Bab 3 Memaksa Berdamai
Teala berkali-kali menghela napas kasar. Hari ini ia tengah menemani kakaknya untuk membeli gaun pernikahan. Gadis itu dengan sabar menanggapi tiap ucapan kakaknya tentang gaun mana yang harus dirinya pakai. Gaun yang tampak cantik dan membuatnya bersinar di antara setiap orang.
“Jenan, bagaimana dengan ini? Aku suka sekali hiasan di dadanya. Tampak mewah dan anggun. Aku pasti terlihat menawan dengan ini, bukan?” tanya Yasha.
“Benar, Sayang. Gaun itu tampak cantik di tubuhmu,” jawab Jenandra.
“Tea, bagaimana menurut kamu?” Yasha bertanya kepada adiknya.
“Bagus, Kak. Kakak sangat cantik mengenakan itu,” jawab Teala sembari tersenyum.
“Sebentar, aku akan mencobanya sekali lagi,” ujar Yasha yang hanya dianggukki Jenandra serta Teala.
Sembari menunggu kakaknya, Teala melihat-lihat gaun pernikahan yang tampak cantik dalam penglihatannya. Tangannya terulur pada sebuah gaun dengan brokat di bagian bahu hingga dada dan dilengkapi dengan payet hingga perut.
“Kamu suka?”
Teala melonjak kecil saat suara Jenandra mengintrupsi kegiatannya. Gadis itu memegang dadanya sembari menghela napas panjang.
“Bikin kaget aja,” ucap gadis itu yang dibalas kekehan oleh Jenandra.
“Kamu suka gaun itu?” Jenandra kembali bertanya.
“Iya, gaun ini tampak sederhana dan mewah di waktu bersamaan. Sangat cantik,” jawab Teala. Mata gadis itu berbinar tanpa bisa menyembunyikan kekagumannya.
“Kamu bisa membelinya kalau kamu mau,” tawar Jenandra.
“Tidak. Lagipula bukan aku yang akan menikah besok,” tolak Teala sembari terkekeh.
“Tidak masalah. Kamu akan menjadi pengiring Yasha, bukan? Jadi tidak ada yang salah dengan itu,” ucap Jenandra mencoba membujuk.
“Benar, tapi kalau pengiring mengenakan gaun pengantin juga, orang-orang akan salah paham dan menebak siapa yang menikah. Kalau keliru bagaimana,” canda Teala.
Jenandra baru akan menjawab ucapan calon adik iparnya tersebut sebelum suara Yasha menginterupsi. Gadis itu keluar dengan gaun yang sudah dipilihnya tadi. Melihat hal itu membuat Teala ikut mendekat, memberikan pujian kepada kakaknya yang selalu terlihat cantik dan anggun. Melupakan gaun yang menjadi favoritnya.
Begitu mendapat pakaian yang sesuai keinginannya, Yasha segera mengajak Jenandra dan Teala untuk lanjut memilih cincin. Rasanya, Teala ingin pergi jauh dan melarikan diri, tapi ia tidak bisa begitu terus. Mau tidak mau, suka tidak suka, dirinya harus dan akan selalu berinteraksi dengan Yasha serta Jenandra.
Begitu sampai di toko emas yang tidak bisa dibilang biasa-biasa saja, Teala memilih berdiri di belakang Yasha dan Jenandra. Membiarkan pasangan tersebut memilih cincin untuk pernikahan keduanya.
“Tea, menurut kamu lebih bagus ini atau ini,” tanya Yasha.
Teala mendekat dan melihat dua cincin berbeda. Satu cincin memiliki garis kecil di dalamnya dan satunya lagi memiliki permata di atasnya.
“Aku lebih suka yang ini, Kak. Sederhana dan tidak terlalu mencolok. Aman digunakan ke mana pun,” jawab Teala.
“Ih, kamu ini. Kenapa selera kamu dan Jenandra itu sama. Sama-sama suka yang biasa-biasa saja. Padahal bagus yang ini, mewah, cerah, dan tampak cantik,” ucap Yasha.
“Kalau begitu pilih yang itu saja, Kak. Kakak cocok mengenakannya. Sesuai dengan kepribadian Kakak yang cantik dan anggun,” usul Teala.
“Oke, kita ambil ini aja ya, Jen,” ujar Yasha.
“Iya, Sayang. Pilih mana pun yang kamu inginkan,” jawab Jenandra. Tangan pria itu mengusap puncak kepala Yasha, membuat Teala memilih memalingkan wajah.
