Hampir saja jantungku mencelos saat melihat lelaki berjaket hitam itu membalikan tubuhnya."Rian!" ucapku masih tidak percaya jika lelaki berkacamata besar dengan rambut poni itu kini ada di hadapanku. Hujan yang membahasi tubuhnya membuat butiran gerimis membahasi pipi dan rambut yang menutupi bagian keningnya."Dania!" ucap lembut Rian diikuti semburat senyuman."I-iya!" Aku masih terperangah seperti tidak percaya dengan apa yang saat ini aku lihat."Bolehkah aku masuk?" Seketika aku tergeragap. "Iya, masuklah!" ucapku memundurkan beberapa langkah kakiku menjauh dari pintu, memberikan jalan untuk Rian.Sebuah kantong plastik ia letakan di atas meja tamu, setelah melepaskan jaket hitam yang sudah basah kuyup yang ia pakai untuk melindungi diri hujan. Kini tinggal kaos oblong berwarna putih yang sedang ia kenakan. Dada bidang berbentuk kotak-kotak Rian semakin nampak jelas dari kaos yang sedikit basah. Menunjukan body atletis Rian."Aku membawakan kamu martabak manis kesukaanmu!" Ria
Rasanya aku ingin sekali mengabaikan pesan itu. Tapi entah mengapa rasa penasaranku jauh lebih besar. Berkali-kali aku melirik pesan yang Rian kirimkan padaku semalam. Dia memintaku untuk datang ke pesta pernikahannya yang akan ia gelar di puncak."Bagaimana bisa aku datang!" gerutuku kesal, merubah posisi tidurku yang semula tengkurap menjadi terlentang. Menatap pada langit-langit kamar yang didominasi dengan warna putih.Ting!Aku segera menyambar ponsel yang berbunyi di sampingku. Menyetuh lembut pada layar yang menampakan sebuah pesan telah masuk dari nama kontak Rian."Hati-hati di jalan. Dandan secantik mungkin. Karena aku yakin, kamu pasti sangat cantik sekali." Aku mendengus berat. "Sok tau lo, perasanku saja kamu tidak tau. Bagaimana bisa tau jika aku cantik," omelku pada layar ponsel yang masih menyala.Kembali kuletakkan ponsel di atas ranjang. Menikmati sejenak keheningan yang menenangkan. Tenyata, tanpa aku sadari aku sudah melupakan masalahku dengan Mas Adam, meskipun h
Lelaki itu berjalan semakin mendekat ke arahku. Jantungku berdebar semakin kencang. Membawa segelas anggur merah di tangannya, ia melemparkan senyuman hangat yang hampir membuat lolos jantungku karena pesonanya."Maaf Tuan, saya salah ruangan!" ucapku, segera memutar tubuh. Sebuah tangan mencengkal pergelangan tanganku. Seketika tubuhku terasa dingin dan membeku. Perlahan aku memberanikan diri untuk menoleh ke arah Pak Rayyan."Sa-saya mau menghadiri pernikahan Rian, Pak dan kata petugas resepsionis ada di sini," ucapku terbata, menahan debar jatung yang memburu. "Maaf saya salah!" Aku menggigit bibir bawahku untuk menepis kegugupan.Perlahan lelaki itu melepaskan genggaman tanganku. Menarik kedua sudut bibirnya tersenyum kecil. "Tidak ada pernikahan di sini, Dania," ucapnya lembut.'Apa, tidak ada pernikahan. Apa maksud dari Pak Rayyan.'"Maksud Bapak, apa?" Aku mengeryitkan dahi menatap lekat pada Pak Rayyan."Duduklah!" titahnya.Pak Rayyan mengjentikan tangannya ke udara. Beberap
