Suasana hatinya sedang tidak baik-baik saja. Faktanya dia tengah berduka, berkabung karena ibunya meninggalkannya. Firasatnya benar, penyakit kronis ibunda tercintanya itu sudah tidak bisa ditolong lagi bahkan oleh tabib istana sekalipun.
Kini dia terduduk mangu di samping makam yang gundukan tanahnya masih basah. Bekas aliran air mata di wajahnya menjadi penanda betapa banyak air mata yang telah ia keluarkan. Dia sendirian. Dia telah mengusir enam dayang untuk menunggunya di kejauhan. Dia sedang tidak ingin di ganggu.
Dia memakai cundik berlukiskan bunga melati pemberian ibunya hari ini. Sebagai pengingat atas cintanya yang tidak terbatas untuk anak perempuan satu-satunya. Ibunya adalah sosok wanita yang tegar dan kuat yang selalu membalas orang-orang yang mencoba mempermalukannya karena sebagai istri sah, dia tidak bisa melahirkan anak laki-laki sebagai penerus.
Sekarang, setelah kepergiannya, dia merasakan kekosongan yang amat sangat. Tidak ada lagi ibunda ya
Kay melambaikan tangannya dengan semangat ketika melihat Rhea menatap sekeliling mencari mereka."Bagaimana bunganya?" Tanyanya langsung setelah Rhea menarik kursi terakhir yang tersedia di meja mereka."Berjalan bagus." Ucap Rhea.Dia tersenyum kearah dua sosok lain di kiri kanan meja. Nino dengan adik perempuannya, Camila."Kami kesini setelah Nino menghadiri pembukaan toko brand sponsornya di lantai dua." Terang Kay. "Ah, aku telah memesankan minumanmu."Rhea mengerang ketika pelayan membawa jus jeruk kearahnya. Itu membuat Kay dan Nino tertawa melihat reaksinya yang sesuai dugaan. Camila disisi lain masih menjaga citra dirinya didepan aktris papan atas yang biasa dia lihat di film-film yang ia tonton. Dia awalnya mengira Rhea akan menjadi orang pendiam dan menakutkan, tetapi melihat dia tertawa dan bercanda dengan suadaranya, citranya yang menakutkan di kepalanya langsung menghilang."Aku sudah berekspektasi kau akan memesankanku b
"Kenapa kamu seperti ini?"Rhea memutar tubuhnya dan mendapati wajahnya berhadapan dengan dada bidang Hansa karena jarak tubuh mereka yang begitu dekat.Karena perbedaan tinggi dua puluh sentimeter, Rhea harus mendongak agar bisa menatap wajah suaminya. Rhea ingin melangkah mundur untuk memperlebar jarak, tetapi tubuh belakangnya telah menekan pinggiran marmer dingin."Bisakah kau membuatkanku segelas susu?" Tanya Hansa. Sadar bahwa Rhea tampak tidak nyaman, dia memutuskan untuk mundur selangkah."O-oke." Jawab Rhea, bingung dengan pertanyaan tidak terduga.Dia segera mengambil gelas lain di rak dan bekerja membuat dua gelas susu hangat untuk dia sendiri dan Hansa. Dia melirik kearah laki-laki itu yang sekarang tengah berdiri di belakangnya, tengah mengawasi dirinya. Diamati seperti itu, membuatnya sedikit gugup. Rhea juga melihat bahwa suaminya itu telah memakai setelan piyama tidur.Rhea mengambil nampan hitam dari laci bawah lalu meletakk
