Gita yang awalnya terlihat sangat kuat tiba-tiba saja menangis di pelukan seorang pria, pria itu tidak lain adalah Yoga.
Yoga pun terkejut bukan main, “Apa? Kamu diperkosa?” tanyanya.
Huhuhu!
Gita masih saja menangis dipelukan Yoga, karena tidak enak kalau sampai ada yang lihat.
Yoga pun mengajak Gita untuk masuk ke dalam, Yoga menuntun Gita duduk di sofa. “Se-sebentar, aku ambilin minum dulu!” ucap Yoga. Ia pun berjalan menuju ke dapur untuk mengambilkan Gita minum.
Tidak lama kemudian Yoga sudah kembali dengan membawa segelas minuman, “Diminum dulu,” ucap Yoga.
“Makasih,” balas Gita. Ia pun meminum air pemberian Yoga.
Glek! Glek! Glek!
Yoga memperhatikan Gita, ia tidak menyangka kalau nasib Gita akan berakhir seperti Ayas. ‘Kasihan, nasibnya hampir sama kayak Vivi,’ batin Yoga.
Setelah Gita selesai minum, Yoga pun memberanikan diri untuk bertanya pada Gita. &l
Gita bingung harus merespon seperti apa, karena kalau Yoga tahu orang itu adalah Anton.Pasti akan ada banyak sekali pertanyaan yang keluar dari mulut Yoga, “Oh, iya. Mamahku ada di Jakarta, lho!” ucap Yoga.“Apa? Mamah Mas Yoga, ada di Jakarta?” Sontak Gita pun terkejut karena sebelumnya sama sekali tidak ada rencana seperti itu.“Memangnya kenapa?” tanya Yoga.“Ya ... gak kenapa-kenapa, sih. Tapi kok, dadakan banget?” balas Gita, mempertanyakan.“Kita kan, mau nikah bulan depan. Dan acaranya bakal diadain di sini,” jawab Yoga.“Hah? Di sini? Kenapa di sini?” tanya lagi Gita, agak menyentak.Yoga pun menyipitkan matanya, “Kamu kenapa, sih? Kamu gak ada niat buat batalin, kan? Atau ... kamu gak percaya sama kontrak yang udah aku buat?” tanya Yoga.Gita tercekat, “Eh, bukan begitu, Mas! Tapi—“ Belum selesai Gita bicara, Yoga mem
Gita tersenyum tipis melihat ekspresi Yoga, “Mas, jangan gitu. Emang gak mau liat?” ucap Gita, yang saat ini sudah memamerkan pusarnya.Hanya tinggal sedikit lagi Yoga pun bisa melihat dia buah bukit kembar Gita, walaupun masih terbungkus oleh bra tentu saja hal tersebut bisa memancing gairah seorang pria.Dan pakaian yang Gita pakai sekarang pun, sudah bukan tanktop dan celana yang sama saat dirinya menyiksa Anton.“Gita, kamu ini apa-apaan?” tanya Yoga, agak menyentak.Gita pun memicingkan matanya, “Kamu ini gak normal ya, Mas?” balas Gita.“Enak aja! Aku ini normal, kamu jangan sembarang!” bantah Yoga. Ia tidak terima dikatai seperti itu oleh Gita, karena sebagai seorang pria itu benar-benar sebuah penghinaan.Gita menatap Yoga dengan tatapan sinis, “Kalo Mas Yoga normal, masa gak suka liat badan aku? Apa aku ini kurang seksi?” tanya Gita, memancing.Yoga masih terdiam dan
Mata Yoga melotot saat melihat dua buah bukit kembar Gita, terpampang dengan jelas di depan matanya.Walaupun kedua bukit tersebut masih terbungkus oleh sebuah bra berwarna hitam, tetap saja hal tersebut membuat jantung Yoga berdetak sangat cepat seolah ingin meledak.“Gita hanya tersenyum tipis, “ Gimana, Mas? Suka?” tanya Gita, genit.“Suka! Eh ... e-enggak, aku gak suka!” jawab Yoga, langsung membuang muka.‘Serius udah kayak gini dia masih gak bereaksi? Wah, bisa gawat kalo nikah sama yang kayak—‘ batin Gita terhenti. Saat ia merasa ada suatu benda keras yang mengganjal di bagian bawah, Gita dapat merasakan benda keras tersebut dengan jelas karena ia sedang menduduki benda tersebut.“Gita! Kamu jangan gini, dong! Bercanda kamu kelewatan,” protes Yoga.Sontak saat itu Gita langsung bangkit dari atas pangkuan Yoga, dan Yoga pun tidak mengerti kenapa Gita bisa tiba-tiba seperti itu
