Gita terkejut saat mendengar permintaan mamah Yoga. Ia tidak berniat untuk serius sehingga Gita tidak ingin jika sampai Mama Yoga menghubungi orang tuanya.
Gita menoleh ke arah Yoga, berharap Yoga akan membantunya. Yoga yang paham pun bicara pada mamanya.
“Lebih baik jangan dulu. Nanti kita langsung kenalan sama orang tua Gita aja. Soalnya aku juga kan belum sempet ketemuan sama mereka. Khawatir mereka kaget Kalau Mamah tiba-tiba telepon. Bagaimanapun lebih baik Gita dulu yang menyampaikan hal ini kepada orang tuanya,” jelas Yoga.
Gita sedikit lega karena Yoga mampu mengalihkan permintaan mamanya.
“Oke, kalau begitu berarti kapan kita bisa ketemuan sama orang tua Gita?” tanya mamah Yoga.
Gita semakin tercekat. Ia tak menyangka ternyata mama Yoga justru ingin menemui orang tuanya.&nb
“Pi, kenapa ini?” tanya Ayas.Tira pun terkejut karena guncangannya cukup kencang. Bahkan ada peringatan untuk memasang sabuk pengaman.Tira langsung berdiri dan membiarkan Ayas duduk di kursinya. Ia tidak ingin Ayas terjatuh. Sehingga dirinya mengalah untuk pindah. Sebelum pindah tempat duduk, Tira memasangkan seatbelt lebih dulu untuk Ayas.“Kamu jangan khawatir, ya! Pilotku sudah memiliki jam terbang yang tinggi. Aku yakin dia pasti bisa mengurus masalah ini,” ucap Tira, berusaha menenangkan Ayas. Setelah itu ia mengecup kening istrinya.Kemudian, Tira pun duduk di sebelah Ayas. Ia tidak ingin duduk berhadapan karena Ayas pasti takut jika duduk sendirian.“Pi, aku takut,” lirih Ayas sambil mencengkeram erat tangan Tira.Sebenarnya Tira pun panik. Namun ia tidak ingin menunjukkan kepanikannya di hadapan Ayas. Tira tidak i
“Aaaa!”Ayas langsung memekik saat mendengar suara petir menyambar. Jantungnya berdebar cepat dan ia langsung lemas.“Pi, kita bisa selamat, kan?” lirihnya. Bahkan suaranya sudah terdengar pelan.“Iya, Sayang. Kamu pegangan, ya!” pinta Tira. Tak lama kemudian masker oksigen keluar secara tiba-tiba dari arah atas kepala mereka. Lalu mereka pun menggunakannya.Setelah itu, benar dugaan Tira. Pesawat itu menukik hingga Ayas semakin mencengkeram erat tangan Tira dan memejamkan matanya.Saat itu mereka sudah pasrah. Rasanya jantung mereka hampir berhenti berdetak. Saat ini kondisi yang mereka alami adalah antara hidup dan mati.“Heump!”Mereka merasa seperti terjatuh dari ketinggian saat pesawat tiba-tiba berhenti menukik dan mulai terbang dengan stabil.“Huh … h
Tira menyeringai setelah mendengar ucapan Ayas barusan. “Itu tidak berlaku bagi kamu,” ucapnya, singkat.“Dasar curang!” Ayas sebal. Namun ia sudah tidak ingin berdebat. Sehingga Ayas tidak melanjutkan ucapannya lagi.Beberapa saat kemudian, mereka sudah dipanggil untuk segera melakukan boarding. Sebab, pesawat mereka sudah siap untuk terbang.Tira yang tidak biasa naik pesawat komersil itu risih karena harus melalui banyak tahapan untuk bisa masuk ke dalam pesawat. Seperti check in dan menunjukkan boarding pass pada pramugari yang ada di depan pintu pesawat itu.“Menyebalkan,” keluh Tira. Ia kesal karena harus berpapasan dengan orang lain. Tira bahkan langsung mengusap lengannya yang tak sengaja bersentuhan dengan lengan orang itu.“Kenapa, Pi?” tanya Ayas.“Aku tidak suka disentuh orang lain,” jawa
Melihat istrinya sudah seperti itu, Tira pun tak tega. Akhirnya ia segera melakukan penyatuan karena dirinya pun memang sudah tidak tahan.Ayas langsung memejamkan mata sambil mendongak kala merasakan hujaman senjata Tira kembali setelah terakhir kali di rumahnya waktu itu.Tira menggelengkan kepala kala seluruh senjatanya melesak masuk ke tubuh Ayas hingga ke ujung pangkalnya.“Bagaimana aku tidak selalu menginginkanmu. Ini sangat nikmat, Sayang,” ucap Tira dengan suara gemetar.Ayas yang berada di bawah kungkungan Tira itu hanya bisa mengangguk pasrah. Sebab, ia sedang merasakan kenikmatan yang selalu ia rindukan itu.Saat Tira menggerakkan pinggulnya perlahan. Ayas pun langsung mendesah.“Aaaahhh ….” Kepalanya mendongak, seolah apa yang ia rasakan ini sangat luar biasa.Tira menatap wajah istrinya yang se
