RISA mulai menanyakan kembali keputusan yang ia ambil minggu lalu. Apakah langkah yang diambilnya benar? Apakah dengan membiarkan dirinya menjadi wanita murahan yang tubuhnya rela dinikmati setiap malam memang tindakan yang tepat untuk membuat Alva lekas bosan padanya?
Sepertinya ... tidak. Bahkan sebaliknya, Alva kian bernafsu dan makin bersemangat begitu tahu Risa lagi dan lagi akan menginap di tempatnya.
Baru seminggu ... kenapa gue udah mulai ngerasa ragu? Dilihatnya Alva yang bekerja dengan serius di balik meja kerjanya. Di sisi lainnya ada Ralf yang diam-diam menatapnya penuh tanya.
Risa mengulum senyum, menggeleng pelan, lalu melanjutkan kembali pekerjaannya. Baru seminggu ... sebulan lagi dia pasti udah bosan sama gue. Tenang, Sa, dia nggak mungkin suka sama lo, dia cuma berambisi buat dapatin lo. Itu semua hanyalah obsesi gila dia yang ditambah dengan euforia, dan semua itu bukanlah c
RISA sedang berpikir. Apakah tidak apa-apa jika malam ini ia tidur di sini? Mengingat, sekarang dia sedang berpura-pura mendapat tamu bulanan. Bagaimana kalau Alva tiba-tiba saja ingin memeriksanya secara langsung, karena dia tidak percaya pada Risa?Risa bergidik ngeri membayangkan pemikirannya sendiri. Perempuan itu baru saja berbaring saat Alva keluar dari kamar mandi hanya menggunakan celana pendek sampai lutut. Pria itu bertelanjang dada dengan santainya, sedang di tangan kirinya sebuah handuk putih yang sedang digunakan untuk mengusap rambutnya yang basah."Va?" panggilnya terdengar ketakutan saat Alva melemparkan handuk kecil itu ke keranjang pakaian kotor, lalu bergabung dengannya di atas ranjang."Hm? Kenapa?"Risa melirik perut Alva yang entah kenapa terlihat menggoda. Dia merasa ingin menyentuhnya, tapi gelengan cepat dia lakukan untuk kembali menyadarkan dirinya.
MALAM itu, kepala Risa terasa begitu penuh. Pertanyaan demi pertanyaan menghantui isi pikiran, tapi tak ada satu pun tanya yang keluar dari bibirnya. Dia hanya diam saja dan mencoba untuk memejamkan mata. Tepat di sebelahnya, Alva terus memandanginya. Pria itu mengamati Risa, sejak Risa sedang mengobati bekas luka di wajahnya."Kalau lo mau ngomong sesuatu, ngomong aja, jangan hanya diem aja kayak gini," kata Alva sembari mengulurkan tangan, menyentuh pipi Risa yang terpaksa kembali membuka mata dan menatap pria di sebelahnya tanpa ekspresi. "Sa, kalau lo ngerasa nggak ngerti, lo bisa nanya ke gue."Risa hanya tersenyum tipis, lalu menggelengkan kepalanya pelan. "Itu semua nggak perlu, Va. Kalau gue emang mau tahu, bukan lo orang yang tepat buat gue tanyain soal itu."Alva membungkam bibirnya rapat-rapat. Risa benar, jika dia ingin mengetahui sesuatu, maka dia harus membicarakan masalah itu dengan Alan, bu
HAL yang paling ia nantikan selama ini adalah pertemuan dua orang itu setelah semua masalah di antara mereka terjadi. Alva ingin tahu, bagaimana reaksi Risa setelah apa yang telah Alan lakukan terhadapnya selama ini.Apakah perempuan itu akan kembali luluh dan diam saja seperti sebelumnya? Atau dia menunjukkan adanya perubahan dari sifat jelek yang diam-diam dia miliki sebelumnya Alva ingin tahu bagaimana reaksinya.Alva bersembunyi di balik pohon besar sambil melirik interaksi mereka yang berada tak jauh dari hadapannya. Walau kedua tangannya harus mengepal lantaran geram saat wanitanya disentuh, dipeluk, bahkan dicium oleh sepupunya.Namun, pada akhirnya dia puas saat melihat reaksi Risa mengenai perlakuan Alan padanya. Senyumnya mengembang dengan sempurna. Bahkan dia tampak sangat puas saat melihat dua orang itu terlihat berdebat hebat di seberang sana.Wajah tak berkutik Alan dan ekspr