Yoga panik bukan main saat Gita tiba-tiba saja membuka pintu toilet. “Gita! Kamu apa-apaan, sih?” tanya Yoga, agak berteriak.Gita tampak memalingkan wajahnya sambil sesekali mengintip, “Ma-maaf, Mas! Aku kira kamu kenapa-kenapa,” sahut Gita.Saat ini senjata Yoga yang sempat terekspos tadi sudah kembali dimasukkan ke dalam sarangnya, “Minggir, ah!” ketus Yoga, berjalan keluar dari dalam toilet.Gita tampak senyum-senyum sendiri, ‘Lumayan gede juga ternyata, sayang banget kayak gitu Cuma dipake buat buang air, hihihi!’ batin Gita.Bruk!Yoga pun duduk di atas sofa dengan wajah yang ditekuk, ia benar-benar kesal karena hari ini Gita sudah sangat keterlaluan.Gita lalu menghampiri Yoga dan duduk di sebelah Yoga, “Mas!” panggil Gita. Namun, Yoga tampak membuang muka dan enggan menatap Gita.Gita pun tersenyum licik, “Ya udah, kalo gitu pernikahan kita batal aja, ya?”
Melihat Yoga kebingungan seperti itu membuat Gita mengerutkan alis, “Mas Yoga kenapa?” tanyanya.“Ka-kamu ini bercanda terus, serius dong!” sahut Yoga, agak gugup.Mendengar jawaban Yoga, semakin membuat Gita semakin bingung. “Mas, aku itu orangnya gak suka bercanda. Aku selalu serius, jadi Mas jangan ngadi-ngadi, deh!” balas Gita. Lalu pergi ke dapur hendak mengambil minum.Yoga tercekat, “Lah, dia yang daritadi bercanda terus. Tapi gak mau ngaku,” gumam Yoga. Ia pun menyusul Gita ke dapur.“Git!” panggil Yoga, saat ia sudah sangat dekat dengan Gita.Duk!Gita menoleh ke arah Yoga saat sedang menenggak air dari sebuah botol, sontak saja air tersebut langsung membasahi baju yang Gita pakai.Sontak malah Yoga yang langsung meminta maaf, “Eh, maaf!” ucapnya.“Eh, iya. Gak apa-apa, Mas. Aku yang salah, harusnya gak boleh minum sambil berdiri,” sahu
“Ehhh! Tu-tunggu! Mau ngapain?” tanya Yoga. Ia menahan tubuhnya agar tidak dipaksa masuk ke kamar Gita.“Jadi kamu gak mau, Mas?” Gita balik bertanya.“Bukannya gitu, kita ini belum nikah!” jawab Yoga.“Jadi kalo udah nikah, mau?” tanya lagi Gita.Sontak wajah Yoga berubah menjadi merah padam, “I-itu ... udah, pokoknya aku temenin, tapi aku tidur di sofa aja kayak waktu itu!” ucap Yoga. Ia merasa lebih aman kalau tidur di sofa.“Ya udah, aku temenin!” sahut Gita.Yoga tercekat, “Haahh?”Tanpa sempat melihat respon Yoga dan menunggu persetujuan Yoga, Gita langsung pergi ke kamarnya untuk mengambil bantal, guling, dan selimut.“Ini cewek kenapa, sih? Kok, tiba-tiba jadi agresif gini?” Yoga terlihat kebingungan dengan sikap Gita akhir-akhir ini.“Taaraa! Ini aku udah bawain perlengkapan tidur kita!” ucap Gita, sambil
Ceklek!Seorang pria yang tampak gagah keluar dari dalam mobil, pria itu memang tidak lain adalah Tira.Tira yang menyadari kalau di depannya ada Yoga langsung menyipitkan matanya, “Wah, ada Pak Yoga. Ada apa gerangan Pak Yoga datang ke mari, bukan untuk—“ ucap Tira terhenti seolah ingin menyindir Yoga kalau ia datang bukan karena ingin bertemu dengan Ayas.“Tuan, sebenarnya Mas Yoga datang ke sini itu untuk ...,” ucap Gita, ragu.“Oh, mari masuk!” Tira memang orang yang pengertian, ia langsung mengajak Gita dan Yoga masuk.Bahkan para pegawai lain pun tidak menyangka kalau Gita ternyata cukup dekat dengan Tira, dan mereka bertanya-tanya siapa Yoga.“Eh, sejak kapan dia dekat dengan Tuan Tira?”“Wah, aku juga gak tau.”“Tapi dia itu kan, memang pegawai senior di sini. Jadi aku rasa wajar.”“Apa iya? Aku rasa gak gitu.”&ldquo
