“Selamat malam Non.”
Rara berjengit kaget, dengan wajah kaget ia menoleh ke belakang. Seorang lelaki seusianya dengan setelan formal berdiri di sampingnya, lelaki itu menunduk sopan.
“Siapa?” tanya Rara dengan wajah bingungnya.
“Saya Narendra Barreska,” jawab lelaki itu.
“Hm…” Rara menatap lelaki itu dari atas ke bawah. Tingginya tak berbeda jauh dengan Jevan, warna kulitnya kuning langsat, dan sorot matanya tajam.
“Saya dikirim oleh tuan besar buat jaga nonna,” lanjut lelaki itu karena Rara terlihat kebingungan.
Rara menyimpan sendoknya di meja, “Tuan besar?”
“Ayah nona,” ujar Naren.
“Gue…maksudnya aku punya bokap? Masih hidup?” Rara kebingungan sendiri dengan pertanyaan yang ia lontarkan.
Lelaki di sampingnya mengangguk.
Rara saat itu juga melamun, ia pikir ia benar – benar sudah dibuang oleh kedua orang tuanya.
Apa dugaannya selama ini salah?
“Non?” Lelaki itu dengan ragu melambaikan tangannya di wajah Rara.
“Oh iya?” Rara tersadar dari lamunannya.
“Kenapa melamun?” tanya Naren.
“Enggak kok,” Rara berdiri, berniat mencuci piring bekasnya. Naren berdiri tegap di belakangnya.
“Nyokap aku gimana?” tanya Rara di sela – sela kegiatan mencuci piringnya.
“Kedua orang tua nona masih hidup, tapi memang keadaan tidak memungkinkan keduanya bersatu kembali.” Jawab Naren seadanya.
Rara terdiam sebentar, sebelum ia kembali fokus mencuci piring.
“Keadaan yang gimana?” Rara bertanya lagi.
“Saya tidak tau non,” jawab Naren sambil menggelengkan kepalanya.
“Kamu ngapain disini?” Rara memilih bertanya hal lain saja. Rara mengelap tangannya, ia sudah selesai mencuci piring.
“Saya memang suka mengecek keadaan di rumah ini saat malam hari non,” jawab Naren sembari mengikuti langkah Rara.
“Kamu seumuran sama aku kan?” Rara kini berdiri di depan kulkas, berniat mengambil sebotol air mineral.
“Saya satu tahun lebih tua non,” Naren mengulurkan tangannya menawarkan bantuan karena Rara kesulitan membuka botol air mineral.
“Tapi kaku sekali…” kata Rara pelan. “Makasih,” Rara tersenyum.
“Iya saya kaku non,” kata Naren menanggapi perkataan Rara.
“Eh kirain gak denger hehehe…” Rara jadi canggung sendiri. Rara kembali duduk di ruang meja makan. Posisi kulkas dan meja makan tidak jauh.
“Um…kalau gitu kamu boleh pulang,” kata Rara setelah keheningan menyelimuti keduanya.
“Tidak bisa non,” tolak Naren tegas.
“Kenapa?”
“Karena nona belum masuk kamar dan nona masih berada disini. Jadi, saya akan disini,” jelas Naren.
“Tapi aku gak harus ditemenin. Aku kan udah aman,”ujar Rara.
“Tidak non, tempat yang aman adalah kamar non,” kata Naren tegas.
“Yang lain udah pada pulang kok, gak mungkin ada pencuri juga kan?” Rara menatap Naren heran.
“Tidak ada yang tau apa yang akan terjadi kedepannya,” lagi – lagi Naren menolak.
Rara memijit pelipisnya, “Tapi…”
“Nona tenang saja, rumah saya masih berada di lingkungan ini,” sela Naren cepat.
“Tapi gue mau sendiriii” Jerit Rara dalam hati. Ia tersenyum pasrah. Ia merasa diawasi oleh Naren.
“Aku mau tidur sekarang.” Rara berdiri dari duduknya.
“Kalau begitu selamat malam nona.” Naren mengantar Rara sampai di tangga.
