Pipiku.
Rasa panas terasa di wajah Alila setelah tangan kakaknya menerpa pipinya. Belum pernah kakaknya memukulnya seperti ini sebelumnya. Apalagi di depan umum, kakaknya selalu saja menjaganya dan melindunginya. Dan jelas teman Alila juga kaget sangat melihat apa yang dilakukan oleh Rich pada adiknya.
"Alila, kau tidak apa-apa?" Makanya dia sontak bertanya karena khawatir.
Tapi ada seorang wanita di sana yang justru merasa sangat senang hatinya melihat adegan yang baru saja terjadi.
Sekarang aku baru membiarkan kakakmu menampar wajahmu. Dan nanti kau akan lihat sendiri kakakmu akan mengusirmu ke jalanan. Atau bahkan membunuhmu demi aku, seru hatinya yang merasa mendapat jackpot melihat Alila yang baru saja kena pukul.
Sedangkan Rich, jujur saja
"Alila, kau berjalan sudah seperti berlari. Hati-hati, Alila, kau baru sembuh."Shaun memang khawatir sekali dengan kondisi temannya, makanya dia buru-buru mengejar dan kini membukakan pintu untuk Alila yang memang benar merasakan pusing di kepalanya. Emosinya tadi meninggi, tapi dia tidak mau membiarkan dirinya terlihat lemah di hadapan orang lain apalagi wanita seperti Paula.Dan bahkan pukulan di wajahnya, membuat kepalanya masih kliyengan. Jangan lupakan kalau darahnya baru diambil delapan ratus mili. Dan darah itu tidak mungkin kembali dalam waktu beberapa jam."Terima kasih, Shaun. Dan aku minta maaf sekali. Aku ingin mentraktirmu di sini karena makanannya rasanya enak sebagai perayaan kita berdua lolos berangkat ke Jepang. Kurasa ini hadiah yang pas untukmu, apalagi kau memang sudah banyak membantuku. Hari ini aku tidak bisa lolos kalau b
"Hai, kalian berdua sudah datang. Tumben lebih cepat."Namun sebelum Alila memutuskan apa yang harus dilakukan, ibu Arthur sudah menyapa mereka dan melambaikan tangan, tanda bahwa mereka seharusnya mendekat dulu padanya."Hai, Tante. Halo Amar, apa kabar?""Hai, Alila. Aku tak sangka bertemu lagi denganmu sekarang.""Dia kan kerja di sini, Amar.""Iya, Rein. Aku lupa kalau Alila bekerja di sini. Apa kabar, Alila?" Amar ramah menyapa Alila bahkan mengulurkan tangannya lebih dulu."Oh ya, boleh aku bertanya sesuatu padamu?""Amar, kau ingin bertanya apa?"Dan sebelum Alila merespon Amar, Rein memotong duluan, ingin tahu. Dari mimik wajahnya, Rein terlihat tak suka.
