Home / Fiksi Remaja / Akhir Yang Bahagia / Panti Asuhan Bahagia

Share

Panti Asuhan Bahagia

Author: Anavya
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Jevan memandangi kue black forest yang ada di meja Rara. Jam istirahat masih berlangsung dan Jevan tidak berniat ke kantin. Ia ditinggalkan di kelas sendiri, setelah perempuan di kelas banyak bertanya mereka kelelahan sendiri dan akhirnya memilih ke kantin. Mia tadi sempat menawarinya untuk ke kantin bersama, mengingat Jevan masih menjadi murid baru. Tetapi, Jevan menolak dengan alasan ia tidak lapar. Padahal, saat jam pelajaran Bu Sulis, Jevan tidak memperhatikan sama sekali. Ia ingin meminta kue black forest yang terletak di meja Rara. Namun, ia masih tau diri.

“Jangan ikutin gue terus,” suara yang tidak asing masuk ke telinga Jevan yang sedang menidurkan kepalanya di mejanya.

Jevan mengangkat wajahnya, tanpa sadar senyumnya mengembang begitu melihat Rara yang sudah datang ke kelas. Tetapi, ada Naren yang mengikuti langkah Rara. Jevan mengawasi keduanya, Rara yang kini mulai fokus mempelajari pelajaran selanjutnya dan Naren yang duduk di bangkunya dengan memakai headset di kedua telinganya. Fokus Naren masih ke Rara.

Jevan menggeser bangkunya ke Rara. Rara yang fokus belajar, menatap tingkah Jevan aneh.

 Jevan tersenyum kecil, “Ra, gue mau itu,” Jevan menunjuk kue black forest.

“Lo kelaparan?” tanya Rara.

Naren menimpali, “Itu kan punya Nona,”

Rara menoleh ke belakang, “Narenn, kan gue udah bilang,”

“Oh iya, mohon maaf. Besok akan dibiasakan,” tanggap Naren.

“Dia siapa sih Ra?” tanya Jevan. Jevan melirik Naren sebentar.

“Gue pikir lo tau tentang Naren,” ujar Rara sembari membuka kue black forest nya.

“Gue cuman tau lo anaknya Om Zarhan. Om Zarhan gak ada bahasan tentang Naren,” kata Jevan.

“Katanya, bokap gue ngirim buat jaga gue,” info Rara. Rara memotong kue black forestnya menjadi potongan kecil agar Jevan lebih mudah memakannya.

“Nama bokap gue Om Zarhan?” tanya Rara. Ia memindahkan kue black forest itu ke piring plastik. Rara menduga Lia membali piring plastik terpisah.

“Lo sama sekali gak ingat?” Jevan menerima piring plastik dan mulai makan kue black forest.

“Udah gue bilang semuanya kerasa aneh. Temen sekelas gue juga jadi baik ke gue padahal selama ini mereka selalu nurutin perintah Lia, Mia, dan Amel kalau merudung gue,” bisik Rara pelan pada Jevan.

Jevan mengerutkan keningnya, mendengar perkataan Rara. “Lo yakin? Bukannya ini kue dari tiga cewe itu?”

“Iya itu, tingkah mereka aneh. Makanya, gue takut di jailin sama mereka,” tanggap Rara.

Rara memperhatikan Jevan yang masih sibuk makan. Rara tertawa kecil melihat Jevan yang kelaparan.

“Lo kenapa gak ke kantin aja?” tanya Rara.

“Gak ada temen gue,” Jevan menjawab dengan wajah sedihnya.

“Lo mah tipe yang bakalan dapet temen yang banyak. Gak kaya gue,” Rara menepuk pundak Jevan.

Jevan menatap Rara beberapa saat, “Padahal lo cantik, pinter terus baik. Kok temen lo jahat ya?”

Rara menggeleng sebagai jawaban, ia hanya dapat menyinggungkan senyum tipisnya.

“Jangan buat Rara sedih,” Naren menimpali perkataan Jevan. Sedari tadi, Naren hanya diam karena ia merasa bukan urusannya. Tetapi, perkataan Jevan rasanya keterlaluan.

Jevan menimpali, “Gue gak bermaksud begitu.”

“Udah gue gak apa kok. Sekarang kan ada kalian,” Rara tersenyum kecil, ia menatap Jevan dan Naren bergantian.

Keheningan meliputi ketiganya. Jevan menatap jam tangannya, bel masuk sebentar lagi akan berbunyi. Naren kembali sibuk mendengarkan musik.

“Kita hari ini jadi kan ke Panti?” tanya Rara sembari menatap Jevan dengan tatapan berharap.

“Iya jadi,” jawab Jevan.

Jevan berdiri dan kembali ke mejanya dengan menggeser bangkunya. Setelah itu, bel masuk pun berbunyi.

