Rasanya ingin mati saja, itulah pikiran Rara sepanjang ia berjalan di koridor sekolah. Ia tentu saja jadi pusat perhatian.
“Menjijikan.”
“Bau banget.”
“Itu si anak beasiswa?”
“Emang iya? Kok kaya gitu sih?”
“Kenapa dia?”
Kata – kata yang menyakitkan menyerang pendengaran Rara. Rara makin menundukkan kepalanya. Rasa semangat dirinya menguap begitu saja.
“Loh nak kamu kenapa?”
Rara mengangkat wajahnya, seorang satpam menyapanya. Satpam itu menatapnya dengan tatapan khawatir. Rara tak sadar, rupanya ia sudah sampai di gerbang sekolah.
“Gak apa - apa kok pak,” Rara tersenyum tipis.
“Ya ampun nak, kamu kacau sekali. Kamu yakin pulang dalam keadaan begitu?” tanya satpam itu memperhatikan dari atas ke bawah.
Rara menyinggungkan senyumnya, ia mengangguk sebagai jawaban.
“Saya pulang duluan ya pak,” pamit Rara.
Satpam itu mengangguk ragu.
Rara berjalan ke arah halte. Orang – orang yang di halte menatapnya aneh. Rara terlihat kacau sekali, rambutnya bau amis, seragamnya kotor, sehingga orang – orang akan otomatis menjauhinya.
Bus berhenti di halte. Orang – orang yang sedang menunggu bus segera masuk ke bus.
“Jangan masuk mba. Bus saya gak nerima mba. Kayanya penumpang juga gak mau,” kata supir bus menatap Rara jijik. Rara menatap penumpang yang menatapnya aneh, penasaran, dan kasihan.
“Maaf pak.” Rara mundur perlahan. Bus itu segera pergi. Rara kembali duduk di bangku halte.
Rara menatap sepatunya yang sudah kusam. Cairan bening mengalir begitu saja dari matanya.
“Sial.” Rara menggigit bibir bawahnya. Rara menutup wajahnya dengan telapak tangannya, ia sudah tidak kuat menahan tangisnya. Nasibnya menyedihkan sekali hari ini.
Rara mendongkak saat seseorang berdiri di hadapannya. Rara mengangkat wajahnya, matanya sudah memerah.
“Hai,” sapa seseorang.
“Lo?” Rara terkejut bertemu lagi dengan lelaki bertopi itu.
“Nih ambil.” Orang di depan Rara memberikkan jaket warna hitam ke Rara.
“Gak us-“
“Pake aja.” Lelaki bertopi duduk di samping Rara
“Lo keliattan kacau banget. Hari lo buruk ya?” tanya lelaki bertopi itu sambil memberikkan tisu kepada Rara.
“Kayanya iya…” jawab Rara sembari memakai jaket hitam pemberian lelaki bertopi itu. Rara menerima tisu itu kemudian menghapus air matanya.
Lelaki itu menatap Rara. Kemudian ia tersenyum tipis.
“Lo punya harapan gak sih?” tanya lelaki itu tiba – tiba.
“Hah? Random banget…” tanggap Rara.
Lelaki itu tertawa kecil, “gak papa…ayo jawab.”
Rara mengangkat bahunya, “mungkin gue berharap hidup gue bahagia.”
“Itu harapan semua orang ya…” lelaki bertopi itu kini fokus menatap kendaraan berlalu lalang.
Rara mengangguk sebagai jawaban.
“Sebentar lagi hujan kayanya,” kata lelaki itu.
Rara mendongkak ke atas, langit tampak mendung. Awan memang tampak berwarna kelabu dan terdengar suara gemuruh dari kejauhan. Tetesan hujan mulai turun ke bumi.
Rara cemberut, sepertinya ia akan datang terlambat ke panti asuhan.
“Busnya kok lama banget gak datang – datang…” gumam Rara.
“Gue balik ya,” lelaki bertopi itu berdiri. Lelaki itu berlari meninggalkan Rara begitu saja. Rara menatap punggung lelaki itu yang berlari.
“Kayanya ada yang kelupaan…” pikir Rara, “namanya…oh iya! Nama dia siapa ya?” lanjut Rara.
