Dari kaca spion mobil yang aku tumpangi, bisa aku lihat Mas Utomo terlihat sangat kesal. Bahkan dia terlihat seperti memarahi anak buahnya.
“Di mana pemberhentian selanjutnya?” tanyaku masih sambil menatap kaca spion untuk memastikan Mas Utomo dan anak buahnya tidak mengikuti kami.
“Sebentar lagi, Bu Andara. Saya sudah meminta anak buah saya untuk bersiap-siap,” jawab Johan yang sedang duduk di sebelahku mengemudikan mobil yang kami tumpangi.
“Sepertinya kita tidak diikuti,” kalimat yang tanpa aku sadari lepas begitu saja dari mulutku.
Namun, tak lama setelah aku mengatakan hal itu. Mobil yang kami tumpangi mendadak melaju dengan kecepatan yang lebih dari sebelumnya, dan itu membuatku menoleh ke arah pria yang sedang duduk di sampingku.
“Ada apa, Johan? Apa kita diikuti?” tanyaku sambil sesekali menengok kearah spion dan belakang mobil.
“Iya, Bu Andara. Kita diikuti,” jawab Johan ma
“Apapun yang terjadi, dia tetap di sini!” perintahku masih sambil menatap lurus ke depan.“Tapi, Bu Andara—.” Protes Dokter Ricci.“Anda sudah mendengar apa yang Bu Andara katakan, Dokter. Jadi sekarang lebih baik anda kembali ke ruangan itu dan merawat Bu Maria,” potong Johan.Dokter Ricci keluar dari ruangan dengan membanting pintu. Tak lama kemudian terlihat dari kaca dia masuk ke dalam ruangan itu dengan tergesa-gesa dan segera melakukan pertolongan pada wanita yang sepertinya sedang kejang di atas tempat tidur.“Bu Andara …,” tegur Johan.Aku meminta Johan untuk tidak meneruskan apa yang akan dia katakan dan melihat apa yang terjadi. Apakah wanita itu akan selamat kali ini, ataukah?“Bu Andara,” ucap Johan sambil memberikan ponselnya kepadaku. Di layar ponsel yang menyala itu terpampang nama Dokter Ricci, dan Johan lalu memasang pengeras suara agar aku bisa mendeng
“M‒Mas Tio? Bagaimana mas bisa ada di sini?”“Apa maksudmu, Dara? Apa mas tidak boleh berada di sini?”Aku yang masih terkejut dengan kehadiran Mas Tio hanya bisa membeku. Karena aku tidak menyangka pria itu ada di sini. Tapi bagaimana mungkin? Bukankah dia tadi bersama dengan Clara?Suara langkah Mas Tio yang berjalan menuju ke arahku akhirnya menyadarkanku. Dia berjalan ke arahku dengan tatapan tidak suka, atau lebih tepatnya seperti orang yang sedang menahan emosi.“Bukan begitu maksud Dara, Mas. Dara hanya kaget saja, kenapa mas ke sini tanpa memberitahu Dara?” Ralatku mengalihkan pembicaraan, “Mas ‘kan bisa menelepon Dara dulu. Jadi Dara bisa menyambut mas ketika mas datang,” lanjutku berpura-pura bersikap manis.“Mas tadi kebetulan lewat, Sayang. Jadi mas sekalian mampir untuk memberimu kejutan,” ucap Mas Tio sambil memegang tanganku, “Tapi malah mas yang terkejut.
"Mas, aku hamil."Kata yang akhirnya meluncur dari mulutku setelah sekian lama berpikir akan memberitahu tentang kabar bahagia ini kepada pria yang aku cintai atau tidak. "Apa kamu bilang, Dara. Kamu hamil?" ucap Mas Tio dengan mata terbelalak. "Iya, Mas. Aku hamil buah cinta kita," jelasku sambil melangkah menuju tempat di mana pria yang bergelar kekasihku ini duduk. "Tapi bagaimana bisa, Dara? Bukankah mas sudah memintamu untuk KB? Mengapa kamu masih juga bisa hamil!"Rasanya bak di sambar petir ketika Mas Tio mengatakan hal itu. Bagaimana bisa dia bicara seperti itu kepadaku?"Mas Tio!" bentakku tidak terima disalahkan. "Jangan membentakku, Dara! Mas 'kan sudah bilang kepadamu agar tidak hamil dulu, tapi mengapa kamu masih saja hamil!"Aku yang tidak menyangka dengan reaksi Mas Tio, hanya bisa terduduk lemas. Karena bukan reaksi ini yang aku harapkan dari Mas Tio. Aku kira Mas Tio akan bahagia mendengar berita aku sedang mengandung buah cinta kami, tapi nyatanya tidak. Mas Ti
Aku yang masih menatap ke arah kempat orang itu terus saja mengawasinya, dan tak lama seseorang yang sangat aku kenal muncul.Mas Tio, dia orang yang muncul. Itu artinya apa yang dikatakan melalu pesan yang dia kirimkan kepadaku itu bohong. Tinnn!!! Karena kesal dan sangat marah ketika aku tahu aku telah dibohongi oleh Mas Tio, tanpa sadar aku memukul klakson mobilku. Sehingga semua orang yang ada di taman menatap ke arah mobilku, termasuk Mas Tio dan empat orang yang bersamanya. "Awas saja kamu, Mas. Kali ini kamu akan kehilanganku!" geramku, kemudian pergi. Aku tidak tahu, apakah Mas Tio mengenali mobil yang aku kemudikan atau tidak tapi yang pasti mulai dari hari ini aku akan kelur dari rumahyang dia berikan dan pergi jauh dari hidupnya. Sampai di rumah sakit di mana aku akan memeriksa kandunganku, suasana masih sepi. Hanya beberapa petugas saja yang baru datang dan beberapa pasien yang akan periksa. Jadi aku memutuskan untuk menunggu dan mengubah jadwal periksaku. "Ibu Andar