+++

Lia mendatangi meja Rara. Rara yang sedang membereskan mejanya, menghentikan aktivitasnya. Pasti ia diminta untuk menggantikan Lia piket. Selalu begitu, Lia akan mengancam Rara apabila Rara menolak permintaannya.

“Oke, gue gantiin lo piket,” ujar Rara cepat.

Lia tertawa kecil, “Hahaha, gak usah, Ra. Gue bisa sendiri. Gue kesini mau bilang lo hati – hati di jalan.”

Rara mengerutkan keningnya, kenapa tingkah perempuan di hadapannya ini aneh. Ia masih menyimpan rasa curiga pada kelasnya. Sejak ia tertabrak, semuanya berubah.

Sebenarnya kedua orang tuanya melakukan apa sampai sikap teman sekelasnya berubah?

“Tenang saja, Rara pasti selamat,” Naren berdiri di samping Rara yang masih duduk. Naren menatap Lia datar. Lia yang merasa terintimidasi dengan tatapan Naren segera berlalu tanpa mengatakan apapun.

“Lo jangan galak – galak. Liat, Lia jadi takut,” Rara kembali membereskan mejanya.

“Nona juga terlalu baik hati,” komentar Naren.

“Ren, ini masih di sekolah,” Rara berdiri.

“Maaf, saya …maksudnya gue lupa,” Naren menatap Rara yang kini sibuk dengan ponselnya.

“Oh iya, gue hari ini mau ke Panti Asuhan Bahagia,” kata Rara ia menunjukkan pesan yang isinya menginformasikan ke Bu Unike bahwa Rara akan datang.

Naren menatap ponsel Rara sebentar, ia mengangguk. “Gue juga ikut.”

“Loh kenapa?” tanya Rara.

“Tugas gue kan, ngejaga lo,” kata Naren agak kaku. Ia masih berusaha terbiasa mengatakan lo – gue.

“Kalau gue nolak? Lo tetap ikut kan?” tanya Rara.

Naren mengangguk.

“Ayo Ra,” kata Jevan semangat. Wajahnya tampak tak sabar.

“Lo keliatan semangat banget,” tanggap Rara.

Wajar saja Jevan penasaran dengan asal usul gadis di depannya. Jevan hanya diminta untuk mengawasi Rara sejak di toko oleh ayah Rara. Ia hanya mampu setuju tanpa bertanya lebih jauh tentang identitas Rara. Yang ia tau, Om Zarhan tidak mempunyai anak sama sekali. Tetapi, seminggu sebelumnya Om Zarhan meminta Jevan mengawasi dan menjaga Rara. Ayah Jevan mengenal baik Ayah Rara, mana bisa Jevan menolak permintaan teman baik Ayahnya.

“Naren ikut kita ya. Gue harus dalam pengawasan dia,” Rara berbisik pada Jevan.

Naren berjalan di belakang, mengikuti keduanya. Naren cukup tau diri, kalau ia tidak perlu terlalu dekat dengan Rara mengingat mereka hanya atasan dan bawahan. Sesekali Naren membalas tatapan murid dengan dingin yang menatap Rara dengan tatapan mengejek dan terkejut karena Rara dekat dengan Jevan.

Omong – omong, Jevan langsung populer mengingat ia adalah anak seorang pengusaha sukses di industri perminyakan. Sifat Jevan yang ramah membuat ia langsung di sukai oleh satu sekolah. Sedangkan, Naren populer dengan sifat tidak pedulinya dan julukan ‘penjaga Rara’ langsung disematkan pada dirinya. Memang benar, hanya saja gosip bekerja dengan cepat.

 Ketiganya, sudah di koridor sekolah. Mereka meninggalkan kelas dengan keadaan tenang. Yang biasanya, akan ada adegan perudungan terlebih dahulu atau Rara akan membersihkan satu kelas atas perintah Lia. Kini tidak ada, benar – benar berubah.

“Gue bareng sama Naren,” info Rara pada Jevan.

“Oke, gue ikut entar dari belakang. Sekalian jagain lo,” kata Jevan tersenyum.

“Rara gak harus di jagain, udah ada gue,” kata Naren dingin, ia membuka pintu mobil.

“Gue di samping lo aja, Ren,” Rara buru – buru menutup pintu mobil. Ia sadar murid yang berada di parkiran menatapnya dengan tatapan sedikit sinis, mereka menganggap Rara manja.

Jevan tak mengindahkan perkataan Naren. Ia hanya melirik Naren sebentar sebelum akhirnya kembali fokus ke gadis dengan warna mata kecoklatan itu.

“Kalau gitu gue masuk dulu ya,” kata Rara sembari membuka pintu mobil di samping kemudi.

“Yuk Ren,” kata Rara mengkode Naren. Naren mengangguk.

+++

Ketiganya sampai di Panti Asuhan Bahagia tiga puluh menit kemudian. Untungnya, suasana jalanan tidak begitu ramai. Biasanya, Rara naik angkutan umum dan itu memakan waktu satu jam. Rara benar – benar beruntung kehidupannya menjadi lebih baik.

