"Pesta yang aku beritahukan padamu, kau yakin tak mau ikut?" Mahendra bertanya di depan cermin selagi dia mengenakan kemejanya. Pria itu bersiap pergi bekerja dan Shena yang sudah mandi juga kini duduk di meja rias. Menatap punggung sang suami. "Dengan kehamilan besar begini, kau mau aku ikut?" tanya wanita itu balik. Mahendra memutar tubuhnya, menghadap Shena, "Aku tak masalah. Justru aku berharap kau bisa ikut dan temani aku.""Tidak, aku takut apabila ikut denganmu ada seseorang yang akan mengenali aku." Tolaknya dengan ngeri. Memikirkan dirinya ketahuan hamil saja membuat dia takut setengah mati. Mahendra menghela napas panjang. Tampak tertekan bila berkaitan dengan kecemasan sang istri tentang kehamilannya. Dia sungguh berharap bisa keluar dari masalah berbelit-belit ini. Agar setidaknya, dapat meringankan ketakutan serta paranoia sang istri yang dianggapnya hanya merugikan diri sendiri. Setelah selesai mengenakan kemeja biru mudanya, Mahendra berjalan mendekat. Pria itu sete
Pukul sepuluh pagi, Shena duduk di atas karpet tebal di dalam kamarnya seraya mengamati oleh-oleh dari perjalanannya ke Singapura, yang telah dia pisahkan dan rencananya akan dibagikannya pada orang-orang terdekatnya. Tetapi masalahnya, dia menemui jalan buntu disini. Wanita itu kemudian melihat ke perut besarnya. Terdengar lagi helaan napasnya yang panjang. Merasa frustasi, ia mengambil bantal empuk lalu ia pun rebah di sana. Kedua matanya memandang langit-langit kamar. Percakapannya dengan Mahendra tadi pagi terlintas. Pikirannya kemudian berkeliaran jauh mengingat masa mudanya. Waktu dimana dia mengetahui rahasia besar sang ibu. Dia ingat baru pulang sekolah saat ibunya itu menangis sesenggukan di dalam kamar kos mereka. Terdapat bibi pengasuh yang telah bersama mereka dalam beberapa tahun terakhir di kamar itu. Duduk berhadapan dengan sang ibu sambil memeluk mamanya yang tengah menangis. Mulanya dia tak berniat mencuri dengar kedua orang dewasa itu bicara, tapi langkahnya terh
Pada saat makan siang, Mahendra mendapat pesan dari bibi pembantunya yang menyatakan kalau Shena tidak turun kamar. Alasan dibaliknya ialah karena merasa tak nyaman bertemu dengan teman Mahendra yang dilihatnya tadi pagi tidur di ruang keluarga.Menanggapi hal itu, Mahendra hanya berpesan pada bibi pembantu agar menjaga Shena.Sore hari, Mahendra dan Hedy baru saja keluar dari restoran Italia tempat dimana pertemuan dilakukan dan sekarang keduanya akan kembali ke perusahaan. Di dalam mobil itu, Mahendra tampak sibuk melihat laptop di pangkuannya sedangkan Hedy yang duduk di sampingnya, memilah berkas-berkas penting yang perlu ditandatangani oleh Mahendra lebih dulu.Setibanya mereka di perusahaan, Mahendra kembali melanjutkan menyibukkan diri ke dalam pekerjaan. Tepat pada pukul lima sore, Mahendra keluar dari perusahaan. Begitu dia berada di halaman, ia mendapati bahwa langit tampak lebih gelap. Sepertinya sudah waktunya musim penghujan menilik dari cuaca yang jauh lebih dingin pula
Sebuah limousine berwarna hitam berhenti di sebuah hotel bintang lima, The Paradise. Dari luar halaman, terdapat banyak orang berkeliaran. Mobil-mobil mewah berbagai merek dapat ditemukan di teras pula. Mahendra keluar dari kursi penumpang. Pria itu dibalut setelan formal dari merek kenamaan Perancis. Sepasang kaki ditutupi sepatu pantofel mengilap kala menginjak karpet merah yang hotel sediakan. Wajah tampannya seketika menjadi incaran para reporter dan paparazi yang hadir. Kilatan cahaya dari kamera tak pernah padam memotret, bahkan suara shutter begitu nyaring terdengar. Memasang ekspresi dingin serta acuh tak acuhnya, Mahendra melangkahkan kaki jenjangnya masuk ke dalam."Tuan Mahendra, tolong hadap kemari!" "Bagaimana dengan nona Michelle? Kenapa Anda datang sendirian?""Mengapa Anda tidak membawa pasangan pada pesta malam ini?" Beberapa pertanyaan terlontar saat pria itu berjalan melewati sekumpulan wartawan. Mahendra berhenti sejenak, tubuh tegapnya berpaling menghadap re
