Ayas mengerutkan keningnya saat ditanya seperti itu oleh Tira.
“Kamu enggak percaya sama aku?” tanya Ayas, kesal.
“Bukan enggak percaya, Sayang. Aaku kan cuma nanya. Ya, siapa tahu sekarang udah bisa,” sahut Tira, salah tingkah. Ia khawatir Ayas akan marah karena pertanyaannya itu.
“Ya enggaklah. Kan baru kemarin aku dapatnya. Ini tuh paling enggak, selesainya sekitar 1 minggu lagi,” jawab Ayas, apa adanya.
Wajah Tira langsung pucat. “Satu minggu? Lama banget, Sayang,” lirih Tira, lemas.
Ia pusing membayangkan harus menunggu satu minggu hanya untuk bisa melewati malam pengantinnya.
“Ya emang segitu. Biasanya aku kalau haid sekitar 7 sampai 10 hari,” jawab Ayas, santai.
“SEPULUH HARI? Yang bener aja, masa sepuluh hari? Bisa meledak kepala aku kalau nunggu selama itu,”
Saat Ayas membukakan pintu, Vanopun langsung protes.“Mami sama Papi abis ngapain,sih?”kenapa dari tadi aku manggil enggak ada yang bukain pintu?”keluhVano, kesal.“Maaf,Sayang.Tadi kan Mamilagi ganti baju.Kalau pintunya enggak dikunci,takut ada yang buka.Kan malu jadinyakalau kelihatan orang lain,”jelas Ayas.“Oh,begitu.Kirain aku ditinggal sendirian.Masa pergi enggak bilang,”ucapVano. Sebenarnya yang membuat ia teriak adalah takut orang tuanya menghilang tanpa kabar.“Ya enggak,dong.Kalau pun mau pergi,mami pasti bilang sama kamu, Sayang,” sahut Ayas. Ia selalu berusaha sabar menghadapi anaknya yang cerewet itu.“Harus! Kalau enggak bilang,nanti aku nangis.Aku mau marah-marah sama semua orang,&rdquo
Ternyata saat ini Yoga dan Gita belum berpisah. Mereka sedang duduk di cafe karena Yoga mengajak Gita untuk berbincang.Awalnya Gita menolak saat diajak oleh Yoga. Namun karena pria itu memohon, akhirnya Gita pun setuju.Saat ini kondisi hati Yoga sedang tidak baik-baik saja. Ia patah hati karena gadis pujaannya yang selama ini ia idamkan telah menjadi milik pria lain. Sehingga Yoga butuh teman curhat untuk mendengar keluh kesahnya.Selama ini Yoga hanya fokus dengan Ayas. Sehingga ia tidak memiliki teman lain untuk dijadikan tempat curhat.“Aku tahu kekuasaanku memang tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan Tuan Tira. Tapi apa yang aku miliki ini tidakkah cukup untuk membahagiakan Vivi?” tanya Yoga.“Maaf Mas, meskipun aku teman Ayas, bukan berarti aku ingin membelanya. Tapi menurutku bukan itu masalahnya,” jawab Gita. Ia berusaha
“Permisi, Tuan. Di luar ada tamu,” ucap asisten rumah tangga.Tira langsung megerutkan keningnya. Ia merasa tidak seharusnya ada tamu yang datang. Sebab, rumah itu baru saja ia tempati dan belum ada klien-nya yang tahu.“Siapa?” tanya Tira.Belum sempat asisten Tira menjawab, tiba-tiba Helen muncul sambil bertepuk tangan.Prok! Prok! Prok!“Luar biasa … Tuan Tira yang terhormat. Kamu hebat sekali, ya? Masih punya tunangan, tapi menikahi wanita lain,” ucap Helen.Wajah Tira langsung mengeras. Ia sangat emosi karena Helen begitu berani padanya.‘Sial! Aku lupa memberi tahu mereka,’ batin Tira. Ia terlalu sibuk memikirkan pernikahannya. Sehingga Tira melupakan Helen. Beruntung Helen tidak datang ketika akad. Jika tidak, bisa-bisa wanita itu merusak acara pernikahan mereka.