“Kakla?” suara anak kecil terdengar terkejut begitu Rara masuk ke Panti Asuhan Bahagia. Rara masuk dengan diikuti Jevan dan Naren yang memperhatikan Panti Asuhan Bahagia.

“Darel!” Rara berjongkok sembari merentangkan kedua tangannya. Darel, si anak kecil berlari kecil dan masuk ke pelukan hangat Rara.

“Kakla~ Dalel kangenn~” kata Darel dengan suara cadelnya.

“Kakla?” tanya Jevan.

“Kak Rara,” jelas Rara. Rara menggendong anak kecil berusia enam tahun itu. Ia tertawa begitu Darel terlihat bahagia karena berada dalam gendongan Rara.

“Mana Ibu? Kok sendiri di ruang tamu?” tanya Rara sambil mengajak kedua lelaki di belakangnya mengikuti langkahnya.

“Dalel lagi diam aja. Ibu ada di belakang rumah Kakla,” ujar Darel dengan semangat ia menunjuk pintu ke arah belakang rumah.

Naren menutup dan mengunci pintu terlebih dahulu. Tadi, saat ketiganya masuk, pintu hanya di tutup saja. Demi keamanan Naren, mengecek pintu dan jendela terlebih dahulu barulah ia menyusul langkah Rara dan Jevan.

“Kaklaa!”

“Ada Kakla!”

“Kak Raraaa~”

Suara sambutan yang bersemangat membuat senyum Rara mengembang. Ia menurunkan Darel hati – hati. Darel masih memeluk leher Rara erat, meskipun kaki kecilnya sudah menginjak tanah. Anak – anak lain langsung mengerumuni Rara dan Darel. Jevan dan Naren hanya menatap interaksi Rara dengan anak – anak panti asuhan dalam diam, keduanya bertatapan sebentar, kemudian memilih kembali fokus ke Rara yang terlihat bahagia.

“Anak – anak, kasian Kak Raranya. Nanti dia gak bisa napas,” Bu Unike datang dengan dua orang perempuan remaja yang membawa nampan minuman.

“Ayo semuanya duduk dulu yang rapi,” pinta seorang remaja perempuan berkacamata.

Anak – anak panti asuhan langsung duduk di karpet yang memang tersedia. Rara berdiri dan dengan cepat menghampiri Bu Unike.

Seorang remaja perempuan dengan rambut panjang menghampiri Jevan dan Naren. Ia menuntun kedua lelaki yang usianya lebih tua darinya agar bergabung bersama anak – anak panti. Keduanya mengikuti langkah perempuan itu, memberi waktu pada Rara dan Bu Unike.

“Selamat datang, Sayang,” Bu Unike tersenyum lembut.

Mata Rara otomatis berkaca – kaca, ia menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan tangis. Bu Unike mendekati Rara dan memeluknya erat. Sesekali tangan Bu Unike menepuk punggung Rara, menenangkannya.

“Rara ka-kangen Ibu…” ujar Rara pelan. Suaranya bergetar di dalam pelukan Bu Unike.

“Ya ampun, anak ini,” Bu Unike terkekeh pelan. “Siapa yang gak akan kangen dengan kamu?” lanjut Bu Unike sembari melepaskan pelukan.  Bu Unike menuntun Rara ke kursi rotan yang terletak tak begitu jauh dari karpet anak – anak panti.

“Kamu tumbuh dengan baik ya,” Bu Unike mengelus rambut kehitaman Rara.

“Kamu makan dengan baik?” tanya Bu Unike perhatian. Rara hanya dapat mengangguk, matanya masih mengeluarkan cairan bening.

“Keadaan disini gimana?” tanya Rara perlahan, masih berusaha mengatur napasnya.

“Semuanya baik – baik aja,” Bu Unike menatap anak – anak panti dengan senyumnya.

“Resti dengan Jesica masuk ke SMP delapan, yang favorit itu,” kata Bu Unike, kini netranya menatap kedua remaja perempuan berkacamata dan rambut panjang.

Rara mengikuti arah pandang Bu Unike, “mereka emang pintar.”

“Ibu harap mereka ikut jejak kamu. Dapat beasiswa di sekolah Xanderiany,” ujar Bu Unike semangat.

Rara terdiam beberapa saat. Dalam hati kecilnya, ia tak setuju kalau Resti, si kacamata dan Jesica, si rambut panjang masuk ke Sekolah Xanderiany. Rara tau jelas, pergaulan di sekolahnya mementingkan posisi orang tua.

“Semoga aja ya, Bu,” ujar Rara, ia memilih jawaban yang paling aman.

“Mereka teman kamu?” tanya Bu Unike, ia menatap Jevan dan Naren yang sibuk mengajarkan anak – anak panti.

“Yang itu Jevan Anandra. Dia…” Rara terdiam sebentar, tak mungkin ia menceritakan tentang kecelakaan yang di alaminya. “Temen aku di sekolah, murid baru.”