"Mama merindukan kakakmu, Edwin." Sarah yang sedang menonton TV, duduk di samping putranya yang sedang menyetrika pakaian, bersuara. Hampir sebulan, sejak saat pernikahan itu terakhir kali dia bertatap muka dengan Shena. Meskipun komunikasi tidak pernah absen mereka lakukan, namun tetap saja hanya melihat dari layar HP serta mendengar suaranya saja belum mampu memadamkan kerinduannya pada putri tercintanya itu. Edwin menatap ke samping, di mana sang ibu tengah berbaring dengan pandangan kosong melihat ke layar televisi. "Kakak kan sudah bilang kalau dia ada di luar negeri. Nanti, kalau kakak sudah kembali, aku hubungi dia agar datang menemui kita." ujar pemuda itu dengan nada membujuk. Baru beberapa hari lalu ibunya itu menelpon Shena, tapi berkata masih rindu padanya. Sepertinya, dia harus memberitahu kakak perempuannya itu agar cepat pulang dan menemui mama mereka. "Kalau aku telepon sekarang, kira-kira kakakmu sudah bangun atau belum?" Menghadapi tatapan dari ibunya yang penu
"Mama baru saja mengirimi aku pesan. Dia berterima kasih atas oleh-oleh yang kamu berikan." Di dalam kamar, Shena memberitahu pada Mahendra tentang pesan yang barusan di bacanya dari Sarah. Rupanya, Rossa benar-benar datang mengunjungi Sarah dan Edwin untuk membantu memberikan barang-barang yang telah dibelinya khusus untuk keluarganya tersebut. Mahendra yang baru saja selesai berolahraga membuka kaos ketatnya yang dibasahi keringat. Bertelanjang dada, dia mengambil sebotol air dari kulkas yang ada di dalam kamar, meminumnya setengah lalu meletakkannya di atas meja berbahan marmer. "Kapan tante pergi ke sana? Kenapa aku tidak tahu kalau dia pergi menemui mama Sarah?" respons Mahendra sembari menyeka keringat dari badannya yang dipenuhi otot menggunakan handuk. "Dua hari lalu. Waktu kau datang ke pesta, Edwin menelpon mama Rossa." Balasnya singkat tanpa mengangkat kepalanya. Tidak ada tanggapan lain, hanya ada embusan napas ringan yang berasal dari Mahendra. Semakin besar kehamila
"Apakah Anda yakin, Presdir?""Hem, hubungi dia sekarang. Aku ingin tahu apakah dia bersungguh-sungguh atau tidak dengan proposalnya." kata Surya sembari menyeruput kopi di tangan. Meletakkan cangkir itu di atas meja, ia melanjutkan membaca koran bisnis di ruang tengah. Jendela di sisi kanannya terbuka lebar tatkala dia menikmati waktu santainya di pagi hari itu. Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan, saat asisten Surya menghubungi nomor Mahendra. Di waktu itu, Mahendra sendiri baru selesai mengajak Shena jalan-jalan sebentar mengitari taman mini yang ada di kompleks gedung apartemen. Setelah keduanya menyelesaikan sarapan, Mahendra membawa Shena pulang, tapi tidak langsung naik ke kediaman mereka. Melainkan, keduanya menghabiskan waktu di pagi itu bersantai di taman. Taman mini itu dipenuhi orang-orang dari kalangan berbagai usia. Ada yang sedang berolahraga, sedang bermain basket, dan sekumpulan anak-anak asyik bercanda ria menikmati fasilitas yang gedung tersebut sediakan. Dan k