Rara menaiki tangga, ia berhenti di tengah jalan lalu menoleh ke belakang. Sedikit terkejut, ternyata Naren masih menatapnya datar. Rara melambaikan tangannya canggung.
+++
Rara menutup pintu kamarnya. Rara menidurkan tubuhnya di atas ranjang, ia menatap langit – langit kamarnya memperhatikan sudut – sudut langit kamar.
“Gak ada apa – apa.” Monolog Rara. Ia bangkit, kemudian mengelilingi kamarnya.
Dimulai dari nakas kecil yang terletak di sebelah ranjang king size. Nakas kecil yang terbuat dari marmer berwarna putih dengan motif mawar, Rara membuka lacinya dan hasilnya tidak ada apapun.
Selanjutnya, meja belajar dengan warna cokelat muda. Rara duduk di kursi meja belajar. Rara mengambil buku yang tergeletak di atas meja. Saat membukanya, tidak ada apapun, hanya buku kosong.
“Apa buku aku ada di rumah aku ya?” gumam Rara, mengingat rumah kecilnya sebelum ia kecelakaan.
Kemudian lemari, Rara membuka pintu lemari besar itu lebar – lebar. Ia melihat koleksi baju – baju mahal didalamnya. Dari Dior, Chanel , Bvlgari hingga YSL. Tidak ada satupun yang memiliki nominal murah, Rara menelan ludah.
Rara terdiam mengamati baju – baju didepannya. Rasanya ada yang kurang.
“Oh seragam aku?” Rara menggeser pintu lemari baju ke sebelah kiri.
Rara mengerutkan keningnya, melihat seragamnya digantung dengan rapih dan dibugkus plastik khusus seolah baru saja dari laundry.
Terakhir, Rara berjalan ke kaca besar yang terletak di tembok sisi kiri tempat Rara berbaring. Rara hanya menatap pantulan dirinya dalam diam.
“Wow…” Rara tak bisa berkata – kata. Benar – benar tidak ada yang janggal dari kamarnya.
“Berarti disini gak ada CCTV sama sekali ya…gue bisa ngerti kenapa Naren bilang kamar paling aman…” Rara berfikir sebaiknya ia menyelidiki mengenai rumah mewah yang ia tempati sekarang. Rara tau ini bukan mimpi, tapi masih ada rasa curiga yang menyelimuti dirinya.
“Anehnya di kamar ini gak ada satu foto pun.” Rara menatap nakas, meja belajar dan dinding kamar.
“Gue mau liat – liat dibawah aja susahnya minta ampun…” keluh Rara dikarenakan ada Naren tadi.
Rara mengambil ponselnya yang sudah diperbaiki di nakas. Sejak kemarin, Rara tidak menyalakan ponsel. Rara menghela nafas, sudah menduga tidak akan ada notifikasi dari siapapun. Hanya ada notifikasi dari grup kelas dan grup angkatan. Rara kembali meletakkan ponselnya di nakas. Ia memilih tak membuka grup kelas dan grup agkatan. Dibayangannya Amel, Lia, dan Mia akan memprotes karena tidak ada yang mereka rudung selama Rara di rumah sakit.
“Apa keadaan kelas sama aja?”gumam Rara.
