PLAAK ! "Jaga bicaramu!" Ups! Sebuah tamparan mendarat cantik di pipi kemerahan milik Liana. Tamparan yang begitu keras dari Mas Dewa mengakibatkan luka pada sudut bibir Liana hingga mengeluarkan sedikit darah. Tubuh Liana terhuyung ke samping. Beruntung wanita yang selalu berpakaian serba terbuka itu mampu menyeimbangkan tubuhnya hingga tak sampai terjatuh. "Maaass ... kamu tega menamparku? Kamu membela perempuan itu? Perempuan yang kamu bilang tidak pernah kamu cinta?" Suara Liana bergetar, tubuhnya gemetar hebat. Isak tangis mulai terdengar dari mulutnya. Apaa? Liana bilang Mas Dewa tidak pernah mencintaiku? Mas Dewa mengatakan itu pada Liana? Sementara Mas Dewa hanya terpaku menatap Liana dengan rasa bersalah. Dari matanya terpancar raut penyesalan yang mendalam. "Li, m-maaf ... maafkan A-aku ...!"lirihnya. Liana berlari keluar dari kamar ibu. Mas Dewa mengejarnya. Huh! Mulai drama lagi! Ibu yang berada tepat di sampingku, dengan satu tangannya menyentuh dan mengusap
Pagi menyapa. Seperti biasa sejak subuh aku sudah terjaga, membuatkan sarapan untuk Ibu, kemudian memandikan dan menyuapi beliau makan. Tanpa pamit pada Mas Dewa yang masih di kamar bersama istri barunya itu, aku berangkat lebih pagi karena hendak mampir menemui Andri di tempat kerjanya. Kebetulan temanku itu semalam dinas malam dan pulang pagi ini. Jadi, Andri bisa membantuku memeriksakan teh itu di laboratorium. "Aku minta hasilnya secepatnya, An!" "Aku usahakan." Setelah selesai menemui Andri, Aku segera berangkat menuju kantor dengan taksi online. Beruntung perjalanan lancar hingga aku tiba di kantor tepat waktu. Aku melangkah hendak menuju lift karyawan yang terlihat penuh dan antri. Hampir semua karyawan yang sedang mengantri di depan lift memandangku seraya saling menyenggol dan berbisik. Astaga! Ini pasti gara-gara kemarin aku jalan berdampingan dengan Devan di depan semua karyawan. Aku mengangguk ramah ketika sudah berada tepat dihadapan mereka. Sebagian dari mereka me
S-selamat p-pagi, P-pak Devan!" Aku menoleh pada seseorang yang baru saja datang. "Silakan duduk Dewa! Sudah sarapan?" "S-sudah, Pak. Terima kasih," sahut Mas Dewa yang kemudian menjatuhkan bobotnya di sofa, menunggu kami selesai sarapan. Mas Dewa terlihat gugup. Namun matanya berkali-kali melirik padaku. Kedua tangannya saling meremas. Dadanya naik turun. "Makan yang banyak, Zahra!" ucap Devan seraya menambahkan sepotong roti ke dalam piringku." Aku hanya tersenyum melihat sikap Devan yang semakin hari semakin membuatku tak karuan. "Oh ya, Zahra, kamu harus coba steak salmon ini." Devan memotong steak salmon di piringnya. "Steak Salmon? Enakkah?" tanyaku. "Enak banget. Cobain, deh ini!" Aku tersentak saat Devan memberikan potongan steak salmon tadi ke mulutku.Aku menerima suapan dari Devan. "Hmmm, beneran enak banget ini." gumamku seraya menikmati rasa lembut dan citarasa gurih dan sedikit manis yang timbul di dalam mulutku. Kemudian Devan kembali menaruh beberapa steak