"Dia tadi bilang, dia tidak tahu, Rein." Tapi Amar malah menjawab singkat seperti itu sambil dia menghempaskan tubuhnya duduk lagi di kursi tadi sebelum Alila datang."Tapi kan itu katanya. Apa kau tidak memperhatikan sikapnya? Kurasa dia tahu sesuatu, tapi dia tidak mau bicara. Rasanya itu mudah untuk kita tahu, kan? Kita sudah lebih dewasa darinya. Gesture-nya beda, Amar."Mereka juga dulu pernah muda dan pernah menjadi remaja seperti Alila. Dari gerak-gerik Alila memang terbaca sesuatu di mata orang tua seperti mereka. Tapi Amar malah menggelengkan kepalanya, menolak pernyataan Rein."Aku tidak bodoh. Tapi aku juga tidak mau memaksakan kehendakku. Jika dia mau cerita, dia pasti cerita. Karena dia juga tahu seberapa besar kekuasaan ayahnya. Cuma mungkin, dia memang tidak tahu detailnya? Dan dia punya alasan sendiri kenapa dia menyembu
"Apa mereka berdua sudah menuju ke sini, Dave?""Hmm. Sudah, Reza. Kurasa tidak ada di antara mereka yang akan mengabaikan panggilanmu."David menjawab pertanyaan bosnya yang kini sedang duduk di kursi kerjanya dan tangannya memijat dahinya sendiri.Mata pria itu terpejam, tapi tentu dia tidak tidur. Hanya lelah dan penat saja dengan berita yang baru saja didapatkan olehnya dan pikirannya sangat sibuk sekali."Kau tenanglah dulu. Ini bukan bom atom, kok. Hanya keributan kecil kakak-beradik.”"Tapi mereka mempertaruhkan reputasiku.”Jawaban yang kembali membuat David menghela napas dan dia mendekat, lalu duduk berseberangan dengan posisi Reza dan di antara mereka ada meja kerja lumayan lebar yang memisahkan keduanya."Reza, na
"Papa?""Tanda tangan di surat perjanjian yang sudah dibuat oleh David dan setelah itu aku akan menuliskan pasal-pasalnya dan membuatnya legal." Reza memang tidak bermain-main kalau dia sudah menentukan satu hal yang ingin dilakukan olehnya."Kau ingin membuktikan kalau wanita itu wanita baik-baik dengan memolesnya menggunakan uangku? Tidak akan kubiarkan. Meski kau bilang kau menghasilkan itu dari jerih payahmu sendiri, tapi ini perusahaanku. Jadi aku tidak akan pernah membiarkanmu menggunakan uang dari perusahaanku, meski kau menghasilkannya dari kerjamu, tapi kau tidak menggajiku untuk mendidikmu dari usia kecil sampai kau bisa sebesar ini. Apa kau pikir uang yang kau dapatkan itu bisa membayar semua experience yang sudah kudapatkan sampai bisa membuatmu juga seperti sekarang?"Pertanyaan yang tidak dijawab oleh Rich. Tak sangka saja dirinya
"Nah, kau bisa beristirahat di sini dan buka sepatumu. Bersantailah dulu sambil menunggu makananmu dan kalau kau ingin mandi lalu kau ingin beristirahat dan tidur, lakukan apa yang kau mau.""Papa, kau baik sekali membukakan sepatuku. Aku sangat lelah sekali sampai aku tidak sanggup membukanya."Reza memang sangat amat memanjakan putri bungsunya ini. Lihatlah sekarang. Dia rela menggerakkan tangannya untuk memegang sepatu kotor putrinya. Dia tidak peduli. Tapi untuk putrinya, memang ini berbeda."Iya, kau memang sangat manja. Tidurlah dulu. Atau ada yang mau kau sampaikan padaku?"Reza baru saja membuka sepatu anaknya juga kaos kakinya dan kini dia berjalan menuju satu meja sambil bertanya."Tak ada yang ingin kusampaikan. Papa, kau cari apa?"