“Selamat pagi Non,” kata Bi Ica menyambut Rara yang baru saja keluar dari kamarnya. Rara tersenyum canggung, ia masih belum terbiasa dengan perubahan mendadak yang terjadi pada dirinya. Rara baru saja selesai mandi dan berniat sarapan di bawah. Bi Ica mengikuti langkah Rara yang turun dari tangga. Rara terkejut begitu ia sampai di ruang makan, makanan sudah tersedia. Chef Dino tersenyum, bermaksud menyapanya. Biasanya, Rara harus membuat sarapan sendiri itupun kalau tersedia sisa makanan. Kalau tidak ada, ia bahkan tak sarapan. “Silakan Nona. Menu hari ini ada oatmeal, nasi goreng, dan roti bakar. Untuk minumannya, ada susu, kopi, dan teh,” ujar Chef Dino menjelaskan. Rara tersenyum, “Terima kasih ya.” Chef Dino mengangguk kemudian ia berlalu dari hadapan Rara. Rara menatap Bi Ica dan Bi Nia yang berdiri tak jauh dari tempatnya duduk. Rara yang terbiasa sendiri, lagi – lagi merasa diawasi. Tak enak, untuk meminta mereka pergi, Rara memilih mulai makan
Jevan memandangi kue black forest yang ada di meja Rara. Jam istirahat masih berlangsung dan Jevan tidak berniat ke kantin. Ia ditinggalkan di kelas sendiri, setelah perempuan di kelas banyak bertanya mereka kelelahan sendiri dan akhirnya memilih ke kantin. Mia tadi sempat menawarinya untuk ke kantin bersama, mengingat Jevan masih menjadi murid baru. Tetapi, Jevan menolak dengan alasan ia tidak lapar. Padahal, saat jam pelajaran Bu Sulis, Jevan tidak memperhatikan sama sekali. Ia ingin meminta kue black forest yang terletak di meja Rara. Namun, ia masih tau diri. “Jangan ikutin gue terus,” suara yang tidak asing masuk ke telinga Jevan yang sedang menidurkan kepalanya di mejanya. Jevan mengangkat wajahnya, tanpa sadar senyumnya mengembang begitu melihat Rara yang sudah datang ke kelas. Tetapi, ada Naren yang mengikuti langkah Rara. Jevan mengawasi keduanya, Rara yang kini mulai fokus mempelajari pelajaran selanjutnya dan Naren yang duduk di bangkunya dengan memakai he
Rara menjelaskan dari ia di ajak oleh Jevan ke lingkungan rumah orang kaya, nama tempatnya Perumahan Stayme. Ia juga menjelaskan kalau sempat bertemu dengan Jevan di toko tempatnya ia bekerja part time-nya dan di halte. Rara melewati bagian ia tertabrak dan melewati bagian perubahan teman sekelasnya. Sejak awal, ia tak ingin membuat wanita di sampingnya khawatir. Bu Unike menatap Naren yang kini duduk di sebelahnya, “Anak ini dia penjaga kamu?” “Kata ayah gitu,” Rara mengangguk. “Kata Naren, nama ayah aku Zarhan. Apa Ibu pernah dengar namanya?” tanya Rara hati – hati. Ekspresi wajah Bu Unike berubah, tetapi dengan cepat Bu Unike kembali tersenyum hangat. Naren mengangkat alisnya, ia menangkap perubahan ekspresi wajah Bu Unike. Naren melirik Rara yang menatap Bu Unike berharap. Naren menduga kalau Rara tak sadar dengan perubahan ekspresi wajah Bu Unike. “Maaf sayang, ibu sama sekali gak pernah dengar. Ibu menemukan kamu di depan panti,” jawab B
“Maksud lo apa?” Rara mengerutkan dahinya mendengar perkataan Naren. “Bukan hal penting,” jawab Naren pendek. Naren meninggalkan Rara sendirian. Rara menatap punggung Naren yang menjauh dari pandangannya. Rara tak berniat mengikuti langkah Naren, ia kembali fokus menonton acara televisi. Tetapi, pikiran Rara malah ke perkataan Naren beberapa menit lalu. “Gue emang gak tau apa –apa,” keluh Rara dalam hati. Rara melangkahkan kakinya ke kamarnya. Ia membersihkan terlebih dahulu dan akhirnya ia tertidur di kamarnya. Suara kicau burung di pagi hari membangunkan Rara. Selimut tebal masih menutupi tubuhnya dengan baik, Rara duduk di ranjangnya. Ia masih enggan beranjak dari ranjang. Rara mengambil segelas air putih di nakas yang terletak di samping ranjangnya. “Gak bisa tidur nyenyak…” gumam Rara pelan. Kemarin malam, entah karena perkataan Naren yang membuatnya penasaran, ia jadi terbangun tengah malam. Sebelum kembali tertidur, pikirannya k
