POV RianTiba-tiba Dania berlari dari dalam rumah mantan suaminya, dan aku yang sedari tadi menunggu pun terkejut, melihat kemarahan pada wajah Dania."Dania, tunggu, Dania!" Panggil suara Adam yang mengejar Dania, begitu juga dengan wanita yang mengekori mereka dari belakang."Dania, aku bisa menjelaskan semuanya padamu." Adam meraih pergelangan tangan Dania yang sudah berada di teras rumah hampir dekat dengan mobil kami. Tetapi sayangnya aku hanya berani melihat tanpaberani mendekat."Lepaskan, Mas!" Dania menepis kasar genggaman tangan itu. Kesal dan kecewa terlihat dari wajahnya.Aku yang sedari tadi berada di dalam mobil berhambur keluar menghampiri Dania. Tidak tahan melihat Dania diperlakukan seperti itu. "Apa yang terjadi, Nia?" tanyaku penasaran menatap kekesalan pada wajah Dania. "Ayo kita pulang, Mas!" Dania melingkarkan tangannya pada bahu kekarku."Tunggu Dania, aku belum selesai bicara!" Adam menarik pergelangan tangan Dania dibantu oleh wanita bertubuh bugar yang p
Mohon dukungan kalian semua, jangan lupa subscribe sebelum membaca.POV Dania."Iya, kamu Rayyan kan?" Lelaki yang baru datang itu sepertinya sangat yakin sekali jika lelaki yang sedang duduk di sampingku adalah Rayyan, orang yang ia kenal."Maaf, kamu siapa ya?" Rian akhirnya berucap setelah beberapa saat ia menenggelamkan wajahnya dalam bisu."Aku, Dimas, teman SMA kamu," balas lelaki yakin. Semburat senyuman mengantarkan keyakinan itu."Teman SMA, tapi saya lulusan SMK bukan SMA. Mungkin anda salah orang."Kening' lelaki bernama Dimas itu berkerut seketika, "Tapi aku ingat betul dengan bekas luka di pergelangan tangan itu." Lelaki itu menujuk bekas goresan luka yang cukup panjang pada pergelangan tangan Rian. Aku pun ikut sedikit memajukan tubuh untuk memperhatikan luka pada pergelangan tangan Rian.Rian menaikan sedikit lengan kemeja yang ia kenakan. Hingga bekas luka sayatan itu semakin terlihat jelas melingkar pada pergelangan tangannya."Oh, luka ini, ini hanya bekas luka saat a
Nadia berlari menghampiriku dengan nafas tersengal. Aku yang sedang berada di ruang produksi sedikit terkejut dengan kedatangan gadis muda itu."Duh, Dania, kamu kemana saja sih, aku nyariin kamu dari tadi!" protes Nadia, wajahnya terlihat sangat panik sekali."Ada pas sih?" tanyaku sibuk membantu mengemasi buku-buku yang sudah selesai dicetak."Kamu bagaimana sih, Dania! Bisa-bisanya kamu sesantai ini." Wajah Nadia semakin kesal padaku."Iya, ada apa, Nad?" tanyaku tanpa menoleh sedikitpun, aku terus melanjutkan kegiatanku menyusun buku-buku yang baru di cetak untuk segera di kirim ke perpustakaan-perpustakaan di seluruh Indonesia."Pak Ram kecelakaan, masa kamu nggak tau!" cetus Nadia."Apa?" Seketika mataku membulat penuh pada Nadia.Gadis muda itu mendengus halus. "Kecelakaan Pak Ram sudah satu minggu yang lalu, Nia, dan kamu baru mendengarnya sekarang?" Nadia menggelengkan kepalanya menatap heran padaku yang masih mematung tidak percaya dengan apa yang barusan ia katakan."Sudah
