ALVA terpaksa mengiyakan dan berhenti mengusik Risa lagi. Pendapat seseorang memang tidak bisa dipaksakan, tidak bisa langsung diubah begitu saja, terlebih jika orang itu sejatinya sangat keras kepala seperti perempuan dalam dekapannya.
"Oke, gue ngerti." Alva mengeratkan pelukannya sembari menciumi setiap sisi wajah Risa dan sesekali mengerang pelan di dekat telinganya. "Kalau menurut lo semua rasa ini cuma euforia aja, gue pasti bakal ngerasa bosan suatu hari nanti, kan?"
Risa mengangguk pelan. Dia menatap Alva dengan tatapan tak mengerti. Terutama saat pria itu kembali mencium bibirnya, memagutnya dengan pelan, sebelum ciumannya turun ke leher dan mulai memberikan sebuah gigitan di sana.
Risa mengerjap, dia langsung mendorong Alva menjauh dan menatapnya tajam. Tidak, dia tidak akan membiarkan Alva meninggalkan tanda apa pun di lehernya mulai sekarang.
"Kenapa?" protes Alva tampak tak te
RISA mulai menanyakan kembali keputusan yang ia ambil minggu lalu. Apakah langkah yang diambilnya benar? Apakah dengan membiarkan dirinya menjadi wanita murahan yang tubuhnya rela dinikmati setiap malam memang tindakan yang tepat untuk membuat Alva lekas bosan padanya?Sepertinya ... tidak. Bahkan sebaliknya, Alva kian bernafsu dan makin bersemangat begitu tahu Risa lagi dan lagi akan menginap di tempatnya.Baru seminggu ... kenapa gue udah mulai ngerasa ragu? Dilihatnya Alva yang bekerja dengan serius di balik meja kerjanya. Di sisi lainnya ada Ralf yang diam-diam menatapnya penuh tanya.Risa mengulum senyum, menggeleng pelan, lalu melanjutkan kembali pekerjaannya. Baru seminggu ... sebulan lagi dia pasti udah bosan sama gue. Tenang, Sa, dia nggak mungkin suka sama lo, dia cuma berambisi buat dapatin lo. Itu semua hanyalah obsesi gila dia yang ditambah dengan euforia, dan semua itu bukanlah c
RISA sedang berpikir. Apakah tidak apa-apa jika malam ini ia tidur di sini? Mengingat, sekarang dia sedang berpura-pura mendapat tamu bulanan. Bagaimana kalau Alva tiba-tiba saja ingin memeriksanya secara langsung, karena dia tidak percaya pada Risa?Risa bergidik ngeri membayangkan pemikirannya sendiri. Perempuan itu baru saja berbaring saat Alva keluar dari kamar mandi hanya menggunakan celana pendek sampai lutut. Pria itu bertelanjang dada dengan santainya, sedang di tangan kirinya sebuah handuk putih yang sedang digunakan untuk mengusap rambutnya yang basah."Va?" panggilnya terdengar ketakutan saat Alva melemparkan handuk kecil itu ke keranjang pakaian kotor, lalu bergabung dengannya di atas ranjang."Hm? Kenapa?"Risa melirik perut Alva yang entah kenapa terlihat menggoda. Dia merasa ingin menyentuhnya, tapi gelengan cepat dia lakukan untuk kembali menyadarkan dirinya.
MALAM itu, kepala Risa terasa begitu penuh. Pertanyaan demi pertanyaan menghantui isi pikiran, tapi tak ada satu pun tanya yang keluar dari bibirnya. Dia hanya diam saja dan mencoba untuk memejamkan mata. Tepat di sebelahnya, Alva terus memandanginya. Pria itu mengamati Risa, sejak Risa sedang mengobati bekas luka di wajahnya."Kalau lo mau ngomong sesuatu, ngomong aja, jangan hanya diem aja kayak gini," kata Alva sembari mengulurkan tangan, menyentuh pipi Risa yang terpaksa kembali membuka mata dan menatap pria di sebelahnya tanpa ekspresi. "Sa, kalau lo ngerasa nggak ngerti, lo bisa nanya ke gue."Risa hanya tersenyum tipis, lalu menggelengkan kepalanya pelan. "Itu semua nggak perlu, Va. Kalau gue emang mau tahu, bukan lo orang yang tepat buat gue tanyain soal itu."Alva membungkam bibirnya rapat-rapat. Risa benar, jika dia ingin mengetahui sesuatu, maka dia harus membicarakan masalah itu dengan Alan, bu
HAL yang paling ia nantikan selama ini adalah pertemuan dua orang itu setelah semua masalah di antara mereka terjadi. Alva ingin tahu, bagaimana reaksi Risa setelah apa yang telah Alan lakukan terhadapnya selama ini.Apakah perempuan itu akan kembali luluh dan diam saja seperti sebelumnya? Atau dia menunjukkan adanya perubahan dari sifat jelek yang diam-diam dia miliki sebelumnya Alva ingin tahu bagaimana reaksinya.Alva bersembunyi di balik pohon besar sambil melirik interaksi mereka yang berada tak jauh dari hadapannya. Walau kedua tangannya harus mengepal lantaran geram saat wanitanya disentuh, dipeluk, bahkan dicium oleh sepupunya.Namun, pada akhirnya dia puas saat melihat reaksi Risa mengenai perlakuan Alan padanya. Senyumnya mengembang dengan sempurna. Bahkan dia tampak sangat puas saat melihat dua orang itu terlihat berdebat hebat di seberang sana.Wajah tak berkutik Alan dan ekspr
