melihat reaksi Adelia pada saat itu."Kenapa?" tanya Kayana."Ti-tidak, Bu," ujar Adelia gugup."Adel, ibu ingin tanya. Apakah kau
Setelah Kayana dan Evan menikmati kebebasannya. Mereka pulang bersama dan Evan pun diajak pulang ke rumah Kayana. Ternyata Bu Laras memang sudah mempersiapkan kebebasan sang putri.Evan pun sudah dianggap seperti keluarga sendiri oleh Bu Laras karena wanita itu sudah banyak mengetahui Evan dari putrinya, Kayana. Kayana sering bercerita jika Evan lah yang selalu melindungi Kayana. Maka dari itu Bu Laras begitu senang saat bisa bertemu dengan Evan secara langsung."Masuklah dan anggap rumah sendiri," kata Bu Laras pada Evan. Kayana pun menarik tangan Evan dan masuk ke dalam rumah. Tadinya Evan ingin menolaknya, akan tetapi Kayana memaksa Evan dan Evan tidak bisa menghindarinya.Evan duduk di sofa. Matanya terus mengikuti aktivitas Bu Laras yang sedang mempersiapkan hidangan untuk semuanya. Merasa tidak enak Evan pun berdiri dan menghampiri Bu Laras. Evan ingin membantu pekerjaan Bu Laras."Biar aku bantu, Tante," ujar Evan menawarkan bantuan."Tidak perlu, nak. Kau duduk di sana saja.
Setelah kejadian tersebut. Tidak ada yang berani mengganggu Kayana termasuk para wanita penghuni penjara. Evan memang selalu ada di samping Kayana begitu pula saat aktivitas sore hari itu. Jadwal para penghuni lapas membersihkan aula. Kayana dan Evan mendapat tugas membersihkan kamar mandi. Mereka berdua bercanda bersama. Evan begitu senang melihat wajah Kayana yang penuh cahaya serta rambut Kayana yang sudah mulai panjang. Begitu pula dengan Evan. Rambut Evan pun sudah mulai panjang.Hari itu memang ada jadwal pencukuran rambut setelah acara bersih-bersih. Evan membawa dua ember dan menaruhnya di lantai, lalu Evan mengguyurkan air di dalam ember tersebut ke lantai agar busa-busa itu segera hilang. Sedangkan Kayana masih sibuk dengan sikap di tangannya."Akhirnya selesai juga," cicit Kayana mengelap keringat yang mengalir di lehernya.Evan menoleh dan berkacak pinggang. "Sudah selesai? Jika begitu maukah kau membantuku?""Tentu saja." Kayana mengambil dua ember yang ada di samping Eva
Empat tahun penjara mungkin terdengar sangat lama bagi Bu Laras, tapi itu keputusan yang bisa di anggap ringan mengingat keduanya masih dibawah umur.Bu Laras selaku orang tua dari Kayana akhirnya menerima putusan tersebut. Wanita itu berlapang dada dan ikhlas terhadap hukuman untuk putrinya. Karena kejadian itu, Bu Laras mendapatkan hikmah. Wanita itu insyaf berjualan masker palsu dan mencoba mengawali usaha kecil-kecilan di rumahnya agar dia tidak terlalu memikirkan tentang Kayana. Sedangkan keluarga Sarah mengetahui perilaku almarhumah Sarah selama di sekolahan. Terutama kasus kematian Adelia yang secara langsung memang terjadi karena tekanan dari Sarah dan kawan-kawan. Keluarga Sarah meminta maaf secara langsung pada Bu Dewi orang tua Adelia yang kebetulan hadir dalam sidang vonis hukuman Kayana dan Evan.Kayana dan Evan menerima keputusan tersebut dengan hati yang ikhlas dan sabar. Masih beruntung vonis hukumannya dikurangi. Tadinya mereka harus menerima hukuman 10 tahun penjara
Setelah pengakuan dari Kayana dan akhirnya Kayana ditetapkan sebagai tersangka utama dalam kasusnya Sarah. Kayana dan Evan pun menunggu vonis hukuman yang akan dijatuhkan pada mereka berdua.Sejak pengakuan itu, Bu Laras selalu menangisi Kayana. Wanita itu sama sekali tidak menyangka jika putri semata wayangnya telah melakukan pembunuhan.Bukan pembunuhan, tapi memang tidak sengaja melakukannya. Bu Laras begitu sangat terpukul dengan keadaan yang terjadi. "Kayana oh Kayana, kenapa bisa terjadi? Padahal semua nilai mu itu bagus dan kau bisa masuk ke Universitas favoritmu dan kini semua hancur karena perbuatan mu itu hiks ...." Bu Laras menangis tersedu-sedu. Dia memikirkan tentang masa depan Kayana. "Maafkan Kay, Bu. Kay sudah mengecewakan Ibu, tapi sebenarnya kejadian itu tidak sengaja. Dia menarik tas Kay dan Kay mencoba melindungi diri Kay agar Kay tidak jatuh menggelinding ke bawah, tapi ternyata kejadiannya malah terbalik. Dia yang jatuh dan meninggal," jelas Kayana. Bu Laras ya