Aku kembali bisa merasakan jatuh cinta. Cinta yang hangat dan begitu sangat menenangkan. Rayyan benar-benar membuatku kasmaran hingga aku melupakan semua masalah yang sedang aku hadapi."Sayang, aku sudah menunggumu di bawah!" tulis pesan yang Rayyan kirimkan padaku.Kusapu benda berwarna warni pada pipiku. memalingkan wajahku ke kiri dan ke kanan untuk memastikan bahwa riasan naturalku sudah sempurna. Segera kusambar tas yang berada di atas nakas samping ranjang, lalu bergegas turun dari lantai atas. "Maaf aku sudah membuatku menunggu!" ucapku melemparkan senyuman kecil pada Rayyan yang duduk di bangku kemudi. Iya, begitulah lelaki itu memintaku untuk memanggilnya, Rayyan. "Baiklah, tidak masalah, sekalipun menunggu itu adalah sebuah pekerjaan yang menjenuhkan, tetapi jika untuk menunggu kamu aku rela, sekalipun itu seumur hidupku," goda Rayyan menyungingkan senyuman kecil padaku.Aku tersipu malu, aku yakin pasti saat ini wajahku sedang memerah seperti udang rebus. Aku milih diam
POV AUTHORSuara ketukan bolpoin yang terdengar teratur menggambarkan benak Dania yang sedang mengembara. "Tidak, aku yakin Ibu hanya sedang berpura-pura saja. Jika dia tidak menginginkan uangku pasti dia menginginkan agar aku kembali lagi bersama Mas Adam," guman Dania dengan benak menerka-nerka.Dania menutup layar laptop, lalu beranjak bangun dari bangku. Ponsel yang berada di atas meja bergetar dengan layar berkedip. Sesaat Dania menjatuhkan tatapannya pada Layar ponsel. "Rico!" lirih Dania pada panggilan video call yang sedang lelaki itu lakukan pada nomornya.Dania meraih benda pintarnya dari atas meja. Bukan untuk mengangkat telepon Rico melainkan untuk memastikan ponselnya. "Maaf, aku sudah tidak percaya lagi dengan keluargamu, Mas! Semenjak kamu lebih memilih percaya pada ibumu, dan membiarkan mereka memanfaatkanku, aku sudah berhenti mencintaimu," ucap Dania pada layar ponsel yang sudah mati.____Dania masih menatap pantulan dirinya di depan cermin. Mengoleskan lipstik
Tubuh Nadia bergetar hebat. Menunggu jawaban dari lelaki berseragam putih yang duduk pada bangku di hadapannya. "Benturan yang terlalu kuat pada kepala pasien mengakibatkan memorinya mengalami kerusakan dan jika kita terus memaksa pasien' untuk mengingat, hal itu justru dapat berakibat kerusakan yang sangat fatal sekali pada ingatannya."Bibir Dania bergetar, sementara Ibu Ratna terus terisak di dalam pelukan Rico. "Tapi, Mas Adam masih mengingat kami, Dok?" debat Dania. Wajahnya terlihat sangat kacau sekali."Betul sekali, menurut pemeriksaan yang sudah kami lakukan, pasien mengalami kehilangan memori satu tahun belakang ini saja dan untuk tahun-tahun berikutnya ingatan itu masih tetep ada dan tidak hilang."Dada Dania terasa begitu berat. Hal itu berarti, jika Adam masih menganggap Dania masih sebagai istri sah nya."Yang pasien butuhkan sekarang adalah dukungan keluarga. Terutama Mbak Dania, karena sepertinya sosok Mbak Dania sangat berarti sekali untuk Pak Adam," tutur Dokter i
"Ini adalah kesempatanku untuk menyatukan Dania dengan Adam kembali," batin Bu Ratna, sorot matanya tertuju pada Dania yang sedang sibuk penyuapkan nasi kepada Adam."Udah sayang!" ucap Adam dengan mulut yang masih penuh pada Dania.Dania tidak bergeming. Ia segera meletakkan piring yang masih berisi nasi itu di atas nakas."Adam, kenapa makan kamu sedikit sekali?" tanya Bu Ratna. "Makanlah, yang banyak biar kamu bisa segera sembuh!" tutur wanita itu melihat pada Adam yang sedari tadi tidak berkedip mengawasi Dania."Bu, bolehkah ibu tinggalkan aku dan Dania sebentar." Adam menatap pada Ibu Ratna yang duduk di sampingnya.Wanita bertubuh bugar itu turun dari bibir rajang. Berjalan ke arah pintu ruangan Adam meninggalkan Dania dan Adam.Sesaat suasana di dalam ruangan berpendingin itu terasa begitu hening sekali. Dania sedari tadi hanya terdiam dengan wajah murung membuat Adam semakin penasaran."Sayang!" "Iya Mas!" sahut Dania tergeragap. "Mas butuh apa lagi?" tanya Dania berusaha u