Gadis itu kembali menghela napas pelan. Ia menyibukkan diri dengan melihat-lihat perhiasan yang ada, sementara Yasha dan Jenandra tengah mendiskusikan ukuran cincin keduanya.
Teala melihat sebuah kalung dengan hiasan bunga daisy. Membuat kalung tersebut tampak cantik dan lucu.
“Ada yang bisa saya bantu, Nona?” tanya salahsatu pegawai di tempat tersebut dengan ramah.
“Saya boleh melihat kalung ini?” tanya Teala.
Begitu mendapat anggukkan, gadis itu tersenyum saat kalung tersebut berada di hadapannya. Penampilan perhiasan tersebut menjadi lebih cantik.
“Saya mau ini. Tolong dibungkus, ya,” ucap Teala sembari tersenyum.
“Baik, Nona. Ditunggu sebentar, ya,” ujar pegawai tersebut.
Teala mengangguk kecil. Kepalanya menoleh saat Yasha menghampirinya.
“Te, beli apa?” tanya Yasha.
“Beli kalung, Kak. Cantik banget, aku suka. Kakak mau? Sebagai hadiah pernikahan Kakak,” tawar Teala.
“Ih, jangn di kasihtahu, dong. Kalau di kasihtahu namanya bukan hadiah!” gerutu Yasha yang membuat Jenandra serta Teala tertawa kecil.
“Ya sudah nanti aku kasih hadiah yang Kakak tidak akan tahu,” ucap Teala.
Yasha mengangguk kecil dan tepat setelahnya pegawai datang memberikan paper bag berisi kalung milik Teala. Gadis itu segera mengucapkan terima kasih dan kembali mengekor pada Yasha dan Jenandra.
Urusan mereka sudah selesai dan Yasha mengajak mereka untuk makan di salahsatu restoran Jepang favorit gadis itu. Meskipun sebenarnya Teala tidak menyukai sushi atau makanan yang tidak dimasak seperti daging mentah atau telur yang masih sangat segar bagian kuningnya ketika digoreng, gadis itu tetap mengikuti kemauan kakaknya.
Teala tidak pernah protes dan lebih banyak mengalah. Ia selalu mejadi pihak yang lebih dewasa dibanding Yasha, meski statusnya adalah seorang adik.
Begitu ketiganya masuk dan memilih tempat duduk, ketiganya disibukkan memilih makanan masing-masing.
Yasha memesan sushi dengan chawan mushi, telur kukus yang dimasak dengan tanah liat. Yasha menggemari kedua makanan tersebut. Setiap pergi restoran Jepang, pesanan utama gadis itu adalah sushi atau onigiri dengan chawan mushi. Jenandra sendiri memesan onigiri dengan sup miso, sementara Teala memilih mencari aman dengan memesan ramen dan yakitori. Sate khas Jepang dari daging ayam.
Sembari menunggu pesanan, Teala memilih memainkan ponsel sementara Yasha dan Jenandra tengah berbincang bersama. Gadis itu mencoba untuk fokus dengan isi ponsel, meskipun perasaan canggung meliputinya.
“Tea?”
Ketiganya menoleh, menemukan Marvin berdiri di depan meja mereka.
“Lho, Marvin? Kamu sama siapa?” tanya Teala.
“Aku sendiri. Niatnya membelikan Mama yakitori, tapi pengen makan juga. Eh, lihat kalian di sini. Jadi, boleh gabung sekalian?” ucap Marvin.
“Boleh, dong. Kamu kayak sama siapa aja, Vin. Kita kan teman.” Yasha menjawab dengan semangat. Sedangkan Jenandra tampak datar, seolah tidak suka dengan kehadiran Marvin. Padahal, Marvin merupakan teman dekatnya.
Namun, Teala begitu merasa bersyukur karena Marvin tiba. Ia jadi tidak perlu merasa canggung dan punya distraksi untuk tidak melihat interaksi Jenandra dan Yasha lebih jauh lagi.
Mereka makan dengan hikmat. Sesekali diselingi obrolan. Keempatnya seperti pasangan yang sedang melakukan double date. Mereka sibuk dengan topik masing-masing.
Yasha tampak bermanja dengan Jenandra, sementara Teala harus menahan agar tidak tertawa keras karena lelucon yang diberikan Marvin. Pria itu selalu berhasil membuat tawanya meledak. Marvin punya cara untuk membuatnya tersenyum bahkan saat Teala pikir ia sudah tidak bisa lagi tersenyum.
Gadis itu bersyukur, setidaknya ia punya satu orang yang bisa dijadikan sandaran.
“Marvin, kamu suka sama Tea?”