Rara menatap toko kecil yang biasanya ia datangi sepulang sekolah, untuk melakukan kerja sambilan. Rara menghela napas perlahan, berusaha menampilkan senyuman. Ia menatap jam tangannya, biasanya Sonia masih melakukan kerja sambilan. Rara tak mengetahui siapa yang menggantikan dirinya saat Sonia mengajar les privat. “Selamat datang!” ucap Sonia yang menyambut pelanggan datang. Sonia menatap Rara yang tersenyum tipis dan melambaikan tangannya dengan canggung. “Ra? RARA?!” Sonia keluar dari kasir dan menatap Rara dengan wajah bahagia dan terkejut yang bercampur menjadi satu. “Lo kemana aja?” Sonia memeluk Rara dengan erat. “Ceritanya panjang,” Rara melepaskan pelukan Sonia. “Gue siap denger cerita lo,” ucap Sonia semangat. Rara tersenyum kecil melihat rasa semangat Sonia. “Yang jaga kasir siapa?” “Loh orang yang jaga di luar siapa?’ tanya Sonia menatap dua orang lelaki yang berdiri di depan pintu masuk toko. Rara menoleh k
“Jevan? Kamu ngapain disini?” tanya Ibu Windia, yang ternyata adalah Ibu Rara.”Kamu pakai baju apa? Kok sama kaya Naren?” “Oh ini,” Jevan menggaruk rambutnya yang tak gatal. Ia mengalihkan pandangannya ke sekitarnya, entah menatap permen, kotak rokok, atau produk kecantikan yang tesusun rapi di rak. Intinya, Jevan tidak ingin terlalu lama berkontak mata dengan Ibu Windia. Ibu Windia menatap Jevan dan Naren bergantian, menuntut penjelasan. Keduanya bingung harus menjelaskan seperti apa. “Naren,” panggil Ibu Windia. Naren yang sedari tadi menunduk, mengangkat wajahnya, “Ya?” “Kamu sekarang menjadi kasir?” tanya Ibu Windia menatap Naren jijik. “Tidak, Nyonya. Saya sebe-“ “Saya sedang belajar mengambil kerja sambilan, lalu Naren menemani saya,” sela Jevan cepat. Ibu Windia makin mengerutkan keningnya, “Bukannya Naren masih bekerja dengan Zarhan? Kalau saya tak salah, tugasnya menjaga anak saya.” Jevan salah menjawab
“Lo mau ikut dulu sama gue?” tanya Jevan. Rara menatap Naren, meminta persetujuan. “Silakan, naik mobil Jevan. Saya akan mengikuti dari belakang,” ucap Naren sembari memakai helmnya. Rara tersenyum tipis, “Makasih ya.” Rara masuk ke mobil Jevan. Naren mulai menyalakan mesinnya. Naren mengangguk ke Sonia yang melambaikan tangannya. Sonia menatap ketiga teman barunya, ia tersenyum senang. Sonia merasa kalau lingkungan Rara menjadi lebih baik. Jevan melirik Rara yang duduk di sampingnya. Rara menyandarkan tubuhnya ke kursi, ia menghela napas. “Hari ini berat ya?” tanya Jevan fokus menyetir. Rara mengarahkan tubuhnya ke Jevan, “Yah, gue kaget. Gak siap sama sekali. Gue pikir pertemuan dengan nyokap gue bakalan hangat dan terharu. Ternyata…kenyataannya gak seindah yang gue bayangin.” “Tante Windia sebenarnya baik, cuman dia emang gak suka kalau bergaul dengan orang rendahan,” ujar Jevan. Rara menimpali, “Itu gak baik
“Lo udah sarapan?” tanya Rara sembari membukakan pintu untuk Naren. “Sudah,” jawab Naren sembari duduk di lantai depan meja lipat kecil. Rara memang tidak mempunyai meja untuk makan. “Bener?” tanya Rara membawa sandwich buatannya ke meja lipat kecil. “Iya,” ucapan Naren tidak sesuai dengan isi perutnya yang berbunyi. Rara yang mengunyah gigitan pertama, melirik Naren sekilas, tanpa sadar ia menahan tawanya. Naren bergumam pelan, ia sedikit malu. Rara menggeser piringnya, ia menatap Naren. “Makan aja Ren. Ini masih ada satu lagi.” “Boleh?” tanya Naren ragu. “Iya boleh, lo santai aja,” kata Rara tersenyum. Naren mengambil sepotong sandwich itu dalam diam. Ia menatap Rara yang sibuk membaca buku sambil memakan sandwichnya. “Lo sebaiknya makan aja dulu,” kata Naren memberi saran. Rara menoleh, “Ini kebiasaan gue kalau mau ulangan.” “Emang hari ini ada ulangan?” tanya Naren mengerutkan keningnya.