“Kenapa? Kok kamu kayaknya kaget gitu?” tanya Tira.“E-enggak, Pi. Bukan gitu, cuman aneh aja. Seriusan itu Gita mau nikah sama Mas Yoga?” jawab Ayas, menjelaskan.“Udah, kamu jangan mikirin si Yoga itu!” ketus Tira.“Dih, Papi cemburu ya?” goda Ayas.“Enak aja, masa cemburu sama yang kayak gitu. No way!” balas Tira. Ia tidak mau mengakuinya.“Halah, yang bener?” tanya Ayas, sambil menggoda.“Iya, bener!” jawab Tira.“Ya udah, aku mau telepon Mas Yoga, ah!” ucap Ayas.Seketika mata Tira pun melotot, “Laras! Awas ya, kalau kamu berani nelepon dia!” larang Tira, agak menyentak.“Lho, emang kenapa, Pi? Papi gak cemburu, kan? Jadi gak masalah dong?” ucap Ayas.“Bu-bukan gitu,” balas Tira. Ia bingung harus berkata apa pada Ayas.“Jadi aku boleh, telepon Mas Yoga?” tanya
Saat ini Atas sedang di rumah dan ditemani oleh Gita.“Gimana ya, kok belum ada kabar?” gumam Ayas, khawatir.Ayas ingin menghubungi Tira tapi ia khawatir akan menggangu, sedangkan Tira sengaja tidak menghubungi Ayas karena ingin memberi dia kejutan.“Sabar, Yas. Mungkin mereka sedang dalam perjalanan pulang,” ucap Gita. Ia berusaha menenangkan Ayas.“Semoga aja bener begitu.”Ayas senang di saat seperti ini ada Gita yang menemani, awalnya Yoga juga ada di sana. Tapi ia harus pergi karena ada urusan lain.“Oh, iya. Kamu jadi nikah dengan Mas Yoga?” tanya Ayas, pada Gita. Ia berpikir lebih baik mengobrol dengan Gita daripada terus seperti tadi.“Katanya sih, jadi!” jawab Gita.Ayas mengerutkan kening, “Lho, kok gitu?” tanyanya.“Ya emang begitu, hehehe!” sahut Gita, cengengesan.Ayas berpikir Gita itu seperti tidak niat menikah dengan Yoga, “Kalau kamu gak suka mendingan gak usah, Git!” ucapnya.“Enak aja! Siapa bilang aku gak suka? Oops!” Gita kelepasan.Melihat respon Gita yang seper
Dengan raut wajahnya yang datar Tira menatap James dan Ady, “Kalian berdua memang sepertinya sudah bosan hidup,” ucap Tira.James dan Ady saling bertukar pandang, lalu mereka berdua tertawa.Hahaha!“Sepertinya kepala kamu habis terbentur benda keras, ya?” ledek Ady.“Atau mungkin orang yang sudah mau mati kelakuannya memang aneh?” timpal James.Hahaha!James dan Ady kembali menertawai Tira yang hanya diam dan tidak membalas.“Maaf ya, kalau kamu ingin menyalahkan seseorang. Salahkan Ayahmu dan orang ini,” ucap James.Ady hanya tertawa karena ia pikir itu memang benar, “Awalnya aku pikir Anda hanya bekerja untukku, tapi ternyata Anda juga bekerja untuk orang lain,” sahut Ady.“Tuan Ady, kita itu hidup harus bisa memanfaatkan semua kesempatan yang ada. Lagipula hal tersebut tidak melanggar kontrak kerja sama kita,” balas James.Awalnya saat Ady tahun kalau James juga bekerja untuk orang lain, ia sempat marah pada James dan menuding James memanfaatkan dirinya.Namun, setelah James memb
