"Nduk."Ada yang menepuk pipiku lembut. Bau minyak kayu putih menusuk hidungku. Aku paling tidak suka, dengan bau minyak kayu putih. Perlahan, kesadaranku kembali. Aku terbaring di ranjang Ibuk. Ternyata, aku pingsan tadi. Cairan bening kembali menetes dari ujung mataku, begitu mengingat kata talak dari Mas Haris. Ternyata, rasanya sungguh sakit. Tak pernah kusangka, akan sepedih ini.Kulihat sosok Mas Haris masih berdiri di ruangan ini, namun agak menjauh. "Tekanan darahnya sangat rendah, jadi Mbak ini, drop. Tolong jangan dibebani banyak pikiran dulu." Suster melepas alat untuk mengukur tekanan darah. "Tapi tidak apa-apa, kan, Sus?" tanya Ibuk cemas."Tidak, tolong dijaga emosinya saja, jangan sampai terlalu banyak beban. Baik, saya permisi dulu," ucap suster sambil berlalu."Nak Haris, tolong kamu pergi dulu, mungkin Rini masih syok. Dengan melihatmu di sini, dia akan kepikiran terus." Paklik menasihati Mas Haris, seperginya suster yang memeriksaku tadi.Ah, rasanya aku sudah ma
"Rini," pekik sesosok manusia dengan pahatan begitu sempurna diwajahnya. Matanya yang teduh, dilengkapi bulu mata yang lentik, tengah memandangku. Bibirnya selalu dipenuhi dengan senyum yang menawan. Ibuk hanya tersenyum melihat kami berdua.Ibas, dia tetangga, sekaligus teman masa kecilku. Kami berteman sejak dari TK, sampai SMA. Kemana-mana, kami selalu berdua. Banyak yang mengira, kalau kami pacaran. Bahkan, dia rela memilih SMA negri, demi bisa bersama denganku. Padahal, dia termasuk keluarga berada. Bahkan, tergolong keluarga paling kaya, di kampung ini. Meskipun dari keluarga berada, dia tidak pernah sombong. Keluarganya juga supel, sehingga banyak tetangga yang suka pada mereka. Kedua keluarga kami memang lumayan dekat, bahkan mamanya Ibas pernah memberikanku biaya pendidikan, namun ditolak oleh Ibuk, karena takut berhutang budi.Awal perpisahan kami, ketika dia dan keluarganya, pindah kota. Entah kota mana, dia juga tidak memberi tahuku. Rasanya berat sekali, waktu itu. Kehil
Reflek, aku dan Ibas saling menjauh. Biar bagaimanapun, kami sudah dewasa, bila berdekatan begini, bisa menimbulkan fitnah. Sementara Ibas, menatapku penuh tanda tanya."Baru kemarin, aku menjatuhkan talak padamu. Sekarang, sudah dapat mangsa baru."Haris, siapa lagi kalau bukan si mulut lemas itu. Hilang sudah rasa hormatku padanya. Tak sudi rasanya memanggil dia dengan sebutan, Mas Haris.Aku diam saja, malas menanggapinya. Kuakui, aku juga salah, tidak bisa menjaga sikap di depan Ibas."Apa maksudmu?" tanya Ibas. "Seperti yang kamu dengar tadi, dia sudah jadi janda," tekan Haris santai. "Janda?" tanya Ibas heran seraya menatapku.Aku mengangguk lemah."Ya, dia sudah janda, bekasku."Bugh!Tak disangka-sangka, Ibas menonjok mulut Haris. Haris yang tidak siap, sedikit terhuyung ke belakang. Terlihat, darah merembes dari ujung bibirnya. Sepertinya, Ibas tidak main-main."Ibas!" Kuseret tubuhnya untuk menjauhi Haris. Ibas yang bersiap memukul kedua kalinya, segera kutarik. Cengkraman