Satu tahun kemudian.“Nona, sudah siap?” tanya Naren.Rara mengangguk. Ia meletakkan sendok dan garpunya di atas piring dan membalikkannya, tanda sudah selesai.“Bi, aku sudah selesai. Tolong bawa ini,” ucap Rara.Bibi Ica mengangguk. Wanita itu mengambil piring kotor Rara lalu meninggalkan ruang makan.“Lo duduk dulu. Kita ngobrol,” ujar Rara menatap Naren yang berdiri tak jauh.Naren mendekat pada Rara dan duduk di depan gadis itu.“Besok jam delapan ya?” tanya Rara.“Iya. Jangan sampai terlambat,” jawab Naren.“Lo yang ngantar gue kan?” tanya Rara.“Nona, sudah lebih dari tiga kali anda bertanya,” tanggap Naren terkekeh kecil.Rara mengulas senyum. Ia menghela napas panjang.“Gue cuman gak nyangka aja akan begini jadinya,” balas Rara.“Nona sendiri yang ingin pergi,” kata Naren lembut.“Yah..gue cuman…” Rara menjeda ucapannya. Ia memilih tidak melanjutkan ucapannya.Keheningan melanda keduanya. Rara dan Naren sama – sama bungkam. Naren melirik Rara yang sibuk memainkan jemari tanga
Hari yang dilalui Rara tampak biasa saja. Hubungannya dengan kedua orang tuanya berjalan normal. Rara pun sudah berusaha menerima keadaan, walaupun saat ia berdiam diri di kamar, ia memikirkan orang tuanya yang tidak bersama lagi.“Nona, ada panggilan masuk,” kata Bibi Ica seraya mengetuk pintu kamarnya.Rara bangkit dari duduknya. Ia membuka pintu untuk Bibi Ica.“Kenapa Bi?” tanya Rara.“Tuan besar menelopon lewat telepon rumah. Beliau kebingungan karena nona tidak menjawab panggilannya,” tutur Bibi Ica.“Baterai HP aku habis,” ucap Rara. “Bilang aja ke ayah, aku akan membalasnya setelah HP aku penuh.”Bibi Ica mengangguk kecil. Wanita itu tampaknya ingin mengatakan sesuatu.“Kenapa Bi?” tanya Rara.“Nona, dibawah ada pengawal nona. Dia tetap datang hari ini,” ucap Bibi Ica.“Ngapain Naren kesini? Bukannya aku udah bilang kalau hari ini libur untuknya?” tanya Rara bingung.“Saya tidak tahu. Dia katanya hanya ingin melanjutkan kegiatan menjaga keselamatan nona saja,” sahut Bibi Ica.