"Demikian meeting kita hari ini. Terima untuk semua perhatiannya." Lelaki dengan jas hitam itu bangkit dari bangku dan berjalan cepat menuju pintu ruangan. Nadia bergegas mengemasi barang-barangnya dan berjalan cepat mengejar Rayyan."Pak Ray, tunggu!" panggil Nadia. Rayyan menghentikan langkah kakinya kemudian menoleh ke balik punggung pada Nadia.Tatapan Rayyan tidak seramah saat lelaki itu menjadi Rian. Saat lelaki itu sudah menunjukan siapa sebenarnya dirinya, anak dari pemilik MNC Cinema itu berubah 180 derajat, sangat bertolak belakang sekali dengan kepribadian Rian yang ramah dan humble."Pak, saya ingin bicara sebentar dengan, Bapak," ucap Nadia dengan nafas yang hampir putus karena berlari mengejar Rayyan."Saya tidak ada waktu!" Rayyan memutar tubuhnya dan kembali berjalan."Pak tunggu, Pak! Ini soal Dania," teriak Nadia seketika menghentikan langkah kaki Rayyan. Huf! Nadia meniup kecil dari bibirnya dan berjalan menghampiri Rayyan."Berikan saya waktu sebentar, saya ingin
Bugh."Ray!" Dania memekik. Tubuh Adam tersungkur di samping bangku. Setelah bogem mentah Rayyan hadiahkan tepat pada wajahnya. Wajah Adam sampai berpaling, saking kuatnya pukulan yang Rayyan hadiahkan.Dada Rayyan bergerak naik turun terbakar amarah. Sorot matanya tajam, seperti ingin menguliti mantan suami Dania hidup-hidup."Kamu sudah gila ya, Ray!" Dania memekik. Ia membantu Adam bangkit. Seketika seluruh pasang mata di cafe itupun menatap pada keributan yang terjadi."Iya, aku memang gila! Aku gila karena kamu!" Rayyan menaikan satu oktaf nada suaranya. Tatapan tajamnya beralih pada Dania. Hati Rayyan makin panas melihat Dania membantu Adam. Bak bara api yang disiram dengan minyak tanah. Kecemburuan Rayyan semakin membara."Mas, kamu tidak apa-apa, kan?" Dania mengabaikan Rayyan. Ia menatap khawatir pada sudut bibir Adam yang berdarah. Ada sedikit robekan di sana."Aku tidak apa-apa Dania." Angga mengusap sudut bibirnya sendiri. Menepis tangan Dania yang hendak menyentuh bagian
"Ray!" sentak Dania merobek kertas undangan bersampul merah muda itu di depan wajah Dania. Ekspresi kesal seketika tampak pada wajah Dania."Apa-apaan kamu, Ray?" Dania menaikan nada suaranya.Rayyan menarik sebelah sudut bibirnya tersenyum sinis. "Tidak ada pesta pertunangan apalagi pernikahan!" cetus Rayyan bersungguh-sungguh.Dania tidak bergeming melipat kedua tangannya di depan dada, menatap datar pada Rayyan."Berhentilah mengangguku. Hubungan kita sudah selesai!" tegas Dania penuh penekanan. Membalas tatapan tajam mata Rayyan.Dania melangkahkan kakinya. Lagi-lagi Rayyan menjegal pergelangan tangannya."Pergilah bersamaku!" ucap Rayyan menatap serius.Dania menghempaskan kasar tangan Rayyan hingga cengkraman tangan itu terlepas."Jangan gila, kamu Ray!" sentak Dania mendelik sesaat pada Rayyan."Aku serius, Dania!" Ray mengajar Dania yang meninggalkannya."Dania tunggu!" Rayyan mengikuti langkah cepat Dania. Tetapi wanita cantik itu sama sekali tidak peduli.Adegan saling kejar
