“Ehhh! Tu-tunggu! Mau ngapain?” tanya Yoga. Ia menahan tubuhnya agar tidak dipaksa masuk ke kamar Gita.
“Jadi kamu gak mau, Mas?” Gita balik bertanya.
“Bukannya gitu, kita ini belum nikah!” jawab Yoga.
“Jadi kalo udah nikah, mau?” tanya lagi Gita.
Sontak wajah Yoga berubah menjadi merah padam, “I-itu ... udah, pokoknya aku temenin, tapi aku tidur di sofa aja kayak waktu itu!” ucap Yoga. Ia merasa lebih aman kalau tidur di sofa.
“Ya udah, aku temenin!” sahut Gita.
Yoga tercekat, “Haahh?”
Tanpa sempat melihat respon Yoga dan menunggu persetujuan Yoga, Gita langsung pergi ke kamarnya untuk mengambil bantal, guling, dan selimut.
“Ini cewek kenapa, sih? Kok, tiba-tiba jadi agresif gini?” Yoga terlihat kebingungan dengan sikap Gita akhir-akhir ini.
“Taaraa! Ini aku udah bawain perlengkapan tidur kita!” ucap Gita, sambil
Ceklek!Seorang pria yang tampak gagah keluar dari dalam mobil, pria itu memang tidak lain adalah Tira.Tira yang menyadari kalau di depannya ada Yoga langsung menyipitkan matanya, “Wah, ada Pak Yoga. Ada apa gerangan Pak Yoga datang ke mari, bukan untuk—“ ucap Tira terhenti seolah ingin menyindir Yoga kalau ia datang bukan karena ingin bertemu dengan Ayas.“Tuan, sebenarnya Mas Yoga datang ke sini itu untuk ...,” ucap Gita, ragu.“Oh, mari masuk!” Tira memang orang yang pengertian, ia langsung mengajak Gita dan Yoga masuk.Bahkan para pegawai lain pun tidak menyangka kalau Gita ternyata cukup dekat dengan Tira, dan mereka bertanya-tanya siapa Yoga.“Eh, sejak kapan dia dekat dengan Tuan Tira?”“Wah, aku juga gak tau.”“Tapi dia itu kan, memang pegawai senior di sini. Jadi aku rasa wajar.”“Apa iya? Aku rasa gak gitu.”&ldquo
“Kenapa? Kok kamu kayaknya kaget gitu?” tanya Tira.“E-enggak, Pi. Bukan gitu, cuman aneh aja. Seriusan itu Gita mau nikah sama Mas Yoga?” jawab Ayas, menjelaskan.“Udah, kamu jangan mikirin si Yoga itu!” ketus Tira.“Dih, Papi cemburu ya?” goda Ayas.“Enak aja, masa cemburu sama yang kayak gitu. No way!” balas Tira. Ia tidak mau mengakuinya.“Halah, yang bener?” tanya Ayas, sambil menggoda.“Iya, bener!” jawab Tira.“Ya udah, aku mau telepon Mas Yoga, ah!” ucap Ayas.Seketika mata Tira pun melotot, “Laras! Awas ya, kalau kamu berani nelepon dia!” larang Tira, agak menyentak.“Lho, emang kenapa, Pi? Papi gak cemburu, kan? Jadi gak masalah dong?” ucap Ayas.“Bu-bukan gitu,” balas Tira. Ia bingung harus berkata apa pada Ayas.“Jadi aku boleh, telepon Mas Yoga?” tanya
Setelah mendengar suara tembakan tadi, papa dan mama Ayas semakin panik saat penjaga rumah meminta mereka untuk menyelamatkan diri.“Ada apa ini, Pak?” tanya papa Ayas.“Ada penyerangan, Pak! Kita diserang, ayo kalian segera menyelamatkan diri!” sahut penjaga.Papa Ayas yang merupakan seorang pensiun pun sebenernya ingin sekali bertindak. Namun, saat ini hal seperti itu hanya akan memperlancar dan membahayakan nyawa istri dan cucunya.Akhirnya papa dan mama Ayas, serta Vano dan pengasuhnya dibawa pergi melalui pintu yang lain.Namun, semua sudah terlambat dan ternyata rumah tersebut sudah dikepung.Beruntung saat itu penjaga sempat menekan tombol darurat untuk meminta bantuan, sehingga para pengacau itu hanya memiliki waktu beberapa menit sebelum polisi tiba.“Ayo cepat, Bu!” ucap papa Ayas, sambil menggendong Vano.“Berhenti!” teriak seorang pria dari kejauhan.Sontak penj
“Kurang ajar! Siapa yang berani main-main denganku?” Tira tampak benar-benar murka.“Tuan, tolong tenangkan diri Anda,” bujuk Panji. Ia berusaha membujuk Tira agar tidak hilang kendali.“Mereka itu berjaga tidak ada satu atau dua orang, tapi kenapa bisa sampai seperti ini?” marah Tira.Panji tahu betul seperti apa perasaan Tira, ia tidak habis pikir kalau anak buahnya bisa dikalahkan dengan begitu mudahnya.‘Apa yang harus aku katakan pada Laras' batin Tira. Ia tidak tahu harus berkata apa pada Ayas.Akhirnya Tira memutuskan untuk pergi meninggalkan kantor, dan memilih untuk pulang menemui istrinya.Sementara itu para eksekutif yang berada di ruangan rapat tampak kebingungan.“Ada apa ini?”“Sepertinya sesuatu yang gawat telah terjadi.”“Semoga saja tidak mempengaruhi kondisi perusahaan ini.”Mereka benar-benar keterlaluan, kalau saja Ti
