Rara membuka matanya dengan perlahan. Suara tawa menyerang telinganya. Ia tersenyum kecut begitu semua mata menatapnya dengan tatapan menjijikan. Rara menundukkan wajahnya, kemudian menghela nafas pelan. Dengan langkah pasti ia meninggalkan kelasnya yang masih terdengar ramai.
Begitu Rara masuk ke kamar mandi, ia disambut dengan berbagai tatapan iba dan mengejek. Secara otomatis, kamar mandi langsung kosong begitu gadis itu datang. Rara membasuh mukanya, menatap pantulan dirinya.
“Lagi – lagi begini …padahal gak lakuin apa – apa,” kata Rara sambil membersihkan tepung putih yang berada di rambutnya dan di seragamnya.
Setelah dirasa cukup bersih, Rara kembali mencuci tangan. Rara menghentikkan kegiatannya, mendengar suara yang tak asing di telinganya melangkah mendekat ke kamar mandi. Dengan cepat, Rara masuk ke salah satu bilik kamar mandi.
“Baguslah, tuh anak emang gak pantes masuk sekolah elit gini,” itu suara Lia, salah satu gadis yang populer di sekolah Xanderiany.
“Lagian sekolah ini kok bisa nerima anak miskin beasiswa modelan si Rara, iya gak Mel?” tanya Mia sambil menatap salah satu temannya yang asik berkaca.
“Iya sekolah ini aneh banget,” komentar Amel.
“Untung ada lo Mel, anak kelas kan takut sama power bokap lo,” kata Lia sambil memakai liptintnya.
“Iya, jadi mereka manut aja disuruh sama lo,” kata Mia.
Amel tertawa puas mendengar perkataan Lia dan Mia.
“Udah belum?” tanya Mia melihat Amel dan Lia yang masih asik membenahi diri.
“Done,” jawab Amel kemudian ia mencuci tangannya terlebih dahulu.
“Yuk balik,”Lia menarik tangan Amel dan Mia.
Suara langkah kaki ketiga gadis itu menjauh dari kamar mandi. Rara terdiam dengan tatapan kosong. Ia sudah menduga hal yang terjadi hari ini, pasti ulah ketiga gadis populer di sekolah. Rara membuka ponselnya, mengecek jam. Ternyata, sudah memasuki jam pulang. Guru yang seharusnya datang di jam pelajaran terakhir, malah tidak datang dan hanya memberikkan tugas. Rara harus mengambil tasnya yang berada di kelas.
Rara keluar dari bilik kamar mandi, ia kembali membasuh wajahnya. Dengan terpaksa, ia tersenyum saat melihat pantulan dirinya di cermin.
“Pasti bisa,” Rara mengepalkan tangannya, memberikan semangat pada diri sendiri.
Rara berjalan di koridor sekolah yang sudah sepi. Wajar saja, butuh waktu lebih dari dua jam agar sekolah kosong dari murid – murid. Rara bernafas lega, setidaknya ia tidak harus menunduk dengan perasaan malu menyelimutinya.
Rara masuk ke kelasnya. Ia menatap mejanya yang dipenuhi corettan dengan kata – kata kotor. Ia mengambil koran yang ada di tasnya. Kemudian, Rara mengelap meja dengan koran yang sudah dibasahi air minum. Setelah dirasa bersih, Rara membuang bekas koran. Rara memakai jaket birunya, lalu meninggalkan kelasnya.
+++
“Tumben telat,” itu adalah kata sambutan yang didapatkan Rara begitu ia sampai di tempat part time-nya.
Rara meringis mendengar perkataan temannya. “Maaf, gue ada urusan sama guru tadi.”
“No problem sebenernya Ra,” teman Rara menatap Rara dari atas ke bawah, ia mengerutkan keningnya melihat sisa – sisa tepung di rok Rara. “Lo yakin telat gara – gara urusan sama guru?”
Rara menghentikkan kegiatan membuka jaketnya. Rara menatap temannya, dengan ragu ia menggangguk.
“Ra, lo bisa cerita ke gue kalau ada masalah. Kita temen kan?” tanya teman Rara perhatian.