Seluruh orang di ruangan terkesiap melihat kejadian yang terjadi. Rhea masih terduduk di kursinya, mata coklat madunya menatap dadanya yang kini tercetak noda hitam kecoklatan yang menjijikkan. Dia juga merasakan panas di kulitnya."Maaf, aku tidak sengaja. Maafkan aku."Rhea menghiraukannya. Dia masih terpaku dan mencoba untuk mendinginkan emosinya agar tidak melakukan hal-hal yang dia akan sesali nanti, marah-marah misalnya. Dia tidak ingin tampil di headline berita lagi dalam citra negatif."Rhea kau tidak apa-apa?"Kay langsung secepat kilat mendatangi Rhea dan bersimpuh didepannya. "Tisu, mana tisu?" Ia bertanya dalam keadaan panik dan menoleh ke sekeliling untuk meminta yang lainnya membantunya mencari benda itu."Ini."Tak diduga, Malik lah yang langsung bertindak mencari sekotak tisu dan menyerahkannya. Kay menatapnya terkejut tetapi sedetik kemudian mereka langsung bekerja sama mencoba membersihkan tumpahan kopi di baju
"Tentu saja itu urusanku, suamiku."Selepas kalimat itu diucapkan, Hansa langsung berdiri dan berjalan keluar dari kungkungan mejanya untuk berhadapan langsung dengan wanita tersebut yang kini tersenyum penuh kemenangan."Sudah mengingat istrimu ini?" Tambahnya. Wanita itu menutup jarak diantara mereka. Tangannya bergerak menjalari dada Hansa dan menyentuhnya. Senyum tak pernah lepas dari bibir mungilnya.Hansa menoleh sejenak kearah pintu untuk memastikan bahwa hanya ada mereka berdua, setelahnya dia bergerak mencengkram bahu wanita didepannya."Aggh!" Tangan Hansa bergerak cepat untuk mencekik leher perempuan ini. Tidak ada eskpresi selain kekejaman murni yang tertera diwajahnya. Ekspresi yang jelas tidak pernah ia tampilkan didepan Rhea.Wanita itu tersedak dan tangannya memukul-mukul pergelangan tangan Hansa untuk membebaskan diri. Itu semakin membuat Hansa mengetatkan cengkraman lehernya. Menekan wanita itu hingga punggungn
"Kenapa dengan bajumu?"Rhea berhenti melangkah ketika mendengar suara serak dan dalam yang telah dia kenal dari belakang.Dia menoleh dan mendapati Hansa telah berganti memakai kaos abu-abu yang berhasil mencetak tubuh atletisnya dan celana boxer selutut berwarna gelap.Rhea menyengir mendapati dia tertangkap basah karena dia sebetulnya ingin untuk tidak membiarkannya melihat keadaannya."Ketumpahan kopi panas." Ia menjawab.Hansa mendekat untuk melihat keadaannya dengan lebih baik. Dia memegangi kain yang ternoda dan mengusapnya."Buka pakaianmu." Suruhnya."A-apa?" Rhea langsung tergagap dan memerah. Dia tidak salah dengar kan?Hansa memegangi tangannya, membawanya menuju ke ruang santai yang letaknya terpencil dan tidak pernah Rhea datangi. Dia mendudukkan Rhea yang masih linglung berkat perkataan Hansa yang menyuruhnya membuka pakaian.Hansa membuka lemarin penyimpanan dan mengambil kit yang berisi kumpulan botol sa
"Bisakah kamu melakukannya Ambari?"Dia membelakangi dayang kepercayaannya itu. Tangannya saling bertaut di belakang punggungnya. Ia menatap ke luar dengan tekad penuh di matanya. Ada banyak luka, kekecewaan, kemarahan, dan keinginannya untuk bertahan."S-saya..."Wanita yang membungkuk hormat dibelakangnya tergagap dalam menjawab. Ia menoleh kesana kemari dengan panik."Cut!"Rhea melemaskan bahunya setelah kata itu diucapkan. Dia memberikan pandangan jengkel kearah lawan mainnya yang sekarang tengah melakukan re-make up oleh kru.Toni menggerakkan-gerakkan kakinya dengan ritme cepat dalam duduknya. Menahan berang karena adegan yang menurutnya mudah ini ternyata telah menghabiskan waktu begitu lama karena aktris pendatang baru itu ternyata gagal mengucapkan line dialognya.Dia menatap Rhea yang masih mempertahankan kesabarannya dan mengulangi adegan dengan kualitas yang bahkan lebih baik setiap kali retake ulang."Ulangi