Rayyan menjatuhkan tatapan dingin. Membuat tubuh Dania membeku seketika. Degupan jantung Dania memompa lebih cepat, hingga terdengar oleh telinganya."Saya pamit dulu, Bu!" lirih Lusi memutar tubuhnya cepat. Melangkahkan kakinya menuju ke arah pintu tempat dimana Rayyan berdiri. Sadar jika suasana tidak sedang bersahabat.Dania mematikan layar laptop. Berjalan dengan langkah penuh ketegasan menuju ke arah pintu. Memasang wajah sedatar mungkin. Saat ia melewati Rayyan, lelaki itu menjegal pergelangan tangannya.Sontak Dania menoleh pada Rayyan yang juga sedang menatap ke arahnya. Tatapan dingin dan menghunus.Rayyan menarik tubuh Dania. Memaksa Dania masuk kembali ke dalam ruangannya. Saat Rayyan hendak menutup pintu, seorang pegawai muncul di hadapannya."Ibu Dan ...!" Lelaki berjas hitam itu menjeda ucapannya. Sorot mata tajam Rayyan membuat nyali lelaki itu menciut."Ma ...!""Ada apa Pak Ilham?" Dania menarik kasar pergelangan tangannya dari cengkraman Rayyan. Sempat terlepas, namu
Dania tertegun cukup lama. Ia dapat merasakan jika matanya mulai memanas. Perlahan tapi pasti pandangannya mulai kabur."Saya akan memberikan anda waktu dua puluh empat jam. Jika anda sudah memutuskannya. Anda bisa menghubungi saya kembali."Dania bisa sedikit bernafas lega. Meksipun tidak sepenuhnya sesak meninggalkan dadanya.Sebelum air mata kekalahan jatuh membasahi pipi. Dania bergegas bangkit dari bangku yang berada di depan meja kerja Tuan Ram."Secepatnya saya akan memberitahu pada anda, Pak!" lirih Dania. Suaranya bergetar seperti sedang menahan tangisan. Langka kakinya gontai berjalan menuju ke arah pintu._____Tangis Dania pecah. Bulir air mata mampu membuat bantal yang membuatnya nyaman menjadi basah kuyup.Baru saja Dania diterbangkan ke awang-awang oleh takdir kehidupan. Kini ia harus jatuh tersungkur di dasar bumi yang paling dalam. Ia harus memilih antara dua hal yang sangat berarti di dalam hidupnya. Cinta atau keriernya yang mulai bersinar.Sakit. Sesak, hancur. Itul
Suara derap langkah kaki memecah keheningan. Dania menoleh pada sosok lelaki yang muncul dari ujung lorong. Berlari dengan langkah terrgesah-gesah. Diikuti oleh seorang wanita bertubuh ramping, yang belum pernah sekalipun Dania lihat. Ia menduga jika wanita itu adalah ibu dari Rayyan, istri dari Tuan Ram. “Dania, apa yang sebenarnya terjadi? Bagaimana dengan keadaann Ray?” Tuan Ram memberondongi Dania dengan pertanyaannya. Kekhawatiran terlukis jelas dari wajah Tuan Ram. Dania terisak. Ia sangat menyesal sekali sudah mengajak Rayyan untuk menolong Nadia. “Ray masih ada di dalam ruangan, Pak!” lirih Dania dengan suara berat. Derai air mata jatuh membahasi pipinya.Wanita yang berdiri di samping Tuan Ram mendadak menjatuhkan tubuhnya pada bahu Tuan Ram. “Ya Tuhan, bagaimana dengan anakku!” lirih Ibu Siska, terisak. Tuan Ram mengusap lembut bahu istrinya. “Tenanglah, Ma, Ray pasti akan baik-baik saja,” ucap Tuan Ram mencoba untuk menenangkan. Menuntun wanita yang seketika terisak itu
"Diam atau aku akan mencium kamu!" desis Rayyan setengah berbisik saat Dania akan membuka mulutnya.Mata Dania membulat penuh. Mulutnya kembali mengatub. Kata-kata yang telah tersusun kembali tertelan."Tapi, Om Ram bilang ...!" ucap Maria terbata. Wajahnya tampak terkejut."Iya, aku memang belum membawa Dania ke rumah. Tetapi Papa sudah kenal baik dengan Dania. Dia ini adalah penulis terbaik di Indonesia. Beberapa bukunya juga sudah difilmkan oleh perusahaan Papa." Rayyan menatap pada Dania yang sedang memaksakan senyuman pada bibirnya."Iya kan, sayang?" Rayyan menarik tubuh Dania semakin mendekat. Hingga pelukannya semakin erat."I-iya!" balas Dania terbata.Wajah wanita berambut kecoklatan itu seketika berubah. "Oh, begitu! Baiklah," balas Maria melirik sinis pada Dania."Kalau begitu aku pergi dulu!" lirih Maria terdengar lesu. Wanita dengan body seperti foto model itu membalikan tubuhnya berjalan menuju ke arah pintu kafe.Dania mendorong tubuh Rayyan. Hampir saja lelaki itu ter
