Ridwan dan juga Aisyah ikut duduk di antara Raga dan juga Ibu Sari. Nirmala masuk lagi ke dalam untuk membuatkan tamunya teh hangat. Selagi membuat minuman, Raga diajak mengobrol ringan oleh Ridwan.Tak ada firasat apapun yang Nirmala rasakan. Dia menganggap kalau Raga datang hanya untuk silaturahmi biasa. Dengan tenang, Nirmala membawa gelas berisi teh hangat ke depan."Silahkan diminum, Mas, Bu!" ucap Nirmala setelah meletakkan gelas di atas meja."Terima kasih, Nduk," balas Ibu Sari lembut.Pandangan Nirmala tidak lepas dari bayi laki-laki yang ada di gendongan Ibu Sari. Dia sangat menggemaskan dengan pipi gembul dan juga badan yang gemoy. Sampai-sampai, Nirmala tidak fokus pada pertanyaan Raga yang ditujukan kepadanya."La, apa kamu mendengarkan perkataanku?" tanya Raga yang membuat Nirmala kaget."Hah? Apa, Mas? Maaf ... Nirmala tidak konsen karena lihat
Nirmala mengajak Ibu Sari dan juga Raga untuk ikut makan bersama. Kebetulan tadi memang dia dan kakaknya hendak makan bersama. Sebenarnya masih ada satu hal lagi yang ingin disampaikan oleh Raga. Tapi, di masih ada sedikit ragu untuk menyampaikannya."Mungkin nanti setelah makan, aku bisa lebih tenang," batin Raga berkata.Dia bertanya pada Ibu Sari dan Beliau juga setuju untuk makan terlebih dahulu. Suasana makan Nirmala kali ini terasa berbeda sekali. Ocehan Tegar membuat semuanya senyum-senyum sendiri.Selesai makan, saat Nirmala dan Aisyah sibuk mencuci piring, Raga bicara empat mata dengan Ridwan. Selaku kakak dari Nirmala, Ridwan perlu tahu maksud dan tujuan Raga datang ke sana."Kalau saya, semua terserah dengan Nirmala, Ga. Gimana baiknya, nanti coba tanyakan pada Nirmala." Jawaban bijak Ridwan pada Raga. Raga mengangguk paham.Setelah puas mengobrol, mereka kembali lagi
Nirmala tidak mau terlalu memusingkan lamaran Raga, walaupun sebelumnya dia juga sempat tidak bisa tidur. Fokusnya kali ini adalah soal perceraian dan juga usahanya yang sudah mulai berkembang.Nirmala menerima tawaran Ridwan yang membelikan tempat di tepi jalan Raya dan padat penduduk. Tujuan utamanya adalah agar usahanya semakin berkembang."Gimana, La? Tempat yang Abang pilihkan bagus, kan?" tanya Ridwan saat mereka melihat lokasi yang akan dijadikan tempat laundry Nirmala."Bagus, Bang. Sangat strategis!" jawab Nirmala sambil melihat-lihat isi di dalamnya."Nanti kamu tinggal desain saja mau seperti apa penataannya. Abang benar-benar bangga punya adik kayak kamu, La." Bang Ridwan menatap wajah Nirmala penuh haru.Selain membantu membelikan kios untuknya, Ridwan juga membantu Nirmala memasukkan gugatan cerai ke pengadilan agama. Alhamdulillah semuanya berjalan dengan lancar. Tapi, ada satu kendala yaitu Nirmala tidak tahu keberadaan Arga saat ini. Jadi, sidang perceraian mereka be
