"Mas! Mas, berhenti! Mas, kumohon. Mas Raehan...." Zoya mengejarnya dengan tertatih karena sepatu hak tingginya menyulitkannya. Rehan bergeming dan berlalu meninggalkan istrinya yang baru saja dia talak lewat lisan. Tekadnya sudah bulat untuk mengakhiri pernikahan ini.
Raehan menyetir dengan kecepatan sangat tinggi. Bahkan dia tidak peduli dengan rambu-rambu yang ada. Lampu merah diterjang saja. Beberapa kali bahkan hampir menabrak. Dia menuju rumah ornag tuanya. Zoya pasti tidak mau pergi dari rumah. Dia sudah lelah bertengkar dengan Zoya. Tiap hari hanya petengkaran yang sama.
"Raehan? Kau nampak kacau?" Ibunya kali ini yang bicara. Raehan tidak menanggapinya. Dia tetap berlalu tidak menggubrisnya. Raehan menuju ke kamar lamanya. Foto-foto pernikahan tidak diturunkan. Zoya tidak mengetahui karena dia tidak pernah masuk kamar itu. Kalau datang ke rumah ornag tuanya, Zoya tidak pernah menginap. Ayah dan Ibunya memang tidak pernah suka dengan Zoya. S
“Raehan, sadarlah, Nak. Sebenarnya kau kenapa?” Mamanya Reahan terus menggosok seluruh tubuh putranya tersebut dnegan minyak angin itu. Raehan tetap belum sadarkan diri. Dia pingsan.***MEYYIS***“Pa, bagaimana ini?” dia tidak juga sadar. Apa kita undang dokter saja?” tanya mamanya Raehan.“Baiklah, kita panggil dokter saja.” Maka mamanya Rehan mendial nomor dokter untuk mengundangnya. Mamanya Raehan nampak murung. Dia keluar dari kamar Raehan. Disusul dengan ayah dari belakang. Ibunya tiba di ruang tengah. Dia memijit pelipisnya. Semua memang bermula dari keinginan Raehan untuk menikahi Zoya. Sebagai seorang ibu, dia sangat peka dan mengetahui bahwa Zoya bukan orang yang baik. Terlihat dari gelagatnya. Jika hanya cinta, tidak mungkin Zoya meminta saham perusahaan. Namun nyatanya Zoya memintanya. Bahkan ayahnya Raehan harus ikhlas miliknya diberikan separuh untuk istri gila
“Bu, sudahlah. Biarkan Raehan istirahat. Kita tinggalkan saja dulu biar dia tenang. Ayo!” Mamanya Raehan bangkit. Dia mengikuti suaminya yang kini menggandengnya. Sesekali mamanya tersebut menoleh ke arah raehan. Hingga sebelum menutup pintu kaamr itu kembali, sekali lagi mamanya menoleh ke arah putranya tersebut.***Meyyis***Mamanya Raehan berhenti di teras belakang.hati ibu mana yang tidak hancur melihat putra kebanggannya semata wayang yang terpuruk seperti itu. Dia merasa sangat gagal. Memang dia sudah berusaha sekuat tenaga untuk memperingatkan anaknya tersebut agar tidak menyakiti dan menyia-nyiakan istrinya. Sebab dia mengenal siapa Zahra dan ibunya. Yang terpenting, ada sebuah dosa yang dilakukan ayahnya Raehan yang sebenarnya coba ingin di tebus lewat pernikahan itu. Namun bukan penebusan dosa tapi malah menambah derita pada Zahra. Tidak terasa air mata mamanya Raehan luruh lagi.“Ma, kita berdoa saja, yuk. Meminta penga
“Terima kasih, Bi. Duduklah sini, aku perlu teman untuk bicara.” Bibi dengan sedikit takut duduk, tapi di bawah.“Jangan di situ. Ada kursi, duduk kursi aja.” Bibi dengan takut akhirnya duduk di kursi.***MEYYIS***“Raehan ini sudah dua hari kau tertidur. Bangunlah!” Ibunya Raehan menggenggam tangan anaknya yang masih terus tertidur. Ibunya salah, Raehan memang akan tertisur, tepatnya pura-pura tidur saat ada orang yang masuk ke ruangannya. Dia sedang tidak ingin diganggu. Kalau dia kunci pintu, ibunya pasti akan menggedornya. Sehingga dia memilih untuk tertidur saja. Namun jika tidak ada orang, dia akan bangun. Saat ini dia hanya ingin bermalas-malasan saja. Tangannya dipasangi infus, makanya tidak merasa lapar. Tapi memang rasanya tidak lapar. Pikirannya hanya tertuju pada Zahra saja.“Pa, apakah kita minta bantuan Zahra saja?” Wajah R