Aku tersentak saat tiba-tiba pintu lift mulai terbuka. Namun Mas Dewa tak menghiraukan. "Lepas, Mas! liftnya terbuka!"desisku. Namun Mas Dewa justru semakin merapatkan tubuhnya padaku dan menatapku penuh amarah. Napasnya menyapu hangat wajahku. Saat ini nyaris tak ada jarak diantara kami. "Astaga ...! Pak Dewaaa ...!" Seorang karyawati berambut pendek menjerit ketika melihat kami berdua.Spontan Mas Dewa melepaskanku. "Dewi .... dewi ....!" Mas Dewa langsung mengejar karyawati yang dipanggil Dewi itu olehnya. Aku merasa lemas. Selama menikah dengan Mas Dewa, baru kali ini suamiku itu bersikap seperti tadi. Begitu cemburukah dia? Kenapa harus cemburu jika dia tidak pernah mencintaiku? Masih merasakan shock akan kejadian di lift tadi, perlahan aku melangkah ke mejaku melewati beberapa kubikel karyawan. Tiba-tiba langkahku terhenti saat mendengar seseorang menyebut nama-nama yang tidak asing di telingaku. "Lo harus hati-hati, Liana, Pak Dewa kayaknya suka sama karyawan baru yan
Makan siang kiriman dari Devan telah habis kusantap. Pria itu selalu saja membuatku tersanjung dan senyum-senyum sendiri. Sikapnya yang selalu manis nyaris membuatku berpikir yang seharusnya tidak pantas aku pikirkan. Astaga! Apakah Devan sudah memiliki istri? Bagaimanapun juga, aku nggak mau sikap Devan padaku sampai mengganggu rumah tangga mereka. Aku tak ingin ada salah paham hingga menyakiti hati istrinya kelak. Aku sangat mengerti seperti apa rasanya. Aku harus memastikan apakah Devan sudah menikah atau belum. Waktu menunjukkan pukul setengah satu siang. Sebaiknya aku bersiap-siap untuk turun ke lobby. Jangan sampai Devan menunggu lebih lama. "Frans, bareng!" Aku mempercepat langkahku saat Frans juga akan masuk ke dalam lift. Aku memang sengaja menghindar dari Mas Dewa. Tak ingin kejadian di dalam lift tadi terulang kembali. "Ayo, Zahra!" Frans menahan pintu lift menunggu aku masuk. "Tunggu!" Aku terlonjak saat mendengar suara Mas Dewa di belakangku. "Kamu duluan saja, F
Pintu lift terbuka. Aku melangkah cepat lebih dulu saat melihat Devan sudah berada di lobby. Sepertinya Devan sedang menghubungi seseorang. Pria itu melambaikan satu tangannya padaku. Devan mengakhiri panggilan ponselnya ketika aku sudah berada di dekatnya. "Sudah makan siang?" tanyanya padaku. "Sudah. Oh, ya, terima kasih kiriman makan siangnya," balasku. "Kamu suka?" "Suka," sahutku seraya melempar senyum padanya. Aku mengulum senyum ketika melihat perubahan pada raut wajah Mas Dewa. "Kita berangkat sekarang, Dev?" "Tunggu sebentar, aku sedang menunggu seseorang." "Ok. Baiklah." "Saya ambil mobil dulu, Pak, Saya dan Zahra jalan duluan saja," ujar Mas Dewa membuatku terkesiap. "Silakan. Nanti saya kirim alamatnya. Tapi Zahra ikut saya," sahut Devan tegas seraya melirikku. Mas Dewa tak mungkin membantah. Sementara raut wajah suamiku itu tampak semakin kesal. Terdengar beberapa kali dia menghembuskan napas kasar. Dengan langkah gontai suamiku itu berjalan menuju parkira
"Hai Clarissa! Keponakan uncle Ivan makin cantik aja. Bagaimana sekolahmu?" Ivan menyambut Clarisa hangat. "Baik, Uncle." sahut Clarisssa seraya memeluk Ivan. Ivan mencium kedua pipi chubby Clarissa. "Hai, Om Dewa." Ternyata Clarisa juga menyapa Mas Dewa. Namun Mas Dewa hanya tersenyum sekilas pada gadis berkulit putih itu. Pandangan Ivan beralih padaku. "Ra ..., kenapa sih kamu selalu tampil mempesona?" Lagi-lagi Ivan menggodaku. "Jangan mulai, Van. Malu sama Clarissa!" sanggahku dengan mata melotot pada sahabatku yang kali ini penampilannya nggak kalah tampan dari kakaknya. "Aku serius. Tapi Sayang, sudah bersuami." "Uhuk ... uhuk ...!" Mas Dewa tiba-tiba terbatuk-batuk. Ivan memang juga tidak tahu kalau Mas Dewa adalah suamiku. Sejak aku berhenti bekerja di perusahaan yang lama dulu, kami memang sudah jarang berhubungan. Pernikahanku dan Mas Dewa pun diadakan hanya sederhana. Cukup mengundang pihak keluarga dan tetangga terdekat "Kalau aku jadi suaminya, aku akan ant