Dugaan Bima tepat sekali. Ternyata Bima bisa membaca orang dengan melihat gerak tubuhnya. Bima tahu selama ini Kayana telah berbohong, tapi Bima tidak begitu saja langsung menuduh. Apalagi Evan sudah berani berkorban untuk melindungi Kayana dan mereka berdua pura-pura tidak saling mengenal.Pengorbanan yang luar biasa dilakukan oleh seorang Evan. Padahal mereka sendiri bisa dibilang baru saling mengenal, tapi kenapa Evan sudah berani mengorbankan dirinya untuk melindungi Kayana. Itulah pertanyaan yang selalu melintas dalam benak Bima. Maka dari situlah Bima melakukan cara tersebut.Bima melakukan sebuah kebohongan pada Kayana tentang hukuman mati agar Kayana berubah pikiran dan ternyata rencana Bima berhasil. Rencana itu membuat Kayana langsung down. Gadis itu bereaksi menanggapi tentang vonis hukuman. Memang cukup jahat sekali dengan membawa serta hukuman mati, tapi mungkin cara itulah yang cocok untuk menarik umpan dan ternyata umpan langsung memakannya.Dalam perjalanan Bima dan Ka
Kayana memotong rambut panjangnya dan sekarang dia berpenampilan layaknya seorang cowok. Binar kebahagiaan terpancar dari raut wajah Kayana. Begitu pula dengan sang ibu. Bu Laras mendekati Kayana yang sedang duduk di kursi dan memegang hasil ujian. Bu Laras memeluk Kayana dari belakang."Selamat sayang, nilai mu benar-benar sempurna. Kau sudah menunjukkan pada ibumu ini jika kau bisa melakukannya. Ibu yakin kau bisa masuk ke perguruan tinggi favoritmu." Pelukan Bu Laras semakin kencang. Kayana pun meneteskan air mata. Tidak dipungkiri jika Kayana bahagia. Namun, dari senyum Kayana tersembunyi rasa bersalahnya pada Evan. Seharusnya Evan juga merasakan kebahagiaan ini.Bu Laras melepaskan pelukannya di tubuh Kayana saat gadis itu memutarkan badannya ke belakang. Kayana menatap mata sang ibu dengan seksama."Apakah Ibu yakin jika aku bisa meraih cita-cita ku?""Tentu saja." Bu Laras meyakinkan putri semata wayangnya. Keduanya pun tersenyum. Kayana kembali melihat nilai-nilai yang terter
Apa yang sebenarnya telah Bima lihat sehingga Bima berani menduga-duga?Hanya Bima dan authornya yang bisa menjawabnya. Bima terus memperhatikan Kayana dari kejauhan. Walaupun Bima sudah yakin, tapi Bima tidak ingin langsung bergerak. Bima ingin melihat keberhasilan Kayana dalam mendapatkan nilai yang sempurna.Hari yang ditunggu-tunggu telah tiba. Saatnya bagi Kayana untuk bertarung mendapatkan nilai yang bagus. Kayana melangkahkan kakinya masuk ke dalam ruang ujian. Dia mendapatkan tempat duduk di baris ke empat. Kayana begitu tenang duduk di sana. Padahal yang lainnya tengah sibuk sendiri. Ada yang meminta tolong untuk diberi contekan jawaban, ada yang sibuk menyembunyikan contekan dan sebagainya.'Huh, kenapa mereka berisik sekali. Sudah tahu akan menghadapi ujian akhir sekolah, tapi kenapa mereka tidak mau belajar," batin Kayana. Memang benar sih apa yang dikatakan Kayana. Kenapa mereka justru malah berisik meminta contekan."Kay ... nanti bagi kunci jawabannya, ya," teriak seseo
Bima memang tidak percaya pada penjelasan dari Kayana atau pun Evan. Bima masih terus menggali dan mencari bukti agar dia tidak salah melangkah dalam mengambil keputusan. Fokus Bima masih pada Kayana sehingga menjadikan Kayana sebagai tahanan luar. Kayana yang masuk sekolah sampai pulang sekolah selalu mendapat pengawasan dari pihak polisi."Ah, kenapa jadi banyak CCTV," gerutu Kayana yang baru saja keluar dari gerbang sekolah dan disambut dengan sebuah pemandangan seseorang berdiri diseberang jalan. Siapa lagi jika bukan Bima. Tentu saja hal itu membuat Kayana merasa tidak nyaman. Ruang geraknya menjadi sangat sempit. "Apa aku ini seperti penjahat?" geram Kayana pada saat itu. Tapi pada kenyataannya Kayana memang bersalah.Cuaca sore itu terlihat sangat tidak baik. Langit diwarnai dengan awan hitam yang bergulung-gulung semacam ombak laut yang saling berebut. Begitu pula dengan angin yang bertiup kencang dan hendak ingin menerbangkan siapa saja. Kayana mempercepat langkahnya agar ce