Ridwan yang sengaja mematikan ponselnya pun, pergi ke kos Tuti. Hanya 10 menit kemudian, Ridwan pun sampai di tempat kos Tuti. Mendengar suara mobil di halaman rumah yang berisi 10 kamar kos, Tuti pun membuka pintu kamar kosnya saat mendengar suara mobil milik Ridwan yang sudah sangat dikenalinya. Tuti menyambut kedatangan Ridwan dengan menggunakan daster berwarna merah berlengan tali satu, tanpa menggunakan penyangga pada bagian dadanya yang kian besar dan menantang.Ridwan membuka pintu mobil dan berjalan dengan wajah kuyu, tanpa senyuman. Walaupun Tuti menyambutnya dengan senyum bahagia dan mata penuh gelora asmara.Tanpa memeluk wanita yang kini hamil seperti biasanya, Ridwan masuk ke dalam kamar kos dengan wajah murung dan stress berat.Tuti yang menyadari ada masalah pada pemuda yang selama ini memberikan kepuasan lahir dan batinnya segera membuatkan segelas teh manis. Lalu, Tuti pun meletakan teh tersebut pada sebuah meja kecil di sebelah kipas angin yang berada pada sis
Pelukan Tuti yang begitu erat dan langkah berat Ridwan meninggalkan Tuti, membuatnya kembali ke kamar kos itu. Terlihat Ridwan terdiam sejenak, kemudian lelaki muda itu pun berbincang-bincang dengan Tuti.“Tuti..., Kenapa kamu nggak nanya kemana aku akan pergi?” tanya Ridwan memandang wanita yang sebenarnya berparas biasa-biasa aja. Namun karena sikap dan perlakuannya pada Ridwan yang manja membuat lelaki muda itu nyaman dan terlena dalam kehangatannya selama ini.“Bang, sebenarnya saya tau akan kemana Abang pergi..., Pasti ke rumah Anisa kan?”“Ya.., aku bingung..., Bagaimana menjelaskan sama keluarganya..., Kalau aku nggak bisa jadi calon suaminya...,” ujar Ridwan tertunduk saat duduk disisi tempat tidur.“Bang..., Lebih baik pernikahan Abang dan Nisa dilanjutkan aja. Saya nggak apa-apa kok. Kalau Abang mau, besok bayi ini akan saya gug...”“Jangan! Sudah gila kamu? Janinmu itu udah 3 bulan. Calon jabang bayi itu udah terbentuk. Aku rela kehilangan keluargaku, asal jangan kehil
Sekitar pukul setengah tujuh malan ponsel Latifah yang berada di ruang keluarga berdering hingga terputus, saat mereka semua tengah menikmati makan malam. Kemudian, saat terdengar kembali seorang pembantu rumah tangga di rumah itu yang bernama Iyem pun diminta untuk mengambil ponsel tersebut.“Iyem...! Tolong kau jawab ponselku. Tak ngerti apa itu orang, telepon waktu orang makan malam,” gerutu Latifah memerintahkan pembantunya saat ia tengah makan malam bersama Aruna, Lukman dan suaminya.Iyem pun meraih ponsel di meja ruang tamu dan menyapa si penelepon.“Malam, kediaman Ibu Latifah, bisa di bantu?” sapa Iyem dengan bahasa resmi dan itu membuat Latifah, Lukman, Aruna dan Syarifudin tertawa dibuatnya.“Selamat malam Buu..., saya Akbar dari kantor polisi, apa benar ini nomor orang tua dari Ridwan?” tanya seorang polisi mengenalkan namanya dan menanyakan orang tua Ridwan.“Tunggu Pak,” jawab Iyem berjalan membawa ponsel Latifah dan memandang keempat orang dengan sisa tawa di bibir
Walau telah tujuh hari berlalu, kesedihan dan duka yang mendalam atas keluarga Lukman masih begitu kental. Beberapa kali, Latifah jatuh pingsan dan kondisi kesehatan serta mentalnya begitu terguncang. Untung saja Syamsudin, papa Lukman yang telah menjalani operasi pemasangan ring tampak begitu tegar saat kenyataan pahit dijalani salam keluarganya.“Runa, apa sebaiknya kamu ambil cuti selama 2 minggu untuk temani mama?” pinta Lukman atas sarannya.“Maaf Bang, rasanya nggak bisa. Apalagi sekarang ini atasanku itu baru. Orangnya agak rese, Bang,” tolak Aruna.“Aku benar-benar bingung kalau udah seperti ini. Soalnya di toko juga banyak pesanan cincin nikah. Aku nggak berani untuk lepas ke pegawai untuk urusan seperti ini,” ungkap Lukman saat mereka berada di dalam kamar usai acara 7 hari Ridwan.“Bang, apa nggak sebaiknya kita cari pembantu satu lagi untuk mengurusi mama?” tanya Aruna memberikan pendapatnya.“Coba nanti aku bicarakan sama mama. Moga aja mama setuju,” ucap Lukman deng