Bagaimanapun juga Mas Dewa suamiku. Memang sudah seharusnya aku pulang dengannya. Tidak mungkin aku lebih memilih pulang dengan laki-laki lain. Walaupun Devan dan Ivan tidak mengetahuinya, tapi aku merasa bukan wanita yang baik, jika lebih memilih pulang bersama pria lain. "Nggak apa-apa, Dev. Lagian kasian Clarissa jika harus mengantarku pulang lebih dulu. Dia pasti lelah." Devan melirik Clarissa yang memang sudah kelihatan jenuh. Sejak tadi gadis itu sangat rewel minta segera pulang. Devan menghembus napas panjang. kemudian mendekatiku. "Take care ...," bisiknya seraya menatap lekat padaku. Aku hanya bisa mengangguk dan berusaha mengalihkan pandangan dari tatapan mata tegas yang selalu menciptakan debaran tak biasa di dadaku. Devan, pria itu tahu kami sama-sama telah memiliki pasangan. Tapi kenapa sikapnya selalu menciptakan rasa yang tak seharusnya aku rasakan. Tatapannya selalu membuat jantungku berdegup cepat tak beraturan. Apa memang begini sikapnya pada semua wanita yang
Siang ini aku dan Clarissa menyusul Devan ke kantor. Karena sore nanti kita akan ke dokter kandungan seperti yang direncanakan kemarin. Sejak menikah dengan Devan, baru kali ini aku datang ke kantor, karena kesibukanku menemani dan mengurus Clarissa. Devan pun tak pernah memintaku untuk datang ke kantor. Katanya, karena di kantor ada Mas Dewa. Sifat pencemburunya masih melekat erat pada suami tampanku itu. Namun kali ini Clarissa tidak sabaran dan minta menyusul Daddynya ke kantor "Bundaaa, Daddy lamaa! kita susul aja yuk!' "Ini masih siang, Sayang!" "Tapi aku maunya sekarang. Daddy itu kalau ditungguin suka lamaa, Bundaaa. Kita susul aja, ya? Boleh, ya?" Akhirnya aku mengangguk dan menyetujui permintaan Clarissa. Tanpa sepengetahuan Devan, Aku dan Clarissa sudah tiba di lobby kantor. Menurut sekretaris Devan, suamiku itu hari ini ada di kantor seharian, tidak ada pertemuan di luar. Clarissa menggandengku dengan manja. Langkah gadis kecilku ini sangat ceria. Sesekali dia melom
"Bundaaa, Aku mau boboknya sama Bunda ..!" lagi-lagi Clarissa merajuk. Belakangan ini Clarissa menjadi lebih manja dan selalu mencari perhatian. "Loh, Clarissa kan sudah besar dan sudah sekolah. Harus berani tidur sendiri. Bunda temenin aja di kamar sampai Clarissa nyenyak, ya!" bujukku. "Clarissa mau bobok sendiri kalau sudah jadi kakak. Kapan dong Bunda kasih aku adik bayi?" Astaga! Adik Bayi? Tiba-tiba saja aku ingat sesuatu. Sudah dua bulan ini aku tidak datang bulan. Mungkinkah ...? Sejak menikah lagi, baru kali ini aku telat datang bulan. Sebaiknya besok pagi aku periksakan diri. "Ya sudah, malam ini Bunda temenin bobok di sini." "Asiiik. I love you, Bunda." Clarissa menciumi wajahku. Mungkin karena sudah sangat mengantuk, beberapa menit kemudian Clarissa sudah pulas. Mataku beralih pada pintu kamar yang terbuka perlahan. Seorang pria tampan dengan jambang lebatnya berdiri dan tersenyum diambang pintu. Aku meletakkan jari telunjuk pada bibirku untuk memberi tanda ag