"Iya, luka ini sama dengan luka ...!" Aku terus memperhatikan luka sayatan yang cukup panjang yang berada pada pergelangan tangan ini."Bisakah anda melepaskan tangan saya?" Seketika aku mengerjap dan melepaskan pergelangan tangan lelaki tampan yang berada di samping rajang pasien Pak Ram."Ma-maaf!" lirihku. 'Bodohnya aku ini,' gerutuku dalam hati."Iya, tidak masalah!" cetus lelaki itu singkat. "Memangnya ada apa dengan bekas di tangan saya?" Lelaki itu menatap lekat ke arahku seraya mengoyangkan tangan kirinya di mana luka sayatan yang sama persis dengan luka Rian itu ada."Luka itu hampir sama dengan bekas luka Mas Rian, supir Pak Ram," tuturku dengan wajah memerah, karena kebodohanku."Oh ...!" Lelaki itu mengangguk lembut dengan membulatkan mulutnya hingga membentuk huruf O."Kamu siapanya, Rian?" Lelaki itu menyadarkan tubuhnya pada bangku, melipat kedua tangannya di depan dada."Saya, saya, teman Mas Rian!" balasku. "Kalau boleh tau di mana ya, Mas Rian sekarang? Karena suda
Hampir saja jantungku mencelos saat melihat lelaki berjaket hitam itu membalikan tubuhnya."Rian!" ucapku masih tidak percaya jika lelaki berkacamata besar dengan rambut poni itu kini ada di hadapanku. Hujan yang membahasi tubuhnya membuat butiran gerimis membahasi pipi dan rambut yang menutupi bagian keningnya."Dania!" ucap lembut Rian diikuti semburat senyuman."I-iya!" Aku masih terperangah seperti tidak percaya dengan apa yang saat ini aku lihat."Bolehkah aku masuk?" Seketika aku tergeragap. "Iya, masuklah!" ucapku memundurkan beberapa langkah kakiku menjauh dari pintu, memberikan jalan untuk Rian.Sebuah kantong plastik ia letakan di atas meja tamu, setelah melepaskan jaket hitam yang sudah basah kuyup yang ia pakai untuk melindungi diri hujan. Kini tinggal kaos oblong berwarna putih yang sedang ia kenakan. Dada bidang berbentuk kotak-kotak Rian semakin nampak jelas dari kaos yang sedikit basah. Menunjukan body atletis Rian."Aku membawakan kamu martabak manis kesukaanmu!" Ria
Rasanya aku ingin sekali mengabaikan pesan itu. Tapi entah mengapa rasa penasaranku jauh lebih besar. Berkali-kali aku melirik pesan yang Rian kirimkan padaku semalam. Dia memintaku untuk datang ke pesta pernikahannya yang akan ia gelar di puncak."Bagaimana bisa aku datang!" gerutuku kesal, merubah posisi tidurku yang semula tengkurap menjadi terlentang. Menatap pada langit-langit kamar yang didominasi dengan warna putih.Ting!Aku segera menyambar ponsel yang berbunyi di sampingku. Menyetuh lembut pada layar yang menampakan sebuah pesan telah masuk dari nama kontak Rian."Hati-hati di jalan. Dandan secantik mungkin. Karena aku yakin, kamu pasti sangat cantik sekali." Aku mendengus berat. "Sok tau lo, perasanku saja kamu tidak tau. Bagaimana bisa tau jika aku cantik," omelku pada layar ponsel yang masih menyala.Kembali kuletakkan ponsel di atas ranjang. Menikmati sejenak keheningan yang menenangkan. Tenyata, tanpa aku sadari aku sudah melupakan masalahku dengan Mas Adam, meskipun h
Lelaki itu berjalan semakin mendekat ke arahku. Jantungku berdebar semakin kencang. Membawa segelas anggur merah di tangannya, ia melemparkan senyuman hangat yang hampir membuat lolos jantungku karena pesonanya."Maaf Tuan, saya salah ruangan!" ucapku, segera memutar tubuh. Sebuah tangan mencengkal pergelangan tanganku. Seketika tubuhku terasa dingin dan membeku. Perlahan aku memberanikan diri untuk menoleh ke arah Pak Rayyan."Sa-saya mau menghadiri pernikahan Rian, Pak dan kata petugas resepsionis ada di sini," ucapku terbata, menahan debar jatung yang memburu. "Maaf saya salah!" Aku menggigit bibir bawahku untuk menepis kegugupan.Perlahan lelaki itu melepaskan genggaman tanganku. Menarik kedua sudut bibirnya tersenyum kecil. "Tidak ada pernikahan di sini, Dania," ucapnya lembut.'Apa, tidak ada pernikahan. Apa maksud dari Pak Rayyan.'"Maksud Bapak, apa?" Aku mengeryitkan dahi menatap lekat pada Pak Rayyan."Duduklah!" titahnya.Pak Rayyan mengjentikan tangannya ke udara. Beberap