Mahesa masih belum percaya dengan apa yang barusan dia dengar. Ia menatap lama pada laki-laki di hadapannya. Kemudian bertanya untuk memastikan lagi kalau dia tidak salah dengar. "Anda bilang, Tuan Surya sedang ada tamu dan menyuruh saya menunggu di sini?"Dia baru saja tiba di kediaman mewah yang ada di pusat kota milik Tuan Surya. Ia pikir, pria itu akan ada di tempat begitu dia sampai di sini. Tetapi tak tahunya, pria ini berkata apabila sang pemilik rumah sedang ada kesibukan yang mendadak.Asisten itu mengangguk, "Maafkan saya karena terlambat memberitahu Anda, Tuan Mahesa. Saya harap Anda tidak keberatan menunggu sampai tuan selesai." Memang, selain menunggu apa lagi yang bisa dirinya perbuat? Pergi dari sini dengan sia-sia? Dan mengecewakan ayahnya? Dia sudah kadung bilang pada ayahnya kalau hari ini memiiki pertemuan pribadi dengan perusahaan yang ingin sekali mereka dapatkan kerjasamanya. Apabila dia memilih pergi sekarang, kedatangannya hanya berakhir tak berguna."Baiklah
Mahendra menepati janjinya pada Shena. Ia membawa sang istri pergi ke banyak tempat yang memungkinkan wanita itu cukup bersenang-senang. Mereka bersepeda, berjalan-jalan memanjakan mata dengan pemandangan di sekitar yang nampak menakjubkan. Mereka juga melakukan tamasya di setiap kota-kota yang mereka jelajahi. Semua tempat mereka kunjungi. Basel, Bern, Lucerne, Jenewa dan terakhir adalah Zurich. Pada akhirnya, sebelum kota dataran rendah menjadi sibuk karena awal musim dingin, kedua pasangan itu pergi ke pegunungan di mana resort ski telah di buka. Saat mereka mencoba kereta gantung, Shena mendapat kejutan dari Mahendra berupa di daftarkannya sang istri ke salah satu Universitas swasta yang ada di Jakarta. Karena tak sanggup berpisah jauh, Mahendra memutuskan membuat Shena melanjutkan pendidikannya di kota Jakarta saja. "Aku sudah menyelesaikan pendaftarannya untukmu. Langkah selanjutnya yang harus kau persiapkan adalah mengikuti setiap tes bagi mahasiswa baru." Mahendra yang mene
Shena menahan erangannya, berusaha mengalihkan perhatiannya pada apa pun yang dapat membawanya ke kesadaran semula. Namun sulit. Mahendra terlalu terampil menciumnya. "Tunggu, tunggu...." Shena menyela dengan suara serak. Digelengkannya kepalanya ke kiri dan kanan untuk menjauhkan lehernya dari kecupan bibir pria itu yang terasa dingin dan panas."Hum?" Respons pria itu masih sama, acuh tak acuh seolah melihat Shena agak kesusahan merupakan pemandangan nikmat buatnya."Aku perlu makan, Ya Tuhan, Sial! Aku lapar sekali!" Shena berseru keras, hampir jatuh lemas sebab beban berat di belakangnya. Kata-kata tak singkron pun di ucapkannya tanpa sadar. "Kau bisa melanjutkan makan, dan aku juga begitu." kekeh pria itu terdengar menyebalkan."Tapi ...."Keluhan Shena teredam ciuman menuntut lainnya di mulutnya yang terasa kebas. Padahal baru tadi malam mereka berhubungan intim, tapi pria ini seperti sedang kerasukan iblis cabul karena terlalu bersemangat di pagi hari. Walau dia juga menikma