“Ganteng ya dia, sosoknya terlihat hangat dan peduli,” Bu Unike memperhatikan Jevan yang tak berhenti tersenyum dan peduli pada anak – anak panti.

“Yang satu lagi, Narendra Barreska. Dia juga temen aku,” jelas Rara menatap Naren yang di kerumuni anak panti asuhan. Rara tak mungkin memperkenalkan Naren sebagai penjaga dirinya, lagipula Rara menganggap Naren sebagai temannya.

Bu Unike mengangguk, ia menatap Naren yang berusaha untuk tak kaku di hadapan anak – anak panti. Bu Unike tersenyum hangat pada Naren karena Naren menatapnya sekilas. Naren mendatangi Bu Unike dan Rara.

“Kenapa Ren?”

“Ibu memanggil saya?” tanya Naren sopan.

Bu Unike menatap Naren bingung, “enggak.”

Keheningan menyelimuti ketiganya. Naren berdiri di depan Rara dengan tegap. Rara mengerutkan keningnya melihat tingkah Naren. Naren hanya berpikir kalau Bu Unike memanggilnya di karenakan tadi Bu Unike tersenyum padanya.

“Ya udah sekalian kenalan aja,” Rara berusaha mencairkan suasana.

“Ren, ini Bu Unike yang selama ini jagain gue,” kata Rara berdiri. Bu Unike ikut berdiri dan menyambut uluran tangan Naren.

“Saya Naren, yang menjaga Nona Rara sekarang,”

Mata Rara membulat mendengar perkataan Naren. Bu Unike tampak kebingungan.

“Penjaga? Nona?” Bu Unike menatap Rara, menuntut penjelasan.

“Aku bisa jelasin, Bu,” Rara berusaha bersikap tenang.

Anavya

Terima kasih sudah membaca. Mohon dukungannya~

| 1

Related chapters

  • Akhir Yang Bahagia   Sosok Rara

    Rara menjelaskan dari ia di ajak oleh Jevan ke lingkungan rumah orang kaya, nama tempatnya Perumahan Stayme. Ia juga menjelaskan kalau sempat bertemu dengan Jevan di toko tempatnya ia bekerja part time-nya dan di halte. Rara melewati bagian ia tertabrak dan melewati bagian perubahan teman sekelasnya. Sejak awal, ia tak ingin membuat wanita di sampingnya khawatir. Bu Unike menatap Naren yang kini duduk di sebelahnya, “Anak ini dia penjaga kamu?” “Kata ayah gitu,” Rara mengangguk. “Kata Naren, nama ayah aku Zarhan. Apa Ibu pernah dengar namanya?” tanya Rara hati – hati. Ekspresi wajah Bu Unike berubah, tetapi dengan cepat Bu Unike kembali tersenyum hangat. Naren mengangkat alisnya, ia menangkap perubahan ekspresi wajah Bu Unike. Naren melirik Rara yang menatap Bu Unike berharap. Naren menduga kalau Rara tak sadar dengan perubahan ekspresi wajah Bu Unike. “Maaf sayang, ibu sama sekali gak pernah dengar. Ibu menemukan kamu di depan panti,” jawab B

  • Akhir Yang Bahagia   Sikap Yang Palsu

    “Maksud lo apa?” Rara mengerutkan dahinya mendengar perkataan Naren. “Bukan hal penting,” jawab Naren pendek. Naren meninggalkan Rara sendirian. Rara menatap punggung Naren yang menjauh dari pandangannya. Rara tak berniat mengikuti langkah Naren, ia kembali fokus menonton acara televisi. Tetapi, pikiran Rara malah ke perkataan Naren beberapa menit lalu. “Gue emang gak tau apa –apa,” keluh Rara dalam hati. Rara melangkahkan kakinya ke kamarnya. Ia membersihkan terlebih dahulu dan akhirnya ia tertidur di kamarnya. Suara kicau burung di pagi hari membangunkan Rara. Selimut tebal masih menutupi tubuhnya dengan baik, Rara duduk di ranjangnya. Ia masih enggan beranjak dari ranjang. Rara mengambil segelas air putih di nakas yang terletak di samping ranjangnya. “Gak bisa tidur nyenyak…” gumam Rara pelan. Kemarin malam, entah karena perkataan Naren yang membuatnya penasaran, ia jadi terbangun tengah malam. Sebelum kembali tertidur, pikirannya k