Aku kembali bisa merasakan jatuh cinta. Cinta yang hangat dan begitu sangat menenangkan. Rayyan benar-benar membuatku kasmaran hingga aku melupakan semua masalah yang sedang aku hadapi."Sayang, aku sudah menunggumu di bawah!" tulis pesan yang Rayyan kirimkan padaku.Kusapu benda berwarna warni pada pipiku. memalingkan wajahku ke kiri dan ke kanan untuk memastikan bahwa riasan naturalku sudah sempurna. Segera kusambar tas yang berada di atas nakas samping ranjang, lalu bergegas turun dari lantai atas. "Maaf aku sudah membuatku menunggu!" ucapku melemparkan senyuman kecil pada Rayyan yang duduk di bangku kemudi. Iya, begitulah lelaki itu memintaku untuk memanggilnya, Rayyan. "Baiklah, tidak masalah, sekalipun menunggu itu adalah sebuah pekerjaan yang menjenuhkan, tetapi jika untuk menunggu kamu aku rela, sekalipun itu seumur hidupku," goda Rayyan menyungingkan senyuman kecil padaku.Aku tersipu malu, aku yakin pasti saat ini wajahku sedang memerah seperti udang rebus. Aku milih diam
Bugh."Ray!" Dania memekik. Tubuh Adam tersungkur di samping bangku. Setelah bogem mentah Rayyan hadiahkan tepat pada wajahnya. Wajah Adam sampai berpaling, saking kuatnya pukulan yang Rayyan hadiahkan.Dada Rayyan bergerak naik turun terbakar amarah. Sorot matanya tajam, seperti ingin menguliti mantan suami Dania hidup-hidup."Kamu sudah gila ya, Ray!" Dania memekik. Ia membantu Adam bangkit. Seketika seluruh pasang mata di cafe itupun menatap pada keributan yang terjadi."Iya, aku memang gila! Aku gila karena kamu!" Rayyan menaikan satu oktaf nada suaranya. Tatapan tajamnya beralih pada Dania. Hati Rayyan makin panas melihat Dania membantu Adam. Bak bara api yang disiram dengan minyak tanah. Kecemburuan Rayyan semakin membara."Mas, kamu tidak apa-apa, kan?" Dania mengabaikan Rayyan. Ia menatap khawatir pada sudut bibir Adam yang berdarah. Ada sedikit robekan di sana."Aku tidak apa-apa Dania." Angga mengusap sudut bibirnya sendiri. Menepis tangan Dania yang hendak menyentuh bagian
"Ray!" sentak Dania merobek kertas undangan bersampul merah muda itu di depan wajah Dania. Ekspresi kesal seketika tampak pada wajah Dania."Apa-apaan kamu, Ray?" Dania menaikan nada suaranya.Rayyan menarik sebelah sudut bibirnya tersenyum sinis. "Tidak ada pesta pertunangan apalagi pernikahan!" cetus Rayyan bersungguh-sungguh.Dania tidak bergeming melipat kedua tangannya di depan dada, menatap datar pada Rayyan."Berhentilah mengangguku. Hubungan kita sudah selesai!" tegas Dania penuh penekanan. Membalas tatapan tajam mata Rayyan.Dania melangkahkan kakinya. Lagi-lagi Rayyan menjegal pergelangan tangannya."Pergilah bersamaku!" ucap Rayyan menatap serius.Dania menghempaskan kasar tangan Rayyan hingga cengkraman tangan itu terlepas."Jangan gila, kamu Ray!" sentak Dania mendelik sesaat pada Rayyan."Aku serius, Dania!" Ray mengajar Dania yang meninggalkannya."Dania tunggu!" Rayyan mengikuti langkah cepat Dania. Tetapi wanita cantik itu sama sekali tidak peduli.Adegan saling kejar