"Sudah selesai.""Dengan kau menandatangani, itu artinya kau juga menyetujui semua pasal-pasal yang nanti akan dibuat oleh papamu, Rich. Seperti biasa, no negotiation. Apa kau paham itu?"“Aku mengerti. Dan terima kasih, David. Aku akan melakukan sesuai dengan yang kau katakan tadi."David kini memberikan senyum di bibirnya. Rich yang juga menyerahkan kertas itu padanya terlihat plong."Copy-annya akan kuberikan nanti. Kau tunggulah dulu. Aku juga memesan makanan untukmu.”"Tapi sebenarnya aku sudah makan di restoran masakan Indonesia yang langganan keluarga. Tadi aku kesana sama Arthur."Dan mereka kembali melanjutkan obrolan mereka tanpa beban seperti biasa. Rich tidak masalah dengan yang tadi diminta ole
Fuuuh, syukurlah papaku sudah keluar. Dia tidak lagi marah padaku dan dia membiarkanku beristirahat. Tapi, aku memang tidak mengantuk, sih. Biasanya jam segini kan aku bekerja di tempatnya Tante Rein.Alila berbisik lirih setelah papanya meninggalkan ruang istirahatnya. Kini tangannya juga sudah bergerak mengambil tasnya dan mengeluarkan handphone dari dalam sana.Alila men-scroll layar ponsel dengan jari tangannya dan dia tersenyum membaca pesan yang baru saja masuk. Dia pun segera mungkin menulis pesan untuk orang yang ada di sana supaya dia tidak khawatir pada Alila.[Tenang saja, Shaun. Papaku tidak akan pernah memarahiku. Papaku sangat menyayangiku dan dia bahkan memelukku. Papa bilang, dia rindu padaku. Hehehe. Kau tidak perlu memikirkan keselamatanku. Cuma, tolong bilangkan pada Tante Rein, aku sepertinya tidak mungkin bisa kembali ke sana sekarang. Papa akan semakin marah pada Rich. Aku ingin berusaha untuk membujuk Papa supaya tidak terlalu kasar ke kakakku yang bodoh itu.]S
Delima: Mana ku tahu. Dia baru kembali beberapa jam yang lalu. Mungkin dia ingin memberikan surprise padamu.Shaun, dia menempuh kuliah S1 dan S2-nya di Jepang dan semuanya mendapat beasiswa. Hari ini kepulangannya dan Alila sungguh tak percaya kalau temannya itu sudah datang tanpa meneleponnya.Alila: Berikan teleponnya padanya.Shaun: Hai Alila.Delima pun menurut. Dan kini suara seseorang sudah membuat Alila begitu murka padanyaAlila: Kau. Sahabat macam apa kau pulang tidak bilang-bilang padaku?Shaun: Dengar dulu, aku-Alila: Tak mau. Aku lagi marah padamu Shaun.Yah, sudah terbayang memang bagaimana kesalnya Alila karena tidak diberitahukan tentang kedatangan pria itu. Padahal selama ini komunikasi mereka cukup lancar. Tapi kenapa dia harus tahu dari orang lain tentang kedatangan Shaun?Shaun: Baiklah, aku minta maaf, aku ingin kasih kejutan padamu.Alila: Maafmu tidak diterima. Cepat temui aku di plaza dan bantu aku mengurus empat monster kecil ini. Bawa juga Delima. Dia yang pa
"Alila, kau dengar aku tidaaaak?""Dengaaaar, sabarlah Darwin, kan aku masih berpikir!"Entah kenapa Alila jadi mengingat ini. Sampai dia diam beberapa detik dan Darwin mengomel.Bayangan tentang Arthur memang tidak bisa dilupakannya dengan mudah. Ini yang membuatnya kembali menunjuk pekerjaan pada Darwin."Jangan bilang kau akan menunda lagi. Atau jangan-jangan kau menunda terus supaya aku berpaling dari Delima padamu.""Dih, kau pikir aku menyukaimu Darwin? Ish.""Habis, lama sekali sih. Aku sudah tidak sabar. Apa kau tidak mendukungku bersama dengannya dan hanya menipuku selama ini?"Darwin memang tidak sabaran. Delima memang sangat cantik sekali dan Darwin menyukainya sejak pandangan pertama. Alila jadi terkekeh lagi melihat bagaimana kesalnya Darwin padanya.Hubungannya dengan Darwin tidak se-kaku hubungan antara Reza dengan David. Mereka tak pakai panggilan resmi. Di tempat kerja, panggilan nama seperti ini juga tak masalah. Tak jarang mereka juga ribut satu sama lain di depan k