"Aku bisa membuat novel dengan itu." Pungkas Rhea.Mereka tengah dalam perjalanan pulang ke rumah Rhea dan aktris itu memutuskan untuk menjadikan asistennya sebagai tempat bercerita mengenai mimpinya. Rhea benar-benar merasa ada yang salah dalam mimpi itu. Satu, mimpi itu terus berlanjut. Dua, dia terikat dengan tokoh Sekar dimimpinya. Tiga, dia tidak bisa menghilangkan perasaan anehnya sehabis terjaga dari mimpinya. Dia butuh tempat curhat dan pilihan teraman adalah curhat dengan Kay. Dia sendiri tahu bahwa ucapannya terdengar gila dan tidak masuk akal sehingga dia tidak ingin berita itu bocor. Hal terakhir yang ia inginkan adalah berita bahwa dia gila."Buatlah. Aku pasti akan membelinya." Balas Kay.Dia geleng-geleng kepala dengan penjelasan Rhea. Wajahnya menampilkan ekspresi prihatin dan dia sebenarnya masih memikirkan tentang reinkarnasi. Dia mencoba untuk mengangkat topik itu kembali."Bagaimana dengan reinkarnasi?" Pancingnya.Rhea me
Tidak ada yang lebih dibenci Hansa selain dari orang-orang yang membenci Rhea. Siapapun yang berani berbicara buruk tentang dia, Hansa akan selalu mengingatnya dan memberinya balasan yang setimpal. Aktris itu, Shelli, dia telah memberi perintah kepada seluruh anak perusahaannya untuk memutuskan kontrak dengannya jika punya, dan selamanya dibanned oleh Prisma. Itu berarti, setelah Hansa berhasil mengakuisisi WinaHouse yang merupakan rumah produksi film yang menguasai hampir setengah pasar perfilman, Shelli tidak akan pernah bisa mencapai puncak karirnya, dan mungkin bisa membuatnya terdepak dari dunia hiburan. Kejam? Hansa memang tidak pernah mengakui kalau dia orang baik.Jadi bayangkan betapa marahnya dia mendengar bibinya sendiri memarahi istrinya dan mengatainya vas kosong."Memastikan apa Tante?" Tanyanya.Dia berjalan ke tempat kejadian. Dia menatap Karna dan perempuan asing sekilas lalu mengacuhkannya. Dia menatap tantenya, lalu ke arah lantai dimana pecah
Rhea menatap dirinya di cermin. Jelas dia sedang tidak dalam keadaan baik. Rambutnya kusut karena ia sendiri lupa kapan menyisir rambut. Pelupuk matanya sedikit bengkak karena habis menangis satu malam. Rhea tidak menyukai tampilannya.Dia melewatkan sarapan bersama pagi ini karena ingin menghindari ibunya. Dia juga akan keluar rumah hari ini, pergi ke tempat baru yang akan ia tuju mengikuti seberapa jauh dia bisa mengendarai mobilnya. Sendirian, tanpa memberitahu Kay atau siapapun. Dia ingin menghilang sejenak, menenangkan diri, dan berpikir mengenai masa depannya yang baru.Dia memakai jaket dengan kaos putih dibaliknya dan ripped jeans yang ia beli beberapa tahun yang lalu yang untungnya masih muat. Dia memakai pakaian yang seadanya yang masih tertinggal di lemarinya.Ketika dia keluar, dia berpapasan dengan Eda.Adiknya bertanya, "Mau kemana?""Pergi." Balasnya singkat.Eda menatapnya selama beberapa detik sebelum mengangguk, lalu pergi.