Rayyan menjatuhkan tatapan dingin. Membuat tubuh Dania membeku seketika. Degupan jantung Dania memompa lebih cepat, hingga terdengar oleh telinganya."Saya pamit dulu, Bu!" lirih Lusi memutar tubuhnya cepat. Melangkahkan kakinya menuju ke arah pintu tempat dimana Rayyan berdiri. Sadar jika suasana tidak sedang bersahabat.Dania mematikan layar laptop. Berjalan dengan langkah penuh ketegasan menuju ke arah pintu. Memasang wajah sedatar mungkin. Saat ia melewati Rayyan, lelaki itu menjegal pergelangan tangannya.Sontak Dania menoleh pada Rayyan yang juga sedang menatap ke arahnya. Tatapan dingin dan menghunus.Rayyan menarik tubuh Dania. Memaksa Dania masuk kembali ke dalam ruangannya. Saat Rayyan hendak menutup pintu, seorang pegawai muncul di hadapannya."Ibu Dan ...!" Lelaki berjas hitam itu menjeda ucapannya. Sorot mata tajam Rayyan membuat nyali lelaki itu menciut."Ma ...!""Ada apa Pak Ilham?" Dania menarik kasar pergelangan tangannya dari cengkraman Rayyan. Sempat terlepas, namu
Dania tertegun cukup lama. Ia dapat merasakan jika matanya mulai memanas. Perlahan tapi pasti pandangannya mulai kabur."Saya akan memberikan anda waktu dua puluh empat jam. Jika anda sudah memutuskannya. Anda bisa menghubungi saya kembali."Dania bisa sedikit bernafas lega. Meksipun tidak sepenuhnya sesak meninggalkan dadanya.Sebelum air mata kekalahan jatuh membasahi pipi. Dania bergegas bangkit dari bangku yang berada di depan meja kerja Tuan Ram."Secepatnya saya akan memberitahu pada anda, Pak!" lirih Dania. Suaranya bergetar seperti sedang menahan tangisan. Langka kakinya gontai berjalan menuju ke arah pintu._____Tangis Dania pecah. Bulir air mata mampu membuat bantal yang membuatnya nyaman menjadi basah kuyup.Baru saja Dania diterbangkan ke awang-awang oleh takdir kehidupan. Kini ia harus jatuh tersungkur di dasar bumi yang paling dalam. Ia harus memilih antara dua hal yang sangat berarti di dalam hidupnya. Cinta atau keriernya yang mulai bersinar.Sakit. Sesak, hancur. Itul
Suara derap langkah kaki memecah keheningan. Dania menoleh pada sosok lelaki yang muncul dari ujung lorong. Berlari dengan langkah terrgesah-gesah. Diikuti oleh seorang wanita bertubuh ramping, yang belum pernah sekalipun Dania lihat. Ia menduga jika wanita itu adalah ibu dari Rayyan, istri dari Tuan Ram. “Dania, apa yang sebenarnya terjadi? Bagaimana dengan keadaann Ray?” Tuan Ram memberondongi Dania dengan pertanyaannya. Kekhawatiran terlukis jelas dari wajah Tuan Ram. Dania terisak. Ia sangat menyesal sekali sudah mengajak Rayyan untuk menolong Nadia. “Ray masih ada di dalam ruangan, Pak!” lirih Dania dengan suara berat. Derai air mata jatuh membahasi pipinya.Wanita yang berdiri di samping Tuan Ram mendadak menjatuhkan tubuhnya pada bahu Tuan Ram. “Ya Tuhan, bagaimana dengan anakku!” lirih Ibu Siska, terisak. Tuan Ram mengusap lembut bahu istrinya. “Tenanglah, Ma, Ray pasti akan baik-baik saja,” ucap Tuan Ram mencoba untuk menenangkan. Menuntun wanita yang seketika terisak itu
"Diam atau aku akan mencium kamu!" desis Rayyan setengah berbisik saat Dania akan membuka mulutnya.Mata Dania membulat penuh. Mulutnya kembali mengatub. Kata-kata yang telah tersusun kembali tertelan."Tapi, Om Ram bilang ...!" ucap Maria terbata. Wajahnya tampak terkejut."Iya, aku memang belum membawa Dania ke rumah. Tetapi Papa sudah kenal baik dengan Dania. Dia ini adalah penulis terbaik di Indonesia. Beberapa bukunya juga sudah difilmkan oleh perusahaan Papa." Rayyan menatap pada Dania yang sedang memaksakan senyuman pada bibirnya."Iya kan, sayang?" Rayyan menarik tubuh Dania semakin mendekat. Hingga pelukannya semakin erat."I-iya!" balas Dania terbata.Wajah wanita berambut kecoklatan itu seketika berubah. "Oh, begitu! Baiklah," balas Maria melirik sinis pada Dania."Kalau begitu aku pergi dulu!" lirih Maria terdengar lesu. Wanita dengan body seperti foto model itu membalikan tubuhnya berjalan menuju ke arah pintu kafe.Dania mendorong tubuh Rayyan. Hampir saja lelaki itu ter