Nirmala begitu takjub melihat hiasan di dinding yang bertulisan 'Sebentar lagi kamu akan jadi Bulek, adikku sayang!' Air mata Nirmala tumpah begitu saja. Dia merasa sangat beruntung masih mempunyai kakak yang sangat menyayangi dan menganggapnya ada. Sebuah hubungan ipar dan adik yang mungkin tidak semua orang bisa menjalaninya dengan baik.Aisyah memeluk adik iparnya itu dan mereka menangis bersama-sama. Menangis bukan karena sedih tetapi karena rasa syukur dan bahagia yang sangat luar biasa.Suasana malam itu sungguh sangat menggembirakan. Nirmala begitu senang melihat Ridwan dan Aisyah akhirnya sebentar lagi akan mempunyai seorang anak.***Keesokan harinya, saat Nirmala hendak membuka laundrynya, Zaki sudah menunggunya di depan rumahnya. "Lho, Dokter Zaki sejak kapan di sini?" tanya Nirmala yang terkejut ketika membuka pintu.Nirmala memang belum pindah ke usaha barunya karena masih ada beberapa yang perlu perbaikan. "Belum lama, paling baru lima menit. Sengaja nunggu buka meman
Cindi dan Arga masih menjalin hubungan seperti dulu walaupun mereka sekarang bekerja dengan Mami Mey. Mereka masih suka ena-ena juga bersama. Dalam hati Arga, Cindi hanya pelampiasan semata.Berbeda dengan isi hati Cindi. Dia berharap suatu hari nanti jika hidup mereka sudah mapan, Arga bisa menemani selama hidupnya. Walaupun dia semapt tidak mau mengenal dan peduli pada Arga, tapi itu hanya ucapan belaka. Nyatanya kini, cinta Cindi untuk Arga semakin bertambah besar. Bahkan Cindi tidak mau kehilangan Arga.Malam itu setelah mengantar Cindi bertemu dengan pelanggannya, Arga mengajak Cindi nongkrong di sebuah cafe."Mampir ke cafe dulu, ya, Cin. Males kalau langsung pulang," ucap Arga.Bukannya apa-apa, di tempat Mami Mey, kadang Arga diperlakukan seperti pembantu. Itu yang membuat Arga malas jika buru-buru pulang.Semua uang yang didapatkan Arga langsung masuk k
Zaki langsung melepaskan tangannya dari kerah baju Zaki. Nirmala lantas mengambil sesuatu dari tangannya."Ini undangan untukmu! Sebelum menuduhkan sesuatu yang tidak-tidak padaku, lebih baik introspeksi diri dahulu."Nirmala menyerahkan surat undangan dari pengadilan yang memang sudah lama dia bawa. Karena dia tidak tahu Arga tinggal di mana, Nirmala meminta ke pengadilan untuk membawa surat itu. Harapannya, sewaktu-waktu dia bisa bertemu dengan Arga seperti sekarang ini.Harapan untuk mempermalukan Nirmala malah justru berbanding terbalik. Kini Arga yang malu karena justru dia yang dipermalukan."Mbak Nirmala memang si*lan!" Cindi buru-buru mematikan live nya karena kondisi sudah tidak kondusif."Kita pergi dari sini, Mas! Ada hama pengganggu yang tidak tahu diri! Ada ayah yang sama sekali tidak menanyakan anaknya tapi malah menuduh istrinya macam-macam."
Nirmala pergi dengan tetap diantar oleh Zaki. Zaki merasa bertanggung jawab karena tadi dia yang mengajak Nirmala. Sebenarnya ada hal yang ingin ditanyakan oleh Zaki. Tapi, Zaki merasa sekarang bukan waktu yang tepat untuk menanyakan hal itu."Biar Nirmala tenang dulu. Aku tidak boleh gegabah," batin Zaki.Dalam diam, Zaki mengantarkan Nirmala sampai di rumahnya. Setelah itu, Zaki kembali lagi ke kosnya. Walaupun makan malamnya bersama Nirmala gagal, itu tak masalah baginya."Bukankah laki-laki tadi itu mirip yang dulu bersama Cindi di rumah sakit? Jadi, dia suaminya Nirmala? Lalu, Cindi itu apanya, ya?" tanya Zaki seorang diri.Saat Zaki sedang merebahkan badannya, tiba-tiba ponselnya dipenuhi oleh pesan dari teman dan juga sahabat-sahabatnya.[Kamu merebut istri orang, Ki? Gak nyangka gue!][Ki, jangan bilang kalau di video itu Elo! Gak mungkin,