“Iya Son, gue paham kok. Gue gak papa, “ Rara tersenyum kecil .
“Lo balik aja, kan lo abis ini ngajar,” lanjut Rara sembari memasukkan jaketnya ke bawah meja kasir.
“Gue balik ya.” Temannya menepuk pundak Rara.
“Oke Son, sekali lagi maaf ya. Hati – hati di jalan ya Soniaaa~” Rara melambaikan tangannya pada Sonia.
Sonia, satu – satunya teman Rara di luar sekolahnya. Sonia dan Rara bisa dekat dengan cepat dikarenakan keduanya sama – sama melakukan kerja part time di salah satu toko kecil yang terletak di pinggir jalan.
“Selamat datang. Silakan.” Rara menyambut pelanggan begitu pintu toko terbuka.
Rara menatap dari kejauhan pelanggan yang baru masuk itu. Seorang lelaki bertopi dan bermasker, kesannya mencurigakan. Lelaki itu mengambil makanan manis di rak makanan. Tanpa sadar Rara, malah memperhatikan lelaki itu. Sampai lelaki itu menyerahkan belanjaannya, Rara baru mengecek belanjaan lelaki itu dengan barcode scanner.
“Totalnya sebelas ribu tujuh ratus rupiah,” Rara memasukkan yupi bolicous ke dalam kantong plastik.
“Kenapa lo disini? “ gumam lelaki bertopi itu pelan.
Rara menatap lelaki di depannya dengan bingung, “hah?”
Lelaki di depannya menggeleng pelan. “ Maaf, ini uangnya,” lelaki itu memberikkan selembar dua puluh ribu ke Rara.
“Kembaliannya ambil aja,” lelaki bertopi itu segera keluar.
“Tapi ini kebanyakan…” suara Rara mengecil. Ia mengawasi lelaki bertopi itu yang meninggalkan toko dengan motor.
“Orang aneh.” Rara memasukkan uang pemberian lelaki itu ke mesin kasir.
Rara membuka ponselnya, ada notifikasi dari grup kelasnya. Rara membuka video mengenai kejadian tadi, kejadian yang melibatkan dirinya. Rara menggigit bibirnya begitu satu kilogram tepung terigu mendarat ke punggungnya.
“Liat apa?”
Rara terlonjak kaget, ia mengalihkan pandangannya pada sumber suara, si lelaki bertopi yang beberapa menit lalu datang.
“Loh?” Rara menatap lelaki itu. Lelaki itu tersenyum melihat wajah Rara.
Suara tawa mengejek yang datang dari ponselnya mengalihkan keduanya. Rara buru – buru mematikkan ponselnya.
“Ngapain?” Rara memukul mulutnya, “maaf, maksudnya selamat datang. Silakan.” Lanjut Rara.
Lelaki itu tersenyum melihat tingkah Rara.
“Ketinggalan ini.” Lelaki itu mengambil permen dua buah milkita yang terletak di dekat meja kasir.
“Totalnya…”
“Ambil aja kembaliannya,” potong lelaki itu, ia mengeluarkan uang lima ribu rupiah.
“Buat lo.” Lelaki itu kemudian keluar begitu saja, meninggalkan permen dua buah milkita di meja kasir.
Rara menatap permen itu,”belum bilang makasih.”