“Apa itu, Tuan James?” tanya Ady.James menyeringai, “Mereka sudah datang,” jawab James.“Hah? Mereka? Siapa?”“Tentu saja tamu yang kita undang, mereka datang sesuai dengan rencanaku,” ucap James. Ia merasa bangga karena Tira dan rombongannya telah terjebak.“Tapi Tuan, kalau mereka mati. Rasanya kurang puas,” balas Ady.“Aku yakin dia tidak akan mati semudah itu, tapi kalau memang dia mati. Mau bagaimana lagi, kan?” sahut James.Ady pun berpikir tidak masalah kalau memang Tira mati sebelum berhasil menemukan putranya, bagi Ady itu sudah cukup memuaskan karena telah memberikan Tira balasan yang setimpal.Sementara itu di mobil yang Tiran dan Daren tumpangi.“Suara ledakan apa itu?” tanya Tira.“Baru saja aku menerima laporan, kalau ternyata akses menuju ke tempat James berada sudah dipasangi jebakan. Anak buah James juga lumayan banyak,” sahut Daren.“Jadi, bagaimana caranya kita ke sana?” tanya Tira.Daren menyeringai, “Jangan khawatir, Tuan. Tentara dan Polisi berpihak pada kita, j
Setelah Tira mengantar Ayas pulang, ia langsung pergi menemui Daren di bandara, Daren bergegas menghubungi Tira saat ia menerima tugas.Tidak butuh waktu lama Tira telah sampai di bandara, mobil yang ia tumpangi berhenti di dekat sebuah pesawat jet pribadi.Seorang pria berpakaian serba hitam dengan sebuah kacamata hitam, berdiri di dekat tangga pesawat dan langsung membungkuk saat Tira berjalan ke arahnya.“Tuan, ayo kita selamatkan Putra Anda!” ucap pria itu, yang tidak lain adalah Daren.“Maaf sudah merepotkan, terima kasih karena kamu sudah mau datang dari jauh untuk membantu,” balas Tira.“Tuan dan Nyonya besar sudah sangat berjasa padaku, mana mungkin aku tidak mau membantu.”“Bagaimana dengan Ayah?” tanya Tira. Bagaimanapun juga Daren adalah kepala pengawal Ayahnya Tira.“Lebih baik kita bergegas, Tuan. Aku khawatir pada Putra Anda,” ucap Daren.Sudah lama tidak bertemu dengan Daren membuat Tira banyak mengajukan pertanyaan, akhirnya Tira dan Daren masuk ke dalam pesawat.Setel
“Sayang, tunggu!” Sontak Tira langsung mengejar Ayas.Tap!Tira meraih tangan Ayas dan menariknya.“Kalau gak ada yang peduli, biar aku sendiri yang nolong Vano!” ucap Ayas, agak berteriak.Tira menghela napas kasar, “Kamu tenang dulu, sayang. Kita serahkan pada Mama, tapi aku juga gak bisa tinggal diam. Aku juga akan ikut mencari Vano,” ucap Tira.Saat itu Atas yang sedang kesal merasa bodoh, “Sebentar, tadi Papi bilang apa?” tanyanya.“Hem, yang mana?” Tira bertanya balik.“Yang tadi, yang Papi bilang serahkan pada Mama. Apa maksud Papi?”“Oh, itu. Jadi sebenarnya Mamah marah karena Vano hilang, dia bilang menjaga anak satu aja gak bisa,” jelas Tira.Ayas tercenung, “Hah? Mamah marah karena itu?” tanyanya.“Iya, jadi kamu cuman salah paham aja. Justru Mamah malah marah sama kita karena kita gak bisa jagain Vano dengan benar.”Mendengar penjelasan Tira, membuat Ayas merasa menjadi seorang Ibu yang buruk. Ia tidak menyangka kalau Ibu mertuanya justru sangat peduli.“Terus aku harus gi
