"Kenapa lagi?" tanyaku."Nanti malam, aku ke rumah ya, sama mama dan papa?" tanyanya setengah memaksa."Dalam rangka apa? Bukankah sudah kubilang, jangan temui aku dulu, sebelum hakim ketuk palu," ucapku semakin grogi, tapi juga senang. "Aku ingin, orang tua kita tahu, kalau aku serius denganmu. Boleh, ya?" "Kamu nanya, atau maksa?" ejekku geram, namun hatiku sungguh berbunga-bunga. "Pokoknya, nanti habis Isya, aku ke sana. Mama juga sudah kangen sama kamu, katanya." Aku senyum-senyum sendiri, merasakan bunga-bunga bermekaran di hati. Seumur-umur, belum pernah aku mendengar kata rindu dari mertua. Ah, aku sudah berlebihan, menyebut mama Ibas, sebagai mertua. "Yuk buruan, aku sebentar lagi ada meeting!" Ajaknya, setelah membayar di kasir."Bas, apa mamamu sudah tahu, kalau aku ...," ucapku terjeda."Sudah ribuan kali kubilang, aku tidak mempermasalahkan statusmu. Jadi kumohon, jangan bahas ini lagi. Aku mencintai dan menyayangimu apa adanya." Ucapnya seraya memandangku lekat, bah
"Rin, hari ini kamu gajian, 'kan? Jangan lupa kasihkan semuanya ke aku, buat ditabung, Buat jaga-jaga saja kalau ada perlu mendadak. Kita harus hemat mulai sekarang. Sini biar aku bawa uangnya!" ujar Mas Haris panjang lebar.Sontak aku menghentikan langkah kaki. Aku kaget dibuatnya. Apa aku tidak salah dengar? Semuanya, dia bilang? Ini uangku, hasil keringatku, kenapa harus dia yang mengatur?Memang, biasanya seperti itu. Gajiku dari hasil mengajar akan dipegang Mas Haris setengahnya, untuk ditabung. Bukan semuanya. Aku keberatan, sangat keberatan.Ya, aku memang dipaksa Mas Haris menabung buat masa depan, tapi masa depan yang bagaimana? Selama ini, kehidupan kami tetap sama. Begini-begini saja, bahkan, motorkupun tetap yang dulu bapak belikan sebagai hadiah wisuda. Lantas masa depan yang bagaimana, yang dia maksud?Hari ini aku baru saja menerima gaji. Mas Haris bahkan selalu hafal tanggal berapa aku gajian. Aku sudah hafal nasihatnya tiap selesai gajian, harus menabung. Seakan, menab
"Rin, di mana kamu?" Suara Ibu mertua memanggil.Kulepas mukena merah marun yang dibelikan Mas Haris. Ini adalah satu-satunya hadiah yang dia berikan selama tiga tahun pernikahan kami. Kubuka pintu kamar, kulihat ibu mertua dan Suci, adik satu-satunya Mas Haris tengah duduk di ruang tamu dengan pongah. "Iya, Bu." Kucium tangan Ibu mertua. Biar bagaimanapun, aku harus menghormatinya sebagai mertua. "Kamu enggak ikhlas, Haris memberiku uang?" tanya ibu tanpa basa-basi. Aku menghela nafas. Benar, 'kan, dugaanku, kalau Mas Haris mengadu lagi kepada ibunya. Begitulah Mas Haris, tiap ada masalah rumah tangga, selalu mengadu. Tak bisakah dia menyelesaikan sendiri?"Kamu, nih Mbak, jangan pelit jadi orang, nanti rejekimu seret, lho." Suci menasihatiku. Ipar yang satu ini, memang enggak ada akhlak Enggak ada sopan-sopannya sama yang lebih tua."Maksudnya apa, ya, Buk?" Aku berpura-pura tak mengerti."Enggak usah sok polos deh, Mbak!" Tuh kan, mulutnya, pengen tak hiiih. "Tadi Haris ke r
Mas Haris muncul di balik pintu. Jadi, dia mendobrak pintu rumahnya sendiri. Miskin akhlak memang."Dek, ngomong apa kamu sama ibu?" Baru saja sepiring nasi goreng gila ekstra pedas kuhabiskan, Mas Haris datang dengan wajah geramnya. Bahkan, piring bekasnya pun belum aku cuci. Niat hati mau nambah lagi, kuurungkan. Mendadak nafsu makan ini lenyap. Padahal, aku berencana menghabiskannya. Sayang 'kan, kalau sampai terbuang sia-sia."Jangan marah-marah, Mas," ucapku sambil berlalu meletakan piring kotor ke wastafel."Kamu ngomong apa tadi, sama ibu?" Dia semakin geram. Aku mencuci tangan lalu mengelapnya. "Rin...." Mas Haris geram karena aku tak kunjung menjawab. Toh, aku jawab juga pasti disalahkan, lebih baik diam saja."Kamu dengar aku enggak, sih?" bentaknya lebih keras lagi."Kamu bentak aku, Mas?" Aku tersenyum miring. Lelaki bergelar suamiku kini mulai bisa membentakku. Aku mencoba menguatkan hati, meski ada yang tersayat sembilu."Dek, tadi kamu ngomong apa sama ibu dan Suci.