Karpet merah nan panjang telah terbentang di sepanjang jalan memasuki pintu utama ballroom hotel. Aku dan Devan bagaikan raja dan ratu turun dari mobil, langsung melangkahkan kaki disepanjang karpet merah hingga mencapai pelaminan. Alunan musik yang indah mengiringi setiap langkah kami. Aku dan Devan saling bergandengan, saling melempar senyum dan berbicara seperlunya. Para tamu berdiri di sepanjang tepi karpet merah menyambut kedatangan kami. Aku dan Devan telah tiba di atas pelaminan yang sangat megah ini. Hiasan bunga-bunga indah serta batu swarovsky membuat indahnya pelaminan ini bagaikan singgasana para raja-raja. Setelah MC membuka acara resepsi ini, para tamu mulai menghampiri kami untuk memberikan ucapan selamat. Tamu Devan dan Papa sebagian besar dari golongan atas. Para karyawan papa yang sebagian besar adalah teman sekantorku dulu menjerit histeris saat mengetahui pengantin wanitanya adalah diriku. "Zahra ... kita nggak nyangka lo bakal jadi menantunya konglomerat. "
"Zahra, kamu jangan bolak balik begitu! Nanti pakaianmu kusut! Pengantin kok kaya setrikaan mondar mandir?" Mama Andine, istri Pak Lucas, mamanya Devan, alias calon mertuaku, menegurku untuk yang kesekian kalinya. "Mamaaaa, aku deg-degan. Gimana doong?" pekikku tertahan, menahan mulas, sesekali rasanya ingin buang air kecil, jantung berdetak tak beraturan. Sepertinya saat ini aku merasakan kecemasan tingkat tinggi. "Ya udah sini duduk dekat Mama." Mama meraih lenganku dan membawaku duduk disampingnya. Saat ini kami berdua berada di salah satu kamar di rumah mama. Kamar yang tadinya dijadikan sebagai kamar tamu, tapi khusus di hari spesial ini dijadikan sebagai kamar untuk meriasku. Pagi ini aku akan menjalani akad nikah. Walaupun ini adalah yang kedua kalinya untukku, namun rasanya sangat berbeda. Aku begitu khawatir dan cemas. Belum lega rasanya jika ucapan ijab kabul dari Devan belum terdengar. Mama mengusap lembut punggungku. Wanita itu memilih menemaniku dalam kamar dari pad
Aku menangis bahagia. Karena hingga detik ini masih bisa memeluk Clarissa seperti ini. Namun pasti Clarissa lebih hancur, karena Kim-ibu kandung Clarissa telah pergi untuk selamanya. Clarissa merenggangkan pelukan. Jari mungil itu menghapus air mata yang mengalir deras di mataku. "Bunda jangan nangis ...!" lirihnya pelan. Aku yang tadi membungkuk, kini berjongkok mensejajarkan tubuhku dengan Clarissa. Aku kembali memeluk erat tubuh gadis itu. "Maafin, Bunda ... Bunda nggak bisa selamatin Mommy Kim. Maafin Bunda, Sayang ...!" Aku semakin tergugu dan merasa bersalah. Clarissa kembali melepaskan pelukanku. Gadis itu kembali mengulurkan tangannya untuk menghapus air mataku. "Bunda nggak salah. Mommy Kim jahat. Mommy Kim udah sakitin Aku!" "Tidak, tidak! Jangan bicara seperti itu Sayang. Mommy sangat sayang sama Clarissa. Mommy tidak mau kehilangan Clarissa. Sekarang Mommy sudah tenang di sana. Kita doakan Mommy ya, Sayang!" Aku membingkai wajah mungil bermata coklat itu dengan ke
Aku masih tergugu di hadapan pria yang telah mengorbankan jiwanya untukku. Pria yang tak peduli jika nyawanya akan hilang, demi menolongku. Pria yang tak pernah berpikir panjang jika menyangkut hal tentang diriku. Pria yang selama ini aku anggap lebay, bucin dan pencemburu, kini aku tau alasannya kenapa pria tampan ini seperti itu. Alasan yang justru membuatku tak sanggup untuk meninggalkannya saat ini. Kenapa dada ini begitu nyeri ketika melihatmya tak berdaya? Kenapa rasanya begitu sakit melihatnya terbaring dengan selang infusan di tangannya. Kenapa bukan aku saja yang berada di atas brankar itu? Kenapa harus Dia? Oh Astaga! Kenapa aku jadi berpikir seperti ini? Kenapa aku seperti tak rela jika dia terluka? Apakah aku sudah jatuh cinta pada pria ini? "Sudah dong, jangan nangis terus, Aku nggak apa-apa." Suara bariton itu membuyarkan lamunanku. Devan meraih jemariku yang sejak tadi tak henti-hentinya mengusap lembut kepala pria tampan itu. Entah mengapa Aku sangat merasa bersala
