Cindi dan Arga masih menjalin hubungan seperti dulu walaupun mereka sekarang bekerja dengan Mami Mey. Mereka masih suka ena-ena juga bersama. Dalam hati Arga, Cindi hanya pelampiasan semata.Berbeda dengan isi hati Cindi. Dia berharap suatu hari nanti jika hidup mereka sudah mapan, Arga bisa menemani selama hidupnya. Walaupun dia semapt tidak mau mengenal dan peduli pada Arga, tapi itu hanya ucapan belaka. Nyatanya kini, cinta Cindi untuk Arga semakin bertambah besar. Bahkan Cindi tidak mau kehilangan Arga.Malam itu setelah mengantar Cindi bertemu dengan pelanggannya, Arga mengajak Cindi nongkrong di sebuah cafe."Mampir ke cafe dulu, ya, Cin. Males kalau langsung pulang," ucap Arga.Bukannya apa-apa, di tempat Mami Mey, kadang Arga diperlakukan seperti pembantu. Itu yang membuat Arga malas jika buru-buru pulang.Semua uang yang didapatkan Arga langsung masuk k
Zaki langsung melepaskan tangannya dari kerah baju Zaki. Nirmala lantas mengambil sesuatu dari tangannya."Ini undangan untukmu! Sebelum menuduhkan sesuatu yang tidak-tidak padaku, lebih baik introspeksi diri dahulu."Nirmala menyerahkan surat undangan dari pengadilan yang memang sudah lama dia bawa. Karena dia tidak tahu Arga tinggal di mana, Nirmala meminta ke pengadilan untuk membawa surat itu. Harapannya, sewaktu-waktu dia bisa bertemu dengan Arga seperti sekarang ini.Harapan untuk mempermalukan Nirmala malah justru berbanding terbalik. Kini Arga yang malu karena justru dia yang dipermalukan."Mbak Nirmala memang si*lan!" Cindi buru-buru mematikan live nya karena kondisi sudah tidak kondusif."Kita pergi dari sini, Mas! Ada hama pengganggu yang tidak tahu diri! Ada ayah yang sama sekali tidak menanyakan anaknya tapi malah menuduh istrinya macam-macam."
Nirmala pergi dengan tetap diantar oleh Zaki. Zaki merasa bertanggung jawab karena tadi dia yang mengajak Nirmala. Sebenarnya ada hal yang ingin ditanyakan oleh Zaki. Tapi, Zaki merasa sekarang bukan waktu yang tepat untuk menanyakan hal itu."Biar Nirmala tenang dulu. Aku tidak boleh gegabah," batin Zaki.Dalam diam, Zaki mengantarkan Nirmala sampai di rumahnya. Setelah itu, Zaki kembali lagi ke kosnya. Walaupun makan malamnya bersama Nirmala gagal, itu tak masalah baginya."Bukankah laki-laki tadi itu mirip yang dulu bersama Cindi di rumah sakit? Jadi, dia suaminya Nirmala? Lalu, Cindi itu apanya, ya?" tanya Zaki seorang diri.Saat Zaki sedang merebahkan badannya, tiba-tiba ponselnya dipenuhi oleh pesan dari teman dan juga sahabat-sahabatnya.[Kamu merebut istri orang, Ki? Gak nyangka gue!][Ki, jangan bilang kalau di video itu Elo! Gak mungkin,
Ternyata ada Pak RT dan juga Ibu RT yang sedang mencoba menenangkan warga. Pak RT dan Ibu RT inilah yang paham masalah Nirmala dan Arga. Makanya mereka tidak ikut terpengaruh."Sabar, Bapak-bapak dan Ibu-ibu! Kita bisa bicarakan ini baik-baik, tidak harus seperti ini!" teriakan Pak RT di tengah teriakan-teriakan ibu-ibu yang lain.Kondisi semakin tidak terkendali. Ada yang bahkan melempar telor ke dalam rumah Nirmala. Tapi, Zaki tidak melihat Nirmala keluar rumah."Mungkin Nirmala sedang sembunyi," batin Zaki."Ada apa ini ribu-ribut?" Suara Fano yang besar dan menggelegar membuat semua orang menoleh.Mata mereka melotot melihat Fano yang memakai seragam polisi. Seketika para ibu dan juga bapak-bapak diam tak bersuara. Hingga akhirnya ada satu warga yang bicara."Kamu mau mengusir perempuan yang sukanya selingkuh, Pak! Dia sudah mengotori