Ternyata ada Pak RT dan juga Ibu RT yang sedang mencoba menenangkan warga. Pak RT dan Ibu RT inilah yang paham masalah Nirmala dan Arga. Makanya mereka tidak ikut terpengaruh."Sabar, Bapak-bapak dan Ibu-ibu! Kita bisa bicarakan ini baik-baik, tidak harus seperti ini!" teriakan Pak RT di tengah teriakan-teriakan ibu-ibu yang lain.Kondisi semakin tidak terkendali. Ada yang bahkan melempar telor ke dalam rumah Nirmala. Tapi, Zaki tidak melihat Nirmala keluar rumah."Mungkin Nirmala sedang sembunyi," batin Zaki."Ada apa ini ribu-ribut?" Suara Fano yang besar dan menggelegar membuat semua orang menoleh.Mata mereka melotot melihat Fano yang memakai seragam polisi. Seketika para ibu dan juga bapak-bapak diam tak bersuara. Hingga akhirnya ada satu warga yang bicara."Kamu mau mengusir perempuan yang sukanya selingkuh, Pak! Dia sudah mengotori
Fano mengutarakan niatnya mempersunting Ana lebih cepat. Dia merasa tidak baik menunda hal baik. Apalagi hampir setiap hari Fano dan Ana bertemu. "Apa mama dan Mas Zaki tidak keberatan? Mengingat kita belum lama kehilangan Mbak Nirmala," ungkap Fano yang masih memikirkan perasaan Zaki. "Alhamdulillah!" Mama Zoya dan Zaki secara bersamaan mengucap syukur. "Tentu saja tidak, Fan. Mas malah bahagia jika kamu sudah menemukan tambatan hati. Niat baik itu memang harus disegerakan. Menikahlah! Kapan rencana kalian?" balas Zaki. "Kalau memang semuanya setuju, rencananya akhir bulan di bulan depan, Ma, Mas. Iya, kan, An?" Ana menunduk karena tersipu malu. Kini dia dan Nirmala punya nasib yang sama. Tanpa orang tua, dia harus merencanakan pernikahannya sendiri bersama keluarga calon suaminya. Dulu, Ana memang kagum pada Zaki karena pandangan pertama. Tapi lambat-laun saat dia bekerja di rumah Mama Zoya, hatinya tertarik pada Fano. Gayung pun bersambut. Ternyata Fano juga men
Sudah empat bulan kepergian Nirmala. Dan selama itu pula Zaki masih belum bisa menerima kepergiannya. "Ki, kamu gak mau lihat anakmu? Dia sudah empat bulan dan kamu belum memberinya nama," ucap Mama Zoya suatu hari. Zaki menjadi sangat g*la bekerja. Tak jarang dia tidur di rumah sakit karena enggan untuk pulang ke rumah. Rumahnya terlalu menyimpan banyak kenangan bersama Nirmala. Selama empat bulan itu pula, Mama Zoya bekerjasama dengan Ana menjadi dan merawat bayi yang belum diberi nama itu. Mereka berdua sangat telaten dan satu sama lain saling membantu. Kehadiran bayi itu sedikit banyak mengobati rasa kehilangan Mama Zoya. Apalagi bayi itu semakin hari semakin mirip dengan Nirmala. "Ti, apa sebaiknya dipikirkan lagi soal menjual usaha Mbak Nirmala?" kata Ana. Ya, Ana memanggil Mama Zoya dengan sebutan uti untuk membahasakan anak Nirmala. Sekarang prioritas Mama Zoya adalah membesarkan anak Nirmala. Sehingga dirinya sudah jarang sekali ke tempat usaha Nirmala yang sebelumnya d
Situasi di dalam ruang ICU sangat tegang. Semua tenaga medis yang ada di dalam berusaha untuk memberikan pertolongan kepada istri dari pemilik rumah sakit tempat mereka bekerja. Tak ada berada di luar ruangan, Zaki ikut masuk ke dalam ICU. Tak ada yang menghalangi Zaki kali ini. Dengan memegang tangan Nirmala, Zaki berkata, "Aku tunggu kamu pulang, Sayang. Anak kita sangat tampan dan dia sehat. Ayo pulang, Yang!" Setelah Zaki bicara seperti itu, mata Nirmala terbuka dan melotot. Tapi, setelah itu bunyi