Dua tangan Dean yang memegangi kepala tampak bergetar. Pria itu tertunduk dalam di posisi duduk. Wajahnya yang menghadap ke bawah itu terlihat masam dan kelabu.
Dean ada di sebuah rumah sekarang. Rumah yang berada di sebuah desa. Rumah itu milik Nara, tempat si mantan kekasih bersembunyi selama ini.
Tadi itu, saat Dean sudah beres dengan dekorasi kafe dan tinggal menunggu Siera datang, ia dihubungi Nara. Terkejut, Dean diminta datang ke rumah ini.
Lelaki itu menolak awalnya. Ia malah akan melaporkan momor Nara pada polisi agar perempuan itu ditangkap. Namun, setelah mendengar pengakuan Nara, serta dikirimi sebuah foto, Dean tak bisa mengelak.
Nara hamil. Gambar testpack yang dikirim si mantan pacar itu dihuni dua garis merah, tanda positif. Nara mengandung anak Dean. Dan sekarang, Dean tengah diharuskan mengambil sikap.
Ini kacau. Sebelum ini, keputusan si lelaki sudah bulat. Ia akan melamar Siera dan menikah. Soa
Dean kembali datang ke rumah persembunyian Nara sore ini. Namun, kali ini si lelaki tidak sendirian. Ia memboyong dua orang lagi. Brian dan Ria, ayah dan ibu Nara.Duduk di ruang tamu rumah, Dean bisa melihat raut takut yang mantan kekasihnya tunjukkan. Agaknya, keputusan membawa orang tua Nara sudah benar. Jika Nara bisa berbuat licik, maka ia pun sama.Biarlah dikatai berengsek. Dicap sebagai pria sialan yang lari dari tanggung jawab. Dean sudah mengambil keputusan. Ia tak mau menikahi Nara, sekalipun perempuan itu tengah mengandung anaknya.Itu sama saja dengan bunuh diri. Menikah dengan Nara sama saja memperpanjang daftar kesalahan dan memperpanjang kesusahan. Rumah tangga yang akan ia bina bersama Nara sudah pasti tidak akan berjalan baik. Sikap tempramen Nara, perangainya yang suka main tangan. Ditambah Dean yang tak mencintai perempuan itu. Lengkap. Mereka akan jadi perpaduan siksaan paling indah bagi si calon bayi.Maka itu
Dean menemukan Siera di rumah Mike beberapa hari kemudian. Pria itu sungguh bersyukur sebab didatangi ide untuk singgah di sini sebelum pulang ke rumah.Perempuan itu terlihat tidak baik. Matanya bengkak, wajahnya memerah. Saat Dean datang tadi, Siera terlihat duduk di samping Mike sambil menyeka mata dengan punggung tangan. Sungguh pemandangan yang menyayat hati.Dean jadi melakukan kilas balik. Selama ini, alasan kenapa perempuan itu selalu menangis seperti itu hanya satu. Dirinya."Aku mau bicara, Siera." Dean belum menjelaskan apa-apa pada Siera. Telepon atau pun pesan yang pria itu kirim beberapa hari kemarin tidak satu pun direspon.Mike bangkit dari duduk. Pria itu itu mengangguk beberapa kali pada anaknya. Menyerahkan semuanya pada Dean. Berharap apa pun yang terjadi ke depan adalah sesuatu yang baik. Peliknya keadaan turut ia rasakan."Matamu bisa makin bengkak. Jangan nangis lagi." Dean mengambil tempat di sa
Sore yang hancur lebur. Setelah menuntaskan kewajiban di kampus, Dean sesegera yang dibisa menuju rumah kontrakan Siera, si mantan istri.Setelah beberapa hari tidak mendengar kabar perempuan itu, akhirnya hari ini Dean mendapatkannya. Tidak langsung dari Siera, tetapi dari Mike.Ayah Dean menyampaikan bahwa hari ini, tepatnya pagi tadi, Siera berpamitan. Ke mana perempuan itu akan pergi, Mike tidak diberitahu. Dean terpaksa harus mendatangi rumah Siera sore ini, karena tadi ia harus menjadi salah satu dosen penguji dari beberapa mahasiswa yang sidang skripsi. Sungguh tak bijak jika ia mangkir tadi.Dean berharap Siera belum benar-benar pergi. Perempuan itu hanya berpamitan lebih awal pada Mike. Lagipula, Siera bukan seseorang yang jahat. Yang tega pergi, tanpa pamit.Tiba di kontrakan si mantan istri, Dean langsung memanggil si penyewa rumah. Dua kali, tanpa ketukan di pintu. LIma kali dengan menggedor pintu. Sayang, semuanya itu