  • Akhir Yang Bahagia   Rasa Peduli Yang Sama

    Rara menatap toko kecil yang biasanya ia datangi sepulang sekolah, untuk melakukan kerja sambilan. Rara menghela napas perlahan, berusaha menampilkan senyuman. Ia menatap jam tangannya, biasanya Sonia masih melakukan kerja sambilan. Rara tak mengetahui siapa yang menggantikan dirinya saat Sonia mengajar les privat. “Selamat datang!” ucap Sonia yang menyambut pelanggan datang. Sonia menatap Rara yang tersenyum tipis dan melambaikan tangannya dengan canggung. “Ra? RARA?!” Sonia keluar dari kasir dan menatap Rara dengan wajah bahagia dan terkejut yang bercampur menjadi satu. “Lo kemana aja?” Sonia memeluk Rara dengan erat. “Ceritanya panjang,” Rara melepaskan pelukan Sonia. “Gue siap denger cerita lo,” ucap Sonia semangat. Rara tersenyum kecil melihat rasa semangat Sonia. “Yang jaga kasir siapa?” “Loh orang yang jaga di luar siapa?’ tanya Sonia menatap dua orang lelaki yang berdiri di depan pintu masuk toko. Rara menoleh k

  • Akhir Yang Bahagia   Guncangan

    “Jevan? Kamu ngapain disini?” tanya Ibu Windia, yang ternyata adalah Ibu Rara.”Kamu pakai baju apa? Kok sama kaya Naren?” “Oh ini,” Jevan menggaruk rambutnya yang tak gatal. Ia mengalihkan pandangannya ke sekitarnya, entah menatap permen, kotak rokok, atau produk kecantikan yang tesusun rapi di rak. Intinya, Jevan tidak ingin terlalu lama berkontak mata dengan Ibu Windia. Ibu Windia menatap Jevan dan Naren bergantian, menuntut penjelasan. Keduanya bingung harus menjelaskan seperti apa. “Naren,” panggil Ibu Windia. Naren yang sedari tadi menunduk, mengangkat wajahnya, “Ya?” “Kamu sekarang menjadi kasir?” tanya Ibu Windia menatap Naren jijik. “Tidak, Nyonya. Saya sebe-“ “Saya sedang belajar mengambil kerja sambilan, lalu Naren menemani saya,” sela Jevan cepat. Ibu Windia makin mengerutkan keningnya, “Bukannya Naren masih bekerja dengan Zarhan? Kalau saya tak salah, tugasnya menjaga anak saya.” Jevan salah menjawab

  • Akhir Yang Bahagia   Malam Yang Berbeda

    “Lo mau ikut dulu sama gue?” tanya Jevan. Rara menatap Naren, meminta persetujuan. “Silakan, naik mobil Jevan. Saya akan mengikuti dari belakang,” ucap Naren sembari memakai helmnya. Rara tersenyum tipis, “Makasih ya.” Rara masuk ke mobil Jevan. Naren mulai menyalakan mesinnya. Naren mengangguk ke Sonia yang melambaikan tangannya. Sonia menatap ketiga teman barunya, ia tersenyum senang. Sonia merasa kalau lingkungan Rara menjadi lebih baik. Jevan melirik Rara yang duduk di sampingnya. Rara menyandarkan tubuhnya ke kursi, ia menghela napas. “Hari ini berat ya?” tanya Jevan fokus menyetir. Rara mengarahkan tubuhnya ke Jevan, “Yah, gue kaget. Gak siap sama sekali. Gue pikir pertemuan dengan nyokap gue bakalan hangat dan terharu. Ternyata…kenyataannya gak seindah yang gue bayangin.” “Tante Windia sebenarnya baik, cuman dia emang gak suka kalau bergaul dengan orang rendahan,” ujar Jevan. Rara menimpali, “Itu gak baik

  • Akhir Yang Bahagia   Pertemuan Pertama

    “Lo udah sarapan?” tanya Rara sembari membukakan pintu untuk Naren. “Sudah,” jawab Naren sembari duduk di lantai depan meja lipat kecil. Rara memang tidak mempunyai meja untuk makan. “Bener?” tanya Rara membawa sandwich buatannya ke meja lipat kecil. “Iya,” ucapan Naren tidak sesuai dengan isi perutnya yang berbunyi. Rara yang mengunyah gigitan pertama, melirik Naren sekilas, tanpa sadar ia menahan tawanya. Naren bergumam pelan, ia sedikit malu. Rara menggeser piringnya, ia menatap Naren. “Makan aja Ren. Ini masih ada satu lagi.” “Boleh?” tanya Naren ragu. “Iya boleh, lo santai aja,” kata Rara tersenyum. Naren mengambil sepotong sandwich itu dalam diam. Ia menatap Rara yang sibuk membaca buku sambil memakan sandwichnya. “Lo sebaiknya makan aja dulu,” kata Naren memberi saran. Rara menoleh, “Ini kebiasaan gue kalau mau ulangan.” “Emang hari ini ada ulangan?” tanya Naren mengerutkan keningnya.