"Nirmala gak apa-apa, Bang. Cuma Nirmala gak habis pikir sama Mas Arga, kenapa dia gak capek ganggu hidup Nirmala, Bang?" adu Nirmala pada Abangnya.Di dalam masih ada Pak RT dan juga beberapa warga yang hendak meminta penjelasan dari Nirmala dan Zaki."Sabar. Besok kalau kamu sudah resmi bercerai, dia tidak akan bisa ganggu-ganggu kamu lagi. Kalau masih menganggu, tinggal lapor polisi saja karena sudah menganggu kenyamanan." "Sudah kamu serahkan surat dari pengadilan?" tanya Ridwan. Nirmala mengangguk.Pak RT dan beberapa warga masih mendengarkan obrolan kedua kakak beradik itu. Sampai sini mereka paham jika memang Nirmala sudah menggugat cerai Arga."Mbak Nirmala, maafkan kelakuan warga, ya. Mereka tidak tahu menahu masalah internal Mbak Nirmala. Mereka hanya terhasut saja," ujar Pak RT yang merasa tidak enak dengan kelakuan warganya.Tak ada yang berani menatap Nirmala karena memang merasa bersalah. Hanya ada satu orang yang kekeh tidak mau minta maaf, yaitu Ibu Dina. Dia ada dend
"Maksud perkataanmu tadi apa, La? Kamu kenal dengan Cindi juga?" tanya Zaki yang memang belum tahu cerita sebenarnya. Nirmala menganggukkan kepalanya. Dia bingung hendak memulai cerita dari mana. "Mana mungkin kamu kenal dia? Dia itu teman anak Tante yang kaya raya," sanggah Ibu Hermin. Beliau masih tetap menatap Nirmala dengan pandangan tidak sukanya."Anak teman Mama yang mana? Mami Mey?" Fano mulai berani bicara. Dia berpikir sudah saatnya menyadarkan mamanya."Kamu tahu apa? Gak usah ikut campur, Fan!" sentak Mama Zoya."Sudah, Ma! Kita dengarkan dulu apa yang mau Nirmala ceritakan. Mama juga gak tahu persis, kan, asal usul Cindi itu? Gak ada salahnya kita mendengarkan dari orang yang tahu, Ma." Zaki mencoba menengahi agar tidak terjadi keributan di rumah Nirmala lagi.Zaki mengajak Mama Zoya untuk ikut duduk bersama dan mendengarkan cerita dari Nirmala."Begini, Ibu ... bukannya saya ikut campur, tapi memang lebih baik Ibu dengarkan penjelasan Mbak Nirmala soal Cindi. Saya saks
Arga dan Cindi kesal karena bukan Nirmala yang kena batunya, tapi malah mereka. Mereka pulang ke rumah Mami Mey dengan perasaan kesal."Istrimu itu susah banget, sih, Mas, dibuat menderita? Malah kita yang kena," gerutu Cindi sambil menepuk punggung Arga cukup keras."Aw! Kok kamu malah marahnya ke aku, sih?" sungut Arga kesal."Iyalah, dia, kan istrimu! Kenapa kita gak culik dan siksa aja, sih, Mas? Kan enak aku tinggal mukulin dia sepuasku," cakap Cindi lagi.Entah dendam atau kesalahan apa yang diperbuat Nirmala sampai-sampai Cindi ingin membuat hidup Nirmala hancur."Ideku bagus, kan, Mas? Gimana menurut, Mas Arga?""Nanti kita bisa berurusan sama polisi kalau ketahuan. Kamu mau?" Arga masih bisa berpikir pakai logika. Dia tentu saja tidak mau masuk dalam penjara karena keb*dohan Cindi."Lalu kita harus apa, do