Seburuk apa pun keadaanmu, waktu tak akan pernah sudi untuk berhenti dan memberi jeda agar kau pulih. Kau harus memulihkan dirimu sendiri, sambil terus berlari melalui waktu.Hal itu yang sedang Dean rasakan sekarang. Walau hatinya patah karena ditinggal begitu saja oleh Siera, pria tidak bisa begitu saja mengabaikan dunia.Seperti siang ini. Meski kepala sungguh sakit, lelaki itu masih harus menghadapi salah satu mahasiswi bimbingannya. Sudah lelah mengajar, ia nyaris hilang kesabaran.Mahasiswi itu, namanya Intan. Yang pada bimbingan pertama memberinya sebatang cokelat sebagai ucapan terima kasih. Kali ini, masalah gadis itu masih sama. Penjabaran salah satu bagian di tugas akhirnya yang tidak sesuai panduan."Kamu harus buat lebih ringkas. Jabarkan hanya poin penting, ini bukan novel atau naskah sinetron di teve." Dean kembali mencoret salah satu bagian di kertas. Menuliskan sedikit catatan di dekatnya sebagai panduan.
Dean berusaha mengalihkan patah hati. Meski berat, ia tetap fokus dengan pekerjaan. Sesekali mengunjungi Mike dan menghabiskan waktu untuk mencoba sesuatu yang baru.Sore ini misalnya. Karena hanya punya tanggungan satu kelas dan itu pun sudah selesai sebelum jam makan siang, Dean pergi melakukan olahraga dengan beberapa temannya. Futsal. Walau tidak gemar, setidaknya kegiatan itu bisa sedikit memalingkannya dari hal-hal yang membuat sedih.Sudah lama tidak bermain, pria itu agak kaku tadi. Selain itu, ia juga beberapa kali diejek karena setelah sekian lama, baru ini mengontak teman lama. Namun, secara keseluruhan acara hari ini tidak terlalu buruk.Yang buruk itu, ketika Dean pulang ke rumah. Usai membersihkan diri, pria itu kelaparan. Ia pun berinisiatif untuk membuat mi instan. Sayang, stok mi habis. Terakhir, Dean meracik nasi goreng.Nasi, telur, kecap, penyedap rasa sudah, Dean baru sadar jika di dapurnya tidak ad
"Kamu itu sama busuknya dengan aku. Jangan sok suci, An.""Siera udah pergi. Jelas. Dia pasti nggak mau sama laki-laki kayak kamu.""Orang-orang bilang, apa yang kita lakuin salah. Kita berdosa, jadi, ayo bersama menanggung upah dosa itu, An. Kita bisa sama-sama lagi." Di kursinya, Dean mengusap wajah. Wajah yang nyaris selalu dihiasi ekspresi lelah, sendu dan dingin.Pria itu kembali mengingat semua ucapan Nara siang ini, di ruangannya. Kalimat-kalimat yang semakin membuat rasa percaya diri Dean habis terkikis. Mematahkan hati dan harapan, membuatnya merasa kosong, tak berharga dan bersalah.Dikatai demikian, jelas lelaki itu tak punya penyangkalan. Ia dan Nara memang sama-sama busuk. Melakukan sesuatu yang busuk, yang jelas-jelas dilarang. Bukan sekali dua kali, tetapi selama tiga tahun penuh.Dean menyebut Nara sialan, busuk dan iblis? Mungki