  • Akhir Yang Bahagia   Hati Yang Terbuka

    “Lo ngelewatin ulangan,” kata Naren melirik Jevan yang baru bergabung dengannya di kantin. Jevan mengangguk, “Gue udah minta waktunya entar pas pulang, buat nyusul ulangan.” “Rara mana?” tanya Jevan menatap sekelilingnya. “Sama Sandra, lagi ke toilet,” jawab Naren sembari sibuk memainkan ponselnya. “Sandra?” Jevan mengerutkan keningnya, ia baru mendengar nama itu. “Murid baru di kelas. Tadi pagi, baru aja datang,” Naren menyimpan ponselnya saat es tehnya datang ke meja. “Nama lengkapnya bukan Sandra Carissa kan?” tanya Jevan. “Gak tau, gak peduli gue,” balas Naren cuek. “Salah sih nanya ke lo,” komentar Jevan. “Jevan, lo udah selesai urusannya?” Rara baru saja datang diikuti Sandra yang mengambil duduk di samping Naren. “Udah, Ra,” Jevan melirik murid baru yang sibuk memainkan ponselnya. “Sandra?” Sandra mengangkat wajahnya, matanya membulat saat melihat sosok Jevan. “Jevan?” “Kalian kena

  • Akhir Yang Bahagia   Rencana Baru

    “Naren, jalan lo jangan cepet – cepet dong,” ucap Sandra sembari berusaha menyamakan langkah kakinya dengan Naren. Naren melirik Sandra sebentar, ia mendengar ucapan Sandra. Tetapi, Naren memilih tidak peduli dengan ucapan Sandra. “Lo emang deket ya sama Rara?” tanya Sandra penasaran. “Apa hubungannya sama lo?” Naren berbalik bertanya. “Gue cuman penasaran aja,” jawab Sandra mengangkat bahunya. Naren tak menanggapi lagi ucapan Sandra. “Sandra,” seseorang memanggil Sandra. “Iya?” sahut Sandra. “Lo dipanggil TU. Untuk ngurus masalah kepindahan lo,” ucap orang yang memanggil, Linda namanya. “Oke. Makasih ya,” ucap Sandra tersenyum. “Sama – sama,” Linda berlalu dari hadapan Sandra. Sandra menatap Naren yang ternyata menunggunya sejak Sandra mengobrol dengan Linda. Sandra tersenyum melihat Naren, ia mendekati Naren dengan semangat. “Lo tau TU dimana?” tanya Sandra. “Tau,” jawab N

Latest chapter

  • Akhir Yang Bahagia   Akhir

    Satu tahun kemudian.“Nona, sudah siap?” tanya Naren.Rara mengangguk. Ia meletakkan sendok dan garpunya di atas piring dan membalikkannya, tanda sudah selesai.“Bi, aku sudah selesai. Tolong bawa ini,” ucap Rara.Bibi Ica mengangguk. Wanita itu mengambil piring kotor Rara lalu meninggalkan ruang makan.“Lo duduk dulu. Kita ngobrol,” ujar Rara menatap Naren yang berdiri tak jauh.Naren mendekat pada Rara dan duduk di depan gadis itu.“Besok jam delapan ya?” tanya Rara.“Iya. Jangan sampai terlambat,” jawab Naren.“Lo yang ngantar gue kan?” tanya Rara.“Nona, sudah lebih dari tiga kali anda bertanya,” tanggap Naren terkekeh kecil.Rara mengulas senyum. Ia menghela napas panjang.“Gue cuman gak nyangka aja akan begini jadinya,” balas Rara.“Nona sendiri yang ingin pergi,” kata Naren lembut.“Yah..gue cuman…” Rara menjeda ucapannya. Ia memilih tidak melanjutkan ucapannya.Keheningan melanda keduanya. Rara dan Naren sama – sama bungkam. Naren melirik Rara yang sibuk memainkan jemari tanga

  • Akhir Yang Bahagia   Bahagia

    Hari yang dilalui Rara tampak biasa saja. Hubungannya dengan kedua orang tuanya berjalan normal. Rara pun sudah berusaha menerima keadaan, walaupun saat ia berdiam diri di kamar, ia memikirkan orang tuanya yang tidak bersama lagi.“Nona, ada panggilan masuk,” kata Bibi Ica seraya mengetuk pintu kamarnya.Rara bangkit dari duduknya. Ia membuka pintu untuk Bibi Ica.“Kenapa Bi?” tanya Rara.“Tuan besar menelopon lewat telepon rumah. Beliau kebingungan karena nona tidak menjawab panggilannya,” tutur Bibi Ica.“Baterai HP aku habis,” ucap Rara. “Bilang aja ke ayah, aku akan membalasnya setelah HP aku penuh.”Bibi Ica mengangguk kecil. Wanita itu tampaknya ingin mengatakan sesuatu.“Kenapa Bi?” tanya Rara.“Nona, dibawah ada pengawal nona. Dia tetap datang hari ini,” ucap Bibi Ica.“Ngapain Naren kesini? Bukannya aku udah bilang kalau hari ini libur untuknya?” tanya Rara bingung.“Saya tidak tahu. Dia katanya hanya ingin melanjutkan kegiatan menjaga keselamatan nona saja,” sahut Bibi Ica.