“Zahra, kamu sudah lebih baik, ya sekarang.” Kata pertama yang mamanya Raehan ucapkan. Setelah sekian lama tidak bertemu, tapi kata itu yang meluncur.“Alhamdulilah, Ma. Mama ada keperluan apa sehingga mencari Zahra kemari? Harusnya panggil Zahra saja, pasti Zahra akan datang.” Kedua paruh baya itu saling pandang.***Meyyis***Mamanya Raehan memandnag lekat ke arah Zahra. Semua yang mantan menantunya pakai itu terlihat mahal. Pada waktu sama anaknya, walau Raehan kaya tapi Zahra tidak pernah mengenakan barang mahal kalau tidak dihadiahi oleh dirinya atau dari temannya saat dia ulang tahun atau saat ulang tahun pernikahan. Zahra hampir tidak pernah beli barang sendiri. Apalagi anak semata wayangnya Raehan juga sepertinya tidak pengertian. Kalau Zahra tidak mau juga tidak terus diberi kejutan. Malah semakin kesenengan tidak keluar uang. Wanita paruh baya itu malu sendiri.&ldquo
“Hubby, boleh nggak aku menjenguk Raehan? Tapi kalau tidak boleh juga tidak apa-apa.” Marc memegang kedua pinggang sang istri kemudian melihat ke arah matanya yang sayu.“Boleh nggak, ya?” Marc mengelus pipi Zahra dengan punggung telunjuknya yang dibengkokkan.***MEYYIS***Zahra memejamkan matanya untuk merasakan sentuhan lembut itu. “Aku percaya padamu. Aku akan mengantarmu menjenguknya. Memang kenapa?” Kedua tangan Marc beralih memegang kedua pinggang sang istri.“Tadi orang tua Raehan datang. Mereka meminta aku menjenguknya.” Marc mengerutkan kening membuat Zahra takut. Dia menunduk tidak berani memandang ke arah sang suami.“Benarkah? Yang tamu tadi? Memang Raehan sakit apa?” marc masih dalam posisi itu.“Katanya kehilangan semangat hidup. Tapi pas mau pulang mereka apat telepon bahwa Raehan jatuh dari lantai dua.&rdq
“Mas, kamu sudah siuman?” Zahra masuk karena mendengar Raehan yang histeris.“Zahra, maafkan aku, Zahra. Aku bersalah padamu. Maafkan aku ... aku ....” Raehan memeluk Zahra tiba-tiba ketika dia mendekat. Awalnya, Zahra keget karena gerakan tiba-tiba itu. dia menoleh ke arah Jason yang berada di belakangnya.Marc mengangguk tanda mengijinkan untuk istrinya itu memberikan semangat untuk Raehan. Namun rasa cemburu sebenarnya menguras hatinya. Dia ingin sekali meninju lelaki yang berani memeluk istrinya itu. Tapi rasa kasihan dan demi kemanusiaan membuat dirinya mengalah.***Meyyis***“Raehan, kita memang sudah berpisah sebagai pasangan. Tapi kita masih dapat berteman ‘kan? Masih ada Jelita di antara kita.” Raehan memandang wanita yang dulu selalu ada untuknya tersebut. Dia masih memeluknya. Walau dirinya merelakan Zahra memeluk mantan suaminya, tapi tetap saja n