Benar yang orang-orang katakan. Sesuatu akan terasa berharga dan amat sangat penting, saat sudah tiada.Dulu, mana pernah Dean punya niat melakukan hal seperti ini. Membayangkan saja mungkin tidak pernah. Namun, telanjur rindu, menepikan gengsi sedikit, pria itu tak lagi malu.Di hari libur, setelah tadi sempat tidur-tiduran tidak jelas di rumah yang sepi, Dean memutuskan mengunjungi Mike. Bertukar kabar dan mengobrol dengan sang ayah sebentar, lalu pergi ke kamar orang tuanya. Menempati sisi ranjang yang dulu dipakai Ana.Dean rindu. Jika bisa, ia ingin Ana ada di sana. Di sampingnya, menemaninya melewati masa hukuman yang luar biasa menyesakkan.Tidak disiksa dengan penyakit, yang Dean alami saat ini lebih parah. Pria itu ditipu, diliputi sesal dan rasa bersalah serta yang paling memilukan, ditinggalkan.Berbaring di kasur yang selalu ibunya pakai dulu, Dean menyadari itu hanya perbuatan sia-sia. Namun, tetap dilakuk
"Aku udah enggak punya tanggung jawab apa-apa lagi sama dia, Siera. Apa ... di sana kamu betah tanpa aku? Kamu ... kamu benar-benar udah lupa sama aku?"Dean kembali tak mendengar suara apa-apa. Tak sabar, pria itu memecah sepi."Siera? Kamu dengar aku?"Ada tawa dari seberang sana. Namun, Dean yakin itu bukan ungkapan rasa senang. Alih-alih tak sabar seperti tadi, Dean mendadak diserang rasa takut dalam diamnya."Makin andal kamu bohongnya, ya? Aku enggak suka. Kamu bikin aku nangis ini."Ada sesuatu yang pecah di dada Dean. Menghantar sakit dan pahit yang teramat."Kamu kira aku bakal percaya, ya? Kayak yang udah-udah?"Dean menangkap suara isakan. Pria itu menjambak rambutnya. Sekali lagi, harapnya harus hancur tak bersisa."Aku enggak bohong, Siera. Aku enggak bohong. Nara memang enggak hamil.""Jahat kamu. Kamu suruh dia aborsi? Ah, kenapa kamu bisa jadi sejahat
Dean yang sudah sangat mengantuk dan hampir lelap berbalik untuk menatap Siera. Istrinya itu terus bergerak gelisah sejak setengah jam tadi. Mengubah posisi tidur terus-terusan, sesekali memukuli bantal.Apa sedang cari perhatian?"Kenapa, Siera? Enggak bisa tidur?" Dean menumpu kepala dengan tangan.Yang ditanya mengangguk. Matanya mengerjap cepat, seolah sedang membujuk."Kenapa? Lapar?" Dean menebak.Si istri menggeleng."Sakit perut?" Dean membawa tubuhnya duduk bersila."Pengin makan sesuatu, Paksu."Diam-diam Dean menelan ludah hati-hati. Kalimat itu adalah sesuatu yang sejak seminggu lalu ia takutkan. Akhirnya muncul juga."Apa?" Alis Dean mengait tak ramah."Belimbing."Matanya melebar, Dean kemudian mengusap wajah. Pria itu menggaruk rambut. Sampai sekarang, mereka belum juga memeriksakan keadaan Siera. Belum berani. Namun, dari ting
Mengendarai motor tak tentu arah selama berjam-jam, Dean akhirnya memilih mendatangi rumah Mike. Itu sekitar pukul dua belas malam, kedatangannya disambut raut heran sang ayah."Ayah tidur aja. Aku cuma mau numpang sampai besok pagi."Mike mengabaikan usiran halus itu. Ia duduk di samping sang putra. "Bertengkar dengan Siera? Tumben sampai minggat." Lelaki tua itu berusaha bercanda. Namun, Dean hanya merespon dengan senyum yang dipaksakan.Bungkam selama beberapa menit, Dean membuka bibir. "Aku takut, Ayah. Aku takut anak-anakku nanti akan menerima akibat dari perbuatanku dulu."Misal Siera melahirkan anak laki-laki. Bagaimana jika Dean tidak becus mendidiknya? Dirinya saja yang mendapat didikan benar dari Mike, sempat melenceng. Konon anaknya nanti. Dean pesimis dirinya sudah layak menjadi seorang ayah."Kalau dia perempuan, gimana, Ayah? Gimana kalau dia ketemu laki-laki yang kayak aku? Gimana kalau dia disakiti sama