Rara hendak mengejar lelaki bertopi itu, tapi sosok itu sudah pergi dari pandangannya.
Telepon masuk dari Bu Unike mengalihkan fokus Rara. Rara hanya menatap ponselnya, tanpa berniat menjawabnya. Ia bisa menebak pasti Bu Unike menanyakan posisinya sekarang. Ia yakin anak – anak disana sudah bertanya – tanya kehadirannya.
Dengan terpaksa Rara berjalan kaki ke rumahnya. Sudah jelas, ia akan pulang dengan keadaan basah kuyup. Hujan tak kunjung reda, malah semakin besar dan suara petir bersahutan.
Rara menyebrang perlahan dengan melihat kanan kiri. Ia yakin, kendaraan akan memberikkan jalan untuknya.
"Tiiinnnnnnn...," klakson panjang berbunyi mengagetkan Rara. Mobil Sedan hitam berkecepatan tinggi tampaknya lepas kendali.
Semua berlalu dengan cepat
“Brraakkkkk..!!” Rara tertabrak mobil sedan hitam.
Rara dapat merasakan dunianya berputar. Darah menetes deras di wajahnya. Dinginnya hujan dan suara teriakan terdengar bersahutan. Rara menutup matanya, tak kuat untuk membuat dirinya sadar.
+++
Rara membuka matanya, dengan perlahan mengerjapkan matanya beberapa kali agar matanya bisa beradaptasi. Rara memperhatikan sekelilingnya, bau obat dan alat medis tertangkap olehnya. Tidak salah lagi, Rara berada di rumah sakit.
“Aku pikir aku mati…” gumam Rara mengingat ia tertabrak cukup keras. Rupanya, tuhan masih sayang pada dirinya.
Rara turun dari ranjang rumah sakit dengan mendorong infus. Dengan hati – hati ia berjalan ke cermin yang ada disana. Saat itu juga Rara melotot kaget melihat dirinya berganti pakaian dengan pakaian rumah sakit.
“Si-siapa yang ganti?” Rara merinding sendiri.
Klek
Rara menoleh ke pintu. Seorang perawat bertatapan dengan Rara.
Perawat itu tersenyum dan mendekati Rara, “anda sudah sadar? Kenapa langsung berjalan – jalan?”
Perawat itu perlahan menuntun Rara agar kembali ke ranjang. Rara menurutinya tanpa bertanya apapun.
“Sus, siapa yang gantiin baju saya?” Tanya Rara setelah ia duduk di ranjang.
“Saya non.” Jawab Perawat itu ramah.
“Non?” Rara menatap perawat itu dengan tatapan bertanya.
“Saya panggil dokter dulu ya non. Jangan dulu banyak bergerak,” perawat itu pergi meninggalkan Rara yang kebingungan dengan panggilan non untuk dirinya.
“Perawatnya kenapa sih?”
Rara menatap jam rumah sakit, jam sudah menunjukkan jam makan malam. Bu Unike pasti dilanda kebingungan, Rara tak mengabari apapun sejak ia akan meninggalkan halte.
“Dimana yaa?” Rara celingukkan tanpa turun dari ranjangnya, mencari ponselnya.
“Non, dokternya sudah datang,” kata Perawat itu, disampingnya seorang dokter muda tersenyum padanya.
“Baik, saya periksa dulu ya…” dokter muda itu memakai stetoskopnya.
Rara hanya menuruti perintah dokter dengan name tag “Jaydan Samudra” itu.
“Wali anda belum datang ya?” tanya dokter Jaydan.
Rara mengangguk ragu, tapi ia merasa tak menelopon siapapun.
“Apa sebaiknya menunggu Tuan Jevan dulu saja dok?” tanya perawat dengan name tag “Sarah”.
“Siapa Tuan Jevan?” tanya Rara bingung.