"Mas Tio, ini 'kan."Melihat darah yang mengalir di kakiku, aku dan Mas Tio langsung panik.Sehingga Mas Tio kemudian membopongku masuk ke dalam mobil dan membawaku ke rumah sakit. Aku yang takut melihat darah akhirnya merasa lemas dan tak lama pandanganku pun kabur lalu semua terlihat gelap. ***"Dara, apa kamu mendengar mas? Dara," panggil Mas Tio terdengar samar-samar. Aku yang masih merasa pusing, akhirnya membuka mataku yang masih terasa berat, dan aku lihat Mas Tio berada di sampingku sambil menggenggam tanganku. "Ma –Mas Tio, aku di mana?" tanyaku pada pria yang saat ini terlihat sedih. "Kita di rumah sakit, Sayang. Kamu perdarahan," jelas Mas Tio. Mendengar kata pendarahan pikiranku langsung mengarah pada bayiku, dan aku langsung menatap dan mengusap perutku. "Terus bayi kita bagaimana, Mas?"Mas Tio bukannya langsung menjawab pertanyaanku tapi bungkam dan itu membuatku takut. "Mas, bayiku bagaimana? Apa bayiku baik-baik saja?" bentakku khawatir, "Mas, jawab aku!" teri
"Mas Tio," ucapku lirih sambil menatap pria yang sedang berjalan dengan seorang wanita yang sepertinya putrinya. Mas Tio dan wanita itu, terlihat seperti terburu-buru masuk ke dalam rumah sakit, dan aku tidak tahu apa yang sedang terjadi kepadanya. Tapi dari raut wajah Mas Tio, terlihat sekali dia terlihat panik dan khawatir. "Andara, kamu kenapa?" tegur Anton mengejutkanku."A –aku tidak apa-apa, Dokter Anton. Aku tadi hanya melihat seseorang yang sepertinya aku kenal," jawabku masih menatap ke arah Mas Tio berada tadi, tapi kemudian aku menoleh ke arah pria yang sudah menegurku. Anton yang berada di sampingku terlihat kesal ketika aku menatapnya, dan dia kemudian mendekatkan kepalanya lebih dekat ke arahku. "Panggil aku Anton saja, Andara. Apa kamu lupa," protes Anton dengan suara sedikit berbisik. "Iya Dok ... Anton maksudku. Baiklah kalau begitu aku pergi dulu. Karena masih ada yang harus aku kerjakan," pamitku, dan aku pun langsung masuk ke dalam mobil tanpa menunggu jawaban
"Mas Tio!" teriakku.Aku langsung membuka mataku dengan napas terengah-engah dan menatap sekitar."Bu Andara, ibu kenapa?" tanya Mbak Ayu yang tiba-tiba muncul sambil berlari kecil."Mbak Ayu," panggilku sambil menatap wanita yang sudah berdiri di depanku dengan wajah terlihat khawatir."Bu Andara, ada apa? Apa terjadi sesuatu pada ibu?" tanya Mbak Ayu sambil memperhatikanku dari atas hingga bawah.Aku yang masih bingung dan ketakutan akan kehilangan Mas Tio kemudian bertanya kepada Mbak Ayu tentang keberadaan pria yang sudah aku tunggu sejak tadi. Tapi jawaban dari wanita itu membuatku tidak bisa berkata apa-apa.Karena sejak aku pulang hingga detik ini, pria itu belum menunjukkan batang hidungnya sama sekali, dan semua yang aku alami tadi ternyata hanya mimpi.Mimpi buruk yang tampak nyata sekali dan itu membuatku takut. Takut mimpi itu terjadi, dan aku akan benar-benar kehilangan Mas Tio."Bu Andara, apa ibu baik-baik saja?" tanya Mbak Ayu membubarkan lamunanku.Aku yang masih hany
Aku yang masih duduk di samping Mbak Ayu kemudian memegang tangan Mbak Ayu untuk menguatkannya dan menunggu sampai wanita itu sampai siap untuk mengatakan isi hatinya."Bu Andara, sebenarnya saya sudah pernah menikah. Tapi hanya menikah siri dan menjadi istri kedua," ucap Mbak Ayu lirih sambil menunduk, "Kami memiliki seorang anak, tapi anak itu dibawa oleh suami saya. Sejak saat itu saya sudah tidak pernah bertemu atau melihat putra saya lagi," lanjutnya, dan tak lama tangis Mbak Ayu langsung pecah tidak bisa dia bendung lagi.Aku yang hanya bisa mendengarkan keluh kesah Mbak Ayu hanya bisa memeluknya. Karena apa yang Mbak Ayu alami hampir sama dengan kisahku. Hanya saja aku belum menikah siri dengan Mas Tio, dan kami juga baru kehilangan bayi kami.Tapi apa yang dirasakan oleh Mbak Ayu aku bisa merasakannya. Karena aku juga wanita dan aku tahu sekali rasanya disakiti oleh seorang pria, apalagi harus jauh anak kami.Cukup lama Mbak Ayu menangis dalam pelukanku dan aku akhirnya juga m