alat yang terpasang di tubuh Nirmala menjadi datar. Zaki terkejut dan melihat ke arah dokter dan perawat. Mereka semua menggelengkan kepala. Air mata Zaki sudah tak bisa dibendung lagi. "Gak! Gak mungkin! Bangun, Sayang! Ayo kamu bangun! Anak kita sudah menunggu, La. Kamu harus lihat wajah anak kita. Aku mohon, Sayang!"Suasana ICU menjadi haru. Nirmala menghembuskan nafas terakhir dengan didampingi oleh Zaki. Wajah Nirmala tampak cantik dan bibirnya tersenyum. Seolah-olah mengisya
Air mata Zaki terus saja mengalir kala melihat sang istri terbaring dengan berbagai macam alat yang menempel di tubuh Nirmala. Saat ini Nirmala ada di ruang ICU. Pendarahan Nirmala memang sudah bisa diatasi. Tapi, kondisi Nirmala tak lantas membaik. Dia koma. Lengkap sudah kesedihan Zaki saat ini. Istri dan anaknya tengah berjuang di ruangan yang sangat ditakuti itu. "Ya Allah, tolong izinkan aku untuk bisa membahagiakan istriku! Tolong!" rintihnya dalam hati. "Ki ... jangan patah semangat dan terus berdoa, ya. Mama akan selalu mendoakan untuk kesembuhan Nirmala dan cucu mama. Mama ingin kita berkumpul lagi bersama-sama." Mama Zoya menguatkan. Zaki mengangguk walaupun ragu. "Mas, Fano bawa mama pulang dulu, ya. Nanti Fano akan kembali lagi ke sini. Mas Zaki mau nitip apa?"Hari memang sudah terlalu larut. Mama Zoya terlihat kelelahan dan memang seharusnya istirahat di rumah. Fano tak mau jika nantinya Mama Zoya ikut sakit. "Iya. Mama memang harus istirahat. Tolong bawakan saja p
"Mbak Nirmala!" pekik Fano. Dia melihat Nirmala merintih kesakitan dengan darah yang keluar dari kedua kakinya. Di sana ada Ana yang tengah menahan beban tubuh Nirmala yang berat. "Tolong, Mas!" kata Ana lirih. Fano dengan cepat dan hati-hati menggotong Nirmala. Dibelakangnya ada Ana yang sigap mengikuti. Tangannya masih gemetar karena menyaksikan langsung Nirmala yang kesakitan. "Ayo cepat, Ana!" seru Fano. "Astaghfirullah! Nirmala! Mbakmu kenapa, Fano?" tanya Mama Zoya saat mereka berpapasan di ruang tamu. "Gak tahu, Ma. Ayo kita cepat bawa ke rumah sakit, Ma!" jawab Fano panik. "Iya. Tapi tunggu dulu mama mau ambil tas Nirmala dulu. Dia udah siapkan tas ke rumah sakit," kata Mama Zoya. "Biar saya ambilkan, Bu. Dimana kamar Mbak Nirmala?" Ana menawarkan diri. Dia merasa bisa lebih cepat mengambil daripada Mama Zoya. Setelah diarahkan oleh Mama Zoya, Ana lari ke kamar Nirmala dan mengambil tas yang dimaksud. Lalu, dia dengan berlari juga kembali lagi ke depan. Nirmala dan
Nirmala dan Zaki keluar secara bersama-sama. Di ruang tamu, ada seorang perempuan yang tengah menunggu kehadirannya. "Ana?" lirih Nirmala. Melihat Ana di rumahnya, tentu Zaki terkejut. Tapi, dia lebih terkejut lagi setelah mengetahui jika Nirmala mengenal Ana. "Kamu kenal dengan dia, Sayang?" tanya Zaki setengah berbisik. Nirmala mengangguk. Nirmala terlihat mempersilahkan Ana untuk duduk lagi. Dia bersama Zaki ikut duduk berhadapan dengannya. Nirmala sudah mendengar soal ayah Ana. Bahkan dia juga yang melunasi tagihan rumah sakit ayah Ana. Hanya saja memang Nirmala belum sempat mengucapkan belasungkawa secara langsung karena kondisinya tidak memungkinkan untuk bepergian. "Saya sudah mendengar soal ayahmu. Saya ikut berdukacita, Ana. Semoga ayahmu diterima di sisinya oleh Allah SWT. Aamiin. Kamu yang tabah, ya." Nirmala memulai pembicaraan. Ana mengangguk. Sebenarnya dia menahan air matanya dan itu rasanya tidak nyaman sama sekali. Walaupun sudah berlalu beberapa minggu, tetap