Rara sampai di rumah kecilnya sekitar pukul lima sore. Rara segera membersihkan diri, kemudian ia mencuci beras, berniat memasak beras terlebih dahulu. Gadis dengan rambut sebahu itu menyalakan televisi. Sayangnya, tidak ada yang menarik. Rara mengambil tasnya, berniat mencari ponselnya. Ponselnya segara ia isi hingga penuh. Selagi ia menunggu, Rara mulai mengerjakan tugas yang diberikkan oleh guru. Suara dering ponsel mengalihkan fokus Rara. “Halo Bu Unike. Gimana kabarnya?” “Baik sayang, kamu baik – baik aja disana?” suara lembut mengalun di indera pendengaran Rara. “Iya baik, disini semuanya ramah – ramah,” Rara tersenyum kecil, meski si lawan bicara tidak bisa melihat wajahnya. “Syukurlah. Ibu harap kamu nyaman sekolah disana. Itu kan sekolah elit, rasanya ajaib sekali kamu bisa mendapatkan beasiswa disana,” suara senang terdengar dari sambungan disana. Rara terdiam sebentar, “iya bu, Ra-ra juga senang.” Rara terpaksa berbo
Dugaan Rara salah. Saat ia datang ke kantin, ia bisa melihat Raihan sedang asik berkumpul bersama teman – temannya. Kemudian, Raihan mendapatkan kunci mobil dari salah satu temannya. Raihan tertawa puas mendapatkan kunci mobil. “Siallan lo, gue pikir dare-nya bakallan gagal,” salah satu teman Raihan memukul pundak Raihan. Rara menghela nafas, ia jadi bahan dare ternyata. Rara berusaha tak mempedulikan Raihan dan teman – temannya. Ia duduk di bangku yang kosong. Rara duduk membelakangi meja Raihan dan teman – temannya. “Ra, sini Ra!” panggil Amel, ia dengan lantang berteriak di kantin. Rara menghentikkan kegiatan makannya. Ia menoleh ke sumber suara. Yang membuatnya kaget, ada ketiga murid kelasnya yang memang suka merudungnya bergabung bersama Raihan dan teman – temannya. Rara memegang erat sendok makannya. “Jangan dipeduliin Ra…” monolog Rara dalam hati, ia memilih kembali fokus terhadap makanannya. “Lo gimana sih Me
Rasanya ingin mati saja, itulah pikiran Rara sepanjang ia berjalan di koridor sekolah. Ia tentu saja jadi pusat perhatian. “Menjijikan.” “Bau banget.” “Itu si anak beasiswa?” “Emang iya? Kok kaya gitu sih?” “Kenapa dia?” Kata – kata yang menyakitkan menyerang pendengaran Rara. Rara makin menundukkan kepalanya. Rasa semangat dirinya menguap begitu saja. “Loh nak kamu kenapa?” Rara mengangkat wajahnya, seorang satpam menyapanya. Satpam itu menatapnya dengan tatapan khawatir. Rara tak sadar, rupanya ia sudah sampai di gerbang sekolah. “Gak apa - apa kok pak,” Rara tersenyum tipis. “Ya ampun nak, kamu kacau sekali. Kamu yakin pulang dalam keadaan begitu?” tanya satpam itu memperhatikan dari atas ke bawah. Rara menyinggungkan senyumnya, ia mengangguk sebagai jawaban. “Saya pulang duluan ya pak,” pamit Rara. Satpam itu mengangguk ragu. Rara berjalan ke arah halte. Orang – orang