Suara ketukkan mengalihkan ketiganya. “Maaf bang, gue telat,” kata seorang lelaki masuk dengan wajah khawatir. Lelaki itu membuka maskernya. “No problem, sini lo,” sambut dokter Jaydan. Perawat Sarah bergeser ke belakang, memberikkan ruang agar lelaki itu dapat berdiri di samping ranjang Rara. Rara mengerutkan keningnya, lelaki itu tampak tidak asing. “Baik karena sudah ada wali anda. Begini, untungnya pasien tidak apa – apa. Ia shock saja dan tak ada luka yang serius,” jelas dokter Jaydan. “Tapi kepalanya di perban…” tanggap lelaki itu. “Iya Jev, tapi bakallan sembuh kurang dari seminggu lah, kalau dikira – kira.” “Saran saya sebagai dokter, pasien istirahat tiga hari dulu disini,” kata dokter Jaydan sambil tersenyum menatap Rara. Rara tersenyum canggung pada dokter Jaydan. “Siap bang.” Tanggap lelaki itu sambil melirik Rara sebentar, dan kembali fokus ke dokter Jaydan. “Kalau begitu semo
Rara baru saja keluar dari rumah sakit dan Jevan mengantarnya pulang. Jevan mengantarnya ke lingkungan rumah orang kaya. Disinilah Rara, hanya dapat melongo menatap rumah mewah dihadapannya. Rumah dengan gaya eropa klasik, dimana terlihat kesan mewah , anggun, dan berkelas yang didominasi warna emas dan putih gading. “Yuk masuk Ra.” Kata Jevan setelah memberikan kunci mobilnya ke penjaga rumah. “Jev…” Rara buru – buru menahan Jevan. Jevan menatap Rara dengan pandangan bertanya. “Lo yakin nganter gue ke sini? Ini bukan rumah gue Jev…” kata Rara. “Lo kenapa sih Ra? Dari kemarin lo aneh…” Jevan menatap Rara aneh. “Justru lo yang aneh, ini bukan rumah gue. Lo salah rumah kaliii.” Rara bersikukuh. “Enggak Raa~ alamat lo emang ini,” kata Jevan yakin. Rara menggeleng yakin. “Kalau gitu gue balik sendiri aja.” Rara melepaskan pegangan tangannya. “Rara, percaya sama gue.” Jevan menarik tangan Rara lembut. Kemudian,
“Selamat malam Non.” Rara berjengit kaget, dengan wajah kaget ia menoleh ke belakang. Seorang lelaki seusianya dengan setelan formal berdiri di sampingnya, lelaki itu menunduk sopan. “Siapa?” tanya Rara dengan wajah bingungnya. “Saya Narendra Barreska,” jawab lelaki itu. “Hm…” Rara menatap lelaki itu dari atas ke bawah. Tingginya tak berbeda jauh dengan Jevan, warna kulitnya kuning langsat, dan sorot matanya tajam. “Saya dikirim oleh tuan besar buat jaga nonna,” lanjut lelaki itu karena Rara terlihat kebingungan. Rara menyimpan sendoknya di meja, “Tuan besar?” “Ayah nona,” ujar Naren. “Gue…maksudnya aku punya bokap? Masih hidup?” Rara kebingungan sendiri dengan pertanyaan yang ia lontarkan. Lelaki di sampingnya mengangguk. Rara saat itu juga melamun, ia pikir ia benar – benar sudah dibuang oleh kedua orang tuanya. Apa dugaannya selama ini salah? “Non?” Lelaki itu dengan ragu melambaikan t