  • Akhir Yang Bahagia   Tidak Bisa Kembali

    “Apa mamah dan ayah masih bersama?” tanya Rara.Sempat terjadi keheningan saat Rara bertanya. Rara memperhatikan ekspresi kedua orang tuanya satu persatu. Gadis itu menundukan kepala.“Maaf, aku terkesan lancang ya,” ucap Rara.“Tidak Nak,” balas Ayah Zarhan.“Rara sayang, bukannya kamu sudah tahu tanpa harus bertanya?” tanya Mamah Windia lembut.Rara mengangkat kepalanya. Gadis itu menggigit bibir bawahnya, tidak tahu harus menanggapi seperti apa.“Ayah dan mamah sudah bercerai setelah mamahmu keluar dari RSJ. Mamahmu kecewa karena kamu dipindahkan ke panti asuhan dan ayah juga merasa hubungan kami memang tidak satu tujuan lagi. Hubungan komunikasi kami memburuk dan saling menjaga jarak masing – masing,” kata Ayah Zarhan menjelaskan.“Sekarang kami akan berusaha untuk tetap berkomunikasi agar kamu juga nyaman, walaupun kami masih agak canggung,” tambah Mamah Windia.“Ah begitu…” Rara menyinggungkan senyum. “Jadi ayah dan mamah sudah cerai ya?”“Iya Nak,” jawab Ayah Zarhan.“Rara, ini

  • Akhir Yang Bahagia   Masa Lalu Mereka

    Keheningan melanda ruang tamu di kediaman Rara. Rara melirik Bibi Ica yang berdiri di sebelah kanan. Wanita paruh baya itu hanya diam mengawasi sosok yang duduk di depan majikannya.“Bi, aku kenal dia,” ucap Rara.“Iya Nona. Nona mau mengobrol berdua dengannya?” tanya Bibi Ica.“Iya Bi, tolong ya,” balas Rara.Bibi Ica mengangguk. Wanita itu segera meninggalkan ruang tamu.“Lo sendiri gak akan pergi?” tanya Rara menatap Naren.Naren terdiam sejenak. Lelaki itu masih was – was kalau harus membiarkan Rara berdua dengan orang yang tidak bisa ia cari tahu.“Gue gak akan melakukan hal jahat ke Rara,” kata sosok itu sadar Naren menatapnya datar.“Saya gak bisa percaya, mengingat Nona Rara meminta saya untuk tidak mencaritahu tentang anda lebih jauh,” balas Naren.“Ren, lo kan udah tahu kalau Leo itu yang kasih tahu gue,” timpal Rara.“Saya tahu itu Nona, tapi saya ingin mendengar ucapannya langsung,” balas Naren.“Gue yang kasih nomor sopir truk ke Bu Unike. Itu salah gue,” terang Leo.“Sa

  • Akhir Yang Bahagia   Tidak Sabar

    Sandra seketika merasa bersalah. Ia menggaruk tengkuknya yang tak gatal.“Maaf gue gak bermaksud untuk bertingkah kaya gitu,” ujar Sandra.“Kenapa lo ngikutin gue dan Rara waktu itu?” tanya Naren.“Gue penasaran. Gue nyangkanya lo adalah pembantu Rara, gue gak mau kalau lo merasa rendah diri,” terang Sandra.“San, gue gak merasa rendah diri,” tanggap Naren.“Terus apa yang lo rasain?”Pertanyaan Sandra membuat Naren terdiam. Naren menarik napasnya perlahan lalu menghembuskannya perlahan.“Gue cuman merasa perlu ada batas antara gue dan Rara. Dia adalah atasan gue dan gue bawahan dia,” sahut Naren tersenyum.“Lo merasa kaya gitu gak sama Jevan?” tanya Sandra.Naren menggeleng kecil, “Gue anggap dia teman yang baik. Walaupun Jevan juga tahu tentang gue.”“Jevan juga tahu?” tanya Sandra terkejut.“Iya dia tahu. Makanya gue kadang juga kaku sama dia,” jawab Naren.“Kalau gue gimana? Lo ngerasa kaku?” tanya Sandra seraya menunjuk dirinya sendiri.“Kalau sama lo, gue biasa aja. Lo itu orang

