Gita bingung harus merespon seperti apa, karena kalau Yoga tahu orang itu adalah Anton.
Pasti akan ada banyak sekali pertanyaan yang keluar dari mulut Yoga, “Oh, iya. Mamahku ada di Jakarta, lho!” ucap Yoga.
“Apa? Mamah Mas Yoga, ada di Jakarta?” Sontak Gita pun terkejut karena sebelumnya sama sekali tidak ada rencana seperti itu.
“Memangnya kenapa?” tanya Yoga.
“Ya ... gak kenapa-kenapa, sih. Tapi kok, dadakan banget?” balas Gita, mempertanyakan.
“Kita kan, mau nikah bulan depan. Dan acaranya bakal diadain di sini,” jawab Yoga.
“Hah? Di sini? Kenapa di sini?” tanya lagi Gita, agak menyentak.
Yoga pun menyipitkan matanya, “Kamu kenapa, sih? Kamu gak ada niat buat batalin, kan? Atau ... kamu gak percaya sama kontrak yang udah aku buat?” tanya Yoga.
Gita tercekat, “Eh, bukan begitu, Mas! Tapi—“ Belum selesai Gita bicara, Yoga mem
Gita tersenyum tipis melihat ekspresi Yoga, “Mas, jangan gitu. Emang gak mau liat?” ucap Gita, yang saat ini sudah memamerkan pusarnya.Hanya tinggal sedikit lagi Yoga pun bisa melihat dia buah bukit kembar Gita, walaupun masih terbungkus oleh bra tentu saja hal tersebut bisa memancing gairah seorang pria.Dan pakaian yang Gita pakai sekarang pun, sudah bukan tanktop dan celana yang sama saat dirinya menyiksa Anton.“Gita, kamu ini apa-apaan?” tanya Yoga, agak menyentak.Gita pun memicingkan matanya, “Kamu ini gak normal ya, Mas?” balas Gita.“Enak aja! Aku ini normal, kamu jangan sembarang!” bantah Yoga. Ia tidak terima dikatai seperti itu oleh Gita, karena sebagai seorang pria itu benar-benar sebuah penghinaan.Gita menatap Yoga dengan tatapan sinis, “Kalo Mas Yoga normal, masa gak suka liat badan aku? Apa aku ini kurang seksi?” tanya Gita, memancing.Yoga masih terdiam dan
Mata Yoga melotot saat melihat dua buah bukit kembar Gita, terpampang dengan jelas di depan matanya.Walaupun kedua bukit tersebut masih terbungkus oleh sebuah bra berwarna hitam, tetap saja hal tersebut membuat jantung Yoga berdetak sangat cepat seolah ingin meledak.“Gita hanya tersenyum tipis, “ Gimana, Mas? Suka?” tanya Gita, genit.“Suka! Eh ... e-enggak, aku gak suka!” jawab Yoga, langsung membuang muka.‘Serius udah kayak gini dia masih gak bereaksi? Wah, bisa gawat kalo nikah sama yang kayak—‘ batin Gita terhenti. Saat ia merasa ada suatu benda keras yang mengganjal di bagian bawah, Gita dapat merasakan benda keras tersebut dengan jelas karena ia sedang menduduki benda tersebut.“Gita! Kamu jangan gini, dong! Bercanda kamu kelewatan,” protes Yoga.Sontak saat itu Gita langsung bangkit dari atas pangkuan Yoga, dan Yoga pun tidak mengerti kenapa Gita bisa tiba-tiba seperti itu
Yoga panik bukan main saat Gita tiba-tiba saja membuka pintu toilet. “Gita! Kamu apa-apaan, sih?” tanya Yoga, agak berteriak.Gita tampak memalingkan wajahnya sambil sesekali mengintip, “Ma-maaf, Mas! Aku kira kamu kenapa-kenapa,” sahut Gita.Saat ini senjata Yoga yang sempat terekspos tadi sudah kembali dimasukkan ke dalam sarangnya, “Minggir, ah!” ketus Yoga, berjalan keluar dari dalam toilet.Gita tampak senyum-senyum sendiri, ‘Lumayan gede juga ternyata, sayang banget kayak gitu Cuma dipake buat buang air, hihihi!’ batin Gita.Bruk!Yoga pun duduk di atas sofa dengan wajah yang ditekuk, ia benar-benar kesal karena hari ini Gita sudah sangat keterlaluan.Gita lalu menghampiri Yoga dan duduk di sebelah Yoga, “Mas!” panggil Gita. Namun, Yoga tampak membuang muka dan enggan menatap Gita.Gita pun tersenyum licik, “Ya udah, kalo gitu pernikahan kita batal aja, ya?”