“Selamat pagi Non,” kata Bi Ica menyambut Rara yang baru saja keluar dari kamarnya. Rara tersenyum canggung, ia masih belum terbiasa dengan perubahan mendadak yang terjadi pada dirinya. Rara baru saja selesai mandi dan berniat sarapan di bawah. Bi Ica mengikuti langkah Rara yang turun dari tangga. Rara terkejut begitu ia sampai di ruang makan, makanan sudah tersedia. Chef Dino tersenyum, bermaksud menyapanya. Biasanya, Rara harus membuat sarapan sendiri itupun kalau tersedia sisa makanan. Kalau tidak ada, ia bahkan tak sarapan. “Silakan Nona. Menu hari ini ada oatmeal, nasi goreng, dan roti bakar. Untuk minumannya, ada susu, kopi, dan teh,” ujar Chef Dino menjelaskan. Rara tersenyum, “Terima kasih ya.” Chef Dino mengangguk kemudian ia berlalu dari hadapan Rara. Rara menatap Bi Ica dan Bi Nia yang berdiri tak jauh dari tempatnya duduk. Rara yang terbiasa sendiri, lagi – lagi merasa diawasi. Tak enak, untuk meminta mereka pergi, Rara memilih mulai makan
Jevan memandangi kue black forest yang ada di meja Rara. Jam istirahat masih berlangsung dan Jevan tidak berniat ke kantin. Ia ditinggalkan di kelas sendiri, setelah perempuan di kelas banyak bertanya mereka kelelahan sendiri dan akhirnya memilih ke kantin. Mia tadi sempat menawarinya untuk ke kantin bersama, mengingat Jevan masih menjadi murid baru. Tetapi, Jevan menolak dengan alasan ia tidak lapar. Padahal, saat jam pelajaran Bu Sulis, Jevan tidak memperhatikan sama sekali. Ia ingin meminta kue black forest yang terletak di meja Rara. Namun, ia masih tau diri. “Jangan ikutin gue terus,” suara yang tidak asing masuk ke telinga Jevan yang sedang menidurkan kepalanya di mejanya. Jevan mengangkat wajahnya, tanpa sadar senyumnya mengembang begitu melihat Rara yang sudah datang ke kelas. Tetapi, ada Naren yang mengikuti langkah Rara. Jevan mengawasi keduanya, Rara yang kini mulai fokus mempelajari pelajaran selanjutnya dan Naren yang duduk di bangkunya dengan memakai he
Rara menjelaskan dari ia di ajak oleh Jevan ke lingkungan rumah orang kaya, nama tempatnya Perumahan Stayme. Ia juga menjelaskan kalau sempat bertemu dengan Jevan di toko tempatnya ia bekerja part time-nya dan di halte. Rara melewati bagian ia tertabrak dan melewati bagian perubahan teman sekelasnya. Sejak awal, ia tak ingin membuat wanita di sampingnya khawatir. Bu Unike menatap Naren yang kini duduk di sebelahnya, “Anak ini dia penjaga kamu?” “Kata ayah gitu,” Rara mengangguk. “Kata Naren, nama ayah aku Zarhan. Apa Ibu pernah dengar namanya?” tanya Rara hati – hati. Ekspresi wajah Bu Unike berubah, tetapi dengan cepat Bu Unike kembali tersenyum hangat. Naren mengangkat alisnya, ia menangkap perubahan ekspresi wajah Bu Unike. Naren melirik Rara yang menatap Bu Unike berharap. Naren menduga kalau Rara tak sadar dengan perubahan ekspresi wajah Bu Unike. “Maaf sayang, ibu sama sekali gak pernah dengar. Ibu menemukan kamu di depan panti,” jawab B
“Maksud lo apa?” Rara mengerutkan dahinya mendengar perkataan Naren. “Bukan hal penting,” jawab Naren pendek. Naren meninggalkan Rara sendirian. Rara menatap punggung Naren yang menjauh dari pandangannya. Rara tak berniat mengikuti langkah Naren, ia kembali fokus menonton acara televisi. Tetapi, pikiran Rara malah ke perkataan Naren beberapa menit lalu. “Gue emang gak tau apa –apa,” keluh Rara dalam hati. Rara melangkahkan kakinya ke kamarnya. Ia membersihkan terlebih dahulu dan akhirnya ia tertidur di kamarnya. Suara kicau burung di pagi hari membangunkan Rara. Selimut tebal masih menutupi tubuhnya dengan baik, Rara duduk di ranjangnya. Ia masih enggan beranjak dari ranjang. Rara mengambil segelas air putih di nakas yang terletak di samping ranjangnya. “Gak bisa tidur nyenyak…” gumam Rara pelan. Kemarin malam, entah karena perkataan Naren yang membuatnya penasaran, ia jadi terbangun tengah malam. Sebelum kembali tertidur, pikirannya k