Pagi ini Tira sedang menikmati secangkir kopi panas di balkon kamar mereka sambil menimati pemandangan laut yang indah.Ia pun membaca laporan email masuk di tabletnya, membiarkan istrinya yang semalam kelelahan itu masih terlelap.Sementara itu, Ayas merasakan kehangatan sinar mentari membelai wajahnya. Ia mengerejapkan mata dan melihat ke sampingnya.“Lho, Papi ke mana?” gumam Ayas.Terdengar suara deburan ombak di luar. Pintu kamar menuju bakon pun terbuka, sehingga Ayas dapat melihat kaki suaminya yang terulur di atas kursi bulat sepertu sofa bed terbuat dari rotan yang ada di balkon.Ayas pun mengambil kimono berwarna putih yang ada di sofa kamar tersebut, kemudian memakainya. Lalu ia berjalan menghampiri Tira yang ada di balkon.Melihat ada bayangan Ayas, Tira pun menoleh. Lalu ia tersenyum dan menyapanya. “Morning, Sayang,” sapa
Sore ini Tira dan Ayas sedang berjalan di tepi pantai sambil menikmati pemandangan matahari terbenam yang begitu indah.“Pi, aku mau tanya sesuatu, dong,” ucap Ayas.Tira yang sedang berjalan di samping Ayas sambil menggandeng tangannya itu menoleh ke arah Ayas. “Apa, Sayang?” tanyanya.“Kalau kamu gak keberatan, aku pingin tahu cerita yang menyebabkan kamu sampai salah menculik aku,” ucap Ayas sambil menatap suaminya itu.Tira pun menghentikan langkahnya. “Kan aku sudah pernah cerita, Sayang,” jawab Tira.“Tapi kan gak jelas. Aku masih belum terlalu paham. Lagi pula waktu kamu menjelaskan itu aku sedang kesal, jadi tidak menyimaknya,” jelas Ayas.Tira tersenyum. “Hehehe, baiklah aku akan menceritakannya. Sini!” Tira menarik Ayas dan memeluknya dari belakang. Kemudian ia menceritakan masa
Tira dan Ayas baru saja mendarat di Jakarta. Mereka harus segera menyudahi bulan madunya karena ada masalah penting di kantor pusat Tira.Tiba di bandara, Tira dan Ayas masuk ke mobil mewah yang menjemput mereka. Kemudian mobil itu membawa mereka menuju kantor.“Pi, aku tunggu di apartemen Gita, ya?” tanya Ayas.“Kenapa gak ikut ke kantor aja, Sayang?” Tira balik bertanya.“Apa kata orang nanti kalau mereka melihat kita bersama?” tanya Ayas lagi.“Anggap saja kita klien. Kan mereka sudah biasa melihat aku berjalan dengan klien wanita,” jawab Tira, santai.Ayas langsung terdiam sambil menatap Tira, kaku.Tira menyadari ada yang salah dengan ucapannya. “Hei! Jangan salah paham dulu. Meski begitu, aku tidak pernah berjalan berdua. Selalu ada Panji di dekatku. Iya kan, Ji?” tanya Tir
Saat Tira memasuki ruangan meeting, para direksi saling menoleh. Mereka heran karena melihat bibir Tira merah. Namun merahnya tidak merata.“Selamat siang,” sapa Tira dengan tampang dinginnya. Namun lipstick warna merah itu seolah menjatuhkan wibawa Tira yang tegas tersebut.Mereka semua pun berdiri dan memberi hormat pada Tira. “Siang, Tuan Tira,” sapa mereka.“Silakan duduk!” sahut Tira. Ia pun duduk.“Astaga! Kenapa bisa begitu?” gumam Panji, pelan. Ia tidak habis pikir bosnya itu sangat ceroboh sampai meninggalkan jejak lipstick di bibirnya sendiri.Panji memutar otak agar bisa memberi tahu Tira tentang lipstick tersebut. Ia tidak ingin wibawa bosnya itu jatuh hanya karena noda di bibir.‘Ya Tuhan. Apa otaknya tidak berfungsi jika sedang berhadapan dengan Nyonya?’ batin Panji, gemas. Ia kesal kar