Sepanjang perjalanan menuju sekolah, aku terus mengomel dalam hati. Tidak habis pikir dengan sikap Mas Haris. Bisa-bisanya dia meminta uang bensin padaku. Aku saja, tidak pernah meminta uang bensin padanya. Sudah putus memang, urat malunya.Padahal, uang yang diberikannya, hanya satu juta setiap awal bulan. Itu artinya, uang belanjaku hanya tiga puluh ribu saja dan sisanya dia yang pegang. Kalau ditanya cukup atau tidak, jelas tidak cukup. Itu hanya urusan dapur, belum bensin, listrik dan lain-lain.Selama ini, kebanyakan orang, tahunya kami hidup harmonis, Mas Haris bekerja, akupun juga bekerja. Orang berpikir, hidup kami berkecukupan dari segi materi. Mereka tidak tahu yang sebenarnya terjadi, karena aku tak pernah bercerita masalah rumah tangga pada siapapun, termasuk Ibuku. Biarlah orang lain tahunya, aku selalu bahagia. Bukankah, prasangka baik itu sebuah do'a.Tak terasa, aku sudah tiba di sekolah, tempatku mengais rejeki. Kuparkirkan motor di tempat khusus guru. Lalu berjalan
Aku tak paham maksud Mas Haris. Apa jangan-jangan, seluruh uang gajinya diberikan pada Ibunya? Lalu, aku harus mengemis, begitu?"Mulai sekarang, ibu yang mengatur uangku. Jadi, biar ibu yang ngasih uang belanjanya," ucapnya tanpa merasa bersalah."Apa aku enggak salah dengar, Mas?" Tentu diri ini begitu kaget dan tak percaya begitu saja. Aku tak habis pikir, kemarin dia meminta semua gajiku. Sekarang, uangnya diberikan semua ke ibunya. Lalu, apa fungsinya aku sebagai istrinya?Aku merasa sudah tak dihargai lagi sebagai seorang istri. Bisa-bisanya dia mempercayakan keuangan rumah tangga pada orang lain. Meskipun itu ibunya, tetap aku tidak rela."Ibu lebih pintar mengatur keuangan. Buktinya, setiap bulan selalu bisa menabung. Nanti aku antar ambil uangnya ke ibu.""Enggak perlu." Hatiku begitu dongkol. "Kenapa?""Aku enggak butuh uangmu." Bibirku bahkan sampai bergetar, menahan tangis."Oh, kamu sudah merasa hebat, enggak butuh uangku, sekarang?" Mas Haris menekan kalimatnya. "Aku
"Apa, maaf?" ulangku sambil memicingkan mata. "Maaf, aku tadi khilaf!" ucapnya memohon.Namun, hatiku masih beku. Entah dia serius atau tidak. Sulit bagiku memaafkannya secepat ini. "Entahlah, Mas, aku sudah bosan begini terus," lirihku. "Aku tadi lapar, jadi lepas kendali," ucapnya polos.'Rasain, Mas. Salah sendiri, uang belanja kok dikasih mertua, sekarang rasakan saja.Sampai kapanpun, aku gak akan mau mengemis ke Ibumu,' ucapku tentu saja dalam hati. "Ayo kita cari makan di luar, Rin!" Mas Haris meraih tanganku. Aku menurut saja, karena jarang-jarang dia mengajakku makan di luar. Mas Haris mengeluarkan motorku, aku lalu mengunci rumah. Meskipun hatiku masih jengkel, tak kusia-siakan kesempatan ini. Momen makan di luar, sangat langka bagi Mas Haris. Dia sama dengan Ibunya, perhitungan masalah uang. Sebulan sekali saja, belum tentu. "Kita makan bakso saja, ya!" Kami berhenti tepat di depan warung bakso.Tanpa menjawabnya, aku langsung turun dari motor lalu mencari tempat duduk