"Aku lapar.""Kau lapar?" Mendengar sang istri berkata lapar, lenyap sudah kekesalannya. Ia menatap ke sisi meja yang ada di depan tempat tidur, di mana hidangan untuk makan malam mereka masih ada di sana, belum terjamah dan pasti sudah dingin pula."Kalau begitu aku panaskan dulu makanannya." ucap Mahendra seraya mengangkat Shena yang berbaring di atas tubuhnya.Shena menggelengkan kepalanya pelan, "Tidak perlu di panaskan, kita bisa langsung makan saja." tolaknya lalu bangun dan duduk.Ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling, mencari kardigannya untuk menutupi ketelanjangannya di balik selimut. Mahendra berdiri duluan, berjalan menuju ke pinggir jendela di mana mereka memulai dan membungkuk untuk mengambil kardigan merah. "Kardigannya sobek, tidak bisa kau pakai." ujarnya dengan seringai seraya menunjukkan kain compan-camping itu ke arah Shena."Aku sudah ingatkan kau agar jangan merobeknya, tapi kau tidak mendengarkan." balas Shena cemberut.Sebagai gantinya, Mahendra mengambil
"Hati-hati jalannya. Angkat kakimu seperti sebagaimana kau menaiki tangga di rumah." kata Shena di samping telinga sang suami."Masih jauh?" tanya Mahendra penasaran sekaligus lelah. "Sabar. Sebentar lagi kita sampai." jawab Shena sambil menggandeng lengan sang suami menaiki tangga satu persatu.Berjalan sambil ditutup matanya itu benar-benar tak enak sama sekali. Apalagi tadi, dia sudah tersandung kaki meja dan hampir jatuh terjungkang ke depan. Untung Shena langsung menariknya atau kalau tidak, sudah memar wajahnya dikarenakan terantuk lantai.Semuanya bermula dari setengah jam yang lalu. Di mana setelah mereka selesai menghabiskan waktu dengan menonton film, Shena tiba-tiba mengajaknya keluar.Awalnya dia tidak curiga sedikitpun akan permintaan mendadak sang istri, tapi setelah di pertengahan jalan Shena meminta agar kedua matanya di tutup dengan kain segala, ia mulai menaruh curiga bahwa sang istri pasti sudah merencanakan sesuatu untuknya. Dan tampaknya, dia tahu kejutan apa itu
Askara melakukan sesi foto bersama dengan ayah dan ibunya untuk yang pertama kali. Sesi pemotretannya dilakukan di salah satu kamar tamu yang jarang digunakan, meski begitu tetap terawat dengan baik oleh para pembantu di rumah.Tanpa Shena tahu bahwasanya sekarang, sang suami telah berencana membangun rumah impian mereka yang diperkirakan akan rampung dalam satu tahun mendatang. Rumah mewah yang memiliki tiga lantai itu akan diberikan Mahendra pada sang istri tercinta. "Tidak masalah, Kek. Aku juga maunya memberikan hadiah untuk istriku." Sebelum sesi pemotretan dilakukan, pada pagi hari nan cerah pukul sepuluh, kakek dan bibinya berada di rumah. Tidak kemana-mana, karena hari itu juga hari libur. Selagi menunggu Shena selesai di dandani oleh MUA yang dibawa Angga, Mahendra diseret Rossa untuk membicarakan masalah pembangunan rumah baru itu."Lalu nanti bagaimana dengan rumah yang kakekmu berikan padamu?" tanya Rossa dengan kedua mata melotot. Tampak sekali kalau dia gemas dan mar
"I-ini apa artinya?" Shena bertanya bingung. Bolak balik Shena melihat pada Mahendra yang duduk di sampingnya, lalu beralih pada surat-surat kepemilikan restoran dan tanah itu yang mengatasnamakan dirinya. "Sejak kapan?" Pikir Shena. "Sejak kapan Mahendra mempersiapkan kejutan ini? Membeli restoran yang sangat ingin dia kunjungi?" "Bukankah ini terlalu berlebihan?" tanya Shena dengan tatapan bingungnya. Mahendra menautkan alisnya, "Berlebihan?"Wanita itu mengangguk, "Kau tak perlu membelikan aku ini. Aku-- aku hanya ingin melihat glass house itu saja karena kulihat di foto waktu itu bagus sekali tempatnya. Aesthetic. Dan kau---""Kau tidak mau?" "Ya?""Menerima hadiah dariku. Kau keberatan karena aku membelikanmu restoran ini?""Sejujurnya iya. Aku pikir tak usah ... Mahendra, tunggu. Kau mau ke mana?" Shena tersentak kaget melihat prianya beranjak bangun dari duduknya. Dilihat dari sisi wajah Mahendra yang mana rahangnya mengetat, ia langsung sadar telah melakukan kesalahan.