Suara ketukkan mengalihkan ketiganya. “Maaf bang, gue telat,” kata seorang lelaki masuk dengan wajah khawatir. Lelaki itu membuka maskernya. “No problem, sini lo,” sambut dokter Jaydan. Perawat Sarah bergeser ke belakang, memberikkan ruang agar lelaki itu dapat berdiri di samping ranjang Rara. Rara mengerutkan keningnya, lelaki itu tampak tidak asing. “Baik karena sudah ada wali anda. Begini, untungnya pasien tidak apa – apa. Ia shock saja dan tak ada luka yang serius,” jelas dokter Jaydan. “Tapi kepalanya di perban…” tanggap lelaki itu. “Iya Jev, tapi bakallan sembuh kurang dari seminggu lah, kalau dikira – kira.” “Saran saya sebagai dokter, pasien istirahat tiga hari dulu disini,” kata dokter Jaydan sambil tersenyum menatap Rara. Rara tersenyum canggung pada dokter Jaydan. “Siap bang.” Tanggap lelaki itu sambil melirik Rara sebentar, dan kembali fokus ke dokter Jaydan. “Kalau begitu semo
Rara baru saja keluar dari rumah sakit dan Jevan mengantarnya pulang. Jevan mengantarnya ke lingkungan rumah orang kaya. Disinilah Rara, hanya dapat melongo menatap rumah mewah dihadapannya. Rumah dengan gaya eropa klasik, dimana terlihat kesan mewah , anggun, dan berkelas yang didominasi warna emas dan putih gading. “Yuk masuk Ra.” Kata Jevan setelah memberikan kunci mobilnya ke penjaga rumah. “Jev…” Rara buru – buru menahan Jevan. Jevan menatap Rara dengan pandangan bertanya. “Lo yakin nganter gue ke sini? Ini bukan rumah gue Jev…” kata Rara. “Lo kenapa sih Ra? Dari kemarin lo aneh…” Jevan menatap Rara aneh. “Justru lo yang aneh, ini bukan rumah gue. Lo salah rumah kaliii.” Rara bersikukuh. “Enggak Raa~ alamat lo emang ini,” kata Jevan yakin. Rara menggeleng yakin. “Kalau gitu gue balik sendiri aja.” Rara melepaskan pegangan tangannya. “Rara, percaya sama gue.” Jevan menarik tangan Rara lembut. Kemudian,
“Selamat malam Non.” Rara berjengit kaget, dengan wajah kaget ia menoleh ke belakang. Seorang lelaki seusianya dengan setelan formal berdiri di sampingnya, lelaki itu menunduk sopan. “Siapa?” tanya Rara dengan wajah bingungnya. “Saya Narendra Barreska,” jawab lelaki itu. “Hm…” Rara menatap lelaki itu dari atas ke bawah. Tingginya tak berbeda jauh dengan Jevan, warna kulitnya kuning langsat, dan sorot matanya tajam. “Saya dikirim oleh tuan besar buat jaga nonna,” lanjut lelaki itu karena Rara terlihat kebingungan. Rara menyimpan sendoknya di meja, “Tuan besar?” “Ayah nona,” ujar Naren. “Gue…maksudnya aku punya bokap? Masih hidup?” Rara kebingungan sendiri dengan pertanyaan yang ia lontarkan. Lelaki di sampingnya mengangguk. Rara saat itu juga melamun, ia pikir ia benar – benar sudah dibuang oleh kedua orang tuanya. Apa dugaannya selama ini salah? “Non?” Lelaki itu dengan ragu melambaikan t
“Selamat pagi Non,” kata Bi Ica menyambut Rara yang baru saja keluar dari kamarnya. Rara tersenyum canggung, ia masih belum terbiasa dengan perubahan mendadak yang terjadi pada dirinya. Rara baru saja selesai mandi dan berniat sarapan di bawah. Bi Ica mengikuti langkah Rara yang turun dari tangga. Rara terkejut begitu ia sampai di ruang makan, makanan sudah tersedia. Chef Dino tersenyum, bermaksud menyapanya. Biasanya, Rara harus membuat sarapan sendiri itupun kalau tersedia sisa makanan. Kalau tidak ada, ia bahkan tak sarapan. “Silakan Nona. Menu hari ini ada oatmeal, nasi goreng, dan roti bakar. Untuk minumannya, ada susu, kopi, dan teh,” ujar Chef Dino menjelaskan. Rara tersenyum, “Terima kasih ya.” Chef Dino mengangguk kemudian ia berlalu dari hadapan Rara. Rara menatap Bi Ica dan Bi Nia yang berdiri tak jauh dari tempatnya duduk. Rara yang terbiasa sendiri, lagi – lagi merasa diawasi. Tak enak, untuk meminta mereka pergi, Rara memilih mulai makan