"Amar, Caca akan melahirkan!"Cuma sebelum siapapun merespon, Alila sadar duluan. Darah segar pun mengalir begitu saja yang membuat Amar cemas, Alila memekik."Kenapa kau diam saja? Cepat bawa istrimu ke dalam!"Reza juga panik. Dia segera mungkin membuka ruangan dan memanggil dokter untuk mempersiapkan operasi kedua yang jaraknya bahkan tak lebih dari seperempat jam dari Rania yang baru selesai.Caca tidak bisa diminta lahiran normal karena masalah di kepalanya dikhawatirkan akan mengganggu kesehatannya.Sekarang saja masalah di otaknya belum sembuh betul. Ya memang kondisinya sudah lebih baik. Caca bisa bertahan mengingat seseorang lebih dari seperempat jam. Bahkan rekor, pernah setengah jam dia tak bertanya dan bisa fokus ke obrolan tanpa gangguan. Tapi tetap saja, lahiran normal ini resiko berat."Papa. Amar. Bisa tidak sih kalian tidak bolak-balik? Mengganggu penglihatanku saja!"Tadi saat Rania melahirkan, Reza masih bisa tenang hanya menggenggam tangan Alila dan merangkul putri
"Aku tidak jadi bicara denganmu. Akan kupikirkan lagi bagaimana aku harus menyingkirkanmu!"Lagi-lagi jawaban yang membuat kepala David pening."Reza kau ingin aku mengundurkan diri kah?"Amar tak mengerti apa yang sedang mereka perdebatkan tapi sepertinya dia melihat sisi positif dari sikap David yang menekan Reza ini."Kau tidak perlu mengundurkan diri kalau Reza memang membenciku, David. Dia masih berpikir kalau aku ingin merebut Rania-""BUKAN HANYA RANIA!" Reza memekik."Kau pikir masalahku denganmu hanya karena itu? Aku membencimu karena kau selalu mengganggu hidupku, selalu mengambil apa yang seharusnya menjadi milikku."Bingung juga Amar mencernanya. Karena dia merasa tidak mengambil apapun dan bahkan dia sudah mengembalikan Rania kepada Reza.Dia tidak mengganggu hubungan mereka selama mereka bersama, dia tidak datang kecuali dia ingin mengecek DNA Caca barulah dia muncul."Sudah Amar, tidak perlu dipikirkan. Reza hanya cemburu tentang Marsha. Kau bersama dengan Marsha dari d
"Kau jaga Marsha. Aku akan bicara dengan suaminya tentu dia sendirian di dalam kamarnya, temani dia."Tapi Reza tidak mengizinkan Alila ikut.Dan putrinya pun menurut meski saat ini David yang melihat ini dia menatap tak suka pada Reza."Kenapa kau?""Aku ikut kau bicara dengannya. Tapi jika kau berani mencoba mengganggunya maka aku akan menyelamatkannya Reza. Kau temanku tapi aku tahu kalau menyerang Amar adalah tindakan yang salah."Ini hanya sebatas kekhawatiran David kalau Reza akan melakukan tindakan yang sama seperti yang dilakukan oleh kakeknya Frederick dulu. Bersikap baik pada Rania tapi di belakang dia menusuk Rania. Membuat wanita itu kesulitan dan bahkan Frederick adalah orang yang patut disalahkan untuk semua kejadian yang menimpa Marsha.Tidak mungkin Marsha diculik dan mengalami luka di kepalanya yang parah jika Frederick melindunginya."Kau ingin menentangku?"Dan tentu saja pembicaraan ini terjadi setelah Alila keluar dan dia menuju kamar Caca dan Amar. Reza mengingin