“Aku benci kamu!” ucap Ayas saat mereka sudah masuk ke kamar.Tira menyeringai. “Yakin kamu benci suamimu sendiri? Kasihan sekali aku. Istriku lebih percaya orang lain dari pada suaminya sendiri,” ucap Tira sambil berjalan ke arah lemari.“Kamu tuh kenapa sih seneng banget mainin perasaan aku?” keluh Ayas sambil membuntuti Tira.“Siapa yang mainin perasaan kamu? Selama ini aku tidak pernah main-main,” sahut Tira.“Tapi kenapa dia bicara seperti itu? Aku kan jadi takut. Aku tuh khwatir karena proses kita sangat singkat, bahkan sekarang kita sudah menikah. Padahal baru bertemu kembali beberapa hari,” ujar Ayas.Tira langsung menoleh ke arah Ayas saat mendengar wanita itu mengatakan bahwa pertemuan mereka cukup singkat.“Singkat kamu bilang? Aku nunggu kamu bertahun-tahun, berusaha mencari kamu ke
Ayas terdiam. Ia tidak langsung menjawab pertanyaan Tira. Sebab dirinya sudah nyaman tinggal di Solo dan ia tidak ingin tinggal dekat dengan keluarga Tira.“Kok diam? Kenapa? Kamu keberatan?” tanya Tira.“Tidak bisakah kita tinggal di sini saja? Aku belum siap untuk kembali ke Jakarta,” pinta Ayas.Kini giliran Tira yang terdiam. Kantor pusat perusahaannya ada di Jakarta, sulit baginya untuk stay di Solo.“Sayang, kamu kan tahu perusahaanku ada di Jakarta?” tanya Tira, lemas.“Iya aku tahu. Kan bisa aku dan Vano tetap tinggal di sini, dan kamu di Jakarta. Nanti kalau kamu ada waktu luang, atau weekend, bisa datang ke sini,” jawab Ayas.Ia lebih memilih hubungan jarak jauh dari pada harus sering bertemu dengan keluarga besar Tira yang sudah pasti akan merendahkannya.“Kenapa harus seper
Gita terkejut saat mendengar permintaan mamahYoga.Ia tidak berniat untuk serius sehingga Gita tidak ingin jika sampai Mama Yoga menghubungi orang tuanya.Gita menoleh ke arah Yoga,berharap Yoga akan membantunya. Yoga yang paham pun bicara pada mamanya.“Lebih baik jangan dulu.Nanti kita langsung kenalan sama orang tua Gita aja.Soalnya aku juga kan belum sempet ketemuan sama mereka.Khawatir mereka kaget Kalau Mamahtiba-tiba telepon.Bagaimanapun lebih baik Gita dulu yang menyampaikan hal ini kepada orang tuanya,”jelas Yoga.Gita sedikit lega karena Yoga mampu mengalihkan permintaanmamanya.“Oke,kalau begitu berarti kapan kita bisa ketemuan sama orang tua Gita?”tanya mamahYoga.Gita semakin tercekat.Ia tak menyangka ternyata mama Yoga justru ingin menemui orangtuanya.&nb
“Pi, kenapa ini?” tanya Ayas.Tira pun terkejut karena guncangannya cukup kencang. Bahkan ada peringatan untuk memasang sabuk pengaman.Tira langsung berdiri dan membiarkan Ayas duduk di kursinya. Ia tidak ingin Ayas terjatuh. Sehingga dirinya mengalah untuk pindah. Sebelum pindah tempat duduk, Tira memasangkan seatbelt lebih dulu untuk Ayas.“Kamu jangan khawatir, ya! Pilotku sudah memiliki jam terbang yang tinggi. Aku yakin dia pasti bisa mengurus masalah ini,” ucap Tira, berusaha menenangkan Ayas. Setelah itu ia mengecup kening istrinya.Kemudian, Tira pun duduk di sebelah Ayas. Ia tidak ingin duduk berhadapan karena Ayas pasti takut jika duduk sendirian.“Pi, aku takut,” lirih Ayas sambil mencengkeram erat tangan Tira.Sebenarnya Tira pun panik. Namun ia tidak ingin menunjukkan kepanikannya di hadapan Ayas. Tira tidak i