“Tira, sini kamu!” panggil Sisca, dengan mata melotot.“Iya, Mah!” jawab Tira. Ia lalu menghampiri mamahnya.“Laras, kamu tunggu di sini!” ucap Sisca.“I-iya, Mah!” jawab Ayas, kikuk.Sementara Tira di ajak pergi oleh mamahnya, Ayas duduk di sofa seorang diri. Ia masih agak canggung dengan Ibu mertuanya itu, Ayas juga tidak tahu harus berbuat apa saat ini.Tira diajak oleh mamahnya ke sebuah ruangan, “Duduk!” ucap Sisca, dengan sikap yang dingin.“Iya, mah.” Tira pun duduk di sebuah sofa.Sudah lama Tira dan Mamahnya tidak bicara seserius ini, terakhir kali mereka berbicara serius adalah saat Tira memutuskan untuk menikahi Ayas.“Tira, kamu tau kenapa mamah memanggil kamu ke sini?” tanya Sisca, serius.Tira hanya menggeleng dan tidak menjawab.“Kamu ini sudah punya anak, seharusnya kamu tidak lagi mementingkan diri kamu sendiri!” ucap Sisca. Ia memarahi putranya itu.“Jadi mamah memang sudah tahu kalau—“ Belum selesai Tira berbicara, Sisca sudah tampak emosi.Brakk!“Tau kalau Vano di
Di tempat Vano disandera yang merupakan tempat persembunyian James, seorang pria datang menemui James.“Sepertinya semua berjalan dengan lancar, Tuan James!” ucap pria itu.James tampak tersenyum tipis sambil duduk di sofa besar, “Silakan Tuan Ady, anggap saja rumah sendiri,” sahut James.Pria yang baru saja datang itu tidak lain adalah Ady, ia tampak sangat puas dengan kinerja James. “Profesional memang selalu bisa diandalkan,” puji Ady.“Anda terlalu memuji Tuan, aku hanya melaksanakan semuanya sesuai dengan rencana saja,” ucap James.Ady tampak tersenyum tipis, ia lalu menghampiri Vano yang saat ini sedang berada di sebuah kamar.Ceklek!Saat melihat ada orang yang datang dan membuka pintu kamar, Vano sempat berpikir kalau itu adalah Papi atau Maminya.Namun, orang yang muncul ternyata tidak seperti yang Vano harapkan.“Haloo, adik kecil,” sapa Ady, sambil te
Tira kaget bukan main saat tiba-tiba saja Mamahnya menelepon, ia tidak menyangka kalau Mamahnya akan tahu dan akan memarahinya karena Vano hilang.“Mah—“ Belum selesai Tira berbicara, Mamah Tira terus memarahi Tira.“Kalau kamu gak bisa jagain Vano, harusnya kamu bilang! Jangan diem aja!” Mamah Tira terus saja mengomel, sampai-sampai Tira saja tidak diberi kesempatan untuk berbicara.“Sekarang juga, kamu datang ke sini! Biar semua mamah dan papah yang urus!” ucap Mamah Tira dengan sangat tegas.“Tapi, Mah—“ Belum selesai Tira berbicara, mamahnya sudah mengakhiri panggilan tersebut.Panggilan terputus.Ayas yang melihat Tira tampak kebingungan langsung menghampiri, “Pi, ada apa?” tanyanya.“Ini, Mi. Mamah aku marah-marah,” sahut Tira.Sontak Ayas pun tercekat, “Hah? Marah-marah? Emangnya kenapa?” tanya Ayas.&ldqu
“Kamu yakin?” tanya Tira pada Panji.“Iya, Tuan. Saya sangat yakin, karena mereka benar-benar meninggalkan jejak mereka di CCTV yang ada di rumah. Seolah-olah mereka memang sengaja dan memang ingin menantang kita,” jawab Panji. Ia berani berkata seperti itu karena memang hal tersebut sangat tidak masuk akal.Dan satu-satunya kemungkinan yang terjadi mereka memang benar-benar sengaja, semua sudah dapat Panji tebak dengan baik.“Jadi siapa mereka?” tanya Tira. Ia sudah tidak sabar mengetahui siapa orang yang berani melakukan ini pada keluarganya.Akhirnya Panji pun memberi tahu siapa orang yang sudah membawa Vano pergi, ia adalah seorang pembunuh bayaran yang bernama James.“James?” tanya Tira.“Iya, Tuan. James S adalah seorang pembunuh bayaran, ia tidak segan membunuh targetnya dengan sadis. Dan itu semua tergantung dari permintaan kliennya,” ujar Panji.“Yang paling pe