“Maaf, Nona. Apa bisa keluar sebentar?” ujar Alan ketika aku membuka setengah dari kaca mobilku.
Aku yang gugup berusaha untuk menenangkan hatiku dan bersikap layaknya anak muda saat ini. Tentu saja dengan sedikit mengubah gaya bahasaku.
“Memangnya ada urusan apa gue harus keluar? Apa gue nabrak mobil lu? Gak ‘kan?” tolakku sedikit ketus sambil menatap lurus ke depan menghindari kontak mata dengan Alan.
“Ini! Tas anda tadi terjatuh,” ujar Alan sambil menunjukkan paper bag berwarna biru berlogo butik milikku.
Aku yang tidak menyadari kalau aku menjatuhkan benda itu segera mengambilnya dari tangan Alan melalui jendela. Namun, pria itu tidak memberikannya begitu mudah. Hingga membuatku harus menoleh kepadanya.
“Kalau anda tidak bersikap sopan, paling tidak hargai orang lain sedikit saja!” ucap Alan membuatku sedikit terkejut. Tapi apa yang dikatakan oleh pria itu memang benar, dan sayangnya saat in
“Apa maksudmu, Johan?”Pria yang berdiri di depan pintu itu berjalan mendekatiku, dan mengatakan sesuatu yang membuatku terkejut. Johan memberitahuku bahwa pria yang aku maksud adalah dirinya.“Jangan bergurau, Johan. Pria itu berbeda sekali denganmu. Tapi …,” ucapku tidak percaya. Tapi setelah memperhatikan baik-baik pakaian yang dikenakan pria yang berdiri di depanku. Aku mulai meragukan apa yang aku katakan. Karena pakaian yang Johan kenakan sama persis dengan apa yang pria tadi kenakan. Tapi wajahnya? Bagaimana bisa dia merubahnya dalam waktu singkat?“Pasti Bu Andara heran dengan perubahan saya tadi?” ujar Johan seolah-olah tahu apa yang aku pikirkan, “Ini,” lanjutnya sambil mengeluarkan sebuah topeng dari belakang kantung celananya.Sebuah topeng karet yang tampak seperti difilm-film. Topeng itu kemudian Johan pakai, dan benar saja. Wajah Johan kini berubah seperti pria yang tadi aku lihat.“Apa sekarang Bu Andara percaya?” ucap Johan begitu selesai memakai topeng yang dia bawa,
“Mas Utomo?” hanya kata itu yang berhasil keluar dari mulutku ketika melihat Mas Utomo berdiri di depan pintu.Aku benar-benar terkejut dan tidak menyangka pria itu akan datang ke rumahku. Apa ini ada hubungannya dengan penculikan wanita itu? Ataukah?Ah, begitu banyak pertanyaan di otakku saat ini. Hingga tanpa sadar aku melupakan dua pria yang sedang bersamaku saat ini.Mas Utomo yang masih berdiri depan pintu menatapku dan Anton secara bergantian dengan tatapan yang terlihat tidak bersahabat, dan itu membuatku merasa tidak nyaman dengan situasi saat ini.“Mas tunggu di dalam,” ujar Mas Utomo dengan tatapan dingin. Pria itu lalu masuk ke dalam tanpa menunggu jawaban dariku ataupun menyapa Anton terlebih dahulu.Melihat sikap Mas Utomo, bisa aku pastikan ini bukan sesuatu yang baik. Karena tidak mungkin dia akan meninggalkan ayah yang sedang sakit hanya untuk mengurusi masalah yang sepele saja. Apalagi di sini ada Alan yang bisa dia andalkan.“Andara,” tegur Anton membubarkan lamunan
Dari kaca spion mobil yang aku tumpangi, bisa aku lihat Mas Utomo terlihat sangat kesal. Bahkan dia terlihat seperti memarahi anak buahnya.“Di mana pemberhentian selanjutnya?” tanyaku masih sambil menatap kaca spion untuk memastikan Mas Utomo dan anak buahnya tidak mengikuti kami.“Sebentar lagi, Bu Andara. Saya sudah meminta anak buah saya untuk bersiap-siap,” jawab Johan yang sedang duduk di sebelahku mengemudikan mobil yang kami tumpangi.“Sepertinya kita tidak diikuti,” kalimat yang tanpa aku sadari lepas begitu saja dari mulutku.Namun, tak lama setelah aku mengatakan hal itu. Mobil yang kami tumpangi mendadak melaju dengan kecepatan yang lebih dari sebelumnya, dan itu membuatku menoleh ke arah pria yang sedang duduk di sampingku.“Ada apa, Johan? Apa kita diikuti?” tanyaku sambil sesekali menengok kearah spion dan belakang mobil.“Iya, Bu Andara. Kita diikuti,” jawab Johan ma
“Apapun yang terjadi, dia tetap di sini!” perintahku masih sambil menatap lurus ke depan.“Tapi, Bu Andara—.” Protes Dokter Ricci.“Anda sudah mendengar apa yang Bu Andara katakan, Dokter. Jadi sekarang lebih baik anda kembali ke ruangan itu dan merawat Bu Maria,” potong Johan.Dokter Ricci keluar dari ruangan dengan membanting pintu. Tak lama kemudian terlihat dari kaca dia masuk ke dalam ruangan itu dengan tergesa-gesa dan segera melakukan pertolongan pada wanita yang sepertinya sedang kejang di atas tempat tidur.“Bu Andara …,” tegur Johan.Aku meminta Johan untuk tidak meneruskan apa yang akan dia katakan dan melihat apa yang terjadi. Apakah wanita itu akan selamat kali ini, ataukah?“Bu Andara,” ucap Johan sambil memberikan ponselnya kepadaku. Di layar ponsel yang menyala itu terpampang nama Dokter Ricci, dan Johan lalu memasang pengeras suara agar aku bisa mendeng