“Aaaa!”Ayas langsung memekik saat mendengar suara petir menyambar. Jantungnya berdebar cepat dan ia langsung lemas.“Pi, kita bisa selamat, kan?” lirihnya. Bahkan suaranya sudah terdengar pelan.“Iya, Sayang. Kamu pegangan, ya!” pinta Tira. Tak lama kemudian masker oksigen keluar secara tiba-tiba dari arah atas kepala mereka. Lalu mereka pun menggunakannya.Setelah itu, benar dugaan Tira. Pesawat itu menukik hingga Ayas semakin mencengkeram erat tangan Tira dan memejamkan matanya.Saat itu mereka sudah pasrah. Rasanya jantung mereka hampir berhenti berdetak. Saat ini kondisi yang mereka alami adalah antara hidup dan mati.“Heump!”Mereka merasa seperti terjatuh dari ketinggian saat pesawat tiba-tiba berhenti menukik dan mulai terbang dengan stabil.“Huh … h
Saat ini Atas sedang di rumah dan ditemani oleh Gita.“Gimana ya, kok belum ada kabar?” gumam Ayas, khawatir.Ayas ingin menghubungi Tira tapi ia khawatir akan menggangu, sedangkan Tira sengaja tidak menghubungi Ayas karena ingin memberi dia kejutan.“Sabar, Yas. Mungkin mereka sedang dalam perjalanan pulang,” ucap Gita. Ia berusaha menenangkan Ayas.“Semoga aja bener begitu.”Ayas senang di saat seperti ini ada Gita yang menemani, awalnya Yoga juga ada di sana. Tapi ia harus pergi karena ada urusan lain.“Oh, iya. Kamu jadi nikah dengan Mas Yoga?” tanya Ayas, pada Gita. Ia berpikir lebih baik mengobrol dengan Gita daripada terus seperti tadi.“Katanya sih, jadi!” jawab Gita.Ayas mengerutkan kening, “Lho, kok gitu?” tanyanya.“Ya emang begitu, hehehe!” sahut Gita, cengengesan.Ayas berpikir Gita itu seperti tidak niat menikah dengan Yoga, “Kalau kamu gak suka mendingan gak usah, Git!” ucapnya.“Enak aja! Siapa bilang aku gak suka? Oops!” Gita kelepasan.Melihat respon Gita yang seper
Dengan raut wajahnya yang datar Tira menatap James dan Ady, “Kalian berdua memang sepertinya sudah bosan hidup,” ucap Tira.James dan Ady saling bertukar pandang, lalu mereka berdua tertawa.Hahaha!“Sepertinya kepala kamu habis terbentur benda keras, ya?” ledek Ady.“Atau mungkin orang yang sudah mau mati kelakuannya memang aneh?” timpal James.Hahaha!James dan Ady kembali menertawai Tira yang hanya diam dan tidak membalas.“Maaf ya, kalau kamu ingin menyalahkan seseorang. Salahkan Ayahmu dan orang ini,” ucap James.Ady hanya tertawa karena ia pikir itu memang benar, “Awalnya aku pikir Anda hanya bekerja untukku, tapi ternyata Anda juga bekerja untuk orang lain,” sahut Ady.“Tuan Ady, kita itu hidup harus bisa memanfaatkan semua kesempatan yang ada. Lagipula hal tersebut tidak melanggar kontrak kerja sama kita,” balas James.Awalnya saat Ady tahun kalau James juga bekerja untuk orang lain, ia sempat marah pada James dan menuding James memanfaatkan dirinya.Namun, setelah James memb