Ucapan Nadia masih mendengung dalam indra pendengaran Dania. Iya, lagi-lagi soal anak. Sesuatu yang sepertinya mustahil sekali dapat Dania lakukan. Suara derap langkah kaki yang berjalan cepat membuyarkan lamunan Dania. Lelaki yang berada di ujung lorong nampak menutupi kepalanya dengan sebuah map di tangannya dari rintik hujan yang masih saja turun. Sesaat lelaki itu mengehentikan langkah kakinya dan mengibas-ngibaskan jas yang sedikit basah oleh gerimis di depan teras kafe."Maaf, aku terlambat!" ucap Rayyan saat ia tiba di meja Dania.Dania menarik kedua sudut bibirnya tersenyum kecil. Rasa cintanya semakin bertambah setiap kali melihat lelaki tampan yang kini duduk di hadapannya."Iya, aku juga baru sampai, kok!" dusta Dania. Padahal wanita itu sudah hampir satu jam menunggu kedatangan Rayyan di kafe itu.Sorot mata Rayyan tertuju pada es mocacino yang sudah mencair di hadapan Dania. "Apakah kamu sedang membohongiku?" ucap Rayyan memicingkan matanya pada Dania."Aku, tidak!" bala
POV AuthorGerimis jatuh membahasi bumi, butiran lembut itu menyentuh lembut pori-pori kulit Dania. Wanita yang sedang berdiri di depan halte itu memundurkan sedikit tubuhnya agar hujan tidak membahasi baju yang ia kenakan. Sebuah map hijau ia genggam erat di depan dada. Mulai hari ini babak baru kehidupannya akan di mulai. Menyandang status janda dengan segala polemiknya.Lelaki yang keluar dari gerbang gedung pengadilan negeri itu menoleh ke arah Dania. Wajahnya terlihat sedih. Saat Adam hendak melangkahkan kakinya menghampiri Dania, ibu Ratna menarik kasar pergelangan tangan putranya."Hanya sebentar saja, Bu!" lirih Adam. Wajahnya penuh pengharapan agar wanita berwatak keras kepala itu mengizinkannya."Untuk apa, Dam, perempuan sombong seperti itu tidak perlu kamu perjuangan!" desis Ibu Ratna dengan nada berisik namun berwajah sinis."Tolonglah, Bu!" Lagi, Adam memasang wajah memelas."Hanya sebentar!" cetus Ibu Ratna mengacungkan jari telunjuknya pada Adam dengan tatapan tajam.
POV Nadia.Dadaku bergemuruh melihat pemandangan mobil yang berada di depan rumah Adam. Bagaimana tidak, Rayyan sudah kembali berbaikan dengan Dania. Padahal aku sudah bersusah payah untuk memisahkan mereka."Sialan!" decihku kesal. "Jalan, Pak!" ucapku pada supir taksi online. Melihat mereka bermesra-mesraan semakin membuat hatiku memanas.Dreg, Dreg,Aku meraih ponsel yang berada di dalam tas. Nama Om Sato terpampang pada layar yang berkedip. "Untuk apa lelaki tua bangka itu menghubungiku!" gerutuku kesal. Lelaki tua yang tidak sadar umur itu terus saja menggangguku. Ia membeli kepuasan dengan kekayaannya. Jika bukan karena uang, aku tidak akan sudi menemani lelaki itu.Kubiarkan panggil itu hingga berhenti. Lagi, ponsel yang ada di tangan bergetar kembali dengan nama Om Sato yang muncul pada layar. Lebih baik aku angkat saja, daripada nanti Om Sato marah padaku dan jatah bulananku hangus."Iya, Om?" sapaku setelah menekan tombol hijau pada layar."Di mana, Nad? Om kangen nih!" u