Deswita yang seumuran dengan Lukman pun masuk ke dalam rumah diikuti oleh kedua saudara sepupu Lukman yang lebih muda. Di dalam rumah, Deswita berbisik pada Rizal yang merupakan anak dari kakak Syamsudin, papanya Lukman. Sedangkan Deswita adalah anak dari kakak Latifah.“Lukman, ada yang mau Abang sampaikan. Kita ngobrol di lantai dua. Ayo Deswita, Delfira,” ajak Rizal usai Deswita melaporkan padanya mengenai ucapan Aruna.“Masalah apa ya, Bang?” tanya Lukman yang sempat mendengar terjadi percekcokan kecil antara Aruna dan Deswita.“Di atas aja kita bicaranya, biar nggak terganggu dengan obrolan orang-orang tua,” paksa Rizal yang telah menaiki empat undakan tangga di rumah itu.Melihat Deswita dan Delfira mengikuti langkah saudara sepupunya, Lukman pun akhirnya ikut menaiki tangga tersebut hingga mereka pun sampai di balkon.Karena di balkon hanya ada 2 kursi, maka Rizal dan Lukman pun berdiri sedangkan Deswita dan Delfira duduk di kursi yang terbuat besi berwarna putih dengan me
Genap pada saat 40 hari sejak meninggalnya Ridwan secara tragis, akhirnya, Latifah dengan kesadaran dan keikhlasannya melepas kepergian putra bungsunya. Seluruh keluarga besar Latifah dan Syamsudin pun berkumpul di rumah tersebut untuk menggelar doa bersama untuk Almarhum, pada saat jam menunjukkan pukul 9 pagi hingga berakhir pukul 11 siang. Usai melakukan acara berdoa bersama, seluruh keluarga menikmati makanan. Disaat itu, saudara kandung Latifah, orang tua dari Deswita berbincang serius. Yang awalnya mereka berbicara di ruang tengah sembari menikmati nasi kotak, kini mereka beranjak dari permadani yang mereka duduki, dan meninggalkan sanak saudara lainnya menuju kamar Latifah. Sesampai di kamar, kakak beradik itu pun duduk di sofa pada kamar Latifah. “Ifah, bukankah mantu kau itu sudah menikah selama 3 tahun lebih?” tanya Zubaedah. “Iya, Kak..., Aku sendiri bingung, kenapa pula Aruna tak kunjung hamil. Padahal semuanya baik-baik saja. Awalnya aku tak pening mikir kehamilan Arun
Lukman mengikuti langkah Aruna hingga sampai di dalam kamar. Di dalam kamar itu, terlihat Aruna sedang memasukkan pakaian ada sebuah koper. Lalu, Lukman memegang tangan Aruna, hingga membuat wanita cantik itu menghentikan aktivitasnya.“Aruna, tolong jangan pulang. Jangan tinggal aku seperti ini. Aku sangat mencintai kamu. Aruna, maafkan mama,” tutur Lukman lembut. Aruna yang sangat paham dan sadar kalau Lukman sangat baik dan sayang pada dirinya serta keluarganya sangat bingung atas dilema yang di hadapinya. Hatinya begitu hancur saat mertua yang selama ini ia bangga-banggakan di kantor dan di rumahnya, meminta bagian hati dan tubuh Lukman untuk wanita lain“Abang, hiks..., Aku harus bagaimana? Aku nggak mau Bang Lukman nikah lagi,” ucapnya seraya menangis dan memeluk tubuh Lukman yang berada di sebelahnya.“Runa, kamu adalah wanita yang sempurna bagiku. Tidak ada sedetikpun, aku berpikir untuk mendua. Tapi, Runa..., Bagaimana dengan mama? Aku juga takut disebut anak durhaka. S
Aruna dan Lukman yang menemui Latifah dan suaminya di ruang keluarga pun membeberkan apa yang diketahui oleh mereka. Namun, sejak Latifah mendengar Aruna bertengkar dengan Deswita, ia tidak lagi respek dan menyukai Aruna yang dianggap tidak punya sopan pada keluarga besarnya. “Lukman, apa pernah kau lihat sendiri dengan mata dan kepalamu?” tanya Latifah seraya melirik ke arah Aruna dengan raut wajah tak suka.“Memang sih, saya nggak lihat langsung, Maa,” jawab Lukman.Mendengar jawaban Lukman, Aruna yang pernah melihat dengan mata dan kepalanya sendiri saat Tuti dan almarhum melepas syahwat pun menjawab saat Latifah mendesaknya.“Gimana kau sendiri, Runa?” tanya Latifah menaikkan alisnya ke atas seolah menantang Aruna untuk berbicara lantang.“Maksud Mama?” tanya Aruna singkat.“Apa perlu aku tegaskan lagi? Bukankah kau yang membuka fitnah berzina pada almarhum putraku?!” tanya Latifah dengan suara meninggi.Mendengar hal itu, Aruna terlihat wajahnya bersemu merah.“Maa, saya