Saat Ayas membukakan pintu, Vano pun langsung protes. “Mami sama Papi abis ngapain, sih?” kenapa dari tadi aku manggil enggak ada yang bukain pintu?” keluh Vano, kesal.
“Maaf, Sayang. Tadi kan Mami lagi ganti baju. Kalau pintunya enggak dikunci, takut ada yang buka. Kan malu jadinya kalau kelihatan orang lain,” jelas Ayas.
“Oh, begitu. Kirain aku ditinggal sendirian. Masa pergi enggak bilang,” ucap Vano. Sebenarnya yang membuat ia teriak adalah takut orang tuanya menghilang tanpa kabar.
“Ya enggak, dong. Kalau pun mau pergi, mami pasti bilang sama kamu, Sayang,” sahut Ayas. Ia selalu berusaha sabar menghadapi anaknya yang cerewet itu.
“Harus! Kalau enggak bilang, nanti aku nangis. Aku mau marah-marah sama semua orang,&rdquo
Ternyata saat ini Yoga dan Gita belum berpisah. Mereka sedang duduk di cafe karena Yoga mengajak Gita untuk berbincang.Awalnya Gita menolak saat diajak oleh Yoga. Namun karena pria itu memohon, akhirnya Gita pun setuju.Saat ini kondisi hati Yoga sedang tidak baik-baik saja. Ia patah hati karena gadis pujaannya yang selama ini ia idamkan telah menjadi milik pria lain. Sehingga Yoga butuh teman curhat untuk mendengar keluh kesahnya.Selama ini Yoga hanya fokus dengan Ayas. Sehingga ia tidak memiliki teman lain untuk dijadikan tempat curhat.“Aku tahu kekuasaanku memang tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan Tuan Tira. Tapi apa yang aku miliki ini tidakkah cukup untuk membahagiakan Vivi?” tanya Yoga.“Maaf Mas, meskipun aku teman Ayas, bukan berarti aku ingin membelanya. Tapi menurutku bukan itu masalahnya,” jawab Gita. Ia berusaha
“Permisi, Tuan. Di luar ada tamu,” ucap asisten rumah tangga.Tira langsung megerutkan keningnya. Ia merasa tidak seharusnya ada tamu yang datang. Sebab, rumah itu baru saja ia tempati dan belum ada klien-nya yang tahu.“Siapa?” tanya Tira.Belum sempat asisten Tira menjawab, tiba-tiba Helen muncul sambil bertepuk tangan.Prok! Prok! Prok!“Luar biasa … Tuan Tira yang terhormat. Kamu hebat sekali, ya? Masih punya tunangan, tapi menikahi wanita lain,” ucap Helen.Wajah Tira langsung mengeras. Ia sangat emosi karena Helen begitu berani padanya.‘Sial! Aku lupa memberi tahu mereka,’ batin Tira. Ia terlalu sibuk memikirkan pernikahannya. Sehingga Tira melupakan Helen. Beruntung Helen tidak datang ketika akad. Jika tidak, bisa-bisa wanita itu merusak acara pernikahan mereka.
“Aku benci kamu!” ucap Ayas saat mereka sudah masuk ke kamar.Tira menyeringai. “Yakin kamu benci suamimu sendiri? Kasihan sekali aku. Istriku lebih percaya orang lain dari pada suaminya sendiri,” ucap Tira sambil berjalan ke arah lemari.“Kamu tuh kenapa sih seneng banget mainin perasaan aku?” keluh Ayas sambil membuntuti Tira.“Siapa yang mainin perasaan kamu? Selama ini aku tidak pernah main-main,” sahut Tira.“Tapi kenapa dia bicara seperti itu? Aku kan jadi takut. Aku tuh khwatir karena proses kita sangat singkat, bahkan sekarang kita sudah menikah. Padahal baru bertemu kembali beberapa hari,” ujar Ayas.Tira langsung menoleh ke arah Ayas saat mendengar wanita itu mengatakan bahwa pertemuan mereka cukup singkat.“Singkat kamu bilang? Aku nunggu kamu bertahun-tahun, berusaha mencari kamu ke
Ayas terdiam. Ia tidak langsung menjawab pertanyaan Tira. Sebab dirinya sudah nyaman tinggal di Solo dan ia tidak ingin tinggal dekat dengan keluarga Tira.“Kok diam? Kenapa? Kamu keberatan?” tanya Tira.“Tidak bisakah kita tinggal di sini saja? Aku belum siap untuk kembali ke Jakarta,” pinta Ayas.Kini giliran Tira yang terdiam. Kantor pusat perusahaannya ada di Jakarta, sulit baginya untuk stay di Solo.“Sayang, kamu kan tahu perusahaanku ada di Jakarta?” tanya Tira, lemas.“Iya aku tahu. Kan bisa aku dan Vano tetap tinggal di sini, dan kamu di Jakarta. Nanti kalau kamu ada waktu luang, atau weekend, bisa datang ke sini,” jawab Ayas.Ia lebih memilih hubungan jarak jauh dari pada harus sering bertemu dengan keluarga besar Tira yang sudah pasti akan merendahkannya.“Kenapa harus seper
