Arfaaz masih saja terngiang ucapan Herman barusan. Bagaimana ia bisa menilai rapuhnya hati Arindi jika dia terlihat tegar dan kuat menghadapi semua hal yang menyakitkanya."Mau kemana kamu Rind?" tanya Arfaaz yang melihat Arindi pergi dari meja makan. Hari ini sengaja Arfaaz melarang kedua istrinya untuk memasak. Ia ingin membawakan makanan dari luar. Karena ada sang Mama juga. "A aku makan di dapur saja, Mas. Aku takut membuat Mama tidak suka," ujarnya lirih."Tidak. Kamu juga duduk disini. Naina ada disini. Kamu pun juga harus ada disini," perintah Arfaaz dengan tegas. Arindi tetap menurut perintah suaminya walau ia juga mendapat tatapan tidak suka dari mertia dan madunya. "Oh iya Mama dengar Nessa baru saja menggelar pernikahan ya?" tanya Tami memecah keheningan."Iya Ma."Hanya Arfaaz yang mampu menjawab. Untuk apa Arindi angkat bicara jika suaminya tidak mengajaknya turut serta."Tetapi, Mama juga mendengar kabar yang tidak sedap. Ada yang bilang menantu Tami menghadiahi mem
Arindi memilih pergi meninggalkan madu dan suaminya yang sedang berdebat. Bertahun-tahun bersama Arfaaz membuat Arindi hafal betul perangai suaminya tersebut. Brakk... Pintu ditutup Arfaaz dengan keras. Ia mengikuti langkah Arindi menuju kamar. Arindi diam. Karena ia mengerti emosi Araaz saat itu. "Bisa kamu mengajarkan Naina itu Rind? Tentang bagaimana seorang wanita harus mandiri? Aku dibesarkan hanya oleh Mamaku. Dari situ aku banyak belajar. Sekaya apapun suami, suatu hal yang tidak diinginkan bisa saja terjadi. Kita tidak akan pernah bisa menolak bala."Arindi menghela nafas pelan. "Kenapa harus aku? Kamu yang membawa Naina masuk ke rumah ini bukan? Jadi kamu sendiri dong yang seharusnya bertanggung jawab."Arfaaz sedikit kaget dengan respon yang diberikan Arindi. Dia yang dulu bersikap lembut, kini justru terkesan acuh tak acuh. "Setidaknya agar ia belajar dari kamu Rind," ucap Arfaaz mencoba masih bersikap lembut."Passion seseorang itu berbeda, Mas. Tidak bisa kamu puk
Arindi menyipitkan mata sesaat setelah Herman mengucap nama sang anak. "Kenapa dengan Keenandra? Kamu tau nama anakku?" tanya Arindi."Ehm iya. Maksutku, ehm."Herman salah tingkah. "Ayolah aku tidak banyak waktu untuk melayani ketidakjelasan kamu ini. Apa kurang kerjaan atau kesibukanmu sebagai Kapolda masih kurang? Hingga kau urusi anakku segala?" ujar Arindi dengan tidak sabar. "Ehm Keenan. Keenan berhak bahagia, Rind," ujar Herman walau terlihat masih ada yang mengganjal di fikiranya. Arindi mengangguk."Oh iya tentu. Karena itu juga menjadi salah alasanku mempertahankan pernikahanku dengan Mas Arfaaz. Karena Keenandra berhak bahagia. Dan kebahagiaan dia adalah memiliki orang tua yang lengkap," jawab Arindi dengan mantap. "Tetapi apa penilaian orang lain terhadapmu Rind? Kamu cantik, kamu sukses, kamu pintar tetapi kamu lebih mempertahankan pernikahan kamu walau jelas-jelas suamimu sudah menikah lagi."Herman seperti tidak mau mengalah untuk mempengaruhi Arindi agar cerai dar
"Sombong sekali kamu, Rind. Di dunia ini bukan hanya kamu yang pandai memasak. Jangan besar kepala dulu."Suara Tami yang menuruni tangga membuat Arindi terkesiap. Namun hal tersebut justru membuat Naina tersenyum penuh kemenangan. Ia menyeringai. Dalam hati, ia bersorak mana tega sang mertua mendiamkan dirinya yang menyandang gelar sebagai menantu kesayangan itu.Arindi hanya memasang wajah datar. "Hidup di zaman yang semua serba modern ini tidak usah dipersulit. Banyak kan jasa yang bisa mengantarkan makanan ke rumah. Diluar juga tidak kurang-kurang yang berjualan bukan? Jadi berhenti untuk kamu sok sempurna Rind. Ingat seperti apapun kamu berdiri saat ini, ada aib di masa lalumu yang tidak akan hilang begitu saja," ucap Tami dengan tajam.Sakit? Tentu saja. Pertahanan Arindi mulai terkikis apalagi jika disangkutpautkan dengan masa lalu. Tapi Arindi tetap pada prinsipnya untuk bertahan dengan apapun cercaan yang tertuju padanya. "Tuh dengar Mbak," olok Naina. Arindi memasang waja
Naina menautkan alis. Menatap Arfaaz tak percaya. "Ada apa?" tanya Arfaaz yang kikuk saat ditatap Naina seperti itu. Namun sejurus kemudian Naina tertawa kecil. "Ada yang lucu?" tanya Arfaaz lagi. Naina menggeleng pelan. "Tidak ada yang lucu. Tetapi ada yang aneh.""Apa? ""Setiap pasangan suami istri tentu punya tujuan menikah yaitu untuk mendapatkan keturunan Mas. Tapi kamu kok justru menolak pemberian Mama. Namanya juga ikhtiar kan. Siapa tau memang berhasil. Daripada harus program bayi tabung. Habis ratusan juta itu Mas." jelas Naina.Namun entah mengapa raut wajah Arfaaz berbeda. Seolah ia memendam kekesalan. "Aku sudah bilang. Tidak perlu pakai cara seperti ini." "Apa salahnya dicoba sih Mas? Ini juga ada sertifokay MUI dan BPOM juga. Jadi tidak perlu lah kamu khawatir terlalu berlebihan," uar Naina yang terus berusaha agar Arfaaz setuju. "Aku bilang tidak ya tidak," bentak Arfaaz. Naina kaget. Begitu juga dengan Tami. Mereka tak menyangka reaksi Arfaaz akan seperti itu.
