Riuh ramai di restoran Jepang yang terletak 800m dari perusahaan Bumi Grafis tak membuat Riana dan Jimmy berhenti bercerita dan tertawa. Keduanya saling melempar candaan yang mana menjadi sebuah kehangatan untuk Riana. "Aku baru tahu kalau kamu juga orang yang humoris, Jim."
"Aku dari kecil suka nonton kartun dan film yang berbau komedi. Bagiku, hal itu bisa mengusir kebosanan karena aku adalah anak tunggal.""Oh ya? Kenapa bosan? Bukannya enak ya jadi anak tunggal? Gak akan ada yang merebut mainan atau cemilan yang kamu suka, gak akan ada yang mengejek atau membully." Riana menjadi teringat Reynald, adik satu-satunya yang suka diam-diam menghabiskan cemilan favoritnya ataua terkadang mengatainya cengeng ketika menonton drama Korea. Hal itu terkadang benar-benar membuatnya jengkel saat itu terjadi."Justru itu akan menjadi sebuah kenangan indah di masa tua, Riana. Kau tidak akan mendapatinya lagi ketika sudah dewasa. Contohnya aku, aku tidak mempunyai masaPeluh keringat membasahi dua tubuh yang sudah polos dan terbaring diatas ranjang dengan napas yang terengah-engah. Pergumulan panas telah terjadi antara Rosa dengan Reynald. "Tak aku sangka kalau ternyata kamu pemuda suci, Rey."Reynald tak menanggapi ucapan Rosa. Dirinya masih mengatur napas dan denyut jantung yang berdebar-debar. Dirinya pun tak menyangka akan melepas keperjakaannya dengan wanita janda yang berusia lebih tua darinya. Memang Rey akui, ia menikmati pergumulan panasnya dengan Rosa meskipun ia melakukannya tidak atas dasar cinta. Wanita itu begitu hebat memainkan kejantanannya di dalam celah lembutnya.Ada alasan tersendiri mengapa Rey mau melakukan permintaan Rosa yang memang sudah gila. Tiga jam sebelum kejadian ini terjadi, dia berunding dan bertukar pendapat dengan kakaknya. Siapa sangka, Ruslan malah menyuruhnya untuk mengikuti permainan Rosa."Lakukan Rey, jika itu bisa membuatmu terus bertahan di Bumi Grafis. Tapi ingat, jangan sampai
Beberapa hari kemudian, rapat umum pemegang saham pun dilaksanakan. Kakek Axel yang bernama Bumi Putra tak dapat datang untuk mengikuti rapat karena kondisi kesehatannya yang tak memungkinkan. Pria tersebut mengalami komplikasi yang cukup lama dan sekarang sedang mendapat perawatan di rumah sakit terbesar di Singapura. Hanya Axel sebagai pemegang saham kedualah yang akan memimpin rapat tersebut.Di ruang rapat, Axel duduk diikuti Sofia sang sekretaris. Wajah-wajah yang sudah lama tak Axel lihat kini menebar senyum sopan padanya. Hanya satu, pria paruh baya yang hanya tersenyum mengejek menatapnya. Siapa lagi kalau bukan Hendra. Meskipun usianya sudah tak lagi muda, namun penampilan dan postur tubuhnya yang tegap menandakan ia seseorang yang penuh ambisi dan enerjik.Seorang MC terlihat membuka acara, lalu di susul oleh sambutan dari Axel sebagai seorang CEO sekaligus mengungkapkan alasan ketidakhadiran sang kakek.Berbagai acara sudah dilewati, acara yang
Sofia menoleh ke asal suara. Ternyata masih ada Rianti yang baru saja keluar dari mobil. Perlahan Ruslan pun menyerahkan Luna ke Sofia.Sofia tersenyum getir dalam hatinya. Anak mami masih melekat di kamu ternyata, mas! pikirnya dalam hati.Sedang Rianti hanya melewati keduanya pergi memasuki rumah."Sofia... apa aku boleh untuk menemuinya lagi besok?" tanya Ruslan. Wajahnya menunjukkan pengharapan. Luna begitu membuatnya hilang akan lelahnya dunia. Bermain dengan balita itu membuat hatinya sedikit gembira. "Gak! Jangan harap kamu bisa mengambil Luna lagi secara diam-diam!"Ruslan tak menyukai penolakan yang berkali-kali keluar dari mulut Sofia. Padahal, dulu Sofia adalah wanita yang paling patuh pada suaminya. "Tapi aku kan ayahnya, jadi aku berhak untuk menemuinya!""Iya, tapi bukan dengan cara yang seperti tadi! Yang kau lakukan itu sama saja dengan menculiknya, Ruslan!" Sudah tak ada lagi sikap hormat untuk Ruslan. Sofia bah