“Ma, mamafkan Zahra, sepertinya Raehan tidak membutuhkanku. Mungkin mama undang Zoya saja, ya? Permisi!” Zahra menggenggam tangan suaminya. Jemari itu terasa dingin menyentuh kulit tangan Marc. Sejujurnya Marc ingin marah. Namun tidak jadi melihat sang istri sangat tertekan sepertinya. Raehan memang sangat keterlaluan. Tidak habis-habisnya merendahkan Zahra. Entah apa yang ada di otaknya hingga bisa pikirannya sejahat itu.***MEYYIS***“Sayang, kau baik-baik saja?” tanya Marc.“Iya, Hubby. Aku hanya kaget. Ternyata Raehan benar-benar tidak kenal denganku. Hubby, kita berumah tangga cukup lama. Ternyata dia masih tdiak mengenaliku. Bisa-bisanya mulutnya sepedas itu.” Zahra menmgepalkan tangan karena merasa sangat marah.“”Hai, kenapa kamau marah? Seharusnya aku yang marah.” Marc menegakkan dagu sang istri karena wa
“Iya, Sayang. aku mau rapat. Ada apa.” Entah siapa sang penelpon sehingga Jason menjawabnya sangat mesra sehingga menimbulkan kecurigaan Zahra dan Marc. Biarlah, nanti siang akan dia tanyakan.***Meyyis***Zahra masih mndengar Jason menelpon. Dia sedikit curiga.siapa sebenarnya yang Jason paggil sayang? dia harus menyelidiki. Zahra tidak mau jika Ziya kecolongan apalagi sampai mencintai lelaki ini yang ternyata memiki kekasih lain. Sebab dia belum dapat konfirmasi sari Ziya, bahwa dirinya menjadi kekasih Jason.Zahra membuka sosial medianya. Barang kali di sana ada petunjuk. Pelan-pelan dia membuka sosial media itu. Dia tidak menemukan apa pun. Di postingan Jason juga hanya bisnis dan beberapa foto Jason yang tersenyum dan tertawa saat di Malang. Zahra menjadi frustasi. Namun sekian detik dia menertawakan dirinya. Mengapa bisa kepo dengan kehidupan orang? Karena lama menunggu suaminya dan Jason belum kembali,
“Aku berbuat baik dengan siapa pun, Brina. Kau yang kelewat baper. Bukan hanya kamu yang aku baikin, dengan Bu Rusda juga aku baikin. Lalu bagaimana bisa kau menuduhku memberi harapan palsu?” Fatih meninggalkannya masih sesenggukan. Dia setengah berlari menaiki tangga. Sedangkan Sabrina sangat kacau sekarang. Diva sendiri juga kacau saat melihat Fatih dan Sabrina ... ah, apa tadi? Berpelukan dan Fatih menerima saja. Terang saja, karena Sabrina begitu cantik. Demikian pikir Diva.***MEYYIS***Diva tengkurap di atas tempat tidur saat Fatih mulai masuk ke dalam kamar. Fatih tersenyum karena mengira Diva telah tidur seharian. Dia mendekat dan memeluk Diva. Tapi dia mengerutkan kening setelah tidak sengaja memegang pipinya basah.“Hai, istriku menangis? Kenapa? Aku tahu, kamu melihat Sabrina memelukku? Jangan cemburu ... dia ....” Fatih menghentikan kaliamtnya.“Lepaskan aku! M
Sementara itu meninggalkan kekepoan seorang Diva yang begitu tinggi maka di bawahFatih sedang berbicara dengan seorang wanita keturunan Mesir. Dia seorang wanita yang cerdas juga cantik. Sudah lama mengagumi Fatih. Tapi rasa sukanya dianggap Fatih hanya rasa biasa sesama teman saja. “Sabrina? Kamu menyusul kemari? Ada apa?”BAB CXVWANITA LAIN?Sementara itu meninggalkan kekepoan seorang Diva yang begitu tinggi maka di bawahFatih sedang berbicara dengan seorang wanita keturunan Mesir. Dia seorang wanita yang cerdas juga cantik. Sudah lama mengagumi Fatih. Tapi rasa sukanya dianggap Fatih hanya rasa biasa sesama teman saja. “Sabrina? Kamu menyusul kemari? Ada apa?”Gadis berkerudung lebar itu tersenyum. “Aku sengaja menu