"Perkenalkan nama saya Bayu. Saya di sini ditugaskan untuk mengantar Mbak dan Mas oleh orang yang meminta kalian kemari. Mari saya antar ke kamar!" seru Bayu dengan tangan mempersilahkan masuk.Agak ragu mereka melangkah. Tapi, sudah terlanjur mereka sampai di tempat itu. Kalau pun mereka tidak melakukan tugas mereka, siap-siap akan disiksa Mami Mey jika pulang nanti."Mas, kok kayaknya tempat ini sudah tidak dipakai lagi?" Cindi memberanikan bertanya pada Bayu karena rasa penasarannya itu."Oh iya, Mbak. Memang tempat ini sudah tidak difungsikan kembali seperti dulu. Tapi masih dipakai untuk hal-hal macam Mbak ini," jawab Bayu santai.Cindi yang paham maksudnya hanya bisa ber-oh saja. Mereka melanjutkan menyusuri lorong-lorong hotel yang diterangi lampu remang-remang.Tiba-tiba Bayu berhenti dan berkata, "Ini kamarnya Mbak, Mas. Silahkan masuk! Sebentar lagi tamu k
Fano mengutarakan niatnya mempersunting Ana lebih cepat. Dia merasa tidak baik menunda hal baik. Apalagi hampir setiap hari Fano dan Ana bertemu. "Apa mama dan Mas Zaki tidak keberatan? Mengingat kita belum lama kehilangan Mbak Nirmala," ungkap Fano yang masih memikirkan perasaan Zaki. "Alhamdulillah!" Mama Zoya dan Zaki secara bersamaan mengucap syukur. "Tentu saja tidak, Fan. Mas malah bahagia jika kamu sudah menemukan tambatan hati. Niat baik itu memang harus disegerakan. Menikahlah! Kapan rencana kalian?" balas Zaki. "Kalau memang semuanya setuju, rencananya akhir bulan di bulan depan, Ma, Mas. Iya, kan, An?" Ana menunduk karena tersipu malu. Kini dia dan Nirmala punya nasib yang sama. Tanpa orang tua, dia harus merencanakan pernikahannya sendiri bersama keluarga calon suaminya. Dulu, Ana memang kagum pada Zaki karena pandangan pertama. Tapi lambat-laun saat dia bekerja di rumah Mama Zoya, hatinya tertarik pada Fano. Gayung pun bersambut. Ternyata Fano juga men
Sudah empat bulan kepergian Nirmala. Dan selama itu pula Zaki masih belum bisa menerima kepergiannya. "Ki, kamu gak mau lihat anakmu? Dia sudah empat bulan dan kamu belum memberinya nama," ucap Mama Zoya suatu hari. Zaki menjadi sangat g*la bekerja. Tak jarang dia tidur di rumah sakit karena enggan untuk pulang ke rumah. Rumahnya terlalu menyimpan banyak kenangan bersama Nirmala. Selama empat bulan itu pula, Mama Zoya bekerjasama dengan Ana menjadi dan merawat bayi yang belum diberi nama itu. Mereka berdua sangat telaten dan satu sama lain saling membantu. Kehadiran bayi itu sedikit banyak mengobati rasa kehilangan Mama Zoya. Apalagi bayi itu semakin hari semakin mirip dengan Nirmala. "Ti, apa sebaiknya dipikirkan lagi soal menjual usaha Mbak Nirmala?" kata Ana. Ya, Ana memanggil Mama Zoya dengan sebutan uti untuk membahasakan anak Nirmala. Sekarang prioritas Mama Zoya adalah membesarkan anak Nirmala. Sehingga dirinya sudah jarang sekali ke tempat usaha Nirmala yang sebelumnya d
Situasi di dalam ruang ICU sangat tegang. Semua tenaga medis yang ada di dalam berusaha untuk memberikan pertolongan kepada istri dari pemilik rumah sakit tempat mereka bekerja. Tak ada berada di luar ruangan, Zaki ikut masuk ke dalam ICU. Tak ada yang menghalangi Zaki kali ini. Dengan memegang tangan Nirmala, Zaki berkata, "Aku tunggu kamu pulang, Sayang. Anak kita sangat tampan dan dia sehat. Ayo pulang, Yang!" Setelah Zaki bicara seperti itu, mata Nirmala terbuka dan melotot. Tapi, setelah itu bunyi alat yang terpasang di tubuh Nirmala menjadi datar. Zaki terkejut dan melihat ke arah dokter dan perawat. Mereka semua menggelengkan kepala. Air mata Zaki sudah tak bisa dibendung lagi. "Gak! Gak mungkin! Bangun, Sayang! Ayo kamu bangun! Anak kita sudah menunggu, La. Kamu harus lihat wajah anak kita. Aku mohon, Sayang!"Suasana ICU menjadi haru. Nirmala menghembuskan nafas terakhir dengan didampingi oleh Zaki. Wajah Nirmala tampak cantik dan bibirnya tersenyum. Seolah-olah mengisya