Jevan memandangi kue black forest yang ada di meja Rara. Jam istirahat masih berlangsung dan Jevan tidak berniat ke kantin. Ia ditinggalkan di kelas sendiri, setelah perempuan di kelas banyak bertanya mereka kelelahan sendiri dan akhirnya memilih ke kantin. Mia tadi sempat menawarinya untuk ke kantin bersama, mengingat Jevan masih menjadi murid baru. Tetapi, Jevan menolak dengan alasan ia tidak lapar. Padahal, saat jam pelajaran Bu Sulis, Jevan tidak memperhatikan sama sekali. Ia ingin meminta kue black forest yang terletak di meja Rara. Namun, ia masih tau diri. “Jangan ikutin gue terus,” suara yang tidak asing masuk ke telinga Jevan yang sedang menidurkan kepalanya di mejanya. Jevan mengangkat wajahnya, tanpa sadar senyumnya mengembang begitu melihat Rara yang sudah datang ke kelas. Tetapi, ada Naren yang mengikuti langkah Rara. Jevan mengawasi keduanya, Rara yang kini mulai fokus mempelajari pelajaran selanjutnya dan Naren yang duduk di bangkunya dengan memakai he
Satu tahun kemudian.“Nona, sudah siap?” tanya Naren.Rara mengangguk. Ia meletakkan sendok dan garpunya di atas piring dan membalikkannya, tanda sudah selesai.“Bi, aku sudah selesai. Tolong bawa ini,” ucap Rara.Bibi Ica mengangguk. Wanita itu mengambil piring kotor Rara lalu meninggalkan ruang makan.“Lo duduk dulu. Kita ngobrol,” ujar Rara menatap Naren yang berdiri tak jauh.Naren mendekat pada Rara dan duduk di depan gadis itu.“Besok jam delapan ya?” tanya Rara.“Iya. Jangan sampai terlambat,” jawab Naren.“Lo yang ngantar gue kan?” tanya Rara.“Nona, sudah lebih dari tiga kali anda bertanya,” tanggap Naren terkekeh kecil.Rara mengulas senyum. Ia menghela napas panjang.“Gue cuman gak nyangka aja akan begini jadinya,” balas Rara.“Nona sendiri yang ingin pergi,” kata Naren lembut.“Yah..gue cuman…” Rara menjeda ucapannya. Ia memilih tidak melanjutkan ucapannya.Keheningan melanda keduanya. Rara dan Naren sama – sama bungkam. Naren melirik Rara yang sibuk memainkan jemari tanga
Hari yang dilalui Rara tampak biasa saja. Hubungannya dengan kedua orang tuanya berjalan normal. Rara pun sudah berusaha menerima keadaan, walaupun saat ia berdiam diri di kamar, ia memikirkan orang tuanya yang tidak bersama lagi.“Nona, ada panggilan masuk,” kata Bibi Ica seraya mengetuk pintu kamarnya.Rara bangkit dari duduknya. Ia membuka pintu untuk Bibi Ica.“Kenapa Bi?” tanya Rara.“Tuan besar menelopon lewat telepon rumah. Beliau kebingungan karena nona tidak menjawab panggilannya,” tutur Bibi Ica.“Baterai HP aku habis,” ucap Rara. “Bilang aja ke ayah, aku akan membalasnya setelah HP aku penuh.”Bibi Ica mengangguk kecil. Wanita itu tampaknya ingin mengatakan sesuatu.“Kenapa Bi?” tanya Rara.“Nona, dibawah ada pengawal nona. Dia tetap datang hari ini,” ucap Bibi Ica.“Ngapain Naren kesini? Bukannya aku udah bilang kalau hari ini libur untuknya?” tanya Rara bingung.“Saya tidak tahu. Dia katanya hanya ingin melanjutkan kegiatan menjaga keselamatan nona saja,” sahut Bibi Ica.