“Tidak perlu minta maaf, kau selalu cantik apa pun kondisinya. Aku tetap mencintaimu, Bidadariku.” Ah, jantung Diva terasa lompat-lompat cari perhatian untuk di sentuh dadanya. Wajah Diva sudah serupa kepiting rebus yang baru diangkat dari dandang. Merah merona.“Ih, peres.” Diva menutup wajahnya yang sduah kepalang malu.“Bener, kamu sangat cantik.” Fatih mencolek dagu Diva. Wanita berkerudung navy itu semakin panas dingin dibuatnya.***MEYYIS***Hari ini sudah hampir satu bulan Diva dan Fatih di negeri piramida itu. Malam ini Fatih sudah bilang akan pulang terlambat. Sebenarnya Diva diajak, tapi dia tidak mau karena merasa lelah. Sepertinya sering bercinta bukan hanya memberikan efek bahagia saja, lebih dari itu maka efek lelah membuatnya hari ini tidak semangat untuk ikut. “Ya sudah, nanti akan aku kirim makanan saja ke rumah. I Love you, Sayang.”&nb
“Tidak perlu minta maaf, kau selalu cantik apa pun kondisinya. Aku tetap mencintaimu, Bidadariku.” Ah, jantung Diva terasa lompat-lompat cari perhatian untuk di sentuh dadanya. Wajah Diva sudah serupa kepiting rebus yang baru diangkat dari dandang. Merah merona.“Ih, peres.” Diva menutup wajahnya yang sduah kepalang malu.“Bener, kamu sangat cantik.” Fatih mencolek dagu Diva. Wanita berkerudung navy itu semakin panas dingin dibuatnya.***Meyyis***Diva berjalan di atas pembatas jalan sambil sesekali melompat. Wanita itu memang pantas dijuluki bola bekel. Selalu saja tingkahnya begitu.“Sayang, hati-hati.” Diva melompati bangku panjang dan berputar kemudian mendarat di depan dua muda mudi yang sedang memadu kasih. Sang lelaki memberinya bunga dan berlutut. Diva mengambil bunga yang ada di tangan pria itu kemudian menyelipkan ke
“Kenapa? Laper, ya? Kita makan di luar saja.” Fatih menyuruh Diva mengenakan matel karena udara malam di sini dingin. Diva mengikuti arahan suaminya. Karena belum punya, dia memakai punya Fatih sehingga terlihat kedodoran.***MEYYIS***Diva berjalan di atas pembatas jalan sambil sesekali melompat. Wanita itu memang pantas dijuluki bola bekel. Selalu saja tingkahnya begitu.“Sayang, hati-hati.” Diva melompati bangku panjang dan berputar kemudian mendarat di depan dua muda mudi yang sedang memadu kasih. Sang lelaki memberinya bunga dan berlutut. Diva mengambil bunga yang ada di tangan pria itu kemudian menyelipkan ke telinga kiri wanitanya, sehingga mereka melongo kemudian tertawa.“Success for you, don’t take too long to apply.” Diva memutar dan meninggalkan pemuda itu yang mematung. Fatih menepuk jidadnya. Dia setengah berlari mengejar sang istri. Wanita itu mende
Fatih membuka pintu rumahnya. Diva tersenyum malu. Suaminya bahkan lebih rapi dari pada dirinya. Dia menggaruk kepalanya yang sesungguhnya tidak gatal. Fatih ebrterima kasih pada seseorang kemudian memberikan lembaran uang.***Meyyis***Fatih membuka pintu rumahnya. Diva tersenyum malu. Suaminya bahkan lebih rapi dari pada dirinya. Dia menggaruk kepalanya yang sesungguhnya tidak gatal. Fatih ebrterima kasih pada seseorang kemudian memberikan lembaran uang.“Masih pusing?” Fatih membuka lemari es yang sempat dia bersihkan. Hanya ada mi instan di sana. Untuk mengganjal perut, mungkin mi isntan cukup menolong. Diva berbaring di sofa. Sedang Fatih langsung ke dapur. Bodo amat, pikir Diva. Dia merasakan pusing yang berkepanjangan. Wanita tomboy itu sudah pergi ek alam mimpi ketika Fatih menuang segelas susu untuknya. Fatih meletakkan susu tersebut kemudian menutup agar serangga kecil tidak mengotori.