"Aku tahu kamu butuh biaya besar untuk ayahmu di sini. Aku bisa bantu itu. Tapi, aku juga butuh bantuanmu," ucap Nirmala kemudian. "Bantuan? Bantuan apa?" tanya Ana yang penasaran. "Saya akan menjamin biaya ayahmu di rumah sakit ini. Kamu kerja denganku," sahut Nirmala. Ana terkejut ketika Nirmala menawarkan pekerjaan padanya. Saat ini memang dia sedang butuh pekerjaan karena uang pegangannya sudah menipis. Apalagi ayahnya masih butuh banyak biaya. Walaupun dokter sudah angkat tangan dan menyarankan untuk melepas alat bantu, Ana belum mau. Ada keyakinan dalam dirinya jika sang ayah akan pulih kembali seperti sedia kala. Hanya saja saat ini Ana dihadapkan dengan biaya rumah sakit yang sangat besar. Isi kepalanya hampir keluar karena pusing memikirkan biaya rumah sakit. "Kerjanya apa? Apa aku masih bisa merawat ayahku di sini?" tanya Ana ragu. "Jadi asisten pribadiku. Kamu hanya perlu ikut saya kalau saya sedang butuh teman saja. Mudah bukan?"Nampaknya Ana sedang berpikir keras.
"Lalu kamu mau apa? Maaf saya tidak punya banyak waktu untuk mengurusi urusan tidak penting ini. Saya sudah minta maaf dan kamu pun tidak terluka. Lalu apa lagi?" Zaki dibuat sedikit kesal oleh perempuan muda itu. "Gak penting katamu? Gara-gara kamu, aku jadi terlambat memberi makanan pada ayahku. Jadi, kamu harus tanggung jawab!" Perempuan yang belum diketahui namanya itu tak kalah kesal. Zaki menghela nafas panjang. Waktunya terbuang percuma hanya untuk menanggapi orang yang tak dikenal. "Kamu harus ikut aku dan minta maaf langsung sama ayahku!" sambungnya lagi. "Maaf saya tidak ada waktu." Zaki pergi begitu saja tanpa menghiraukan panggilan perempuan tadi. Langkahnya hampir sampai di ruangan rawat inap Nirmala. Dia merasa sedikit lega karena tak lagi mendengar suara perempuan tadi. Namun, prediksinya salah. Ternyata perempuan itu mengikutinya sampai di depan ruangan Nirmala.Perempuan itu mencegat Zaki. "Kamu harus ikut aku!" serunya. "Gak sopan! Kamu dari tadi mengikuti ku?"
Mama Zoya yang tertidur dengan kepala berbaring ke ranjang Nirmala pun terkejut mendengar suara Nirmala. Spontan Mama Zoya langsung bangun dan memastikan Nirmala sudah sadar. Lalu, Mama Zoya lari keluar untuk memanggil perawat jaga. Setelah perawat jaga memeriksa Nirmala, Mama Zoya baru lah lega karena menurut perawat, semuanya baik-baik saja dan tak ada yang perlu dikhawatirkan. Untuk penanganan lebih lanjut, menurut kata perawat akan menunggu instruksi dari dokter yang menangani Nirmala. Dokter yang memeriksa Nirmala belum mengatakan apapun pada mertua Nirmala itu. Alasannya karena menunggu suami Nirmala. "Aku dimana, Ma? Kok mama di sini?" tanya Nirmala yang masih tak sadar kalau dia di rumah sakit. Fano sudah kembali bertugas dan Zaki juga sudah diberitahu kalau Nirmala ada di rumah sakit. Sekarang, Zaki sedang ada di perjalanan. Dia juga baru selesai menangani dua operasi yang sangat darurat. Setelah melihat sekeliling dan mengingat kejadian terakhir, Nirmala baru ingat kal