“Apa mamah dan ayah masih bersama?” tanya Rara.Sempat terjadi keheningan saat Rara bertanya. Rara memperhatikan ekspresi kedua orang tuanya satu persatu. Gadis itu menundukan kepala.“Maaf, aku terkesan lancang ya,” ucap Rara.“Tidak Nak,” balas Ayah Zarhan.“Rara sayang, bukannya kamu sudah tahu tanpa harus bertanya?” tanya Mamah Windia lembut.Rara mengangkat kepalanya. Gadis itu menggigit bibir bawahnya, tidak tahu harus menanggapi seperti apa.“Ayah dan mamah sudah bercerai setelah mamahmu keluar dari RSJ. Mamahmu kecewa karena kamu dipindahkan ke panti asuhan dan ayah juga merasa hubungan kami memang tidak satu tujuan lagi. Hubungan komunikasi kami memburuk dan saling menjaga jarak masing – masing,” kata Ayah Zarhan menjelaskan.“Sekarang kami akan berusaha untuk tetap berkomunikasi agar kamu juga nyaman, walaupun kami masih agak canggung,” tambah Mamah Windia.“Ah begitu…” Rara menyinggungkan senyum. “Jadi ayah dan mamah sudah cerai ya?”“Iya Nak,” jawab Ayah Zarhan.“Rara, ini
Keheningan melanda ruang tamu di kediaman Rara. Rara melirik Bibi Ica yang berdiri di sebelah kanan. Wanita paruh baya itu hanya diam mengawasi sosok yang duduk di depan majikannya.“Bi, aku kenal dia,” ucap Rara.“Iya Nona. Nona mau mengobrol berdua dengannya?” tanya Bibi Ica.“Iya Bi, tolong ya,” balas Rara.Bibi Ica mengangguk. Wanita itu segera meninggalkan ruang tamu.“Lo sendiri gak akan pergi?” tanya Rara menatap Naren.Naren terdiam sejenak. Lelaki itu masih was – was kalau harus membiarkan Rara berdua dengan orang yang tidak bisa ia cari tahu.“Gue gak akan melakukan hal jahat ke Rara,” kata sosok itu sadar Naren menatapnya datar.“Saya gak bisa percaya, mengingat Nona Rara meminta saya untuk tidak mencaritahu tentang anda lebih jauh,” balas Naren.“Ren, lo kan udah tahu kalau Leo itu yang kasih tahu gue,” timpal Rara.“Saya tahu itu Nona, tapi saya ingin mendengar ucapannya langsung,” balas Naren.“Gue yang kasih nomor sopir truk ke Bu Unike. Itu salah gue,” terang Leo.“Sa
Sandra seketika merasa bersalah. Ia menggaruk tengkuknya yang tak gatal.“Maaf gue gak bermaksud untuk bertingkah kaya gitu,” ujar Sandra.“Kenapa lo ngikutin gue dan Rara waktu itu?” tanya Naren.“Gue penasaran. Gue nyangkanya lo adalah pembantu Rara, gue gak mau kalau lo merasa rendah diri,” terang Sandra.“San, gue gak merasa rendah diri,” tanggap Naren.“Terus apa yang lo rasain?”Pertanyaan Sandra membuat Naren terdiam. Naren menarik napasnya perlahan lalu menghembuskannya perlahan.“Gue cuman merasa perlu ada batas antara gue dan Rara. Dia adalah atasan gue dan gue bawahan dia,” sahut Naren tersenyum.“Lo merasa kaya gitu gak sama Jevan?” tanya Sandra.Naren menggeleng kecil, “Gue anggap dia teman yang baik. Walaupun Jevan juga tahu tentang gue.”“Jevan juga tahu?” tanya Sandra terkejut.“Iya dia tahu. Makanya gue kadang juga kaku sama dia,” jawab Naren.“Kalau gue gimana? Lo ngerasa kaku?” tanya Sandra seraya menunjuk dirinya sendiri.“Kalau sama lo, gue biasa aja. Lo itu orang
Hari minggu.Rara menatap nasi goreng di depannya. Gadis cantik itu tidak berniat menyentuh makanan favoritnya. Ia masih tenggelam dalam lamunannya tentang“Nona Rara,” panggil Bibi Ica seraya menepuk bahu Rara.Rara tersadar dari lamunannya. Ia menatap Bibi Ica dengan tanya.“Iya Bi?”“Nasi goreng Nona nanti dingin,” kata Bibi Ica lembut.Rara terdiam beberapa detik. “Bi, kalau Naren kesini -”Belum sempat ia menyelesaikan ucapannya, suara langkah kaki mengalihkan fokus. Rara menatap Naren yang baru saja datang.“Nona ingin berbicara berdua dengan Naren?” tanya Bibi Nia.Rara mengangguk. Ia melihat Bibi Nia dan Bibi Ica yang menjauh dari ruang makan.“Ren, duduk dulu,” ucap Rara.Naren mengangguk.“Gue belum bisa ambil keputusan tentang rekaman suara itu,” terang Rara menghela napas. “Gue gak setega itu ngebuat Bu Unike sampai dipenjara.”“Nona, saya akan mengikuti keputusan Nona. Untuk saat ini, jangan bertemu dulu dengan Bu Unike ya,” pinta Naren.“Kenapa?”“Menurut laporan, Bu Uni