Rara menatap toko kecil yang biasanya ia datangi sepulang sekolah, untuk melakukan kerja sambilan. Rara menghela napas perlahan, berusaha menampilkan senyuman. Ia menatap jam tangannya, biasanya Sonia masih melakukan kerja sambilan. Rara tak mengetahui siapa yang menggantikan dirinya saat Sonia mengajar les privat. “Selamat datang!” ucap Sonia yang menyambut pelanggan datang. Sonia menatap Rara yang tersenyum tipis dan melambaikan tangannya dengan canggung. “Ra? RARA?!” Sonia keluar dari kasir dan menatap Rara dengan wajah bahagia dan terkejut yang bercampur menjadi satu. “Lo kemana aja?” Sonia memeluk Rara dengan erat. “Ceritanya panjang,” Rara melepaskan pelukan Sonia. “Gue siap denger cerita lo,” ucap Sonia semangat. Rara tersenyum kecil melihat rasa semangat Sonia. “Yang jaga kasir siapa?” “Loh orang yang jaga di luar siapa?’ tanya Sonia menatap dua orang lelaki yang berdiri di depan pintu masuk toko. Rara menoleh k
Satu tahun kemudian.“Nona, sudah siap?” tanya Naren.Rara mengangguk. Ia meletakkan sendok dan garpunya di atas piring dan membalikkannya, tanda sudah selesai.“Bi, aku sudah selesai. Tolong bawa ini,” ucap Rara.Bibi Ica mengangguk. Wanita itu mengambil piring kotor Rara lalu meninggalkan ruang makan.“Lo duduk dulu. Kita ngobrol,” ujar Rara menatap Naren yang berdiri tak jauh.Naren mendekat pada Rara dan duduk di depan gadis itu.“Besok jam delapan ya?” tanya Rara.“Iya. Jangan sampai terlambat,” jawab Naren.“Lo yang ngantar gue kan?” tanya Rara.“Nona, sudah lebih dari tiga kali anda bertanya,” tanggap Naren terkekeh kecil.Rara mengulas senyum. Ia menghela napas panjang.“Gue cuman gak nyangka aja akan begini jadinya,” balas Rara.“Nona sendiri yang ingin pergi,” kata Naren lembut.“Yah..gue cuman…” Rara menjeda ucapannya. Ia memilih tidak melanjutkan ucapannya.Keheningan melanda keduanya. Rara dan Naren sama – sama bungkam. Naren melirik Rara yang sibuk memainkan jemari tanga
Hari yang dilalui Rara tampak biasa saja. Hubungannya dengan kedua orang tuanya berjalan normal. Rara pun sudah berusaha menerima keadaan, walaupun saat ia berdiam diri di kamar, ia memikirkan orang tuanya yang tidak bersama lagi.“Nona, ada panggilan masuk,” kata Bibi Ica seraya mengetuk pintu kamarnya.Rara bangkit dari duduknya. Ia membuka pintu untuk Bibi Ica.“Kenapa Bi?” tanya Rara.“Tuan besar menelopon lewat telepon rumah. Beliau kebingungan karena nona tidak menjawab panggilannya,” tutur Bibi Ica.“Baterai HP aku habis,” ucap Rara. “Bilang aja ke ayah, aku akan membalasnya setelah HP aku penuh.”Bibi Ica mengangguk kecil. Wanita itu tampaknya ingin mengatakan sesuatu.“Kenapa Bi?” tanya Rara.“Nona, dibawah ada pengawal nona. Dia tetap datang hari ini,” ucap Bibi Ica.“Ngapain Naren kesini? Bukannya aku udah bilang kalau hari ini libur untuknya?” tanya Rara bingung.“Saya tidak tahu. Dia katanya hanya ingin melanjutkan kegiatan menjaga keselamatan nona saja,” sahut Bibi Ica.