Dua hari setelah dia bangun dari koma dan dinyatakan sehat, dia akhirnya bisa meninggalkan rumah sakit. Rhea senang dengan hal itu karena dia tidak menyukai berlama-lama tinggal di ruangan dengan alat-alat kesehatan dan bau obat yang menguar di setiap dindingnya.Berbeda dengan sikap penuh bunga yang ditampilkan Rhea. Christina menampilkan aura sebaliknya. Bukan karena dia tidak suka anaknya sembuh, Christina bahkan hampir gila ketika menunggui Rhea agar terbangun dari komanya yang berjalan selama sepuluh hari. Hanya saja, dia sebal dan ingin mulutnya gatal untuk memarahi anak sulungnya itu yang sekarang duduk di kursi belakang mobil suaminya dengan Edward disampingnya.Rhea tidak seharusnya pulang kerumahnya. Dia harusnya pulang bersama Hansa, bukan bersama mereka.Christina sebagai ibu sudah menyadari hubungan Rhea dengan suaminya sedang kisruh alias tidak sedang baik-baik saja. Itu membuatnya bingung, dia hanya tidak mengerti jalan pikiran anaknya yang sepert
Hansa seketika mematung. Dia sangat terkejut dengan perkataan Rhea yang tiba-tiba mengungkit soal perceraian. Tangannya berhenti bergerak dan dia menatap Rhea yang sekarang tengah memalingkan muka dan menolak menatapnya.Kedua mertuanya yang berdiri disampingnya juga sangat terkejut atas perkataan Rhea. Bagaimana tidak? Kalimat pertama yang diucapkan Rhea selepas terbangun dari komanya adalah meminta perceraian didepan suaminya yang merawatnya dengan baik ketika dia tenggelam dalam koma."Rhea, apa kau sadar apa yang kau katakan?" Christina bertanya dengan penuh kehati-hatian. Dia melirik menantunya yang wajahnya langsung berubah drastis dari kebahagiaan menjadi penuh tanda tanya.Rhea menolak untuk melihat mereka. Matanya menunduk dan lebih memilih melihat selang infus yang menyalurkan nutrisi ke tubuhnya."Kalian keluar saja. Aku ingin sendirian bersama Hansa." Ucapnya enggan.Christina ingin mendebat namun tangan Theodorus yang menyentuh bahunya
Rhea terduduk saking tidak bisa berdirinya dia setelah mengetahui akhir kisah dari Sekar yang ada dalam mimpinya. Itu bukan kisah yang akan dia harapkan. Rhea tidak pernah menebak Sekar akan berakhir mati di tangan Arya, juga tidak pernah menebak kehidupan pernikahan Sekar akan lebih sering terselimuti duri dibanding bahagia.Tanpa sadar air mata telah mengalir dari kedua matanya yang ia tujukan kepada Sekar yang masih duduk didepannya."Sekarang kamu telah tahu ceritaku." Sekar menatap Rhea dengan pandangan yang tak terbaca.Itu membuat Rhea semakin tidak mengerti kenapa dia harus memiliki pengalaman seperti ini. Dia sendiri tidak tahu dia masih hidup atau mati, dan sekarang dia sedang berhadapan dengan tokoh di mimpinya. Rasa-rasanya Rhea sudah tahu seperti apa keterkaitan antara mereka berdua tetapi dia mencoba untuk tidak berpikir kearah itu."Jatuh cinta membuat kita bodoh bukan?" Tanya Sekar, melanjutkan kisahnya dengan
Tepat hari minggu pertama sejak istana berduka atas kematian permaisuri, alun-alun kota ramai dengan berbagai kalangan yang kesemuanya punya satu tujuan. Melihat perang tanding antara rajanya dengan patihnya hingga salah satu diantara mereka mati.Mereka semua sudah tahu mengenai berita cinta segitiga diantara raja ratu dan patihnya. Rakyat biasa mengira itu hanyalah rumor yang dibuat untuk mencoreng nama permaisuri. Namun sekarang melihat dua pria itu bertanding yang kabarnya berhubungan dengan kematian Sekar membuat mereka tertarik mendengar gosip lebih dalam lagi.Pertandingan masih akan dimulai di sore hari namun saat siang alun-alun sudah padat dengan orang. Para pejabat kerajaan sudah berdiri di poskonya masing-masing. Terbagi menjadi dua kubu. Kubu pendukung Ayudhipa dan kubu pendukung Arya yang rata-rata dari prajurit bekas perang terakhir.Ketika matahari mulai tergelincir dari puncaknya, rombongan Aryalah yang pertama kali muncul. Dia