POV IvanMobilku melambat saat melihat keramaian di depan sana. Jalanan penuh oleh orang-orang yang ingin melihat sesuatu di sungai itu Aku menepikan mobilku dan membuka kaca. "Maaf, Bu. Ada apa rame-rame di sana?" "Ada mobil jatuh ke sungai, Pak! Katanya sih yang bawa perempuan!" Ya Tuhan. Jantungku langsung berdetak cepat setelah mendengar berita dari ibu-ibu itu. Jangan-jangan ... Astaga! Bukankah itu mobil Devan? Aku segera turun dan berlari menghampiri Devan. "Dev ... Devan!" Devan tak mempedulikan panggilanku. Aku tersentak saat melihatnya hendak bersiap-siap turun ke sungai. "Stop, Dev! Mau apa kamu?" "Zahra di bawah sana. Mana mungkin aku hanya diam!" geram Devan melotot padaku. Mataku membelalak melihat mobil Kim yang saat ini sudah terjun hingga berada disungai. "Jangan nekad, Pak. Sangat berbahaya! Kita tunggu bantuan!" Beberapa warga mencoba mencegah Devan. Namun kakakku itu tidak menghiraukan. Devan melepaskan jasnya, kemudian tanpa ragu kakakku itu melompat
Pov Ivan Cahaya yang menyilaukan mata menembus jendela kaca besar yang berada di kamarku ini. Aku menghempas napas kasar memandang tirai jendela yang terbuka lebar sejak semalam. Ternyata sudah siang. Aku melirik arloji yang menempel ditanganku. Sepertinya masih ada waktu untuk bersiap-siap ke kantor. Rasa nyeri di sekujur tubuhku sudah mulai berkurang. Perlahan aku bangkit menuju kamar mandi. Setelah membersihkan diri dan berpakaian, Aku melangkah keluar dari kamar. Sepiring nasi goreng dan segelas jus buah tersaji di atas meja makan. Siapa yang memasak? Mungkin pelayan Devan yang mengantarnya ke sini. Kebetulan, Aku memang sangat lapar. Sambil menikmati nasi goreng sosis ini, kubuka ponselku. Memeriksa pesan dan email yang masuk. Sebuah senyum terbit dibibirku saat membaca pesan dari Zahra. [ Makan yang banyak, semoga nasi goreng buatanku mampu menyembuhkan lukamu] Ternyata Zahra yang masak. Pantas rasanya sangat enak. Kunikmati setiap suapan yang masuk ke mulutku. Hatiku berd
"Astaga, Kim! Untuk apa dia menemuiku? "Zahra, Aku hanya ingin bicara sebentar!" Aku mendengar teriakan Kim dari balik pintu ini. "Kamu mau bicara apa ?" Karena penasaran, aku memutuskan untuk keluar dan menghampiri mantan istri Devan itu. "Jika kamu takut aku macan-macam, bagaimana jika kita bicara di cafe bawah saja?" ajak Kim. Aku berpikir sejenak. Kalau aku tidak mengikuti kemauan Kim. Wanita itu pasti akan terus berusaha. Aku khawatir dia akan nekad nantinya. Mungkim sebaiknya aku ikuti saja dulu kemauannya.. "Oke. Sebentar aku ambil tas dulu!" sahutku membuat para penjaga melotot "Bu Zahra! Tuan Devan melarang ibu untuk keluar." Salah seorang penjaga mengingatkanku "Saya hanya ke cafe bawah, Pak. aku khawatir Kim akan nekad jika aku tak mengikuti kemauannya." Penjaga itu tak lagi membantahku. Setelah meraih tas dan ponselku di meja tamu, aku segera kembali keluar dan menghampiri wanita cantik itu. "Ayo!" ajakku pada Kim yang kemudian melangkah bersisian denganku. Tubu