"Papa?""Papa Reza, Marsha.""Sssh, Papa Rezanya Marsha, om Amar?""Hm, papanya Marsha. Papanya Marsha juga sudah kangen sekali dengan Marsha dan ingin sekali memeluk Marsha."Ada senyum dari wanita yang sedang ada dalam rangkulan Amar itu dan Reza juga menegang saat Amar mengatakannya.Tidak terbesit dalam pikiran Reza sama sekali kalau Amar akan membahas tentang dirinya pada Marsha dengan cara seperti ini setelah sebulan lebih Reza terus berpikir negatif tentang Amar dan cemburu padanya."Baca ini Reza."Amar memberikan handphone yang diambil David agar Reza baca.[Reza kemarilah. Putrimu yang ini juga ingin dipeluk olehmu. Dia memegang tanganku kencang sekali saat kau memeluk adiknya, Alila.]"Eh tentu Papa, kau harus memeluknya."Alila yang mengintip isi pesan itu, melepaskan diri dan dia khawatir sekali kalau kakaknya akan cemburu padanya.Dia meninggalkan Reza sendiri dan memberikan jarak agar papanya bisa mendekat pada Marsha di mana Amar juga memberikan jarak."Om Amar, dia pa
"Kenapa kau bicara begitu tentang Arthur? Kau siapa?" Caca sudah lupa lagi tentang siapa Alila.Tapi setiap kali membicarakan Arthur memang Caca selalu melindunginya dan ini yang membuat Amar tak setuju dengan rencana Alila."Tidak Alila. Aku tidak yakin. Kita akan melihat nanti seiring dengan berjalannya waktu.""Tapi kan ini sudah pasti. Dia menculikku!" sanggah Alila tak terima."Saat aku bertemu dengan mamamu untuk kedua kalinya dan dia hilang ingatan, tidak mengenal tentang Reza, aku sangat yakin sekali kalau papamu itu adalah orang yang sangat jahat. Dia menculik mamamu dan berusaha untuk membuat mamamu menyukainya. Tapi seiring dengan berjalannya waktu, aku bisa melihat kalau Reza tidak seburuk yang dikatakan oleh Giyan. Jadi kurasa waktu selalu bisa menunjukkan siapa orang itu sebenarnya. Hanya perlu menunggu saja."Amar mengembalikan semuanya pada kejadian itu dan matanya kembali menatap Reza."Amar kau tidak percaya padaku kah? Aku sendiri yang bicara dengan ayahnya!"Ketim
"Tidak Amar kau salah jika berpikir kalau Arthur adalah orang baik. Justru semua masalah ini diawali darinya!"Tapi saat itu juga Alila menepis semua pikiran Amar tentang kebaikan Arthur. Dia mencoba memblok dirinya dan tidak mau terbuai dengan perasaannya lagi.Dia yakin sekali Arthur adalah sumber permasalahannya. Pria itu sangat jahat padanya dan keluarganya. Alila hanya ingin memperingati dirinya untuk membenci Arthur."Alila, apa maksudmu?" tapi sebetulnya Amar tidak setuju"Lagipula dia sudah tidak ada lagi di dunia ini. Dia sudah mendapatkan karmanya. Dia sudah mati. Jadi tak perlu dibahas lagi Amar."Reza kau berhasil menyingkirkan Arthur berarti sebentar lagi kau juga berusaha untuk menyingkirkanku karena keegoisanmu dan merasa dirimu yang paling benar. Tapi aku tidak akan pernah menyerah dan aku tidak akan pernah membiarkan Caca pergi dari hidupku. Apapun yang kau akan lakukan padaku, aku akan bertahan demi istriku.Cuma saat itu juga pikiran Amar memperingatkan dirinya kala
"Tuan pasien sudah bisa dibawa ke ruangan opname. Dan kami akan membawanya sekarang."Melihat kondisi Caca yang sedang tertidur sudah mulai stabil lagi, perawat menginfokan. Lagi pula dia sudah ada di dalam ruang observasi lebih dari dua jam.Mereka tidak bisa melakukan apapun untuk ingatannya agar kembali pulih seperti dulu. Tapi dari luka fisiknya tidak ada yang bermasalah. Luka di kepalanya juga stabil dan ini jadi pertimbangan dokter untuk memindahkan Caca ke kamar pasien.Dan kejadian ini berlangsung setelah kepergian Reza sekitar setengah jam."Baik. Kalau begitu silakan dipindahkan sekarang."Amar mengizinkan. Dan selama proses pemindahan dia tidak pergi ke manapun. Dia tetap menemani Caca di samping tempat tidurnya yang didorong oleh perawat ke ruangan opname.Amar juga hanya menunggu Caca di dalam ruangan itu sambil sesekali dia melihat handphonenya dan mengirim pesan untuk mengurus masalah bisnisnya juga.Bukan hanya masalah bisnis, ibunya yang ingin pamit pulang ke Indonesi