"Kamu ngapain disini?" tanya Jimmy karena Sasha tak segera menjawab. Mata Jimmy meneliti situasi. "Ini, siapa?" tanyanya lagi menunjuk pria asing yang membopong tubu Sasha. Wajah Sasha tak terlihat baik-baik saja, mata sayu dengan tubuh yang bisa ambruk kapan saja. Membuat Jimmy yakin, jika Sasha sedang berada di bawah pengaruh alkohol yang tinggi."Minggir kamu, aku ini adalah kekasihnya!" tukas pria asing yang berusaha membopong Sasha untuk segera keluar club.Jimmy menarik lengan Sasha. "Eits, tunggu dulu! Dia adalah rekan kerjaku, dan kau bisa terkena pasal hukum jika membawa seseorang yang sedang tidak sadar diri, bukan?"Pria asing itu tak percaya. "Pembohong!""Sebentar aku bisa buktikan." Jimmy merogoh ponsel dalam saku, lalu menghubungi nomor Sasha yang ia simpan secara diam-diam. Tak disangka, perbuatan diam-diamnya akan berguna untuk saat ini. Dering ponsel milik Sasha yang berada di dalam tas selempangnya terdengar,
Berjalan sempoyongan, dengan pakaian yang kusut dan kacau, Reynald jalan memasuki rumah. Saat ia menutup pintu, suara yang sangat dikenalinya bertanya, "Dari mana aja kamu?"Rey menoleh, menyipitkan mata, berusaha melihat dengan jelas siapa yang ia lihat. Alkohol membuat penglihatannya sedikit kabur. "Ibu? Kenapa jam segini belum tidur?" Rey memijat pelipisnya yang sedikit berdenyut.Rianti menghampiri putra bungsunya, lalu menjepit hidungnya. "Kamu mabuk, Rey?" Tanya Rianti tak percaya.Rey mengendus bau bajunya sendiri. Nihil, menurutnya ia sama sekali tak bau alkohol. "Kamu nih ngapain aja sih, Rey? Kenapa malah jadi mabuk-mabukkan gini? Kemarin juga, kenapa gak dateng pas kakakmu ada kenaikan jabatan?" tanya Rianti bertubi-tubi. Tak sabar untuk menunggu jawaban dari sang anak.Rey menghela napasnya. Ia paling tak suka jika ibunya selalu berbicara tentang kakaknya. Mengelu-elukan dan memuji bak pria itu adalah anak tanpa cela. Alasan
Pesan masuk membuat Rianti mengalihkan perhatiannya dari Ruslan. Ia meraih ponsel yang berada di atas meja, mengusap layar dan membuka aplikasi pesan. Keningnya mengernyit saat mendapati pesan yang berisi, [Jika kau ingin tahu, selidiki dulu menantumu!]Sontak Rianti melemparkan ponselnya tapi beruntung, ponsel itu hanya berakhir di atas sofa. Pupilnya bergetar setelah ia membaca pesan teks tersebut, seolah dirinya ada yang mengawasi dirinya di rumah itu."Gak mungkin..." gumamnya lirih.Rianti menolehkan kepalanya ke segala penjuru, nyatanya tiada siapapun selain dirinya yang berdiri di depan sofa. Dengan tangan gemetar, Rianti meraih kembali ponselnya dan memeriksa kembali isi pesan tersebut. Nomor yang mengirim pun tidak terdeteksi karena disembunyikan oleh si pengirim. Tring! Pesan kembali masuk. [Jangan takut! Ikuti saja perintahku! Esok, ikuti kemana menantumu pergi!] Badan Rianti semakin menggigil setelah menerima pesan tersebut. Tubuhnya