  • Akhir Yang Bahagia   Terus Terang

    Hari minggu.Rara menatap nasi goreng di depannya. Gadis cantik itu tidak berniat menyentuh makanan favoritnya. Ia masih tenggelam dalam lamunannya tentang“Nona Rara,” panggil Bibi Ica seraya menepuk bahu Rara.Rara tersadar dari lamunannya. Ia menatap Bibi Ica dengan tanya.“Iya Bi?”“Nasi goreng Nona nanti dingin,” kata Bibi Ica lembut.Rara terdiam beberapa detik. “Bi, kalau Naren kesini -”Belum sempat ia menyelesaikan ucapannya, suara langkah kaki mengalihkan fokus. Rara menatap Naren yang baru saja datang.“Nona ingin berbicara berdua dengan Naren?” tanya Bibi Nia.Rara mengangguk. Ia melihat Bibi Nia dan Bibi Ica yang menjauh dari ruang makan.“Ren, duduk dulu,” ucap Rara.Naren mengangguk.“Gue belum bisa ambil keputusan tentang rekaman suara itu,” terang Rara menghela napas. “Gue gak setega itu ngebuat Bu Unike sampai dipenjara.”“Nona, saya akan mengikuti keputusan Nona. Untuk saat ini, jangan bertemu dulu dengan Bu Unike ya,” pinta Naren.“Kenapa?”“Menurut laporan, Bu Uni

  • Akhir Yang Bahagia   Pengakuan Bu Unike

    Rara meletakan sendok di sebelah piringnya. Gadis itu sudah selesai makan. Ia menatap Bu Unike yang bersiap untuk kue kering yang biasa wanita itu buat.“Bu, ada yang mau aku bahas sekarang,” kata Rara.“Ada apa Nak?” tanya Bu Unike kembali duduk di kursinya.“Bu, apa ibu menyembunyikan sesuatu dari aku?” tanya Rara hati – hati.“Apa maksudmu Nak?” tanya Bu Unike bingung.“Bu, aku tahu tentang dalang kecelakaan aku,” terang Rara.Wajah Bu Unike berubah panik dan tak nyaman. Wanita paruh baya itu menggigit bibir bawahnya, menahan diri untuk bertanya lebih jauh.“Ibu gak mau tahu?” tanya Rara seraya menatap Bu Unike yang hanya diam.“Rara, sebaiknya kamu pulang sekarang saja ya,” ucap Bu Unike menatap Rara dengan tatapan merasa bersalah.“Bu, jangan menghindar. Jelasin ke aku penjelasan yang dikatakan Leo,” pinta Rara memelas.“Bukan Ibu yang melakukannya, Nak,” sanggah Bu Unike cepat.“Bu, hari ini aku baru aja ketemu Leo. Dia jelasin dari sisi dia, kalau ibu yang menyewa sopir truk it

  • Akhir Yang Bahagia   Memancing Kebenaran

    Rara menatap bangunan yang menjadi saksi tumbuh besar dirinya. Gadis itu menarik napas kemudian menghembuskan perlahan. Rara menenangkan dirinya terlebih dahulu, ia tidak mau pertemuannya dengan Bu Unike menjadi kacau akibat omongan Leo.Setelah cukup tenang, Rara mengetuk pintu panti asuhan.“Aku pulang!” seru Rara cukup keras.Rara mencoba memegang kenop pintu panti asuhan. Gadis itu mengerutkan kening karena pintu panti tidak dikunci. Ia melangkah masuk ke dalam panti asuhan.“Halo? Rara pulang,” ucap Rara.Rara melangkah ke halaman belakang panti asuhan, “Bu Unike, aku pulang.”Rara menghentikan langkahnya saat melihat punggung yang ia rindukan. Wanita itu terdiam, tampak tenggelam dalam lamunannya. Di depan Bu Unike ada secangkir teh dan beberapa kue kering.“Bu Unike?” tanya Rara ragu.Wanita cantik itu mengangkat kepalanya. Matanya melotot melihat sosok di depannya.“Rara? Ini kamu Nak?” tanya Bu Unike langsung berdiri.Rara tersenyum hangat, gadis itu mengangguk kecil.“Kamu p

  • Akhir Yang Bahagia   Tidak Masuk Akal

    Rara masuk ke dalam kelasnya. Ia duduk di bangkunya.“Lo kemana tadi?”Rara menatap Jevan dengan rasa bersalah. “Maaf, gue tadi ke toilet. Terus gue jalan – jalan,” balas Rara berbohong.“Gue khawatir banget sama lo sampai nelepon lo berkali – kali,” kata Jevan.“Gue juga gak bawa HP,” balas Rara.“Yang penting lo udah balik, gue gak masalah,” ucap Jevan.Jevan hendak duduk di sebelah Rara untuk kembali mengobrol, tetapi guru selanjutnya sudah datang ke kelas. Jevan bergegas kembali ke bangku.“Oke anak – anak, siapkan kertas selembar,” kata Pak Dono.Seketika kelas langsung ribut. Mereka langsung memprotes dan panik karena belum belajar sama sekali.“Tidak ada yang protes. Saya sudah menyiapkan soalnya, segera tulis,” ucap Pak Dono tegas.Rara mulai fokus mendengar perkataan dari Pak Dono. Ia yakin dirinya akan mendapatkan nilai bagus karena gadis itu selalu membaca ulang materi minggu kemarin sebelum kelas dimulai.“Tidak boleh ada yang menyontek atau bertanya. Kalau ada yang begitu

DMCA.com Protection Status