pov HarisTak disangka, Ibuk dan Suci pulang sambil menangis. Kata mereka, Rini mengumpat. Awas, ya, kamu Rin. Tanpa mendengar penjelasan Ibuk dan Suci, aku melenggang pergi. Aku harus mendengar penjelasan Rini, kenapa bisa, Suci dan Ibuk sampai menangis.Dengan kecepatan tinggi, aku sampai rumah. Pintu rumah dalam keadaan tertutup.BraakAku menendangnya. Emosiku sudah meletup-letup."Dek, ngomong apa kamu sama, Ibuk?" cecarku pada Rini.Bukannya menjawab, dia malah terlihat santai, seolah tidak terjadi apa-apa. "Kamu ngomong apa tadi, sama Ibuk?" bentakku lagi. Aku sangat emosi dibuatnya.Rini malah meninggalkanku, lalu mencuci tangan dan mengelapnya. "Rin ...," geramku karena tak kunjung menjawab."Kamu dengar aku gak, sih?" bentakku lebih keras lagi."Kamu bentak aku, Mas?" tanyanya.Ya, ini pertama kalinya aku membentaknya. Aku benar-benar khilaf."Dek, tadi kamu ngomong apa sama Ibuk dan Suci. Mas cuma mau tau aja," aku mencoba mengambil hatinya."Gak ngomong apa-apa kok, Mas
Pov Rini"Gila, kamu sungguh sudah tidak waras. Setelah apa yang kamu perbuat padaku, sekarang dengan entengnya kamu minta kita rujuk. Sampai kapanpun, aku tidak sudi kembali padamu." "Suatu saat, kamu akan menyesal, Rin, telah meninggalkanku," pede sekali dia. "Kamu yang akan menyesal. Jangan pernah ganggu Rini, atau, kamu akan berurusan denganku!" Ibas sudah berdiri di belakangku. "Wow, jangan-jangan, kamu suka Rini, ya? Janda gatel aja, kok dibela," ujar Haris menjengkelkan.Aku menjadi janda kan, gara-gara dia juga. Mungkin otaknya sudah geser, tak bisa berfikir lagi apa yang dia ucapkan."Kalau iya, kenapa?" DegApa yang dikatakan Ibas? Apa hanya sekedar membelaku dari Haris, atau ada maksud lain?Hatiku sungguh berbunga-bunga. Selama menikah dengan Haris, tak sekalipun, dia membelaku. Sekarang, diperlakukan begini oleh Ibas, hatiku sungguh bahagia."Woi, sadar Rin. Gak pantas kamu bersanding dengan Ibas. Dia itu tampan, kaya, lah kamu, miskin, janda lagi," rutukku dalam hati
"Aku ke dalam dulu, Ibuk manggil," pamitku, tanpa menunggu persetujuannya.Ibas menghela nafas kecewa. Aku mau tersenyum geli, namun tak tega. Akhirnya, kusimpan senyumku dalam hati. Pasti dia kecewa. Aku sudah hafal perangainya, dia tidak akan mau menunggu. Dia paling tidak sabaran. Pasti, sebentar lagi, dia akan mendesakku lagi."Ada apa, Buk?" tanyaku lembut."Ibuk capek duduk, tolong bantu Ibuk ke kamar, ya!" Ibuk hendak berdiri dari kursi. Aku sampai lupa, kalau Ibuk masih di ruang tamu. Ah, semuanya jadi kacau. Bagaimana, kalau beliau sudah mendengar semuanya? "Bas, kamu sudah mau pulang?" teriak Ibuk, sambil bangun dari duduknya."Belum Buk, masih kangen sama Rini," ucapnya tanpa malu.SerrrHatiku berdesir, pipiku terasa menghangat. Pasti, wajahku sudah seperti udang rebus.Dulu dia juga sering bicara begitu, namun hatiku biasa saja. Sekarang, dia bicara begitu, hatiku begitu berbunga-bunga."Gak baik, kalau belum sah," sahut Ibuk."Apaan sih, Buk?" Aku menunduk malu sambil
Tak disangka, Ibas pergi meninggalkanku begitu saja. Begitu marahkah dia, padaku? Harusnya, dia bisa mengerti perasaanku. Bukan hanya menilai, dari apa yang dilihatnya saja. Toh, aku juga tidak diam saja. Aku sudah berani mengambil keputusan terbesar dalam hidupku. "Bas, mau ke mana?" kejarku.Dia tak menjawab, langsung menuju kamar Ibuk, lalu mengetuknya pelan.Tok tok"Buk, ini Ibas!" "Ibuk istirahat, Bas, jangan diganggu!" Ucapku dengan nada khawatir. Entah khawatir karena apa, aku juga bingung.Tanpa menunggu jawaban Ibuk, dia langsung mendorong pintu, seolah ini kamarnya sendiri. Aku mengekor di belakangnya, takut sesuatu yang tidak kuinginkan terjadi. Benar saja, Ibuk terpejam. Tapi tidak, tangannya memegang tasbih. Mulutnya melantunkan asma Allah. "Buk, Ibas pamit. Ibuk sehat-sehat, ya!" pamitnya. Ibuk langsung membuka mata, seraya menatap heran kepada kami."Kenapa buru-buru?"Ibas hanya diam, seraya memandangku jengkel. Aku semakin kikuk dibuatnya."Jangan bilang, kalian s