Hampa dan kesepian begitu dirasakan Ruslan. Ia mengusap wajahnya dengan kasar. Entah apa yang ia dapatkan dari berjuang untuk mendapatkan apa yang menjadi ambisi sang ayah. Yang jelas, dirinya telah kehilangan banyak hal karena itu.Belum mendapatkan apa yang menjadi tujuannya saja, hatinya sudah begitu terasa kosong. Membohongi diri sendiri bahwa ia nampak baik-baik saja. Bahkan saat ia diangkat menjadi direktur pun perasaannya masih hampa. Padahal, selangkah lagi tujuannya akan tercapai.Hatinya semakin pedih ketika ia tengah berdiri di ambang pintu ruang kerja milik Axel yang terbuka dan mendapati Sofia tersenyum manis kepada Axel dan berbincang penuh tawa dengan lelaki itu. Sedang Ruslan, ia hanya dapat menatap ke arah wanita yang pernah mengisi kesehariannya dari arah kejauhan. Wajah wanita itu berseri-seri dengan polesan makeup dan baju branded. Nampak cantik dan elegan. Berbanding terbalik ketika ia masih menjadi pendamping Ruslan.Enggan rasanya ia
Dalam beberapa hari, perlakuan Riana pada Sasha sudah terlihat begitu berbeda. Mode mute yang dilakukan Riana-bahkan ketika mereka sudah berada di apartemen pun membuat Sasha begitu gerah. Muak rasanya ia harus berada dalam satu atap yang mana penghuninya sama sekali enggan untuk diajak bicara. Terlebih, setiap Sasha ingin berbicara, Riana akan melengos tanpa melihat dirinya. Gosh! Sikap macam apa itu!Perbincangan yang ingin Sasha utarakan hanya perihal dirinya yang akan mundur dari perebutan Jimmy. Sedari awal ia tak menginginkan Jimmy, ia hanya tak suka Riana terlalu dekat dengannya karena takut berdampak buruk untuknya.Sasha tahu, Riana adalah gadis yang selalu ingin disanjung dan disayang. Berada dalam lingkup keluarga yang notabene kebanyakan pria, membuatnya percaya diri bahwa dia harus bisa mendapatkan hati seorang pria. Apalagi Jimmy merupakan ciri pria yang diidamkannya, sudah tentu Riana akan mudah terpikat akan pesona pria itu.Sebenarnya Sash
Setelah bersusah payah Axel meyakinkan Sofia agar mau mengikat janji dengannya, kini adalah saatnya hari yang telah ditunggu olehnya tiba. Hari dimana dia mempersunting seorang wanita yang ia cintai setelah Nella."Aku bahagia mengulang kembali saat-saat dimana aku mempersunting seorang wanita yang istimewa." Netra Axel tak lepas dari Sofia yang nampak cantik dengan balutan wedding dress nya. Sofia semakin cantik dan mempesona di matanya. "Kamu sangat cantik dengan gaun putih itu, Sayang."Rona pipi Sofia memerah dibuatnya. Dia tersenyum bahagia karena selalu diperlakukan istimewa oleh Axel. Mendadak, Sofia merasa dejavu. Dulu dirinya juga disanjung dan diperlakukan istimewa oleh Ruslan saat akan menikah dengannya, namun sifat aslinya perlahan terkuak setelah menikah. Dada Sofia kembali terasa sesak, tangannya sedikit gemetar mengingat masa-masa itu. "Sayang, kamu kenapa?"tanya Axel setelah melihat gelagat Sofia yang nampak aneh. Tadinya dia melihat Sofia begitu bahagia, namun sekara
Sunyi dan sepi dirasakan Riana saat memandang langit gelap di luar rumah. Dia menyesap kembali teh hangat yang sudah dibuat Rosa untuknya. Riana menutup matanya, merasakan dinginnya udara malam yang masuk menyegarkan paru-parunya.Air matanya tiba-tiba menetes tanpa diminta. Masih teringat jelas, memori-memori indah saat keluarganya masih utuh dan berkumpul di rumah yang hangat penuh canda tawa. Belum ada Sofia, hanya mereka berempat. Ruslan, Reynald, Riana dan ibunya. Semua masih indah sebelum Sofia datang dan drama berkelanjutan terjadi. Sudah setahun lamanya peristiwa yang pedih itu terjadi, tapi memori itu masih kuat menancap dalam ingatannya.Ah, andai Riana tak menyetujui apa yang menjadi ambisi sang kakak dan ibu, tentu semua tak akan menjadi berantakan seperti ini. Ibunya tak akan dibunuh, Ruslan tak akan dipenjara, Reynald tak akan cacat dan dirinya tak akan kehilangan sahabat tercintanya.Apa kabar Jimmy? Bodohnya dia sempat merindukan pria yang sempat menjadi incarannya itu