Kuhampiri Mas Haris yang tengah berdiri di depan kasir. Wajahnya terlihat jelas, kalau dia sedang bingung. "Kalau enggak bawa uang, kenapa ngajakin makan di luar?" sungutku setengah berbisik. Malu juga, kalau sampai orang lain dengar."Namanya juga, lupa.""Alasan klasik.""Jangan ribut di sini, Rin, malu!" Mas Haris mengedarkan pandangan ke sekeliling.Aku menghela nafas, mengontrol emosi, "Mas tunggu di sini, aku ambilkan dulu ke rumah, aku enggak mau jadi jaminan." "Lho, kamu ninggalin, Mas?" Wajahnya kebingungan."Katanya enggak bawa dompet, jadi aku ambil dulu. Mas di sini sebagai jaminan!""Mbak, saya mau ambil dompet dulu, biar suami saya di sini, sebagai jaminan," ucapku pada kasir."Oh iya, silakan , Mbak!" ucapnya ramah. Aku melangkah keluar, dengan hati dongkol. Tak habis pikir dengan suamiku.Bisa-bisanya dia tidak membawa dompet. Apa dia sengaja? Kuhampiri motorku yang terparkir di bawah pohon mangga. Tiba-tiba, aku menangkap sosok yang begitu kukenal. Suci. Dia seda
"Kenapa lagi?" tanyaku."Nanti malam, aku ke rumah ya, sama mama dan papa?" tanyanya setengah memaksa."Dalam rangka apa? Bukankah sudah kubilang, jangan temui aku dulu, sebelum hakim ketuk palu," ucapku semakin grogi, tapi juga senang. "Aku ingin, orang tua kita tahu, kalau aku serius denganmu. Boleh, ya?" "Kamu nanya, atau maksa?" ejekku geram, namun hatiku sungguh berbunga-bunga. "Pokoknya, nanti habis Isya, aku ke sana. Mama juga sudah kangen sama kamu, katanya." Aku senyum-senyum sendiri, merasakan bunga-bunga bermekaran di hati. Seumur-umur, belum pernah aku mendengar kata rindu dari mertua. Ah, aku sudah berlebihan, menyebut mama Ibas, sebagai mertua. "Yuk buruan, aku sebentar lagi ada meeting!" Ajaknya, setelah membayar di kasir."Bas, apa mamamu sudah tahu, kalau aku ...," ucapku terjeda."Sudah ribuan kali kubilang, aku tidak mempermasalahkan statusmu. Jadi kumohon, jangan bahas ini lagi. Aku mencintai dan menyayangimu apa adanya." Ucapnya seraya memandangku lekat, bah
"Halo, Alvin ...!"TutPanggilan terputus. Dasar bocah, belum selesai bicara, sudah dimatikan. Ada masalah apa, sebenarnya? Apa jangan-jangan, niatnya sudah diketahui Ibuk mertua."Kenapa dimatikan, kan belum selesai bicara?" semburku begitu Alvin angkat telpon."Anu, Mbak, pulsaku habis," jawabnya malu-malu, membuatku ingin tertawa. Mau tertawa tapi kasihan, akhirnya aku tertawa dalam hati. "Oh ya, bagaimana dengan BPKBnya?" cecarku tak sabar. Bagaimanapun juga, aku harus bisa mengambil BPKB itu. "Katanya Suci, BPKB dibawa Ibunya, dan gak tahu disimpan di mana."Huft. Aku menghembuskan nafas kecewa. Kalau barang dibawa Ibuk, pasti akan sangat susah didapat. Aku harus memutar otak, bagaimana caranya mendapatkan BPKBnya."Terus, kamu gak berusaha lebih gitu, misalnya merayu Suci kah, agar bisa ambil BPKBnya?" "Merayu gimana, Mbak?" tanya Alvin polos."Haduh, kamu pernah pacaran gak sih sebelumnya? Masa merayu saja gak bisa. Sadar Vin, kamu itu hanya dimanfaatkan Suci!" Ucapku geram,
"Astaghfirullah!" aku menutup mulut tak percaya.Haris dan wanitanya, melaju kencang, saat lampu masih merah. Sedangkan dari arah kiri, ada juga motor yang sedang melaju. Alhasil, untuk menghindari tabrakan, Haris malah menabrak tiang listrik yang, tak salah apa-apa. Aku begitu shok, melihat Haris kecelakaan tunggal, yang melibatkan tiang listrik. Beberapa orang berkerumun, aku ikut mendekat, setelah lampu berganti warna hijau."Makanya, Mas, kalau masih lampu merah, jangan ngebut. Untung yang