"Mau beli apa, Nak? Mau jajan apa?"Siera mengulum senyum saat mendapati dua orang pelanggan datang ke warungnya. Hari ini giliran Siera yang berjaga, Dean sedang mengurus keperluan pembukaan warung makan mereka yang akan digelar minggu depan.Setahun menggeluti usaha warung kelontong, Dean berhasil mengumpulkan modal untuk membuka warung makan. Pria itu memang gigih dan berbakat dalam setiap pekerjaan yang dilakukannya. Ekonomi mereka berangsur makin stabil, semua baik, kecuali satu."Susu formulanya satu, ya, Buk. Yang biasa." Pelanggan tadi meminta dengan sopan pada Siera.Siera mengambilkan barang itu. Matanya kembali memandangi gadis kecil yang pelanggannya tadi gendong. Mereka ayah dan anak yang memang biasa belanja. Setiap sore begini, si ayah yang pulang bekerja akan membawa anaknya membeli jajan ke warung Siera ini.Kebersamaan ayah dan anak itu membuat hati Siera senang, sekaligus sedih tiap kali melihatnya.
Suasana kamar sore itu semakin hangat. Siera merasa dirinya terbakar oleh tiap sentuhan dan kecupan Dean. Pria itu memang selalu andal membuatnya terbang.Terbaring di atas ranjang mereka, Siera mendongakkan wajah kala sapuan telapak tangan Dean mampir di paha. Laki-laki itu membuatnya terbuka dan siap untuk berkelana ke nirwana.Saat Siera merasa jarak mereka sudah sangat dekat, tiba-tiba saja Dean bangkit dari atas tubuhnya. Pria itu menarik laci, mengambil sebuah benda dari sana. Dalam usahanya mengatur napas yang terengah, Siera melihat pria itu memakai pengaman.Seminggu sejak mereka menikah, Dean mulai melakukan ini. Pria itu melapisi dirinya dengan benda karet itu. Saat ditanya kenapa, jawabannya membuat Siera sedih."Kamu udah periksa ke dokter, 'kan, Paksu? Kamu sehat, untungnya. Kenapa pakai itu?"Tanya itu Siera berani suarakan di pergumulan mereka yang kesepuluh. Dean langsung memasang wajah sedih kala itu.
Siera yang baru saja pulang dari rumah Mike memutuskan turun di warung milik Dean, alih-alih langsung ke rumah. Perempuan itu khawatir suaminya lelah melayani pembeli sejak pagi hingga sore, dan akan menawarkan bantuan. Dean bisa pulang dan dia yang menjaga warung.Sebulan pernikahan, Siera benar-benar bahagia. Dean makin hari semakin perhatian. Pria itu mulai mengabaikan sedikit gengsi dan sudah lebih sering menunjukkan rasa peduli.Satu contohnya, Dean sudah tak perlu diingatkan untuk menghubungi Mike atau menjenguk ayah mereka itu. Dean bahkan pernah tanpa sepengetahuannya membelikan si ayah mertua sepatu.Tiba di warung kecil mereka, Siera melempar senyum pada si pria berkaus abu-abu. Rasanya sedikit aneh. Biasanya, saat bekerja, Dean akan mengenakan kemeja dan celana kain fromal. Tidak sesantai sekarang. Hanya kaus dan celana pendek. Namun, tetap saja ketampanan suaminya itu tak berkurang."Capek, Paksu? Mau gantian?" Siera me