"Apa Ruslan sudah menemui mu kemarin?" tanya Axel saat dia sudah berganti pakaian lebih sopan di depan Sofia. Dia ikut duduk di sebelahnya setelah menyerahkan segelas minuman bersoda."Darimana kau tahu?" "Ruslan yang memberitahuku sebelumnya." Sofia hanya menganggukkan kepalanya lalu meminum air soda yang disajikan hingga tersisa separuh."Apa karena itu kau menangis?" tanya Axel lagi. Terdiam sejenak, Sofia menatap buih-buih soda yang mengapung di gelasnya. "Dia... meminta maaf padaku.""Lalu kau sudah memaafkannya?"Kembali Sofia menganggukkan kepala. "Ya, meskipun hatiku masih terluka.""Luka di hatimu akan sembuh seiring bertambahnya waktu.""Benar.""Dan juga kalau kau sudah bertemu dengan tambatan hati yang baru."Manik Sofia bergeser menatap Axel yang terlihat begitu segar seperti sehabis mandi, dapat Sofia lihat dari ujung rambutnya yang masih basah. Padahal Sofia tidak merasa menunggu Axel terlalu lama tadi, tapi ternyata pria itu menyempatkan diri untuk mandi. "Apa ada t
Seharusnya Sofia merasa senang saat dia melihat keadaan Ruslan yang sekarang nampak begitu menyedihkan. Bahkan keadaan Ruslan lebih buruk dari keadaan dirinya dulu saat masih tinggal di rumah keluarga Ho. Namun Sofia malah merasa sebaliknya, hatinya ikut perih melihat keadaan Ruslan yang begitu kurus dan memucat."Aku tak tahu, kapan lagi bisa menemui Lucas dan Luna, bisa jadi ini adalah kali terakhir bagiku menemui mereka." Ruslan menatap sendu pada kedua anaknya dari arah kejauhan. Dia enggan untuk menemui mereka dan memilih untuk berbincang sejenak dengan Sofia.Kini, tak ada lagi sosok Ruslan yang tampan nan gagah seperti dulu.Tak ada lagi sosok Ruslan yang bertubuh atletis dan terawat.Tak ada lagi sosok Ruslan yang berpakaian bagus dan rapi.Tak ada lagi sosok Ruslan yang penuh percaya diri dan pemberani.Tak terasa pelupuk mata Sofia basah oleh air mata kesedihan karena mengenang masa lalu. Masa yang tak akan lagi dia ulang meskipun kini sudah dibayar kontan dengan berbagai pe
"Apa aku bisa percaya dengan ucapanmu?" Axel menyipitkan mata, menatap Ruslan dengan penuh menyelidik. Hatinya sedikit ada keraguan, mengingat Ruslan yang tiba-tiba saja berpindah haluan untuk membeberkan kelemahan Hendra. Bisa saja Ruslan sedang sandiwara dan tiba-tiba menusuknya dari belakang, bukan?Lembaran-lembaran berwarna putih yang berada di genggamannya kini ia pegang erat. Axel memang yakin jika lembaran penting yang diberikan Ruslan adalah fakta. Fakta tentang penyelewengan dan berbagai tindak kriminal yang dilakukan Hendra.Wajah Ruslan yang sudah sedari awal tampak memucat kini bertambah memburuk, saat ia menghela napasnya di hadapan Axel. Ruslan mengusap wajahnya dan menjawab, "Aku sudah berada di penghujung jurang, untuk apa aku terus maju saat aku sudah tahu kalau aku akan terjatuh?"Masih terdiam bibir Axel, matanya dapat melihat jelas kesedihan yang dipancarkan wajah Ruslan saat mengucapkan kalimat tadi. "Ibuku sudah mati terbunuh, adik lelakiku celaka dan anak yan