Melihat Yoga kebingungan seperti itu membuat Gita mengerutkan alis, “Mas Yoga kenapa?” tanyanya.“Ka-kamu ini bercanda terus, serius dong!” sahut Yoga, agak gugup.Mendengar jawaban Yoga, semakin membuat Gita semakin bingung. “Mas, aku itu orangnya gak suka bercanda. Aku selalu serius, jadi Mas jangan ngadi-ngadi, deh!” balas Gita. Lalu pergi ke dapur hendak mengambil minum.Yoga tercekat, “Lah, dia yang daritadi bercanda terus. Tapi gak mau ngaku,” gumam Yoga. Ia pun menyusul Gita ke dapur.“Git!” panggil Yoga, saat ia sudah sangat dekat dengan Gita.Duk!Gita menoleh ke arah Yoga saat sedang menenggak air dari sebuah botol, sontak saja air tersebut langsung membasahi baju yang Gita pakai.Sontak malah Yoga yang langsung meminta maaf, “Eh, maaf!” ucapnya.“Eh, iya. Gak apa-apa, Mas. Aku yang salah, harusnya gak boleh minum sambil berdiri,” sahu
“Ehhh! Tu-tunggu! Mau ngapain?” tanya Yoga. Ia menahan tubuhnya agar tidak dipaksa masuk ke kamar Gita.“Jadi kamu gak mau, Mas?” Gita balik bertanya.“Bukannya gitu, kita ini belum nikah!” jawab Yoga.“Jadi kalo udah nikah, mau?” tanya lagi Gita.Sontak wajah Yoga berubah menjadi merah padam, “I-itu ... udah, pokoknya aku temenin, tapi aku tidur di sofa aja kayak waktu itu!” ucap Yoga. Ia merasa lebih aman kalau tidur di sofa.“Ya udah, aku temenin!” sahut Gita.Yoga tercekat, “Haahh?”Tanpa sempat melihat respon Yoga dan menunggu persetujuan Yoga, Gita langsung pergi ke kamarnya untuk mengambil bantal, guling, dan selimut.“Ini cewek kenapa, sih? Kok, tiba-tiba jadi agresif gini?” Yoga terlihat kebingungan dengan sikap Gita akhir-akhir ini.“Taaraa! Ini aku udah bawain perlengkapan tidur kita!” ucap Gita, sambil
Ceklek!Seorang pria yang tampak gagah keluar dari dalam mobil, pria itu memang tidak lain adalah Tira.Tira yang menyadari kalau di depannya ada Yoga langsung menyipitkan matanya, “Wah, ada Pak Yoga. Ada apa gerangan Pak Yoga datang ke mari, bukan untuk—“ ucap Tira terhenti seolah ingin menyindir Yoga kalau ia datang bukan karena ingin bertemu dengan Ayas.“Tuan, sebenarnya Mas Yoga datang ke sini itu untuk ...,” ucap Gita, ragu.“Oh, mari masuk!” Tira memang orang yang pengertian, ia langsung mengajak Gita dan Yoga masuk.Bahkan para pegawai lain pun tidak menyangka kalau Gita ternyata cukup dekat dengan Tira, dan mereka bertanya-tanya siapa Yoga.“Eh, sejak kapan dia dekat dengan Tuan Tira?”“Wah, aku juga gak tau.”“Tapi dia itu kan, memang pegawai senior di sini. Jadi aku rasa wajar.”“Apa iya? Aku rasa gak gitu.”&ldquo
“Kenapa? Kok kamu kayaknya kaget gitu?” tanya Tira.“E-enggak, Pi. Bukan gitu, cuman aneh aja. Seriusan itu Gita mau nikah sama Mas Yoga?” jawab Ayas, menjelaskan.“Udah, kamu jangan mikirin si Yoga itu!” ketus Tira.“Dih, Papi cemburu ya?” goda Ayas.“Enak aja, masa cemburu sama yang kayak gitu. No way!” balas Tira. Ia tidak mau mengakuinya.“Halah, yang bener?” tanya Ayas, sambil menggoda.“Iya, bener!” jawab Tira.“Ya udah, aku mau telepon Mas Yoga, ah!” ucap Ayas.Seketika mata Tira pun melotot, “Laras! Awas ya, kalau kamu berani nelepon dia!” larang Tira, agak menyentak.“Lho, emang kenapa, Pi? Papi gak cemburu, kan? Jadi gak masalah dong?” ucap Ayas.“Bu-bukan gitu,” balas Tira. Ia bingung harus berkata apa pada Ayas.“Jadi aku boleh, telepon Mas Yoga?” tanya
Setelah mendengar suara tembakan tadi, papa dan mama Ayas semakin panik saat penjaga rumah meminta mereka untuk menyelamatkan diri.“Ada apa ini, Pak?” tanya papa Ayas.“Ada penyerangan, Pak! Kita diserang, ayo kalian segera menyelamatkan diri!” sahut penjaga.Papa Ayas yang merupakan seorang pensiun pun sebenernya ingin sekali bertindak. Namun, saat ini hal seperti itu hanya akan memperlancar dan membahayakan nyawa istri dan cucunya.Akhirnya papa dan mama Ayas, serta Vano dan pengasuhnya dibawa pergi melalui pintu yang lain.Namun, semua sudah terlambat dan ternyata rumah tersebut sudah dikepung.Beruntung saat itu penjaga sempat menekan tombol darurat untuk meminta bantuan, sehingga para pengacau itu hanya memiliki waktu beberapa menit sebelum polisi tiba.“Ayo cepat, Bu!” ucap papa Ayas, sambil menggendong Vano.“Berhenti!” teriak seorang pria dari kejauhan.Sontak penj