Gita terkejut saat mendengar permintaan mamahYoga.Ia tidak berniat untuk serius sehingga Gita tidak ingin jika sampai Mama Yoga menghubungi orang tuanya.Gita menoleh ke arah Yoga,berharap Yoga akan membantunya. Yoga yang paham pun bicara pada mamanya.“Lebih baik jangan dulu.Nanti kita langsung kenalan sama orang tua Gita aja.Soalnya aku juga kan belum sempet ketemuan sama mereka.Khawatir mereka kaget Kalau Mamahtiba-tiba telepon.Bagaimanapun lebih baik Gita dulu yang menyampaikan hal ini kepada orang tuanya,”jelas Yoga.Gita sedikit lega karena Yoga mampu mengalihkan permintaanmamanya.“Oke,kalau begitu berarti kapan kita bisa ketemuan sama orang tua Gita?”tanya mamahYoga.Gita semakin tercekat.Ia tak menyangka ternyata mama Yoga justru ingin menemui orangtuanya.&nb
“Pi, kenapa ini?” tanya Ayas.Tira pun terkejut karena guncangannya cukup kencang. Bahkan ada peringatan untuk memasang sabuk pengaman.Tira langsung berdiri dan membiarkan Ayas duduk di kursinya. Ia tidak ingin Ayas terjatuh. Sehingga dirinya mengalah untuk pindah. Sebelum pindah tempat duduk, Tira memasangkan seatbelt lebih dulu untuk Ayas.“Kamu jangan khawatir, ya! Pilotku sudah memiliki jam terbang yang tinggi. Aku yakin dia pasti bisa mengurus masalah ini,” ucap Tira, berusaha menenangkan Ayas. Setelah itu ia mengecup kening istrinya.Kemudian, Tira pun duduk di sebelah Ayas. Ia tidak ingin duduk berhadapan karena Ayas pasti takut jika duduk sendirian.“Pi, aku takut,” lirih Ayas sambil mencengkeram erat tangan Tira.Sebenarnya Tira pun panik. Namun ia tidak ingin menunjukkan kepanikannya di hadapan Ayas. Tira tidak i
“Aaaa!”Ayas langsung memekik saat mendengar suara petir menyambar. Jantungnya berdebar cepat dan ia langsung lemas.“Pi, kita bisa selamat, kan?” lirihnya. Bahkan suaranya sudah terdengar pelan.“Iya, Sayang. Kamu pegangan, ya!” pinta Tira. Tak lama kemudian masker oksigen keluar secara tiba-tiba dari arah atas kepala mereka. Lalu mereka pun menggunakannya.Setelah itu, benar dugaan Tira. Pesawat itu menukik hingga Ayas semakin mencengkeram erat tangan Tira dan memejamkan matanya.Saat itu mereka sudah pasrah. Rasanya jantung mereka hampir berhenti berdetak. Saat ini kondisi yang mereka alami adalah antara hidup dan mati.“Heump!”Mereka merasa seperti terjatuh dari ketinggian saat pesawat tiba-tiba berhenti menukik dan mulai terbang dengan stabil.“Huh … h
Tira menyeringai setelah mendengar ucapan Ayas barusan. “Itu tidak berlaku bagi kamu,” ucapnya, singkat.“Dasar curang!” Ayas sebal. Namun ia sudah tidak ingin berdebat. Sehingga Ayas tidak melanjutkan ucapannya lagi.Beberapa saat kemudian, mereka sudah dipanggil untuk segera melakukan boarding. Sebab, pesawat mereka sudah siap untuk terbang.Tira yang tidak biasa naik pesawat komersil itu risih karena harus melalui banyak tahapan untuk bisa masuk ke dalam pesawat. Seperti check in dan menunjukkan boarding pass pada pramugari yang ada di depan pintu pesawat itu.“Menyebalkan,” keluh Tira. Ia kesal karena harus berpapasan dengan orang lain. Tira bahkan langsung mengusap lengannya yang tak sengaja bersentuhan dengan lengan orang itu.“Kenapa, Pi?” tanya Ayas.“Aku tidak suka disentuh orang lain,” jawa