“Apa mamah dan ayah masih bersama?” tanya Rara.Sempat terjadi keheningan saat Rara bertanya. Rara memperhatikan ekspresi kedua orang tuanya satu persatu. Gadis itu menundukan kepala.“Maaf, aku terkesan lancang ya,” ucap Rara.“Tidak Nak,” balas Ayah Zarhan.“Rara sayang, bukannya kamu sudah tahu tanpa harus bertanya?” tanya Mamah Windia lembut.Rara mengangkat kepalanya. Gadis itu menggigit bibir bawahnya, tidak tahu harus menanggapi seperti apa.“Ayah dan mamah sudah bercerai setelah mamahmu keluar dari RSJ. Mamahmu kecewa karena kamu dipindahkan ke panti asuhan dan ayah juga merasa hubungan kami memang tidak satu tujuan lagi. Hubungan komunikasi kami memburuk dan saling menjaga jarak masing – masing,” kata Ayah Zarhan menjelaskan.“Sekarang kami akan berusaha untuk tetap berkomunikasi agar kamu juga nyaman, walaupun kami masih agak canggung,” tambah Mamah Windia.“Ah begitu…” Rara menyinggungkan senyum. “Jadi ayah dan mamah sudah cerai ya?”“Iya Nak,” jawab Ayah Zarhan.“Rara, ini
Keheningan melanda ruang tamu di kediaman Rara. Rara melirik Bibi Ica yang berdiri di sebelah kanan. Wanita paruh baya itu hanya diam mengawasi sosok yang duduk di depan majikannya.“Bi, aku kenal dia,” ucap Rara.“Iya Nona. Nona mau mengobrol berdua dengannya?” tanya Bibi Ica.“Iya Bi, tolong ya,” balas Rara.Bibi Ica mengangguk. Wanita itu segera meninggalkan ruang tamu.“Lo sendiri gak akan pergi?” tanya Rara menatap Naren.Naren terdiam sejenak. Lelaki itu masih was – was kalau harus membiarkan Rara berdua dengan orang yang tidak bisa ia cari tahu.“Gue gak akan melakukan hal jahat ke Rara,” kata sosok itu sadar Naren menatapnya datar.“Saya gak bisa percaya, mengingat Nona Rara meminta saya untuk tidak mencaritahu tentang anda lebih jauh,” balas Naren.“Ren, lo kan udah tahu kalau Leo itu yang kasih tahu gue,” timpal Rara.“Saya tahu itu Nona, tapi saya ingin mendengar ucapannya langsung,” balas Naren.“Gue yang kasih nomor sopir truk ke Bu Unike. Itu salah gue,” terang Leo.“Sa
Sandra seketika merasa bersalah. Ia menggaruk tengkuknya yang tak gatal.“Maaf gue gak bermaksud untuk bertingkah kaya gitu,” ujar Sandra.“Kenapa lo ngikutin gue dan Rara waktu itu?” tanya Naren.“Gue penasaran. Gue nyangkanya lo adalah pembantu Rara, gue gak mau kalau lo merasa rendah diri,” terang Sandra.“San, gue gak merasa rendah diri,” tanggap Naren.“Terus apa yang lo rasain?”Pertanyaan Sandra membuat Naren terdiam. Naren menarik napasnya perlahan lalu menghembuskannya perlahan.“Gue cuman merasa perlu ada batas antara gue dan Rara. Dia adalah atasan gue dan gue bawahan dia,” sahut Naren tersenyum.“Lo merasa kaya gitu gak sama Jevan?” tanya Sandra.Naren menggeleng kecil, “Gue anggap dia teman yang baik. Walaupun Jevan juga tahu tentang gue.”“Jevan juga tahu?” tanya Sandra terkejut.“Iya dia tahu. Makanya gue kadang juga kaku sama dia,” jawab Naren.“Kalau gue gimana? Lo ngerasa kaku?” tanya Sandra seraya menunjuk dirinya sendiri.“Kalau sama lo, gue biasa aja. Lo itu orang
Hari minggu.Rara menatap nasi goreng di depannya. Gadis cantik itu tidak berniat menyentuh makanan favoritnya. Ia masih tenggelam dalam lamunannya tentang“Nona Rara,” panggil Bibi Ica seraya menepuk bahu Rara.Rara tersadar dari lamunannya. Ia menatap Bibi Ica dengan tanya.“Iya Bi?”“Nasi goreng Nona nanti dingin,” kata Bibi Ica lembut.Rara terdiam beberapa detik. “Bi, kalau Naren kesini -”Belum sempat ia menyelesaikan ucapannya, suara langkah kaki mengalihkan fokus. Rara menatap Naren yang baru saja datang.“Nona ingin berbicara berdua dengan Naren?” tanya Bibi Nia.Rara mengangguk. Ia melihat Bibi Nia dan Bibi Ica yang menjauh dari ruang makan.“Ren, duduk dulu,” ucap Rara.Naren mengangguk.“Gue belum bisa ambil keputusan tentang rekaman suara itu,” terang Rara menghela napas. “Gue gak setega itu ngebuat Bu Unike sampai dipenjara.”“Nona, saya akan mengikuti keputusan Nona. Untuk saat ini, jangan bertemu dulu dengan Bu Unike ya,” pinta Naren.“Kenapa?”“Menurut laporan, Bu Uni