Rara meletakan sendok di sebelah piringnya. Gadis itu sudah selesai makan. Ia menatap Bu Unike yang bersiap untuk kue kering yang biasa wanita itu buat.“Bu, ada yang mau aku bahas sekarang,” kata Rara.“Ada apa Nak?” tanya Bu Unike kembali duduk di kursinya.“Bu, apa ibu menyembunyikan sesuatu dari aku?” tanya Rara hati – hati.“Apa maksudmu Nak?” tanya Bu Unike bingung.“Bu, aku tahu tentang dalang kecelakaan aku,” terang Rara.Wajah Bu Unike berubah panik dan tak nyaman. Wanita paruh baya itu menggigit bibir bawahnya, menahan diri untuk bertanya lebih jauh.“Ibu gak mau tahu?” tanya Rara seraya menatap Bu Unike yang hanya diam.“Rara, sebaiknya kamu pulang sekarang saja ya,” ucap Bu Unike menatap Rara dengan tatapan merasa bersalah.“Bu, jangan menghindar. Jelasin ke aku penjelasan yang dikatakan Leo,” pinta Rara memelas.“Bukan Ibu yang melakukannya, Nak,” sanggah Bu Unike cepat.“Bu, hari ini aku baru aja ketemu Leo. Dia jelasin dari sisi dia, kalau ibu yang menyewa sopir truk it
Rara menatap bangunan yang menjadi saksi tumbuh besar dirinya. Gadis itu menarik napas kemudian menghembuskan perlahan. Rara menenangkan dirinya terlebih dahulu, ia tidak mau pertemuannya dengan Bu Unike menjadi kacau akibat omongan Leo.Setelah cukup tenang, Rara mengetuk pintu panti asuhan.“Aku pulang!” seru Rara cukup keras.Rara mencoba memegang kenop pintu panti asuhan. Gadis itu mengerutkan kening karena pintu panti tidak dikunci. Ia melangkah masuk ke dalam panti asuhan.“Halo? Rara pulang,” ucap Rara.Rara melangkah ke halaman belakang panti asuhan, “Bu Unike, aku pulang.”Rara menghentikan langkahnya saat melihat punggung yang ia rindukan. Wanita itu terdiam, tampak tenggelam dalam lamunannya. Di depan Bu Unike ada secangkir teh dan beberapa kue kering.“Bu Unike?” tanya Rara ragu.Wanita cantik itu mengangkat kepalanya. Matanya melotot melihat sosok di depannya.“Rara? Ini kamu Nak?” tanya Bu Unike langsung berdiri.Rara tersenyum hangat, gadis itu mengangguk kecil.“Kamu p
Rara masuk ke dalam kelasnya. Ia duduk di bangkunya.“Lo kemana tadi?”Rara menatap Jevan dengan rasa bersalah. “Maaf, gue tadi ke toilet. Terus gue jalan – jalan,” balas Rara berbohong.“Gue khawatir banget sama lo sampai nelepon lo berkali – kali,” kata Jevan.“Gue juga gak bawa HP,” balas Rara.“Yang penting lo udah balik, gue gak masalah,” ucap Jevan.Jevan hendak duduk di sebelah Rara untuk kembali mengobrol, tetapi guru selanjutnya sudah datang ke kelas. Jevan bergegas kembali ke bangku.“Oke anak – anak, siapkan kertas selembar,” kata Pak Dono.Seketika kelas langsung ribut. Mereka langsung memprotes dan panik karena belum belajar sama sekali.“Tidak ada yang protes. Saya sudah menyiapkan soalnya, segera tulis,” ucap Pak Dono tegas.Rara mulai fokus mendengar perkataan dari Pak Dono. Ia yakin dirinya akan mendapatkan nilai bagus karena gadis itu selalu membaca ulang materi minggu kemarin sebelum kelas dimulai.“Tidak boleh ada yang menyontek atau bertanya. Kalau ada yang begitu