ditabrak tiang listrik," suara sumbang seseorang, sambil membantunya berdiri."Makanya, jangan pacaran di jalan!" Entah suara siapa lagi itu, aku tidak begitu peduli."Kalau nabrak kasur mah enak, lah ini malah tiang listrik," kelakar sesebapak, mengundang tawa orang lain.Kulihat, mereka berdua selamat, hanya lecet sedikit. Motornya pun, tidak ada kerusakan yang berarti, hanya bagian depan, yang pecah."Lain kali, hati-hati. Aku duluan," pamitku, setelah berhasil menyibak kerumunan Kupastikan
"Aha, aku ada ide."Tiba-tiba, sebuah ide cemerlang melintas di otakku, membuatku senyum-senyum sendiri. Aku membayangkan, betapa sakitnya Suci, kalau ideku berhasil. Bahkan, bukan hanya Suci, seluruh keluarganya pun, akan merasakan. "Kenapa kamu?" tanya Ibas mengagetkanku. "Apa, sih. Orang lagi berpikir, malah diganggu, jadi ambyar kan!" sungutku. Tak lama, mobil sudah memasuki kawasan Pengadilan Agama. Kulirik jam tangan, sudah lewat dari jam sebelas. "Maaf ya, aku gak bisa nganter ke dalam." Ibas tampak sibuk dengan gawainya. "Iya, gak masalah. Betewe, terima kasih sudah diantar," biar bagaimanapun, aku tidak enak, kalau merepotkannya terus menerus."Pulangnya nanti gimana? Atau biar dijemput Alvin?" usulnya."Kalau gak merepotkan.""Baik, biar dia yang jemput. Aku pergi dulu, ya. Maaf gak bisa nemenin," pamitnya.Perlahan, mobil Ibas sudah meninggalkanku, yang mematung seorang diri, di tempat parkir. **Aku keluar dari gedung ini, tepat tengah hari. Aku celingukan, mencari k
Marah, jengkel, kecewa melebur jadi satu. Aku merutuki ban yang bocor, tanpa kompromi. Dengan terpaksa aku mendorong motor, mencari bengkel yang ada. Banyak orang lalu lalang, namun tak ada yang peduli denganku. Apakah benar-benar sudah krisis, rasa kemanusian di abad ini, sampai ada seorang wanita yang kesusahan, dibiarkan saja.TiinAku terlonjak kaget, ketika klakson mobil hitam mengkilat, berbunyi nyaring tepat di sampingku. Kalau dipikir, aku sudah berjalan di pinggir, tapi kenapa masih diklakson. Sepertinya, memang pengendara mobil ini sengaja, mengagetkanku."Gak punya akhlak!" rutukku kesal.Aku kembali melanjutkan mendorong motor, yang kurasa semakin berat. Ditambah, matahari siang ini, terasa begitu menyengat. Peluh sudah dari tadi membanjiri dahi, melewati pipi, dan hampir jatuh lewat daguku. Ujung jilbab, kujadikan sebagai lap keringat, karena tidak ada stok tisu di dalam tas.Namun, ada yang aneh, mobil ini seakan mengikutiku. Dari tadi, tidak juga melambung, malah melaju
Kami kompak berhenti, saat Haris bilang tidak akan menceraikanku. Apa aku takut? Tidak. Aku tahu, dia hanya menggertak saja. "Aku yang akan menggugatmu!" Ancamku tidak main-main."Semua keputusan ada di tanganku, kalau aku bilang tidak, hakim tidak akan menyetujui gugatan ceraimu," ucapnya pongah. "Hem, kita lihat saja nanti, siapa yang akan menang," aku tersenyum mengejek, lalu pergi meninggalkannya. Tak ada gunanya juga, lama-lama di sini.Mungkin dikira aku takut, kalau tidak bisa bercerai dengannya. Pikirannya sungguh sempit sekali. Tanpa menghiraukannya, aku melangkah pergi, diikuti Paklik dan Bulik. Terlihat, Ibuk masih mengomel tak jelas, sampai mobil yang kami naiki, meninggalkan halaman rumah Haris. Tak butuh waktu lama, kami sampai rumah. Jalanan memang sedikit lengang, karena ini hari libur. Aku dan Bulik bergegas turun, sementara Ibuk, langsung keluar, begitu mendengar deru mesin mobil, berhenti."Banyak sekali, Nduk?" Ibuk keheranan, melihat barang hampir satu pick up