Suasana rumah yang beberapa waktu lalu masih ramai dipenuhi oleh banyak penghuni, kini terasa sepi dan begitu dingin. Ruslan menaiki anak tangga yang sedikit berdebu dengan lemas. Ia bagai tak memiliki semangat dan tenaga bahkan untuk sekedar berjalan menyusuri rumah. Hatinya sudah hancur berkeping-keping, tak ada lagi yang utuh di dalam sana.Penyesalan demi penyesalan bermunculan seiring kakinya menaiki anak tangga. Berat rasanya masih bertahan hidup disaat tak seorangpun yang menungguinya di rumah, yang memberinya semangat dan menyokongnya untuk terus maju. "Ibu...," lirihnya saat ia sudah berada di lantai dua. Matanya berembun saat ia menatap foto yang terpajang di dinding. Tiba-tiba terdengar suara ban koper yang beradu dengan lantai, membuat Ruslan seketika menoleh. "Riana? Mau kemana kamu?" Sesaat Ruslan lupa dengan keberadaan sang adik yang masih ada.Penampilan Riana begitu kacau, wajahnya sembab dan membengkak akibat mengeluarkan air mata terus menerus. "Nyusul Reynald ke
Gertakan dari Hendra cukup membuat sekujur tubuh Stephanie gemetar karena ketakutan, setelah itu Hendra pergi meninggalkan Stephanie yang masih terduduk kaku dengan air mata yang sudah membasahi pipi. Dalam keheningan, Stephanie mengacak rambutnya kasar dan berteriak kencang untuk meluapkan rasa sesak yang menyiksanya. Tangisan Stephanie memenuhi seluruh penjuru ruangan milik Hendra, tidak ada seorangpun yang berada di luar memberanikan diri untuk bertanya. Semenjak kepulangannya dari tempat pemakaman Rianti, Stephanie mulai mengalami mimpi buruk yang menghantui. Sosok Rianti datang dengan wajah yang menyeramkan, mendatangi mimpi seolah meminta pertanggungjawaban. 'Ini konyol!' Begitulah umpatan Stephanie saat pertama kali mengalami mimpi buruk itu. Namun siapa sangka, kalau mimpi buruk tersebut terus terjadi berulang kali. Saat kapanpun Stephanie terlelap, mimpi itu akan selalu hadir.Stephanie bahkan merasakan trauma yang dalam karena mimpi-mimpi buruk tersebut. Pikirannya mulai
Axel masih duduk termenung diam meskipun Ruslan sudah beberapa menit yang lalu meninggalkan rumahnya. Dalam benaknya masih memikirkan alasan Ruslan yang tiba-tiba saja mendatangi kediamannya dan menanyakan dalang dibalik pembunuhan ibunya. Sejujurnya ini semua sudah melenceng jauh dari rencana dan perkiraan awal. Ia tak pernah menyangka bahwa Hendra nekat membunuh Rianti demi menutupi kepentingan dirinya sendiri.Yang lebih mengejutkannya lagi, Ruslan seperti akan berkhianat dengan papanya dan berbalik haluan untuk menyerang.Axel merogoh ponsel dalam saku celananya dan mencari nama seseorang di daftar kontak."Halo." Suara seseorang segera menyapa setelah Axel meneleponnya."Aku ingin kau mengikuti terus gerak-gerik Ruslan. Jangan sampai ada yang terlewat!" titan Axel."Baik, Tuan."Setelah menutup panggilan, Axel membuka sebuah pesan yang baru saja mendarat di aplikasi chatnya.[Mamaku membuat makan malam banyak hari ini, apa kau bersedia untuk datang dan menghabiskannya? Kebetulan
Tangan Ruslan mengepal erat, ia mengeratkan giginya untuk menahan amarah yang sudah sampai berada di puncak ubun-ubun. Pertanyaan dari Hendra entah mengapa membuatnya muak.Jika saja setengah kewarasan dalam dirinya sudah hilang, sudah pasti ia akan menghabisi Hendra karena menurutnya bermuka dua. Ruslan sudah sepenuhnya yakin, bahwa ada sesuatu hal yang besar disembunyikan dari Hendra dari dirinya. Riana sudah terus berbicara tentang Stephanie yang katanya adalah pelaku pembunuhan ibunya. Ruslan tahu, meskipun Riana tidaklah sepintar Stephanie, tak mungkin adiknya itu berbual tanpa bukti. Lagipula, sebenarnya sudah dari dulu dirinya juga merasa kalau memang ada yang janggal dengan Stephanie.Untuk saat ini ia akan memilih mengalah dihadapan Hendra dan Stephanie, demi ibunya yang membutuhkan sebuah ketenangan di peristirahatan terakhirnya.Esok, sesegera mungkin dia akan mengakhiri semuanya."Benar, Pa. Aku yakin ibu pasti tidak akan menyangka jika aku akan bersikap seperti ini." Mat