Air mata Zaki terus saja mengalir kala melihat sang istri terbaring dengan berbagai macam alat yang menempel di tubuh Nirmala. Saat ini Nirmala ada di ruang ICU. Pendarahan Nirmala memang sudah bisa diatasi. Tapi, kondisi Nirmala tak lantas membaik. Dia koma. Lengkap sudah kesedihan Zaki saat ini. Istri dan anaknya tengah berjuang di ruangan yang sangat ditakuti itu. "Ya Allah, tolong izinkan aku untuk bisa membahagiakan istriku! Tolong!" rintihnya dalam hati. "Ki ... jangan patah semangat dan terus berdoa, ya. Mama akan selalu mendoakan untuk kesembuhan Nirmala dan cucu mama. Mama ingin kita berkumpul lagi bersama-sama." Mama Zoya menguatkan. Zaki mengangguk walaupun ragu. "Mas, Fano bawa mama pulang dulu, ya. Nanti Fano akan kembali lagi ke sini. Mas Zaki mau nitip apa?"Hari memang sudah terlalu larut. Mama Zoya terlihat kelelahan dan memang seharusnya istirahat di rumah. Fano tak mau jika nantinya Mama Zoya ikut sakit. "Iya. Mama memang harus istirahat. Tolong bawakan saja p
"Mbak Nirmala!" pekik Fano. Dia melihat Nirmala merintih kesakitan dengan darah yang keluar dari kedua kakinya. Di sana ada Ana yang tengah menahan beban tubuh Nirmala yang berat. "Tolong, Mas!" kata Ana lirih. Fano dengan cepat dan hati-hati menggotong Nirmala. Dibelakangnya ada Ana yang sigap mengikuti. Tangannya masih gemetar karena menyaksikan langsung Nirmala yang kesakitan. "Ayo cepat, Ana!" seru Fano. "Astaghfirullah! Nirmala! Mbakmu kenapa, Fano?" tanya Mama Zoya saat mereka berpapasan di ruang tamu. "Gak tahu, Ma. Ayo kita cepat bawa ke rumah sakit, Ma!" jawab Fano panik. "Iya. Tapi tunggu dulu mama mau ambil tas Nirmala dulu. Dia udah siapkan tas ke rumah sakit," kata Mama Zoya. "Biar saya ambilkan, Bu. Dimana kamar Mbak Nirmala?" Ana menawarkan diri. Dia merasa bisa lebih cepat mengambil daripada Mama Zoya. Setelah diarahkan oleh Mama Zoya, Ana lari ke kamar Nirmala dan mengambil tas yang dimaksud. Lalu, dia dengan berlari juga kembali lagi ke depan. Nirmala dan
Nirmala dan Zaki keluar secara bersama-sama. Di ruang tamu, ada seorang perempuan yang tengah menunggu kehadirannya. "Ana?" lirih Nirmala. Melihat Ana di rumahnya, tentu Zaki terkejut. Tapi, dia lebih terkejut lagi setelah mengetahui jika Nirmala mengenal Ana. "Kamu kenal dengan dia, Sayang?" tanya Zaki setengah berbisik. Nirmala mengangguk. Nirmala terlihat mempersilahkan Ana untuk duduk lagi. Dia bersama Zaki ikut duduk berhadapan dengannya. Nirmala sudah mendengar soal ayah Ana. Bahkan dia juga yang melunasi tagihan rumah sakit ayah Ana. Hanya saja memang Nirmala belum sempat mengucapkan belasungkawa secara langsung karena kondisinya tidak memungkinkan untuk bepergian. "Saya sudah mendengar soal ayahmu. Saya ikut berdukacita, Ana. Semoga ayahmu diterima di sisinya oleh Allah SWT. Aamiin. Kamu yang tabah, ya." Nirmala memulai pembicaraan. Ana mengangguk. Sebenarnya dia menahan air matanya dan itu rasanya tidak nyaman sama sekali. Walaupun sudah berlalu beberapa minggu, tetap