“Apa itu, Tuan James?” tanya Ady.James menyeringai, “Mereka sudah datang,” jawab James.“Hah? Mereka? Siapa?”“Tentu saja tamu yang kita undang, mereka datang sesuai dengan rencanaku,” ucap James. Ia merasa bangga karena Tira dan rombongannya telah terjebak.“Tapi Tuan, kalau mereka mati. Rasanya kurang puas,” balas Ady.“Aku yakin dia tidak akan mati semudah itu, tapi kalau memang dia mati. Mau bagaimana lagi, kan?” sahut James.Ady pun berpikir tidak masalah kalau memang Tira mati sebelum berhasil menemukan putranya, bagi Ady itu sudah cukup memuaskan karena telah memberikan Tira balasan yang setimpal.Sementara itu di mobil yang Tiran dan Daren tumpangi.“Suara ledakan apa itu?” tanya Tira.“Baru saja aku menerima laporan, kalau ternyata akses menuju ke tempat James berada sudah dipasangi jebakan. Anak buah James juga lumayan banyak,” sahut Daren.“Jadi, bagaimana caranya kita ke sana?” tanya Tira.Daren menyeringai, “Jangan khawatir, Tuan. Tentara dan Polisi berpihak pada kita, j
Setelah Tira mengantar Ayas pulang, ia langsung pergi menemui Daren di bandara, Daren bergegas menghubungi Tira saat ia menerima tugas.Tidak butuh waktu lama Tira telah sampai di bandara, mobil yang ia tumpangi berhenti di dekat sebuah pesawat jet pribadi.Seorang pria berpakaian serba hitam dengan sebuah kacamata hitam, berdiri di dekat tangga pesawat dan langsung membungkuk saat Tira berjalan ke arahnya.“Tuan, ayo kita selamatkan Putra Anda!” ucap pria itu, yang tidak lain adalah Daren.“Maaf sudah merepotkan, terima kasih karena kamu sudah mau datang dari jauh untuk membantu,” balas Tira.“Tuan dan Nyonya besar sudah sangat berjasa padaku, mana mungkin aku tidak mau membantu.”“Bagaimana dengan Ayah?” tanya Tira. Bagaimanapun juga Daren adalah kepala pengawal Ayahnya Tira.“Lebih baik kita bergegas, Tuan. Aku khawatir pada Putra Anda,” ucap Daren.Sudah lama tidak bertemu dengan Daren membuat Tira banyak mengajukan pertanyaan, akhirnya Tira dan Daren masuk ke dalam pesawat.Setel
“Sayang, tunggu!” Sontak Tira langsung mengejar Ayas.Tap!Tira meraih tangan Ayas dan menariknya.“Kalau gak ada yang peduli, biar aku sendiri yang nolong Vano!” ucap Ayas, agak berteriak.Tira menghela napas kasar, “Kamu tenang dulu, sayang. Kita serahkan pada Mama, tapi aku juga gak bisa tinggal diam. Aku juga akan ikut mencari Vano,” ucap Tira.Saat itu Atas yang sedang kesal merasa bodoh, “Sebentar, tadi Papi bilang apa?” tanyanya.“Hem, yang mana?” Tira bertanya balik.“Yang tadi, yang Papi bilang serahkan pada Mama. Apa maksud Papi?”“Oh, itu. Jadi sebenarnya Mamah marah karena Vano hilang, dia bilang menjaga anak satu aja gak bisa,” jelas Tira.Ayas tercenung, “Hah? Mamah marah karena itu?” tanyanya.“Iya, jadi kamu cuman salah paham aja. Justru Mamah malah marah sama kita karena kita gak bisa jagain Vano dengan benar.”Mendengar penjelasan Tira, membuat Ayas merasa menjadi seorang Ibu yang buruk. Ia tidak menyangka kalau Ibu mertuanya justru sangat peduli.“Terus aku harus gi