Ternyata Ibas. Dia sudah berdiri di ambang pintu, dengan rambut sedikit basah. Aroma parfum maskulin, menguar dari tubuhnya. Sepertinya sudah mandi, terlihat dari pakaiannya, juga sudah ganti. Kalau dipikir, ini belum ada satu jam, dan dia sudah kemari lagi. Memang ,rumahku dengan Ibas, berjarak hanya beberapa langkah saja. Jadi tak heran memang, dia secepat kilat sampai sini lagi."Sekarang sudah lepas Maghrib, jadi aku bebas kemari," ucapnya dibarengi senyum termanisnya."Duh, lama-lama bisa diabetes aku," gumamku."Kenapa, Rin?" "Gak, mau ngapain lagi, kamu?" tanyaku gugup."Mau ngajak kamu, sama Ibuk, makan malam di luar."Tanpa permisi, dia menyelonong masuk. Aku yang berdiri di ambang pintu, dianggapnya tidak ada."Gak sopan," sungutku, sambil mengimbangi langkahnya."Sejak kapan aku harus sopan sama kamu?" ejeknya, tak mau kalah. "Dasar, kepala batu!" "Dasar, cerewet!" "Ibaaaas..." geramku.Hendak kucubit perutnya, ,namun dia bisa dengan gesit menghindar. "Beginilah, kal
"Kenapa lagi?" tanyaku."Nanti malam, aku ke rumah ya, sama mama dan papa?" tanyanya setengah memaksa."Dalam rangka apa? Bukankah sudah kubilang, jangan temui aku dulu, sebelum hakim ketuk palu," ucapku semakin grogi, tapi juga senang. "Aku ingin, orang tua kita tahu, kalau aku serius denganmu. Boleh, ya?" "Kamu nanya, atau maksa?" ejekku geram, namun hatiku sungguh berbunga-bunga. "Pokoknya, nanti habis Isya, aku ke sana. Mama juga sudah kangen sama kamu, katanya." Aku senyum-senyum sendiri, merasakan bunga-bunga bermekaran di hati. Seumur-umur, belum pernah aku mendengar kata rindu dari mertua. Ah, aku sudah berlebihan, menyebut mama Ibas, sebagai mertua. "Yuk buruan, aku sebentar lagi ada meeting!" Ajaknya, setelah membayar di kasir."Bas, apa mamamu sudah tahu, kalau aku ...," ucapku terjeda."Sudah ribuan kali kubilang, aku tidak mempermasalahkan statusmu. Jadi kumohon, jangan bahas ini lagi. Aku mencintai dan menyayangimu apa adanya." Ucapnya seraya memandangku lekat, bah
"Halo, Alvin ...!"TutPanggilan terputus. Dasar bocah, belum selesai bicara, sudah dimatikan. Ada masalah apa, sebenarnya? Apa jangan-jangan, niatnya sudah diketahui Ibuk mertua."Kenapa dimatikan, kan belum selesai bicara?" semburku begitu Alvin angkat telpon."Anu, Mbak, pulsaku habis," jawabnya malu-malu, membuatku ingin tertawa. Mau tertawa tapi kasihan, akhirnya aku tertawa dalam hati. "Oh ya, bagaimana dengan BPKBnya?" cecarku tak sabar. Bagaimanapun juga, aku harus bisa mengambil BPKB itu. "Katanya Suci, BPKB dibawa Ibunya, dan gak tahu disimpan di mana."Huft. Aku menghembuskan nafas kecewa. Kalau barang dibawa Ibuk, pasti akan sangat susah didapat. Aku harus memutar otak, bagaimana caranya mendapatkan BPKBnya."Terus, kamu gak berusaha lebih gitu, misalnya merayu Suci kah, agar bisa ambil BPKBnya?" "Merayu gimana, Mbak?" tanya Alvin polos."Haduh, kamu pernah pacaran gak sih sebelumnya? Masa merayu saja gak bisa. Sadar Vin, kamu itu hanya dimanfaatkan Suci!" Ucapku geram,