"Aku tahu kamu butuh biaya besar untuk ayahmu di sini. Aku bisa bantu itu. Tapi, aku juga butuh bantuanmu," ucap Nirmala kemudian. "Bantuan? Bantuan apa?" tanya Ana yang penasaran. "Saya akan menjamin biaya ayahmu di rumah sakit ini. Kamu kerja denganku," sahut Nirmala. Ana terkejut ketika Nirmala menawarkan pekerjaan padanya. Saat ini memang dia sedang butuh pekerjaan karena uang pegangannya sudah menipis. Apalagi ayahnya masih butuh banyak biaya. Walaupun dokter sudah angkat tangan dan menyarankan untuk melepas alat bantu, Ana belum mau. Ada keyakinan dalam dirinya jika sang ayah akan pulih kembali seperti sedia kala. Hanya saja saat ini Ana dihadapkan dengan biaya rumah sakit yang sangat besar. Isi kepalanya hampir keluar karena pusing memikirkan biaya rumah sakit. "Kerjanya apa? Apa aku masih bisa merawat ayahku di sini?" tanya Ana ragu. "Jadi asisten pribadiku. Kamu hanya perlu ikut saya kalau saya sedang butuh teman saja. Mudah bukan?"Nampaknya Ana sedang berpikir keras.
"Lalu kamu mau apa? Maaf saya tidak punya banyak waktu untuk mengurusi urusan tidak penting ini. Saya sudah minta maaf dan kamu pun tidak terluka. Lalu apa lagi?" Zaki dibuat sedikit kesal oleh perempuan muda itu. "Gak penting katamu? Gara-gara kamu, aku jadi terlambat memberi makanan pada ayahku. Jadi, kamu harus tanggung jawab!" Perempuan yang belum diketahui namanya itu tak kalah kesal. Zaki menghela nafas panjang. Waktunya terbuang percuma hanya untuk menanggapi orang yang tak dikenal. "Kamu harus ikut aku dan minta maaf langsung sama ayahku!" sambungnya lagi. "Maaf saya tidak ada waktu." Zaki pergi begitu saja tanpa menghiraukan panggilan perempuan tadi. Langkahnya hampir sampai di ruangan rawat inap Nirmala. Dia merasa sedikit lega karena tak lagi mendengar suara perempuan tadi. Namun, prediksinya salah. Ternyata perempuan itu mengikutinya sampai di depan ruangan Nirmala.Perempuan itu mencegat Zaki. "Kamu harus ikut aku!" serunya. "Gak sopan! Kamu dari tadi mengikuti ku?"
Mama Zoya yang tertidur dengan kepala berbaring ke ranjang Nirmala pun terkejut mendengar suara Nirmala. Spontan Mama Zoya langsung bangun dan memastikan Nirmala sudah sadar. Lalu, Mama Zoya lari keluar untuk memanggil perawat jaga. Setelah perawat jaga memeriksa Nirmala, Mama Zoya baru lah lega karena menurut perawat, semuanya baik-baik saja dan tak ada yang perlu dikhawatirkan. Untuk penanganan lebih lanjut, menurut kata perawat akan menunggu instruksi dari dokter yang menangani Nirmala. Dokter yang memeriksa Nirmala belum mengatakan apapun pada mertua Nirmala itu. Alasannya karena menunggu suami Nirmala. "Aku dimana, Ma? Kok mama di sini?" tanya Nirmala yang masih tak sadar kalau dia di rumah sakit. Fano sudah kembali bertugas dan Zaki juga sudah diberitahu kalau Nirmala ada di rumah sakit. Sekarang, Zaki sedang ada di perjalanan. Dia juga baru selesai menangani dua operasi yang sangat darurat. Setelah melihat sekeliling dan mengingat kejadian terakhir, Nirmala baru ingat kal