Bab 4 Mencintai yang Tidak Bisa Dimiliki“Marvin, kamu suka sama Tea?”Mendengar pertanyaan Jenandra, Marvin dan Teala menoleh seketika. Saling pandang sejenak. Bahkan Yasha ikut menatap kekasihnya dengan pandangan bingung.“Kenapa kamu bilang gitu?” tanya Yasha.“Tidak ada. Marvin jarang sekali memperlakukan seorang gadis sebegitunya. Walau dia terkenal ramah, tidak semua gadis mendapatkan perhatian seperti itu,” jelas Jenandra.“Ada-ada saja. Tentu saja Marvin menyukaiku. Kita 'kan teman. Aku, Marvin, Kak Yasha, dan Jenan. Kecuali Jenan dengan Kak Yasha yang sudah akan menikah, tentu Marvin juga sayang dengan Kak Yasha atau Jenan. Hanya saja, cara Marvin memperlakukan Kak Yasha denganku jelas berbeda.” Teala menjawab panjang lebar. Mencoba menghilangkan kecanggungan yang sempat mampir ke meja tersebut.Namun, setelah jwaban Teala, bukannya mencair, suasana justru semakin cang
Bab 5 Mencintai Dengan Segenap Hati“Bagaimana kalau aku mencintai Teala, lebih besar dari yang kalian tahu?”Ucapan marvin membuat Jenandra menoleh dengan cepat. Ada ekspresi tidak suka di wajah pria itu. Jenandra terang-terangan menampilkan raut wajah kesal sekaligus marah dan hal itu membuat Marvin mengerutkan kening heran.“Ada apa? Kau tidak menyukainya? Bukankah menyenangkan kalau aku bisa bersama dengan Teala? Jadi kita bisa melakukan kencan ganda seperti yang Yasha ucapkan,” ujar Marvin.Menyadari hal itu membuat Jenandra melengos. Menghindari tatapan menuntut dari Marvin. Sebab, ia sendiri tidak mengerti, mengapa ada perasaan tidak suka saat Marvin mengatakan bahwa pria itu begitu mencintai Teala.“Bukan begitu. Aku hanya terkejut karena selama ini kau selalu mengelak setiap kali Yasha memintamu mendekati Teala secara pasti. Aku pikir kau tidak memiliki perasaan apa pun dengan Teala. Jadi, aku
Bab 6 Persoalan Rasa“Tea, kamu menyukai Jenandra, bukan?”Teala tersentak mendengar pertanyaan mamanya. Gadis itu menatap wajah perempuan paruh baya di depannya tersebut dengan pandangan penuh tanya.“Sayang, kalau kamu lupa, seumur hidup kamu, Mama selalu bersamamu. Mama tahu apa yang kamu suka dan tidak suka. Apa yang kamu rasakan dan apa yang sebenarnya kamu pilih. Tatapan mata yang kamu berikan pada Jenandra jelas berbeda dengan tatapan yang kamu berikan pada Marvin. Mungkin orang lain tidak paham, tapi Mama sangat tahu,” jelas Safa.“Mama, aku memang menyukai Jenandra, tapi tidak pernah ada sedikit pun pikiran untuk merebutnya. Aku juga sudah merancang kedepannya nanti. Setelah pernikahan mereka, aku akan menjauh karena dengan begitu, aku yakin aku bisa melupakannya. Walaupun butuh waktu yang tidak sebentar, aku yakin aku bisa melepaskannya,” jujur Teala.“Nak, kenapa kamu selalu mend
Bab 7 Tentang Perasaan Kita“Tea, kamu sangat cantik.”Teala mendongak mendengar ucapan Marvin. Keduanya sempat saling bertatapan sebentar sebelum Teala akhirnya tertawa kecil.“Terima kasih pujiannya, Tuan Marvin.”Marvin ikut tertawa kecil. Padahal pria itu serius mengatakannya namun Teala menganggapnya sebagai candaan.“Besok jemput aku, ya?” pinta Teala.“Tentu saja. Mana mungkin aku meninggalkan modelku sendirian. Kalau ada yang menculikmu bagaimana? Aku bisa rugi karena harus mencari model pengganti dan sudah pasti harus kena amuk pemilik butik,” jawab Marvin yang membuat Teala berdecih.“Ujung-ujungnya uang juga.”“Tentu saja. Hidup ini sebagian besar dikendalikan oleh uang, Tea. Nomor dua baru cinta. Kita tidak bisa menyangkal bahwa seseorang akan mudah tertarik diberi uang dibanding ditawari cinta. Seorang pria akan mudah diterima lamara
