Lia memasuki ruang kerjanya. Sebelum membuka pintu ruangannya, dia sempatkan diri melirik ruang kerja Revan yang masih kosong. Revan sepertinya belum berangkat, atau mungkin dia ada meeting di luar sehingga masuk kerja agak terlambat?Lia memasuki ruangan dan benar saja, ruangan yang tadinya riuh ramai langsung berubah sepi saat dia muncul.Semua mata menatap dirinya, lebih tepatnya menatap matanya yang membengkak. Semoga saja mereka hanya melihat mata Lia, bukan bibirnya.Secara tidak sadar, Lia berusaha menutupi bibirnya dengan tangan lalu berdhehem dan buru-buru duduk di kubikelnya."Habis berantem sama pacar ya? masa baru jadian udah berantem aja," celetuk Novi.Lia yang sedang menyalakan komputernya sempat terkejut dan menghentikan aktivitasnya, namun tak berselang lama, dia sudah bisa mengendalikan diri dan melanjutkan pekerjaannya."Namanya pacaran mah, biasa berantem kok, Li. Itu bumbu dalam bercinta," ucap Rita sambil tersenyum."Iya, kalau nggak berantem, pacarannya jadi ham
"Ada apa ya? Kok tiba-tiba staff admin sama staff gudang di suruh meeting?" gumam Mita. Mereka berempat, Novi, Rita, Mita dan Lia sedang berjalan menuju ruang meeting, karena baru saja Pak Revan mengirim pesan agar segera berkumpul di ruang meeting. "Nggak tau nih, sales juga sudah pada berangkat jadi nggak ada yang ikut meeting," timpal Rita. "Mungkin yang meeting cuma staff admin dan gudang saja," Mita membalas. "Duh, ada apa ya? Bikin deg-degan deh!" Rita mengelus dadanya, takut. "Kamu nggak tau, Li?" Tanya Novi sedikit ketus. Lia menoleh ke arah Novi, bingung dengan pertanyaan yang keluar dari mulutnya. "Kamu kan tadi di ruangan Pak Revan, lama pula. Pasti kalian ngobrol, kan? Siapa tau tadi Pak Revan sudah ngomong sama kamu!" Sinis Novi. Rita dan Mita yang penasaran, langsung menatap Lia. "Tadi aku lama, karena di ruang Pak Revan ada tamu. Jadi aku nunggu sampai tamunya pergi," Jawab Lia, enggan berdebat. "Kirain sudah tau dan dapat bocoran," Novi mencibir kan mulutnya.
Lia memarkir motornya di carport rumah Revan. Dia sengaja meletakkan motornya mepet ke tembok supaya jika mobil Revan masuk, tidak kesusahan. Lia tiba lebih dulu di rumah Revan dan tak lama kemudian, mobil Revan masuk dan berhenti tepat di dekat Lia. Lia tersenyum saat melihat Revan keluar dari mobilnya, namun Revan tak membalas senyumnya. Dia tampak tak senang dan kesal. Kenapa? Revan berjalan menuju teras, kemudian masuk ke dalam rumah meninggalkan Lia yang masih berada di luar.Lia terdiam tak percaya, tadi dia disuruh datang, tapi malah di cuekin? Ada apa gerangan dengan pacar barunya ini?Lia menghela napas, sebelum akhirnya berjalan menyusul Revan, masuk ke dalam rumah. Lia mencari keberadaan Revan, dia tak ada di ruang tamu sehingga Lia memutuskan untuk ke dapur. Dan benar saja, Revan ada di sana, membuka pintu kulkas, mengambil sebotol air mineral dan menenggaknya hingga tandas. Revan seperti unta yang kehausan. "Kenapa?" Tanya Lia, hati-hati. Dia tau suasana hati kekasi
Pagi ini Lia berangkat kerja dengan perasaan yang tidak menentu. Entah kenapa, sejak menjalin hubungan dengan Revan, hidupnya yang semula datar dan biasa saja berubah drastis seperti naik roller coaster.Mungkin juga ini memang salah Lia sendiri, karena sudah berani mengambil keputusan yang sangat besar, yaitu menjalin hubungan dengan suami orang.Lia menghela napas dengan kasar. Hatinya terasa sesak, tapi dia tak bisa berbuat apa apa. Lia pasrah akan apa yang akan terjadi nanti, dia juga tak akan menyalahkan Revan, jika dia berubah pikiran dan memutuskan hubungan dengan Lia. Lia sadar diri, dia hanya wanita biasa tak ada kelebihan apa apa.Lagi lagi, Lia menghela napas saat menempelkan jempolnya di mesin absensi."Kenapa? dari tadi aku perhatikan, kok, menghela napas terus?"Lia tersentak kaget dan menoleh ke asal suara yang begitu dekat di telinganya."Pak Tristan…" gumamnya."Ck! jangan panggil, Pak! Tristan aja. Kesannya kok tua amat," Tristan tersenyum.Lia mengangguk."Oiya, maa