Rara meletakan sendok di sebelah piringnya. Gadis itu sudah selesai makan. Ia menatap Bu Unike yang bersiap untuk kue kering yang biasa wanita itu buat.“Bu, ada yang mau aku bahas sekarang,” kata Rara.“Ada apa Nak?” tanya Bu Unike kembali duduk di kursinya.“Bu, apa ibu menyembunyikan sesuatu dari aku?” tanya Rara hati – hati.“Apa maksudmu Nak?” tanya Bu Unike bingung.“Bu, aku tahu tentang dalang kecelakaan aku,” terang Rara.Wajah Bu Unike berubah panik dan tak nyaman. Wanita paruh baya itu menggigit bibir bawahnya, menahan diri untuk bertanya lebih jauh.“Ibu gak mau tahu?” tanya Rara seraya menatap Bu Unike yang hanya diam.“Rara, sebaiknya kamu pulang sekarang saja ya,” ucap Bu Unike menatap Rara dengan tatapan merasa bersalah.“Bu, jangan menghindar. Jelasin ke aku penjelasan yang dikatakan Leo,” pinta Rara memelas.“Bukan Ibu yang melakukannya, Nak,” sanggah Bu Unike cepat.“Bu, hari ini aku baru aja ketemu Leo. Dia jelasin dari sisi dia, kalau ibu yang menyewa sopir truk it
Rara menatap bangunan yang menjadi saksi tumbuh besar dirinya. Gadis itu menarik napas kemudian menghembuskan perlahan. Rara menenangkan dirinya terlebih dahulu, ia tidak mau pertemuannya dengan Bu Unike menjadi kacau akibat omongan Leo.Setelah cukup tenang, Rara mengetuk pintu panti asuhan.“Aku pulang!” seru Rara cukup keras.Rara mencoba memegang kenop pintu panti asuhan. Gadis itu mengerutkan kening karena pintu panti tidak dikunci. Ia melangkah masuk ke dalam panti asuhan.“Halo? Rara pulang,” ucap Rara.Rara melangkah ke halaman belakang panti asuhan, “Bu Unike, aku pulang.”Rara menghentikan langkahnya saat melihat punggung yang ia rindukan. Wanita itu terdiam, tampak tenggelam dalam lamunannya. Di depan Bu Unike ada secangkir teh dan beberapa kue kering.“Bu Unike?” tanya Rara ragu.Wanita cantik itu mengangkat kepalanya. Matanya melotot melihat sosok di depannya.“Rara? Ini kamu Nak?” tanya Bu Unike langsung berdiri.Rara tersenyum hangat, gadis itu mengangguk kecil.“Kamu p
Rara masuk ke dalam kelasnya. Ia duduk di bangkunya.“Lo kemana tadi?”Rara menatap Jevan dengan rasa bersalah. “Maaf, gue tadi ke toilet. Terus gue jalan – jalan,” balas Rara berbohong.“Gue khawatir banget sama lo sampai nelepon lo berkali – kali,” kata Jevan.“Gue juga gak bawa HP,” balas Rara.“Yang penting lo udah balik, gue gak masalah,” ucap Jevan.Jevan hendak duduk di sebelah Rara untuk kembali mengobrol, tetapi guru selanjutnya sudah datang ke kelas. Jevan bergegas kembali ke bangku.“Oke anak – anak, siapkan kertas selembar,” kata Pak Dono.Seketika kelas langsung ribut. Mereka langsung memprotes dan panik karena belum belajar sama sekali.“Tidak ada yang protes. Saya sudah menyiapkan soalnya, segera tulis,” ucap Pak Dono tegas.Rara mulai fokus mendengar perkataan dari Pak Dono. Ia yakin dirinya akan mendapatkan nilai bagus karena gadis itu selalu membaca ulang materi minggu kemarin sebelum kelas dimulai.“Tidak boleh ada yang menyontek atau bertanya. Kalau ada yang begitu