“Apa mamah dan ayah masih bersama?” tanya Rara.Sempat terjadi keheningan saat Rara bertanya. Rara memperhatikan ekspresi kedua orang tuanya satu persatu. Gadis itu menundukan kepala.“Maaf, aku terkesan lancang ya,” ucap Rara.“Tidak Nak,” balas Ayah Zarhan.“Rara sayang, bukannya kamu sudah tahu tanpa harus bertanya?” tanya Mamah Windia lembut.Rara mengangkat kepalanya. Gadis itu menggigit bibir bawahnya, tidak tahu harus menanggapi seperti apa.“Ayah dan mamah sudah bercerai setelah mamahmu keluar dari RSJ. Mamahmu kecewa karena kamu dipindahkan ke panti asuhan dan ayah juga merasa hubungan kami memang tidak satu tujuan lagi. Hubungan komunikasi kami memburuk dan saling menjaga jarak masing – masing,” kata Ayah Zarhan menjelaskan.“Sekarang kami akan berusaha untuk tetap berkomunikasi agar kamu juga nyaman, walaupun kami masih agak canggung,” tambah Mamah Windia.“Ah begitu…” Rara menyinggungkan senyum. “Jadi ayah dan mamah sudah cerai ya?”“Iya Nak,” jawab Ayah Zarhan.“Rara, ini
Keheningan melanda ruang tamu di kediaman Rara. Rara melirik Bibi Ica yang berdiri di sebelah kanan. Wanita paruh baya itu hanya diam mengawasi sosok yang duduk di depan majikannya.“Bi, aku kenal dia,” ucap Rara.“Iya Nona. Nona mau mengobrol berdua dengannya?” tanya Bibi Ica.“Iya Bi, tolong ya,” balas Rara.Bibi Ica mengangguk. Wanita itu segera meninggalkan ruang tamu.“Lo sendiri gak akan pergi?” tanya Rara menatap Naren.Naren terdiam sejenak. Lelaki itu masih was – was kalau harus membiarkan Rara berdua dengan orang yang tidak bisa ia cari tahu.“Gue gak akan melakukan hal jahat ke Rara,” kata sosok itu sadar Naren menatapnya datar.“Saya gak bisa percaya, mengingat Nona Rara meminta saya untuk tidak mencaritahu tentang anda lebih jauh,” balas Naren.“Ren, lo kan udah tahu kalau Leo itu yang kasih tahu gue,” timpal Rara.“Saya tahu itu Nona, tapi saya ingin mendengar ucapannya langsung,” balas Naren.“Gue yang kasih nomor sopir truk ke Bu Unike. Itu salah gue,” terang Leo.“Sa
Sandra seketika merasa bersalah. Ia menggaruk tengkuknya yang tak gatal.“Maaf gue gak bermaksud untuk bertingkah kaya gitu,” ujar Sandra.“Kenapa lo ngikutin gue dan Rara waktu itu?” tanya Naren.“Gue penasaran. Gue nyangkanya lo adalah pembantu Rara, gue gak mau kalau lo merasa rendah diri,” terang Sandra.“San, gue gak merasa rendah diri,” tanggap Naren.“Terus apa yang lo rasain?”Pertanyaan Sandra membuat Naren terdiam. Naren menarik napasnya perlahan lalu menghembuskannya perlahan.“Gue cuman merasa perlu ada batas antara gue dan Rara. Dia adalah atasan gue dan gue bawahan dia,” sahut Naren tersenyum.“Lo merasa kaya gitu gak sama Jevan?” tanya Sandra.Naren menggeleng kecil, “Gue anggap dia teman yang baik. Walaupun Jevan juga tahu tentang gue.”“Jevan juga tahu?” tanya Sandra terkejut.“Iya dia tahu. Makanya gue kadang juga kaku sama dia,” jawab Naren.“Kalau gue gimana? Lo ngerasa kaku?” tanya Sandra seraya menunjuk dirinya sendiri.“Kalau sama lo, gue biasa aja. Lo itu orang
Hari minggu.Rara menatap nasi goreng di depannya. Gadis cantik itu tidak berniat menyentuh makanan favoritnya. Ia masih tenggelam dalam lamunannya tentang“Nona Rara,” panggil Bibi Ica seraya menepuk bahu Rara.Rara tersadar dari lamunannya. Ia menatap Bibi Ica dengan tanya.“Iya Bi?”“Nasi goreng Nona nanti dingin,” kata Bibi Ica lembut.Rara terdiam beberapa detik. “Bi, kalau Naren kesini -”Belum sempat ia menyelesaikan ucapannya, suara langkah kaki mengalihkan fokus. Rara menatap Naren yang baru saja datang.“Nona ingin berbicara berdua dengan Naren?” tanya Bibi Nia.Rara mengangguk. Ia melihat Bibi Nia dan Bibi Ica yang menjauh dari ruang makan.“Ren, duduk dulu,” ucap Rara.Naren mengangguk.“Gue belum bisa ambil keputusan tentang rekaman suara itu,” terang Rara menghela napas. “Gue gak setega itu ngebuat Bu Unike sampai dipenjara.”“Nona, saya akan mengikuti keputusan Nona. Untuk saat ini, jangan bertemu dulu dengan Bu Unike ya,” pinta Naren.“Kenapa?”“Menurut laporan, Bu Uni