"Kamu punya sakit maag, tapi pagi pagi sudah minum kopi bahkan belum sarapan!" Tristan duduk di sebelah ranjang Lia sambil melipat kedua tangannya di dada. Dia menggelengkan kepala tanda tak percaya pada sikap Lia yang kurang peduli dengan kesehatannya sendiri. Lia diam, dia memang merasa bersalah. Mungkin karena semalaman stres memikirkan Revan jugalah salah satu penyebab maag nya kambuh. "Makasih Pak, sudah menolong Saya," Ucap Lia lirih. Dia menunduk tak berani menatap Tristan yang masih memelototinya. "Saya mau pulang dan istirahat di rumah saja," Lia hendak bangun dari tidurnya, namun Tristan dengan cepat mencegahnya. "Kata dokter, setelah infusnya habis, baru boleh pulang. Kamu ingin makan apa? Biar kucarikan," lanjut Tristan. "Saya nggak ingin makan apa-apa," jawab Lia lemah. "Ck! Aku carikan roti di minimarket dekat dekat sini ya," Tristan terlihat menahan emosinya. Saat Tristan hendak bangun dari duduknya, tiba-tiba Anita muncul dan memeluk Lia yang masih berbaring di
"Tapi, Pak…" Lia berusaha menghentikan laju roda kursinya. Dia tak mau tinggal di rumah Revan. Bagaimana jika suatu saat orang tuanya datang lagi? Atau mungkin yang lebih parah, istrinya datang? Ah! Membayangkannya saja, kaki Lia langsung terasa lemas dan perutnya seperti diaduk-aduk, rasanya mual dan ingin muntah. "Saya nggak bisa! Tolong jangan paksa Saya!" Pekik Lia. Revan terdiam, dia langsung menghentikan langkah kakinya. "Tolong jangan buat aku makin stres! Gara-gara tingkah konyol mu kemarin, aku jadi stres dan membuat diriku sendiri sakit! Aku mau sendiri! Aku butuh istirahat!" Bentak Lia, kesal. "Maafkan sikapku kemarin, Lia. Aku tau aku salah karena kekanak-kanakan," sesal Revan. Lia hanya menarik napas panjang lalu menghembuskannya dengan keras. Saat melihat Anita dan Tristan dari kejauhan, Lia merasa lega. Buru-buru dia memanggil sahabatnya. "Anita!" Lia berusaha bangun dari duduknya. "Lho, Lia? kamu sudah boleh pulang?" Anita langsung mendekat dan memegangi tang
"Lia, makan dulu, yuk." Anita berusaha membangunkan Lia yang masih tertidur."Bubur ayamnya sudah datang, mumpung masih anget loh," lanjut Anita."Hmm, aku malas makan, Nit," jawab Lia dengan malas. Dia hanya ingin tidur dan beristirahat."Makan dulu lah, dari pagi belum makan loh, ntar nggak sembuh-sembuh.""Biar lah, nggak sembuh juga nggak apa-apa, biar bisa ketemu Ibu…" desis Lia. Entah bisikan apa yang merasuki Lia sehingga dia bicara ngelantur seperti itu. Lia terlihat lesu dan tak punya semangat."Amalia Hapsari!" teriak Anita marah. "Jaga bicaramu ya! kamu mau aku pukul pakai sapu! cepat bangun dan makan!"Anita menarik tangan Lia dengan keras dan membuat Lia dengan terpaksa terbangun dari tidurannya."Buka mulutmu!" titah Anita sambil menyuapkan sesendok bubur ke mulut Lia.Dengan malas, Lia membuka mulutnya dan menelan bubur yang disuapkan Anita."Sudah, Nit," Lia berusaha menepis suapan ke dua, namun Anita tak menggubrisnya. Dia tetap memaksakan sendok berisi bubur itu agar
"Lia…" Revan mengetuk pintu rumah Lia. "Baru jam delapan malam, apa mungkin dia sudah tidur?" ucap Revan bermonolog ketika pintu yang dia ketuk tak kunjung dibuka. Namun tak lama kemudian, pintu rumah Lia pun dibuka, dan muncullah Lia yang hanya mengenakan gaun tidur yang dipadukan dengan sweater. "Ada apa Pak Revan ke sini?" tanya Lia kebingungan. "Saya tadi telepon Anita, katanya dia nggak nginep di sini. Jadi kamu sendirian?" Revan masih berdiri di ambang pintu, dia tak berani masuk mengingat waktu sudah malam dan Lia tinggal di rumah ini sendirian. Revan takut jika warga sekitar tak suka dan membuat Lia kesusahan nantinya. "Iya, Saya yang suruh dia pulang buat istirahat." Lia menarik sweater nya agar menutupi bagian dadanya yang sedikit terbuka. Apalagi Lia sudah melepas bra nya tadi, karena memang Lia tak pernah tidur menggunakan bra. "Tapi kamu kan masih sakit, kalau ada apa-apa tengah malam bagaimana?" Omel Revan. "Aku sudah sembuh kok, lihat jalan ku sudah nggak bungkuk