"Aku udah jual rumah ini. Uangnya udah habis."Dean menanti, mengamati dengan cermat raut wajah istrinya. Awalnya perempuan itu terkejut, kemudian meringis kesal. Siera melempar diri ke sofa, berulang kali menarik dan membuang napas."Kamu enggak mau tanya kenapa aku jual rumahnya dan ke mana uangnya?"Perempuan itu menoleh. Satu tangannya terangkat. "Bentar. Aku napas dulu. Siap-siap dulu," ujarnya dengan dahi berkerut.Di tempatnya berdiri, Dean mengulum senyum. Hah, dia menyesal setengah mati. Kenapa tidak dari dulu memilih perempuan itu sebagai teman hidup? Walau ditempatkan di situasi yang buruk, Siera tetap berusaha tenang. Garis bawahi, berusaha. Bukan Dean tidak tahu jika sekarang emosi istrinya sedang mendidih.Siera memilih mendinginkan kepala dulu, mengambil waktu untuk bersiap, padahal jika langsung mengamuk pun, itu sangat wajar. Kenapa dulu Dean malah terjebak dengan seseorang yang sesuka hati melam
"Apa, sih, gunanya hape?"Siera melempar ponselnya ke atas sofa, setelah panggilan yang ditujukan pada Dean kembali tidak dijawab. Duduk di samping gawainya, si perempuan bersedekap dengan wajah ditekuk. Melirik sebentar ke arah pintu, lalu mengerutkan dahi.Sekarang sudah pukul sembilan malam. Dean belum pulang dan mengabaikan semua panggilan dan pesan Siera. Membuat si istri cemas, tetapi juga kesal.Ke mana Dean pergi? Mencari kerja seperti yang tadi pagi ia suruh? Yang benar saja! Sampai jam segini? Siera curiga Dean malah sedang berduaan dengan Intan di suatu tempat.Membuang napas kasar, Siera mengusap dada. Harus konsisten dan tanggung jawab atas pilihan. Kalau pun misal Dean memang sedang bersama Intan maka Siera akan ....Siera akan menjambak dan memukul Dean. Sungguh, bila benar suaminya itu kembali mengulang kesalahan seperti saat bersama Nara, maka Siera tak akan bersikap lembut lagi.Tak lama,
Setelah pernikahan, lalu apa?Ya bermesraan. Saling mengungkapkan cinta dengan cara yang lebih intim. Mungkin jalan-jalan ke tempat baru, menghabiskan hari dengan bekencan dan sebagainya yang menyenangkan.Atau, di rumah saja. Seharian di kasur, membicarakan dan merancang masa depan. Mungkin mendiskusikan soal jumlah anak dan nama mereka. Namun, itu tidak berlaku untuk Siera. Sebab setelah resmi menjadi istri Dean lagi, perempuan itu malah didiamkan.Selepas acara sederhana dengan keluarga, mereka pulang ke rumah Dean yang lama. Makan, mandi, lalu istirahat, karena lelah. Setelahnya? Hanya saling bertatapan beberapa kali lalu diam.Jika alasannya lelah, Siera bisa paham. Namun, yang Dean tunjukkan ini bukan sikap pengantin pria yang kelelahan sehabis acara pernikahan dan tidak berselera melakukan apa pun. Pria itu memang sengaja membuat jarak. Menjauh darinya, sejauh mungkin.Bayangkan. Semalam, Dean menaruh guling di
Dean dengan sengaja merebahkan tubuh di sofa. Pria itu memejam dengan satu satu lengan di dahi. Bersikap selayaknya tak mendengarkan ocehan perempuan di sana.Tidak sendiri di ruang tamu rumah Mike, sekarang pukul sepuluh. Sang ayah sudah istirahat, Bu Ratna juga, tersisa ia dan Siera. Dan lagi, Siera sedang membicarakan ajakan menikah. Seolah tak lelah dan bosan."Kamu tidur, Dean? Kamu enggak dengerin aku?"Tidak dengar apanya? Seminggu lebih menelan semua bujuk rayu Siera, Dean mampu jika disuruh mengulang, walau tanpa teks. Hapal. Dean sudah hapal."Ayo nikah lagi. Kamu enggak kasihan sama aku? Aku ini mantan istri kamu, yang jatuh cinta sama kamu, dan sekarang ngemis untuk dinikahi. Enggak kasihan? Enggak mau? Udah ada pacar baru kamu?"Masih mempertahankan posisi berbaring, si lelaki tidak menjawab. Sampai sekarang, benar ia belum bisa memutuskan apakah harus memulai lagi hubungan dengan Siera atau tidak. Walau s