"Astaghfirullah!" aku menutup mulut tak percaya.Haris dan wanitanya, melaju kencang, saat lampu masih merah. Sedangkan dari arah kiri, ada juga motor yang sedang melaju. Alhasil, untuk menghindari tabrakan, Haris malah menabrak tiang listrik yang, tak salah apa-apa. Aku begitu shok, melihat Haris kecelakaan tunggal, yang melibatkan tiang listrik. Beberapa orang berkerumun, aku ikut mendekat, setelah lampu berganti warna hijau."Makanya, Mas, kalau masih lampu merah, jangan ngebut. Untung yang ditabrak tiang listrik," suara sumbang seseorang, sambil membantunya berdiri."Makanya, jangan pacaran di jalan!" Entah suara siapa lagi itu, aku tidak begitu peduli."Kalau nabrak kasur mah enak, lah ini malah tiang listrik," kelakar sesebapak, mengundang tawa orang lain.Kulihat, mereka berdua selamat, hanya lecet sedikit. Motornya pun, tidak ada kerusakan yang berarti, hanya bagian depan, yang pecah."Lain kali, hati-hati. Aku duluan," pamitku, setelah berhasil menyibak kerumunan Kupastikan
"Aha, aku ada ide."Tiba-tiba, sebuah ide cemerlang melintas di otakku, membuatku senyum-senyum sendiri. Aku membayangkan, betapa sakitnya Suci, kalau ideku berhasil. Bahkan, bukan hanya Suci, seluruh keluarganya pun, akan merasakan. "Kenapa kamu?" tanya Ibas mengagetkanku. "Apa, sih. Orang lagi berpikir, malah diganggu, jadi ambyar kan!" sungutku. Tak lama, mobil sudah memasuki kawasan Pengadilan Agama. Kulirik jam tangan, sudah lewat dari jam sebelas. "Maaf ya, aku gak bisa nganter ke dalam." Ibas tampak sibuk dengan gawainya. "Iya, gak masalah. Betewe, terima kasih sudah diantar," biar bagaimanapun, aku tidak enak, kalau merepotkannya terus menerus."Pulangnya nanti gimana? Atau biar dijemput Alvin?" usulnya."Kalau gak merepotkan.""Baik, biar dia yang jemput. Aku pergi dulu, ya. Maaf gak bisa nemenin," pamitnya.Perlahan, mobil Ibas sudah meninggalkanku, yang mematung seorang diri, di tempat parkir. **Aku keluar dari gedung ini, tepat tengah hari. Aku celingukan, mencari k
Marah, jengkel, kecewa melebur jadi satu. Aku merutuki ban yang bocor, tanpa kompromi. Dengan terpaksa aku mendorong motor, mencari bengkel yang ada. Banyak orang lalu lalang, namun tak ada yang peduli denganku. Apakah benar-benar sudah krisis, rasa kemanusian di abad ini, sampai ada seorang wanita yang kesusahan, dibiarkan saja.TiinAku terlonjak kaget, ketika klakson mobil hitam mengkilat, berbunyi nyaring tepat di sampingku. Kalau dipikir, aku sudah berjalan di pinggir, tapi kenapa masih diklakson. Sepertinya, memang pengendara mobil ini sengaja, mengagetkanku."Gak punya akhlak!" rutukku kesal.Aku kembali melanjutkan mendorong motor, yang kurasa semakin berat. Ditambah, matahari siang ini, terasa begitu menyengat. Peluh sudah dari tadi membanjiri dahi, melewati pipi, dan hampir jatuh lewat daguku. Ujung jilbab, kujadikan sebagai lap keringat, karena tidak ada stok tisu di dalam tas.Namun, ada yang aneh, mobil ini seakan mengikutiku. Dari tadi, tidak juga melambung, malah melaju
Kami kompak berhenti, saat Haris bilang tidak akan menceraikanku. Apa aku takut? Tidak. Aku tahu, dia hanya menggertak saja. "Aku yang akan menggugatmu!" Ancamku tidak main-main."Semua keputusan ada di tanganku, kalau aku bilang tidak, hakim tidak akan menyetujui gugatan ceraimu," ucapnya pongah. "Hem, kita lihat saja nanti, siapa yang akan menang," aku tersenyum mengejek, lalu pergi meninggalkannya. Tak ada gunanya juga, lama-lama di sini.Mungkin dikira aku takut, kalau tidak bisa bercerai dengannya. Pikirannya sungguh sempit sekali. Tanpa menghiraukannya, aku melangkah pergi, diikuti Paklik dan Bulik. Terlihat, Ibuk masih mengomel tak jelas, sampai mobil yang kami naiki, meninggalkan halaman rumah Haris. Tak butuh waktu lama, kami sampai rumah. Jalanan memang sedikit lengang, karena ini hari libur. Aku dan Bulik bergegas turun, sementara Ibuk, langsung keluar, begitu mendengar deru mesin mobil, berhenti."Banyak sekali, Nduk?" Ibuk keheranan, melihat barang hampir satu pick up