"Astaghfirullah, Ibuk!" Aku terkejut, melihat Ibuk limbung ke lantai. Suci dan Haris, sibuk mengangkat tubuh Ibuk yang bongsor. Mereka terlihat sangat kewalahan, karena tenaganya tidak seimbang. "Bulik, Ibuk pingsan," teriakku panik, di ambang pintu.Semua yang ada di rumah ini, langsung menuju kamar. Mereka berbondong-bondong, melihat keadaan Ibuk. "Nduk, tolong ambilkan minyak kayu putih!" perintah Bulik dengan nada cemas.Aku pun bergegas mencarinya, di tempat biasa aku meletakan. Meskipun hatiku masih sakit, atas ucapan Ibuk, namun aku juga masih punya hati. Biar bagaimanapun, sisi kemanusiaanku terketuk."Lama amat sih, Mbak," sungut Suci.Andai saja tidak dalam kondisi begini, sudah kujitak, kepalanya dari tadi. Mulutnya luwes sekali, kalau untuk mencari kesalahan orang lain. "Haris ..., Suci ...," ucap Ibuk pelan.Akhirnya beliau sadar juga, setelah Haris memberikan minyak kayu putih, tepat di bawah hidungnya."Ibuk mau minum?" tanya Haris. Dia begitu perhatian pada Ibunya.
"Eh ...eh ..., kenapa perabotan anakku di maling?" Suara khas yang sangat kukenal, tiba-tiba masuk, diikuti anak perempuannya. Sontak, Bulik menghentikan aktivitasnya. "Rin, kamu cerai, mah, cerai aja, gak usah bawa-bawa barang anak saya!" cerocos Ibu mertua.Aku yang sudah kebal, tak terlalu menggubrisnya. Namun, Bulik terlihat agak takut, terlihat dari wajahnya, yang mulai pias."Nduk, bagaimana, ini?" tanya Bulik lirih. Aura ketakutan jelas sekali nampak dari wajahnya."Tenang Bulik, ada Rini." Aku mencoba menghiburnya, walau hatiku juga tidak tenang."Rin, jangan kurang ajar. Sudah minta cerai, sekarang malah maling di rumah suaminya," hardiknya."Iya, nih, Mbak. Jangan bikij malu!" Suci ikut menambahi.Seketika, aku begitu marah. Kuhentikan aktivitasku, lalu melangkah ke depan. Kuhampiri mereka berdua, dengan tangan masih memegang spatula. "Maaf Ibuk mertua yang terhormat, tolong disaring dulu, kalau mau berbicara. Anda sebagai orang tua, tentunya tahu, mana yang baik dan tidak
Setelah semua selesai, kami akhirnya memutuskan pulang. Kasihan juga Ibuk, kalau lama-lama di luar, terkena angin malam. Udang asam manis, yang belum habis tadi, jadi kami bungkus. Sesuai janji, Ibas yang membayarkan semuanya. Setelah membayar, kami beriringan menuju mobil Ibas, yang berjejer dengan mobil-mobil pengunjung lainnya. Pulangnya, kami lebih banyak diam, terutama aku, mungkin efek kekenyangan. Semuanya hening, larut dalam pikirannya masing-masing. "Gak mau turun?" Ibas membangunkanku. Ternyata tadi aku ketiduran, efek kekenyangan, mata juga ikut kelelahan."Mau kemana, kita?" kukucek mata, saat menoleh ke belakang, Ibuk sudah tidak ada."Ke rumah, lah, kemana lagi? Mau diajak ke pelaminan sekalian?" tanyanya seraya tersenyum mengejek. "Apaan sih, gak lucu tahu," sungutku kesal. Orang tanya serius, malah diajak bercanda.Dengan menahan kantuk, akhirnya aku ikut turun, setelah pintu dibukakan oleh Ibas."Kenapa gak bilang dari tadi, kalau sudah sampe rumah?" aku menoyor ke