RISA harusnya mengerti jika dia akan bertemu dengan Alan sekali lagi untuk hari ini. Terutama karena Alan berada di kantornya sekarang. Pria itu datang kemari dengan alasan pekerjaan yang tentunya, dia tidak akan pergi sebelum kerjaannya selesai. Dan Risa ragu, pekerjaan Alan akan selesai tepat waktu.Alasannya sederhana. Alan ada di sini, karena Risa. Dia sengaja datang karena ingin mengembalikan hubungan mereka kembali seperti semula. Dan mengingat sifatnya, sekeras apa pun Risa menolak dan mengatakan jika semua usahanya percuma, Alan akan tetap di sana dan menunggu Risa untuk mengubah keputusannya.Risa mengembuskan napas kasar saat melihat Alan melambaikan tangan ke arahnya atau ke arah mereka. Pria itu langsung mendekati meja dan menarik kursi yang ada di depan Risa. Mereka kini berhadapan di sebuah meja makan yang ada di kafetaria kantor.Risa merasa jika perutnya langsung kenyang. Terutama saat Alan
ALVA tidak mengerti, apa yang sebenarnya diinginkan Risa dari Alan saat ini. Hubungan mereka sudah berakhir, itu jelas, tapi Risa seperti sedang memberikan sebuah harapan semu pada Alan dengan sisi perhatian yang menurut Alva terlalu berlebihan. Risa seperti memberi isyarat kalau dia akan berubah pikiran suatu hari nanti.Walaupun Risa berkata semua itu hanya perlakuan biasa sebagai seorang teman, tapi Alva merasa tidak terima dengan semua tindakannya. Dia tidak rela. Hatinya bahkan terbakar begitu melihat Risa memberikan perhatiannya pada Alan, bukan hanya padanya seorang.Padahal, dalam hatinya dia ingin Risa memperhatikannya, hanya dirinya, tapi kemudian dia ingat jika dirinya bukan siapa-siapa."Kenapa dia nggak ngerti-ngerti maksud gue, sih? Bukannya dia sendiri yang bilang, kalau hubungan ini nggak berhasil, kita bakal balik temenan kayak dulu lagi. Kenapa dia malah jadi kayak gini?" Risa merutuk di
ALAN sengaja menunggu di depan pintu ruang kerja teman-temannya setelah urusan pekerjaannya selesai. Dia ke tempat itu karena ingin menanyakan sesuatu, tapi jujur saja dia tidak tahu harus memulai pertanyaannya dari mana.Dia hanya berdiri diam di sana. Dengan menyenderkan punggungnya ke tembok, tepat di sebelah pintu masuk ruangan. Dia menunggu dengan mata terpejam dan kedua tangan bersedekap. Sesekali dia akan membuka mata, melirik jam di tangan kirinya, hingga saat yang ia tunggu tiba.Beberapa orang mulai keluar dari ruangan itu. Alan masih diam, dia masih menunggu. Bahkan saat Risa melangkahkan kaki melewati pintu dan langsung menatapnya. Pria itu masih diam di tempat. Berusaha keras untuk tak menoleh bahkan melirik sedikit pun ke arah mantan kekasihnya.Walau dia sangat ingin melakukannya, tapi dia tahu, Risa tidak ingin melihatnya lagi setelah apa yang terjadi di antara mereka tadi.
RISA terbangun dari mimpi anehnya dengan napas memburu. Peluh menetes di pelipis dan keningnya. Matanya melotot tajam, memandang horor pada dinding ruang kamar kos-kosannya.Mimpi yang aneh. Mimpi yang mengerikan. Di dalam mimpi itu, dia sedang menyentuh seluruh tubuh Alva setelah meminta pria itu pasrah akan semua sentuhannya. Alva terbaring di atas ranjang tanpa mengenakan pakaian apa pun, dengan kedua tangan terentang, dia mengatakan, "Kamu boleh melakukan apa pun padaku."Risa menggeleng cepat. Bagaimana mungkin dia bisa memimpikan hal seperti itu? Bagaimana mungkin dia berani menjadi seliar itu saat bersama Alva? Padahal sebelumnya, jangankan melakukan hal seperti itu, membayangkannya saja dia tidak pernah.Risa menggelengkan kepalanya lagi. Benar-benar mimpi aneh dan mengerikan sekali. Mimpi yang mengingatkannya akan peristiwa tadi siang, saat Risa tak bisa memikirkan apa pun selain mencium bibir dan