Ucapan Nadia masih mendengung dalam indra pendengaran Dania. Iya, lagi-lagi soal anak. Sesuatu yang sepertinya mustahil sekali dapat Dania lakukan. Suara derap langkah kaki yang berjalan cepat membuyarkan lamunan Dania. Lelaki yang berada di ujung lorong nampak menutupi kepalanya dengan sebuah map di tangannya dari rintik hujan yang masih saja turun. Sesaat lelaki itu mengehentikan langkah kakinya dan mengibas-ngibaskan jas yang sedikit basah oleh gerimis di depan teras kafe."Maaf, aku terlambat!" ucap Rayyan saat ia tiba di meja Dania.Dania menarik kedua sudut bibirnya tersenyum kecil. Rasa cintanya semakin bertambah setiap kali melihat lelaki tampan yang kini duduk di hadapannya."Iya, aku juga baru sampai, kok!" dusta Dania. Padahal wanita itu sudah hampir satu jam menunggu kedatangan Rayyan di kafe itu.Sorot mata Rayyan tertuju pada es mocacino yang sudah mencair di hadapan Dania. "Apakah kamu sedang membohongiku?" ucap Rayyan memicingkan matanya pada Dania."Aku, tidak!" bala
POV AuthorGerimis jatuh membahasi bumi, butiran lembut itu menyentuh lembut pori-pori kulit Dania. Wanita yang sedang berdiri di depan halte itu memundurkan sedikit tubuhnya agar hujan tidak membahasi baju yang ia kenakan. Sebuah map hijau ia genggam erat di depan dada. Mulai hari ini babak baru kehidupannya akan di mulai. Menyandang status janda dengan segala polemiknya.Lelaki yang keluar dari gerbang gedung pengadilan negeri itu menoleh ke arah Dania. Wajahnya terlihat sedih. Saat Adam hendak melangkahkan kakinya menghampiri Dania, ibu Ratna menarik kasar pergelangan tangan putranya."Hanya sebentar saja, Bu!" lirih Adam. Wajahnya penuh pengharapan agar wanita berwatak keras kepala itu mengizinkannya."Untuk apa, Dam, perempuan sombong seperti itu tidak perlu kamu perjuangan!" desis Ibu Ratna dengan nada berisik namun berwajah sinis."Tolonglah, Bu!" Lagi, Adam memasang wajah memelas."Hanya sebentar!" cetus Ibu Ratna mengacungkan jari telunjuknya pada Adam dengan tatapan tajam.
POV Nadia.Dadaku bergemuruh melihat pemandangan mobil yang berada di depan rumah Adam. Bagaimana tidak, Rayyan sudah kembali berbaikan dengan Dania. Padahal aku sudah bersusah payah untuk memisahkan mereka."Sialan!" decihku kesal. "Jalan, Pak!" ucapku pada supir taksi online. Melihat mereka bermesra-mesraan semakin membuat hatiku memanas.Dreg, Dreg,Aku meraih ponsel yang berada di dalam tas. Nama Om Sato terpampang pada layar yang berkedip. "Untuk apa lelaki tua bangka itu menghubungiku!" gerutuku kesal. Lelaki tua yang tidak sadar umur itu terus saja menggangguku. Ia membeli kepuasan dengan kekayaannya. Jika bukan karena uang, aku tidak akan sudi menemani lelaki itu.Kubiarkan panggil itu hingga berhenti. Lagi, ponsel yang ada di tangan bergetar kembali dengan nama Om Sato yang muncul pada layar. Lebih baik aku angkat saja, daripada nanti Om Sato marah padaku dan jatah bulananku hangus."Iya, Om?" sapaku setelah menekan tombol hijau pada layar."Di mana, Nad? Om kangen nih!" u