"Aku minta ma'af," ucap seseorang di telinga Naina. Wanita yang tengah melakukan perawatan kuku tersebut sejenak menoleh. Tatapannya masih saja ketus melihat siapa yang berucap."Nan, aku minta ma'af," ulang Arfaaz.Naina mendengkus pelan."Iya," jawabnya singkat. "Terimakasih Nan," ucap Arfaaz lalu beranjak pergi meninggalkan Naina.Wanita itu benar-benar meradang dengan sikap dingin sang suami. Ia menatap tajam punggung sang suami yang mulai berjalan menjauh."Hanya seperti itu Mas?" tanya Naina memastikan."Lalu aku harus bagaimana?" tanya Arfaaz masih dengan dingin tanpa berbalik badan menatap sang istri."Apa kamu tak mau juga menuruti saran dari Mama, Mas?"Arfaaz menggeleng pelan."Aku tidak setuju dengan cara itu.""Lalu apa gunanya kamu minta ma'af kalau begitu?" tanya Naina lagi dengan kesal."Aku minta ma'af bukan karena aku lantas menuruti permintaanmu Nan. Aku meminta ma'af atas sikapku. Atas bentakanku," jawab Arfaaz.Naina geram. Namun sebisa mungkin ia berusaha mengon
Arindi hanya menghela nafas pelan. Menatap trenyuh ke arah suaminya. "Naina tidak sepenuhnya bersalah Mas."Arfaaz yang tengah gusar, langsung berganti menatap Rindi dengan sorot tajam."Ya semua wanita pasti akan melakukan segala hal, segala cara agar lekas diberi momongan bukan? Apa bedanya Naina dengan aku yang dulu? Sama bukan?"Arfaaz menggeleng dengan cepat."Aku.. Aku tak sanggup. Bahkan mungkin aku tak bisa mengatakan kenyataanya Rind. Terlebih jika Mama yang mengetahui. Aku tak mau merusak kebahagiaan beliau begitu saja. Tidak. Namun di sisi lain, aku pun tidak mampu mengatakan hal sejujurnya kepada Naina, Rind. Kamu tau sendiri bagaimana kedekatannya dengan Mama bukan?" keluh Arfaaz."Ya aku tau itu. Tetapi sampai kapan? Naina dan Mama juga pasti terus berharap bukan?"Arfaaz tertunduk."Entahlah Rind. Akupun belum kuat untuk menyampaikan kebenaran itu."Arindi menghela nafas pelan."Semua keputusan ada di kamu, Mas. Tetapi aku harap apapun tindakan yang akan kamu ambil tida
"Kamu tidak bercanda kan Rind?" tanya Arfaaz di tengah paniknya juga.Namun di ujung sana, Arindi justru menangis tersedu."Rind," panggil Arfaaz lagi."Untuk apa aku bercanda Mas? Hal seperti ini tidak pantas untuk menjadi bahan candaan. Tolonglah Mas. Aku serius," rintih Arindi di seberang sana.Nafas Arfaaz naik turun. Jantungnya berdebar kencang jika menyangkut nama Keenandra."Baiklah. Kamu tenang dulu disitu. Aku akan segera kesitu," ucap Arfaaz.Arindi hanya mengangguk walaupun Arfaaz tidak mampu melihatnya saat itu. Tanpa mengulur waktu, Arfaaz segera berganti pakaian. Ia lari menuruni tangga."Selamat pagi Pak Arfaaz. Ini jadwal meeting kita hari ini dengan...""Undur saja waktunya. Kalau tidak bisa batalkan saja Wan," potong Arfaaz dengan cepat saat sang asisten pribadi menyampaikan sejumlah jadwal hari ini.Ia pun turut tercengang. Tak biasanya Arfaaz seperti ini. Arfaaz dikenal sebagai pengusaha yang profesional. Namun mengapa kali ini, ia berbeda?Apa daya Wawan yang hany