Shena dan Mahendra tiba di restoran tak lama kemudian. Mahendra lebih dulu memarkirkan mobilnya, lalu keluar, menggandeng tangan Shena masuk ke dalam. "Ini tempat yang mau kau kunjungi?" tanya pria itu saat mereka berjalan menuju ke konter, menemui seorang pelayan wanita yang tampaknya seorang karyawan di sana. Shena melihat ke sekeliling, bertanya-tanya di mana tempat yang dia lihat di video itu. "Aku juga tidak yakin, karena ini adalah pertama kalinya bagiku.""Coba sini tunjukkan fotonya. Mungkin kita bisa bertanya pada wanita itu untuk mencari tahu." kata Mahendra sembari meminta ponsel sang istri. Dengan patuh, Shena menyerahkan ponsel miliknya pada sang suami. "Permisi."Wanita yang kelihatan kepala tiga itu berbalik, melihat pada dua orang pelanggan yang baru datang dan menyambutnya dengan senyuman. "Ya, ada yang bisa saya bantu, Tuan?""Saya ingin bertanya, apakah tempat yang di foto adalah benar tempatnya di sini?" Mahendra lalu menyerahkan ponsel Shena untuk dilihat oleh
Ruangan itu gelap dan hening. Langkah kaki secara perlahan berjalan menginjak lantai, pelan sekali sebab takut keberadaannya dapat mengganggu si penghuni kamar. Setelah tiba di kamar tidur besar yang ada di tengah ruangan, Mahendra menaruh tas kecilnya yang berisikan ponsel dan dompet ke atas meja. Lalu, ia pun berjalan menuju sisi tempat tidur di mana sebuah gundukan yang tertutup selimut terlihat oleh matanya. Di tengah jalan, kakinya tersandung sesuatu. Mahendra memicingkan mata, menatap lekat pada benda itu. Ia membungkukkan pinggang, sedang tangannya meraih benda itu. Sebab gelap, dia tidak tahu benda apa yang diinjaknya, namun setelah dia mengambil benda itu, dia jadi tertegun. Ia pun menaruh benda yang tak lain adalah BH ke sandaran sofa dekat ranjang. Waktu telah menunjukkan pukul tiga pagi dan ruangan kamar itu sangat dingin akibat pendingin ruangan yang menyala. Mahendra mencari-cari remote kontrol AC. Setelah ketemu, dia menyetel kembali suhu supaya tidak terlalu dingin.
Malam itu, setelah Mahendra selesai dengan urusannya, dia memutuskan langsung kembali ke penginapan. Tak disangka, ternyata Angga yang dikiranya akan tinggal lama bersama Jessica, malah dilihatnya sedang menonton film."Kenapa kau ada di sini?" tanyanya langsung dengan ekspresi heran. "Kalau tidak di sini, memang harus di mana?" kata Angga sembari sedikit memiringkan kepalanya biar bisa melihat Mahendra. Mahendra yang awalnya berdiri tak jauh dari tempat Angga sedang menonton film, pun berjalan menghampiri temannya tersebut. Ia duduk di sebelah Angga, sepasang netranya cukup lekat memandangi teman akrabnya itu yang kini tengah asyik menatap televisi. Seolah, memang sengaja mengabaikan keberadaannya. "Aku sudah membantumu agar bisa bertemu dengan Jessica, meninggalkan kalian berdua pula di sana, serta memerintahkan anak buahku agar sungguh-sungguh menjaga lingkungan sekitar restoran dari para pengganggu. Harapanku, supaya kalian berdua punya banyak waktu bersama. Tapi ternyata, yan