Kenapa menatapku begitu? Baru nyadar kalau suamimu ganteng?”“Hem, narsis.”“Bukan narsis tapi percaya diri.”“Beda tipis.”“Kenapa? Emang aku nggak ganteng? Lebih ganteng mana aku dengan Marc marquez.”“Hem, gantengan kamu sedikit, banyakan dia.”“Oh, jadi gitu.” Fatih menggelitiki sang istri.***MEYYIS***Sore ini sudah siap sedia Diva dan Fatih akan bernagkat ke Mesir. Entah mengapa ada rasa yang tak biasa ketika akan meninggalkan Abi dan Umi. Diva berkali-kali membalikkan badan merasa berat meninggalkan mereka. Rasaanya sesak dan nyeri. “Kita akan kembali, Sayang. Paling lama dalam satu bulan.” Fatih berbisik kepada sang istri agar Diva lebih merelakan kepergiannya kali ini. Diva hanya mengangguk dan mengikuti Fatih. Mereka akhirnya mengud
Diva sudah tertidur. Puas Fatih memperhatikan sang istri. Dengkuran halus membuat dia mengangkat kepala sang istri kemudian tubuhnya untuk di baringkan ke atas ranjang dengan bantal sebagai pengganjal kepalanya. Lelaki itu kemudian tidur di sampingnya. “Selamat tidur, Bidadariku. Terima kasih kau sudah membuat aku menjadi suami seutuhnya. Semoga***Meyyis***Pagi ini Diva merasakan nyeri di bagian bawah pusarnya. Padahal nanti sore harus terbang bersama suaminya menuju ke Mesir untuk mengikutinya. Dia masih tidur di ranjangnya ketika suaminya sudah selesai mandi untuk salat Subuh. “Sayang, bangun dulu, yuk salat Subuh. Nanti kesiangan.” Fatih membuat Diva mengulat.“Boleh nggak, sih aku libur salat? Capek banget dan sakit.” Bekas jejak-jejak cinta yang Fatih buat membuat kulitnya memerah dan masih terasa sakit. Tapi yang lebih sakit bagian alat vitalnya.
“Mas,” ucap Diva.“Hem,”“Apa kamu kecewa, karena aku belum siap melakukan itu? Aku masih takut. Beri waktu aku sampai malam ini untuk meyakinkan diri.” Fatih membelai wajah Diva agar wanita itu lebih tennag bahwa lelakinya ini bisa menunggunya.***MEYYIS***Malam ini Diva sudah tampil cantik. Tentu saja Umi Fitri yang mendandaninya. Dia tersenyum malu-malu pada Fatih yang kali ini berada di ranjang mereka sedang membaca entah kitab apa? Fatih menghentikan aktivitasnya setelah melihat istrinya datang. Fatih menepuk tempat di sebelahnya. “Kamu selalu cantik, terima kasih sudah berusaha.” Satu kecupan mesra mendarat di kening Diva.“Aku akan mencoba, Mas. Aku sudah menjadi istrimu.” Fatih menangkup wajah istrinya. setelah menunggu beberapa hari, kini di malam yang syahdu Diva menyerahkan diri. Sesungguhnya, Fatih juga sangat takut. Baga