"Astaghfirullah, Ibuk!" Aku terkejut, melihat Ibuk limbung ke lantai. Suci dan Haris, sibuk mengangkat tubuh Ibuk yang bongsor. Mereka terlihat sangat kewalahan, karena tenaganya tidak seimbang. "Bulik, Ibuk pingsan," teriakku panik, di ambang pintu.Semua yang ada di rumah ini, langsung menuju kamar. Mereka berbondong-bondong, melihat keadaan Ibuk. "Nduk, tolong ambilkan minyak kayu putih!" perintah Bulik dengan nada cemas.Aku pun bergegas mencarinya, di tempat biasa aku meletakan. Meskipun hatiku masih sakit, atas ucapan Ibuk, namun aku juga masih punya hati. Biar bagaimanapun, sisi kemanusiaanku terketuk."Lama amat sih, Mbak," sungut Suci.Andai saja tidak dalam kondisi begini, sudah kujitak, kepalanya dari tadi. Mulutnya luwes sekali, kalau untuk mencari kesalahan orang lain. "Haris ..., Suci ...," ucap Ibuk pelan.Akhirnya beliau sadar juga, setelah Haris memberikan minyak kayu putih, tepat di bawah hidungnya."Ibuk mau minum?" tanya Haris. Dia begitu perhatian pada Ibunya.
"Eh ...eh ..., kenapa perabotan anakku di maling?" Suara khas yang sangat kukenal, tiba-tiba masuk, diikuti anak perempuannya. Sontak, Bulik menghentikan aktivitasnya. "Rin, kamu cerai, mah, cerai aja, gak usah bawa-bawa barang anak saya!" cerocos Ibu mertua.Aku yang sudah kebal, tak terlalu menggubrisnya. Namun, Bulik terlihat agak takut, terlihat dari wajahnya, yang mulai pias."Nduk, bagaimana, ini?" tanya Bulik lirih. Aura ketakutan jelas sekali nampak dari wajahnya."Tenang Bulik, ada Rini." Aku mencoba menghiburnya, walau hatiku juga tidak tenang."Rin, jangan kurang ajar. Sudah minta cerai, sekarang malah maling di rumah suaminya," hardiknya."Iya, nih, Mbak. Jangan bikij malu!" Suci ikut menambahi.Seketika, aku begitu marah. Kuhentikan aktivitasku, lalu melangkah ke depan. Kuhampiri mereka berdua, dengan tangan masih memegang spatula. "Maaf Ibuk mertua yang terhormat, tolong disaring dulu, kalau mau berbicara. Anda sebagai orang tua, tentunya tahu, mana yang baik dan tidak
Setelah semua selesai, kami akhirnya memutuskan pulang. Kasihan juga Ibuk, kalau lama-lama di luar, terkena angin malam. Udang asam manis, yang belum habis tadi, jadi kami bungkus. Sesuai janji, Ibas yang membayarkan semuanya. Setelah membayar, kami beriringan menuju mobil Ibas, yang berjejer dengan mobil-mobil pengunjung lainnya. Pulangnya, kami lebih banyak diam, terutama aku, mungkin efek kekenyangan. Semuanya hening, larut dalam pikirannya masing-masing. "Gak mau turun?" Ibas membangunkanku. Ternyata tadi aku ketiduran, efek kekenyangan, mata juga ikut kelelahan."Mau kemana, kita?" kukucek mata, saat menoleh ke belakang, Ibuk sudah tidak ada."Ke rumah, lah, kemana lagi? Mau diajak ke pelaminan sekalian?" tanyanya seraya tersenyum mengejek. "Apaan sih, gak lucu tahu," sungutku kesal. Orang tanya serius, malah diajak bercanda.Dengan menahan kantuk, akhirnya aku ikut turun, setelah pintu dibukakan oleh Ibas."Kenapa gak bilang dari tadi, kalau sudah sampe rumah?" aku menoyor ke