Rara meletakan sendok di sebelah piringnya. Gadis itu sudah selesai makan. Ia menatap Bu Unike yang bersiap untuk kue kering yang biasa wanita itu buat.“Bu, ada yang mau aku bahas sekarang,” kata Rara.“Ada apa Nak?” tanya Bu Unike kembali duduk di kursinya.“Bu, apa ibu menyembunyikan sesuatu dari aku?” tanya Rara hati – hati.“Apa maksudmu Nak?” tanya Bu Unike bingung.“Bu, aku tahu tentang dalang kecelakaan aku,” terang Rara.Wajah Bu Unike berubah panik dan tak nyaman. Wanita paruh baya itu menggigit bibir bawahnya, menahan diri untuk bertanya lebih jauh.“Ibu gak mau tahu?” tanya Rara seraya menatap Bu Unike yang hanya diam.“Rara, sebaiknya kamu pulang sekarang saja ya,” ucap Bu Unike menatap Rara dengan tatapan merasa bersalah.“Bu, jangan menghindar. Jelasin ke aku penjelasan yang dikatakan Leo,” pinta Rara memelas.“Bukan Ibu yang melakukannya, Nak,” sanggah Bu Unike cepat.“Bu, hari ini aku baru aja ketemu Leo. Dia jelasin dari sisi dia, kalau ibu yang menyewa sopir truk it
Rara menatap bangunan yang menjadi saksi tumbuh besar dirinya. Gadis itu menarik napas kemudian menghembuskan perlahan. Rara menenangkan dirinya terlebih dahulu, ia tidak mau pertemuannya dengan Bu Unike menjadi kacau akibat omongan Leo.Setelah cukup tenang, Rara mengetuk pintu panti asuhan.“Aku pulang!” seru Rara cukup keras.Rara mencoba memegang kenop pintu panti asuhan. Gadis itu mengerutkan kening karena pintu panti tidak dikunci. Ia melangkah masuk ke dalam panti asuhan.“Halo? Rara pulang,” ucap Rara.Rara melangkah ke halaman belakang panti asuhan, “Bu Unike, aku pulang.”Rara menghentikan langkahnya saat melihat punggung yang ia rindukan. Wanita itu terdiam, tampak tenggelam dalam lamunannya. Di depan Bu Unike ada secangkir teh dan beberapa kue kering.“Bu Unike?” tanya Rara ragu.Wanita cantik itu mengangkat kepalanya. Matanya melotot melihat sosok di depannya.“Rara? Ini kamu Nak?” tanya Bu Unike langsung berdiri.Rara tersenyum hangat, gadis itu mengangguk kecil.“Kamu p
Rara masuk ke dalam kelasnya. Ia duduk di bangkunya.“Lo kemana tadi?”Rara menatap Jevan dengan rasa bersalah. “Maaf, gue tadi ke toilet. Terus gue jalan – jalan,” balas Rara berbohong.“Gue khawatir banget sama lo sampai nelepon lo berkali – kali,” kata Jevan.“Gue juga gak bawa HP,” balas Rara.“Yang penting lo udah balik, gue gak masalah,” ucap Jevan.Jevan hendak duduk di sebelah Rara untuk kembali mengobrol, tetapi guru selanjutnya sudah datang ke kelas. Jevan bergegas kembali ke bangku.“Oke anak – anak, siapkan kertas selembar,” kata Pak Dono.Seketika kelas langsung ribut. Mereka langsung memprotes dan panik karena belum belajar sama sekali.“Tidak ada yang protes. Saya sudah menyiapkan soalnya, segera tulis,” ucap Pak Dono tegas.Rara mulai fokus mendengar perkataan dari Pak Dono. Ia yakin dirinya akan mendapatkan nilai bagus karena gadis itu selalu membaca ulang materi minggu kemarin sebelum kelas dimulai.“Tidak boleh ada yang menyontek atau bertanya. Kalau ada yang begitu