Melihat istrinya sudah seperti itu, Tira pun tak tega. Akhirnya ia segera melakukan penyatuan karena dirinya pun memang sudah tidak tahan.
Ayas langsung memejamkan mata sambil mendongak kala merasakan hujaman senjata Tira kembali setelah terakhir kali di rumahnya waktu itu.
Tira menggelengkan kepala kala seluruh senjatanya melesak masuk ke tubuh Ayas hingga ke ujung pangkalnya.
“Bagaimana aku tidak selalu menginginkanmu. Ini sangat nikmat, Sayang,” ucap Tira dengan suara gemetar.
Ayas yang berada di bawah kungkungan Tira itu hanya bisa mengangguk pasrah. Sebab, ia sedang merasakan kenikmatan yang selalu ia rindukan itu.
Saat Tira menggerakkan pinggulnya perlahan. Ayas pun langsung mendesah.
“Aaaahhh ….” Kepalanya mendongak, seolah apa yang ia rasakan ini sangat luar biasa.
Tira menatap wajah istrinya yang se
Pagi ini Tira sedang menikmati secangkir kopi panas di balkon kamar mereka sambil menimati pemandangan laut yang indah.Ia pun membaca laporan email masuk di tabletnya, membiarkan istrinya yang semalam kelelahan itu masih terlelap.Sementara itu, Ayas merasakan kehangatan sinar mentari membelai wajahnya. Ia mengerejapkan mata dan melihat ke sampingnya.“Lho, Papi ke mana?” gumam Ayas.Terdengar suara deburan ombak di luar. Pintu kamar menuju bakon pun terbuka, sehingga Ayas dapat melihat kaki suaminya yang terulur di atas kursi bulat sepertu sofa bed terbuat dari rotan yang ada di balkon.Ayas pun mengambil kimono berwarna putih yang ada di sofa kamar tersebut, kemudian memakainya. Lalu ia berjalan menghampiri Tira yang ada di balkon.Melihat ada bayangan Ayas, Tira pun menoleh. Lalu ia tersenyum dan menyapanya. “Morning, Sayang,” sapa
Sore ini Tira dan Ayas sedang berjalan di tepi pantai sambil menikmati pemandangan matahari terbenam yang begitu indah.“Pi, aku mau tanya sesuatu, dong,” ucap Ayas.Tira yang sedang berjalan di samping Ayas sambil menggandeng tangannya itu menoleh ke arah Ayas. “Apa, Sayang?” tanyanya.“Kalau kamu gak keberatan, aku pingin tahu cerita yang menyebabkan kamu sampai salah menculik aku,” ucap Ayas sambil menatap suaminya itu.Tira pun menghentikan langkahnya. “Kan aku sudah pernah cerita, Sayang,” jawab Tira.“Tapi kan gak jelas. Aku masih belum terlalu paham. Lagi pula waktu kamu menjelaskan itu aku sedang kesal, jadi tidak menyimaknya,” jelas Ayas.Tira tersenyum. “Hehehe, baiklah aku akan menceritakannya. Sini!” Tira menarik Ayas dan memeluknya dari belakang. Kemudian ia menceritakan masa
Tira dan Ayas baru saja mendarat di Jakarta. Mereka harus segera menyudahi bulan madunya karena ada masalah penting di kantor pusat Tira.Tiba di bandara, Tira dan Ayas masuk ke mobil mewah yang menjemput mereka. Kemudian mobil itu membawa mereka menuju kantor.“Pi, aku tunggu di apartemen Gita, ya?” tanya Ayas.“Kenapa gak ikut ke kantor aja, Sayang?” Tira balik bertanya.“Apa kata orang nanti kalau mereka melihat kita bersama?” tanya Ayas lagi.“Anggap saja kita klien. Kan mereka sudah biasa melihat aku berjalan dengan klien wanita,” jawab Tira, santai.Ayas langsung terdiam sambil menatap Tira, kaku.Tira menyadari ada yang salah dengan ucapannya. “Hei! Jangan salah paham dulu. Meski begitu, aku tidak pernah berjalan berdua. Selalu ada Panji di dekatku. Iya kan, Ji?” tanya Tir
Saat Tira memasuki ruangan meeting, para direksi saling menoleh. Mereka heran karena melihat bibir Tira merah. Namun merahnya tidak merata.“Selamat siang,” sapa Tira dengan tampang dinginnya. Namun lipstick warna merah itu seolah menjatuhkan wibawa Tira yang tegas tersebut.Mereka semua pun berdiri dan memberi hormat pada Tira. “Siang, Tuan Tira,” sapa mereka.“Silakan duduk!” sahut Tira. Ia pun duduk.“Astaga! Kenapa bisa begitu?” gumam Panji, pelan. Ia tidak habis pikir bosnya itu sangat ceroboh sampai meninggalkan jejak lipstick di bibirnya sendiri.Panji memutar otak agar bisa memberi tahu Tira tentang lipstick tersebut. Ia tidak ingin wibawa bosnya itu jatuh hanya karena noda di bibir.‘Ya Tuhan. Apa otaknya tidak berfungsi jika sedang berhadapan dengan Nyonya?’ batin Panji, gemas. Ia kesal kar
Melihat wajah Tira yang sedikit kusut, akhirnya Ayas pun pasrah, ia tidak tega jika membiarkan suaminya pusing menghadapi masalah. Ayas pikir mungkin ini merupakan salah satu cara Tira untuk mengalihkan stressnya.Melihat istrinya pasrah, Tira pun semakin mencumbu bibir Ayas dengan ganas. Ia bahkan melepaskan jasnya dan melempar ke sembarang arah. Kemudian melepaskan kancing kemejanya karena sudah sesak akan hasrat yang menggebu itu.Ayas membantu Tira melepaskan kancing kemeja suaminya itu. Setelah terlepas semua, Tira pun menanggalkan kemejanya tersebut.Kemudian, Tira melepas ikat pinggang yang ada di celananya. Lalu ia duduk bersandar dan menarik Ayas agar duduk di pangkuannya.“Aku sangat butuh kamu saat ini, Sayang,” ucap Tira sambil menatap Ayas. Kemudian tangannya menarik resleting yang ada di punggung istrinya itu. Hingga gaun yang Ayas kenakan pun luruh ke bawah.