Bab 8 I Know Your Feeling“Maaf, Marvin.”Teala masuk ke dalam kamarnya kemudian merebahkan diri. Menatap langit-langit kamarnya dengan pandangan kosong, sementara isi kepalanya berjalan-jalan entah ke mana.Teala tahu bahwa Marvin menyukainya atau mungkin mencintainya, tapi gadis itu tidak bisa. Perasaannya kepada Marvin tidak pernah lebih dari sekadar perasaan antar sahabat. Baginya, Marvin adalah sahabat terbaik yang ia punya dan itu cukup. Teala tidak pernah bisa mencintai Marvin lebih dari itu.Perlakuan, tatapan mata, hingga bagaimana Marvin selalu ada di sisinya seringkali membuat Teala merasakan rasa bersalah teramat besar. Hatinya bagai dihantam tiap melihat senyum tulus dari pria itu.Menghela napas panjang, Teala memilih mencuci wajah dan segera beristirahat karena besok ia harus mulai bekerja. Namun, saat gadis itu hendak naik ke tempat tidur, ketukkan pada pintu kamarnya membuat Teala urung mengistirahatkan
Teala berpamitan kepada mama dan kakaknya sebelum masuk ke dalam kendaraan roda empat milik Marvin yang sudah terparkir di depan gerbang rumahnya. Gadis itu menyapa Marvin sebentar sebelum memakai sabuk pengaman dan mereka segera menuju tempat pemotretan.Begitu sampai di tempat, Teala dengan cekatan menyapa beberapa staf yang bekerja sebelum berganti pakaian. Gadis itu dengan cepat menjadi dekat dengan tim Marvin karena keramahannya. Ia mulai melaksanakan pemotretan setelah selesai dirias.Banyak yang mengagumi kecantikan Teala dan bagaimana gadis itu memberikan banyak referensi gaya yang tidak monoton namun tetap berkelas, sehingga produk yang dibawakannya tetap muncul dan menjadi titik pusatnya.Gadis itu memberikan pose maksimal hingga pemotretan tersebut berlangsung dengan lancar dan cepat.Setelah jam makan siang tiba, Teala menyampaikan kepada Marvin bahwa dia yang akan membawa makan siang. Gadis itu sudah mempersiapkannya kemarin dengan meminta to
“Kamu baik-baik saja?”Teala mengangguk kecil, kemudian mendekat pada Jenandra.“Ada apa? Kenapa sampai menyusulku kemari?” heran Teala.“Mama menyuruhku untuk memanggilmu karena kamu cukup lama berada di kamar,” jawab Jenandra.Teala mengangguk dan segera mengambil ponselnya dari atas nakas, lantas mengajak Jenandra untuk turun dan bergabung bersama yang lain. Namun, belum sempat menuruni tangga, Jenandra lebih dulu menahan lengan gadis itu, membuat Teala menatapnya dengan kening berkerut heran.“Kalau ada sesuatu yang mengganggumu, kamu boleh bercerita denganku,” ucap Jenandra.Mendengarnya membuat Teala tersenyum. Senyum yang begitu tulus dan manis. Gadis itu mengangguk kecil, menatap Jenandra dengan mata teduhnya. “Terima kasih kakak ipar. Kak Yasha begitu beruntung mendapatkanmu,” ujarnya.Keduanya bergabung dengan Safa dan Yasha yang tampak sibuk mengobrol di depan tele
“Tea, apa kamu sudah merelakanya?” Teala tidak langsung menjawab pertanyaan mamanya. Gadis itu memilih menatap lurus pada meja di hadapannya. Menghela napas panjang, Teala mulai bersuara. “Aku sudah merelakannya sejak pertamakali aku sadar akan perasaanku, Ma. Aku benar-benar tahu kalau aku tidak akan mendapat kesempatan dan tidak memiliki hak untuk menyukainya terlalu banyak.” “Tapi kamu berhak dicintai,” sela sang mama. “Tapi bukan aku yang dia cintai,” balas Teala. “Bagaimana kalau kamu yang dia cintai?” tanya Safa. “Kalaupun benar begitu, jika situasinya sekarang, aku tetap tidak akan menerimanya, Ma,” jawab Teala yakin. “Apa yang kalian bicarakan? Sepertinya serius sekali.” Yasha masuk dan bergabung bersama mama serta adiknya yang tampak berbincang serius. Gadis itu duduk di sofa, di samping mamanya, menatap ke arah Teala, berharap mendapatkan jawaban atas pertanyaannya. “Tidak ada. Aku dan mama hanya sedan