“Tira, sini kamu!” panggil Sisca, dengan mata melotot.“Iya, Mah!” jawab Tira. Ia lalu menghampiri mamahnya.“Laras, kamu tunggu di sini!” ucap Sisca.“I-iya, Mah!” jawab Ayas, kikuk.Sementara Tira di ajak pergi oleh mamahnya, Ayas duduk di sofa seorang diri. Ia masih agak canggung dengan Ibu mertuanya itu, Ayas juga tidak tahu harus berbuat apa saat ini.Tira diajak oleh mamahnya ke sebuah ruangan, “Duduk!” ucap Sisca, dengan sikap yang dingin.“Iya, mah.” Tira pun duduk di sebuah sofa.Sudah lama Tira dan Mamahnya tidak bicara seserius ini, terakhir kali mereka berbicara serius adalah saat Tira memutuskan untuk menikahi Ayas.“Tira, kamu tau kenapa mamah memanggil kamu ke sini?” tanya Sisca, serius.Tira hanya menggeleng dan tidak menjawab.“Kamu ini sudah punya anak, seharusnya kamu tidak lagi mementingkan diri kamu sendiri!” ucap Sisca. Ia memarahi putranya itu.“Jadi mamah memang sudah tahu kalau—“ Belum selesai Tira berbicara, Sisca sudah tampak emosi.Brakk!“Tau kalau Vano di
Di tempat Vano disandera yang merupakan tempat persembunyian James, seorang pria datang menemui James.“Sepertinya semua berjalan dengan lancar, Tuan James!” ucap pria itu.James tampak tersenyum tipis sambil duduk di sofa besar, “Silakan Tuan Ady, anggap saja rumah sendiri,” sahut James.Pria yang baru saja datang itu tidak lain adalah Ady, ia tampak sangat puas dengan kinerja James. “Profesional memang selalu bisa diandalkan,” puji Ady.“Anda terlalu memuji Tuan, aku hanya melaksanakan semuanya sesuai dengan rencana saja,” ucap James.Ady tampak tersenyum tipis, ia lalu menghampiri Vano yang saat ini sedang berada di sebuah kamar.Ceklek!Saat melihat ada orang yang datang dan membuka pintu kamar, Vano sempat berpikir kalau itu adalah Papi atau Maminya.Namun, orang yang muncul ternyata tidak seperti yang Vano harapkan.“Haloo, adik kecil,” sapa Ady, sambil te
Tira kaget bukan main saat tiba-tiba saja Mamahnya menelepon, ia tidak menyangka kalau Mamahnya akan tahu dan akan memarahinya karena Vano hilang.“Mah—“ Belum selesai Tira berbicara, Mamah Tira terus memarahi Tira.“Kalau kamu gak bisa jagain Vano, harusnya kamu bilang! Jangan diem aja!” Mamah Tira terus saja mengomel, sampai-sampai Tira saja tidak diberi kesempatan untuk berbicara.“Sekarang juga, kamu datang ke sini! Biar semua mamah dan papah yang urus!” ucap Mamah Tira dengan sangat tegas.“Tapi, Mah—“ Belum selesai Tira berbicara, mamahnya sudah mengakhiri panggilan tersebut.Panggilan terputus.Ayas yang melihat Tira tampak kebingungan langsung menghampiri, “Pi, ada apa?” tanyanya.“Ini, Mi. Mamah aku marah-marah,” sahut Tira.Sontak Ayas pun tercekat, “Hah? Marah-marah? Emangnya kenapa?” tanya Ayas.&ldqu
“Kamu yakin?” tanya Tira pada Panji.“Iya, Tuan. Saya sangat yakin, karena mereka benar-benar meninggalkan jejak mereka di CCTV yang ada di rumah. Seolah-olah mereka memang sengaja dan memang ingin menantang kita,” jawab Panji. Ia berani berkata seperti itu karena memang hal tersebut sangat tidak masuk akal.Dan satu-satunya kemungkinan yang terjadi mereka memang benar-benar sengaja, semua sudah dapat Panji tebak dengan baik.“Jadi siapa mereka?” tanya Tira. Ia sudah tidak sabar mengetahui siapa orang yang berani melakukan ini pada keluarganya.Akhirnya Panji pun memberi tahu siapa orang yang sudah membawa Vano pergi, ia adalah seorang pembunuh bayaran yang bernama James.“James?” tanya Tira.“Iya, Tuan. James S adalah seorang pembunuh bayaran, ia tidak segan membunuh targetnya dengan sadis. Dan itu semua tergantung dari permintaan kliennya,” ujar Panji.“Yang paling pe