Arya langsung melepaskan gagang pedangnya. Seluruh tubuhnya gemetar ketika menyadari apa yang baru saja ia lakukan."Tidak," bisiknya.Dia terduduk lemas ditanah. Matanya menatap siapa yang ia hunus dengan pandangan tidak percaya.Ini semua tidak ada dalam rencananya.Ayudhipa lah yang ingin dia bunuh. Bukan perempuan yang dicintainya yang sekarang tengah berbaring di tanah didepannya dengan darah bersimbah di perutnya."Sekar!" Teriak Ayudhipa.Pria itu menatap pedang yang menancap di perut Sekar dengan ketakutan. Dia segera bersimpuh dan memangkunya."Rwanda!" Teriaknya. Memanggil bawahannya yang izin buang air kecil.Senopati muda itu datang tergopoh-gopoh mendengar teriakan rajanya. Matanya melihat kejadian didepannya dan keterkejutan serta ketakutan terlihat di matanya."Panggil tabib! Cepat!" Perintah Ayudhipa. Suaranya bergetar karena menahan tangis. Matanya telah berkac
Laksita memberitahunya kabar. Kabar yang membuat dia langsung menebaskan pedangnya ke kumpulan bambu didepannya saking inginnya untuk membunuh seseorang. Tidak peduli dia tengah dilihat oleh pasukannya dibelakangnya.Mereka telah memenangkan pertarungan berdarah selama lima bulan sejak dia diutus memimpin wilayah barat. Arya telah mengerahkan seluruh kemampuan mengatur strateginya untuk menaklukkan pasukan koalisi tiga kadipaten paling barat yang ternyata lebih tangguh dari prediksinya. Lalu apa yang dia dapatkan? Hukuman mati dari raja menantinya di ibukota dengan tuduhan perselingkuhan yang tidak pernah dia lakukan bersama Sekar."Tenang Arya, kami disini berada disisimu." Ucap salah satu senopatinya yang segera diangguki yang lain.Namun itu tak menyurutkan kemarahan Arya yang ditujukan kepada rajanya."Bagaimana keadaan permaisuri?" Tanyanya kepada Laksita yang memang tidak ikut dengannya ke perang terakhir.
Sekar jelas-jelas sangat terkejut dan tersinggung dengan tuduhan yang Ayushita arahkan kepadanya. Bagaimana tidak? Dia tidak peduli dan sama sekali tidak ikut campur dengan kehamilan Ayushita sejak awal. Jika bukan karena adat pun dia tak akan mengunjungi selir itu. Kemarin pun dia datang hanya untuk kunjungan singkat. Kegilaan apa yang tengah Ayushita miliki hingga berani menuduhnya seperti itu?"Jaga ucapanmu selir Ayushita. Kau tahu sendiri aku tidak pernah berhubungan denganmu selain kemarin, itupun kau tahu sendiri aku melakukan apa di rumahmu." Balasnya dengan penuh penekanan.Tuduhan semacam ini hanya akan memunculkan rumor yang semakin menyudutkannya."Sebelum kedatanganmu, bayiku sehat-sehat saja. Tapi gara-gara kamu, aku harus kehilangan anakku!" Balas Ayushita histeris. Dia masih menangis terisak dengan tangan memegangi perutnya. Disampingnya seorang dayangnya tengah mencoba menenangkannya."Yang Mulia, kamu harus bersik
Bulan-bulan berlalu seperti lintasan sekejap mata. Kediaman Sekar masih tertutup dan tampak terlihat dingin dibanding rumah-rumah lainnya. Dia lebih suka tinggal di pendopo belakang rumahnya sambil menyesap teh dan melihat senja berakhir.Hubungannya dengan Ayudhipa masih renggang, sesekali dia menerima pria itu datang dan bermalam di rumahnya tapi hubungan mereka tidak sebagus sebelum mereka menikah.Hari ini dia akan menemui salah satu selir. Kehamilan selir Ayushita telah berusia lima bulan dan sesuai adat istiadat, sang permaisuri harus mengunjunginya dan memberi berkat ke bayi itu. Karena sesuai legalitas, setiap anak yang dilahirkan selir akan menjadi milik permaisuri dan anak itu akan memanggil permaisuri dengan sebutan 'ibunda'.Sekar memakai pakaian resminya yang berwarna merah. Dia naik tandu untuk pergi ke kediaman selir yang dituju dengan sepuluh dayang dan kasimnya yang mengikuti dari belakang."Salam Kanjeng Ratu." Serempak