Bruk! Tira membopong Ayas ke kamar yang ada di dalam ruangan tersebut, lalu Tira merobohkan dirinya beserta Ayas di atas ranjang yang empuk. “Kamu sudah siap untuk ronde kedua, Sayang?” tanya Tira, sembari menatap mata Ayas. Ayas hanya mengangguk pelan sembari melingkarkan lengannya di leher Tira yang sedang mengukungnya. Sret! “Aaahh!” desah Ayas seraya Tira mendorong pinggulnya menghentak tubuh Ayas. Tira terus memompa tubuhnya hingga Ayas yang sebelumnya sudah mencapai puncak pun dibuat blingsatan oleh Tira, desahan Ayas benar-benar sangat keras hingga membuat nafsu Tira semakin menjadi-jadi. “Pi! Aku—“ Tira tahu betul jika Istrinya saat ini sudah hampir mencapai puncak untuk yang kedua kalinya. “Aaaahhhh!” Dan benar saja tidak lama kemudian tubuh Ayas mengejang hebat serta melengkung ke atas, kepalanya mendongak dan kedua kakinya menahan pinggul Tira dengan sangat kuat. Tira pun dapat merasak
Ady masih ingat betul saat Tira merendahkan dirinya saat itu.Padahal Ady sudah membuang harga dirinya di hadapan Tira, tetapi Tira malah menghina dan mengusir Ady saat Ady meminta belas kasihan Tira.Tap! Tap! Tap!Saat ini Ady berada di sebuah rumah besar yang tampak mewah, Ady berjalan menuju ke salah satu kamar yang ada di rumah tersebut.Ceklek!Saat Ady membuka pintu kamar tersebut, terlihat seorang wanita sedang duduk di sudut ruangan dengan raut wajah yang pucat.Wanita itu terlihat berantakan sembari mengukung kedua kakinya, bibirnya tampak gemetar dan ditambah lagi tatapan mata wanita tersebut tampak kosong.“Sayang!” panggil Ady, sambil berjalan mendekati wanita tersebut secara perlahan.Tap! Tap! Tap!Langkah kaki Ady benar-benar lembut seolah-olah Ady tidak sedang melangkah, secara perlahan ia mendekati wanita tersebut hendak membelai rambut wanita itu.Plak!“PERGI!” Wa
“Pi, tetep aja lho ... rasanya tuh ga enak banget deh, ada apa ya?” Ayas sejak tadi memang merasa gelisah walaupun ia tidak tahu kenapa bisa seperti itu.“Mungkin hanya perasaan kamu saja,” ucap Tira, mencoba menenangkan Ayas yang sedang gelisah.Walaupun saat ini kekhawatiran Ayas memang tidak mendasar dan terkesan tidak mungkin, Namun sebagai seorang Ibu nalurinya sangat kuat dan tidak bisa dianggap remeh.“Kok tiba-tiba aku jadi kangen Vano, ya Pi?” gumam Ayas.“Ya sudah, kamu telepon saja Vano!” sahut Tira.“Ya kali aku telepon Vano kaya gini,” ucap Ayas, agak menyentak.Wajar saja Ayas menolak, karena saat ini Ayas dan Tira masih belum berpakaian.“Oh, iya juga ya. Aku sampe lupa, hehehe!” balas Tira.“Ayo kita mandi dulu, Pi!” ajak Ayas.“Boleh nambah lagi gak?” goda Tira.“Yang tadi masih kurang, Pi?”