Walaupun Tira sudah tahu kalau reaksi istrinya akan seperti itu, tetap saja Tira terlihat panik bukan main.“Aduh! Mami pake pingsan segala lagi,” gumam Tira. Ia meminta para pelayan untuk mengambilkan sesuatu yang berbau tajam.Tok! Tok! Tok!“Iya, masuk!” ucap Tira.“Tuan, ini ada minyak angin,” ucap pelayan.“Terima kasih!” sahut Tira.Sebelum Tira menyodorkan minyak tersebut di depan hidung Ayas, terlebih dahulu ia melepaskan pengait bra yang Ayas pakai agar tidak sesak.Cetek!Barulah Tira menyodorkan minyak angin itu di depan hidung Ayas.“Ayo, sayang. Cepet sadar, dong!” gumam Tira. Ia berharap jika Ayas segera sadar.Sniff! Sniff!Beberapa kali tampak Ayas menghirup aroma minyak angin itu, dan akhirnya Ayas pun perlahan membuka matanya.“Aduh!” rintih Ayas, sambil mengerjapkan mata.“Sayang ... sayang!”
“Papi, apa itu Vano?” tanya Ayas. Sontak ia ingin sekali berbicara dengan putranya itu.“Iya, ini Vano!” jawab Tira.“Aku mau bicara sama Vano!” pinta Ayas.“Mami! Papi!” teriak Vano dari seberang telepon.Akhirnya Tira yang tidak tega melihat reaksi Ayas, langsung memberikan ponselnya pada Ayas agar ia bisa berbicara dengan Vano.“Sayang, kamu di mana? Apa kamu baik-baik saja?” tanya Ayas, pada Vano. Sambil meneteskan air mata.“Mami, kenapa nangis? Aku di sini baik-baik aja, kok!” sahut Vano. Walaupun ia tahu dirinya sedang tidak baik-baik saja, tapi Vano berkata seperti itu agar Mami nya tidak lagi menangis.“Beneran kamu baik-baik aja, Sayang?” tanya lagi Ayas.“Iya, Mi. Aku baik-baik aja, aku di sini dikasih makan dan minum. Aku juga dikasih mainan, tapi kata Om yang di sini. Aku masih belum boleh pulang, sampai Papi datang ke sini,&r
“Kamu yakin?” tanya Tira pada Panji.“Iya, Tuan. Saya sangat yakin, karena mereka benar-benar meninggalkan jejak mereka di CCTV yang ada di rumah. Seolah-olah mereka memang sengaja dan memang ingin menantang kita,” jawab Panji. Ia berani berkata seperti itu karena memang hal tersebut sangat tidak masuk akal.Dan satu-satunya kemungkinan yang terjadi mereka memang benar-benar sengaja, semua sudah dapat Panji tebak dengan baik.“Jadi siapa mereka?” tanya Tira. Ia sudah tidak sabar mengetahui siapa orang yang berani melakukan ini pada keluarganya.Akhirnya Panji pun memberi tahu siapa orang yang sudah membawa Vano pergi, ia adalah seorang pembunuh bayaran yang bernama James.“James?” tanya Tira.“Iya, Tuan. James S adalah seorang pembunuh bayaran, ia tidak segan membunuh targetnya dengan sadis. Dan itu semua tergantung dari permintaan kliennya,” ujar Panji.“Yang paling pe
Tira kaget bukan main saat tiba-tiba saja Mamahnya menelepon, ia tidak menyangka kalau Mamahnya akan tahu dan akan memarahinya karena Vano hilang.“Mah—“ Belum selesai Tira berbicara, Mamah Tira terus memarahi Tira.“Kalau kamu gak bisa jagain Vano, harusnya kamu bilang! Jangan diem aja!” Mamah Tira terus saja mengomel, sampai-sampai Tira saja tidak diberi kesempatan untuk berbicara.“Sekarang juga, kamu datang ke sini! Biar semua mamah dan papah yang urus!” ucap Mamah Tira dengan sangat tegas.“Tapi, Mah—“ Belum selesai Tira berbicara, mamahnya sudah mengakhiri panggilan tersebut.Panggilan terputus.Ayas yang melihat Tira tampak kebingungan langsung menghampiri, “Pi, ada apa?” tanyanya.“Ini, Mi. Mamah aku marah-marah,” sahut Tira.Sontak Ayas pun tercekat, “Hah? Marah-marah? Emangnya kenapa?” tanya Ayas.&ldqu