“M‒Mas Tio? Bagaimana mas bisa ada di sini?”“Apa maksudmu, Dara? Apa mas tidak boleh berada di sini?”Aku yang masih terkejut dengan kehadiran Mas Tio hanya bisa membeku. Karena aku tidak menyangka pria itu ada di sini. Tapi bagaimana mungkin? Bukankah dia tadi bersama dengan Clara?Suara langkah Mas Tio yang berjalan menuju ke arahku akhirnya menyadarkanku. Dia berjalan ke arahku dengan tatapan tidak suka, atau lebih tepatnya seperti orang yang sedang menahan emosi.“Bukan begitu maksud Dara, Mas. Dara hanya kaget saja, kenapa mas ke sini tanpa memberitahu Dara?” Ralatku mengalihkan pembicaraan, “Mas ‘kan bisa menelepon Dara dulu. Jadi Dara bisa menyambut mas ketika mas datang,” lanjutku berpura-pura bersikap manis.“Mas tadi kebetulan lewat, Sayang. Jadi mas sekalian mampir untuk memberimu kejutan,” ucap Mas Tio sambil memegang tanganku, “Tapi malah mas yang terkejut.
"Mas, aku hamil."Kata yang akhirnya meluncur dari mulutku setelah sekian lama berpikir akan memberitahu tentang kabar bahagia ini kepada pria yang aku cintai atau tidak. "Apa kamu bilang, Dara. Kamu hamil?" ucap Mas Tio dengan mata terbelalak. "Iya, Mas. Aku hamil buah cinta kita," jelasku sambil melangkah menuju tempat di mana pria yang bergelar kekasihku ini duduk. "Tapi bagaimana bisa, Dara? Bukankah mas sudah memintamu untuk KB? Mengapa kamu masih juga bisa hamil!"Rasanya bak di sambar petir ketika Mas Tio mengatakan hal itu. Bagaimana bisa dia bicara seperti itu kepadaku?"Mas Tio!" bentakku tidak terima disalahkan. "Jangan membentakku, Dara! Mas 'kan sudah bilang kepadamu agar tidak hamil dulu, tapi mengapa kamu masih saja hamil!"Aku yang tidak menyangka dengan reaksi Mas Tio, hanya bisa terduduk lemas. Karena bukan reaksi ini yang aku harapkan dari Mas Tio. Aku kira Mas Tio akan bahagia mendengar berita aku sedang mengandung buah cinta kami, tapi nyatanya tidak. Mas Ti
Aku yang masih menatap ke arah kempat orang itu terus saja mengawasinya, dan tak lama seseorang yang sangat aku kenal muncul.Mas Tio, dia orang yang muncul. Itu artinya apa yang dikatakan melalu pesan yang dia kirimkan kepadaku itu bohong. Tinnn!!! Karena kesal dan sangat marah ketika aku tahu aku telah dibohongi oleh Mas Tio, tanpa sadar aku memukul klakson mobilku. Sehingga semua orang yang ada di taman menatap ke arah mobilku, termasuk Mas Tio dan empat orang yang bersamanya. "Awas saja kamu, Mas. Kali ini kamu akan kehilanganku!" geramku, kemudian pergi. Aku tidak tahu, apakah Mas Tio mengenali mobil yang aku kemudikan atau tidak tapi yang pasti mulai dari hari ini aku akan kelur dari rumahyang dia berikan dan pergi jauh dari hidupnya. Sampai di rumah sakit di mana aku akan memeriksa kandunganku, suasana masih sepi. Hanya beberapa petugas saja yang baru datang dan beberapa pasien yang akan periksa. Jadi aku memutuskan untuk menunggu dan mengubah jadwal periksaku. "Ibu Andar
"Mas Tio, ini 'kan."Melihat darah yang mengalir di kakiku, aku dan Mas Tio langsung panik.Sehingga Mas Tio kemudian membopongku masuk ke dalam mobil dan membawaku ke rumah sakit. Aku yang takut melihat darah akhirnya merasa lemas dan tak lama pandanganku pun kabur lalu semua terlihat gelap. ***"Dara, apa kamu mendengar mas? Dara," panggil Mas Tio terdengar samar-samar. Aku yang masih merasa pusing, akhirnya membuka mataku yang masih terasa berat, dan aku lihat Mas Tio berada di sampingku sambil menggenggam tanganku. "Ma –Mas Tio, aku di mana?" tanyaku pada pria yang saat ini terlihat sedih. "Kita di rumah sakit, Sayang. Kamu perdarahan," jelas Mas Tio. Mendengar kata pendarahan pikiranku langsung mengarah pada bayiku, dan aku langsung menatap dan mengusap perutku. "Terus bayi kita bagaimana, Mas?"Mas Tio bukannya langsung menjawab pertanyaanku tapi bungkam dan itu membuatku takut. "Mas, bayiku bagaimana? Apa bayiku baik-baik saja?" bentakku khawatir, "Mas, jawab aku!" teri