RISA harusnya mengerti jika dia akan bertemu dengan Alan sekali lagi untuk hari ini. Terutama karena Alan berada di kantornya sekarang. Pria itu datang kemari dengan alasan pekerjaan yang tentunya, dia tidak akan pergi sebelum kerjaannya selesai. Dan Risa ragu, pekerjaan Alan akan selesai tepat waktu.Alasannya sederhana. Alan ada di sini, karena Risa. Dia sengaja datang karena ingin mengembalikan hubungan mereka kembali seperti semula. Dan mengingat sifatnya, sekeras apa pun Risa menolak dan mengatakan jika semua usahanya percuma, Alan akan tetap di sana dan menunggu Risa untuk mengubah keputusannya.Risa mengembuskan napas kasar saat melihat Alan melambaikan tangan ke arahnya atau ke arah mereka. Pria itu langsung mendekati meja dan menarik kursi yang ada di depan Risa. Mereka kini berhadapan di sebuah meja makan yang ada di kafetaria kantor.Risa merasa jika perutnya langsung kenyang. Terutama saat Alan
ALVA tidak mengerti, apa yang sebenarnya diinginkan Risa dari Alan saat ini. Hubungan mereka sudah berakhir, itu jelas, tapi Risa seperti sedang memberikan sebuah harapan semu pada Alan dengan sisi perhatian yang menurut Alva terlalu berlebihan. Risa seperti memberi isyarat kalau dia akan berubah pikiran suatu hari nanti.Walaupun Risa berkata semua itu hanya perlakuan biasa sebagai seorang teman, tapi Alva merasa tidak terima dengan semua tindakannya. Dia tidak rela. Hatinya bahkan terbakar begitu melihat Risa memberikan perhatiannya pada Alan, bukan hanya padanya seorang.Padahal, dalam hatinya dia ingin Risa memperhatikannya, hanya dirinya, tapi kemudian dia ingat jika dirinya bukan siapa-siapa."Kenapa dia nggak ngerti-ngerti maksud gue, sih? Bukannya dia sendiri yang bilang, kalau hubungan ini nggak berhasil, kita bakal balik temenan kayak dulu lagi. Kenapa dia malah jadi kayak gini?" Risa merutuk di
ALAN sengaja menunggu di depan pintu ruang kerja teman-temannya setelah urusan pekerjaannya selesai. Dia ke tempat itu karena ingin menanyakan sesuatu, tapi jujur saja dia tidak tahu harus memulai pertanyaannya dari mana.Dia hanya berdiri diam di sana. Dengan menyenderkan punggungnya ke tembok, tepat di sebelah pintu masuk ruangan. Dia menunggu dengan mata terpejam dan kedua tangan bersedekap. Sesekali dia akan membuka mata, melirik jam di tangan kirinya, hingga saat yang ia tunggu tiba.Beberapa orang mulai keluar dari ruangan itu. Alan masih diam, dia masih menunggu. Bahkan saat Risa melangkahkan kaki melewati pintu dan langsung menatapnya. Pria itu masih diam di tempat. Berusaha keras untuk tak menoleh bahkan melirik sedikit pun ke arah mantan kekasihnya.Walau dia sangat ingin melakukannya, tapi dia tahu, Risa tidak ingin melihatnya lagi setelah apa yang terjadi di antara mereka tadi.
RISA terbangun dari mimpi anehnya dengan napas memburu. Peluh menetes di pelipis dan keningnya. Matanya melotot tajam, memandang horor pada dinding ruang kamar kos-kosannya.Mimpi yang aneh. Mimpi yang mengerikan. Di dalam mimpi itu, dia sedang menyentuh seluruh tubuh Alva setelah meminta pria itu pasrah akan semua sentuhannya. Alva terbaring di atas ranjang tanpa mengenakan pakaian apa pun, dengan kedua tangan terentang, dia mengatakan, "Kamu boleh melakukan apa pun padaku."Risa menggeleng cepat. Bagaimana mungkin dia bisa memimpikan hal seperti itu? Bagaimana mungkin dia berani menjadi seliar itu saat bersama Alva? Padahal sebelumnya, jangankan melakukan hal seperti itu, membayangkannya saja dia tidak pernah.Risa menggelengkan kepalanya lagi. Benar-benar mimpi aneh dan mengerikan sekali. Mimpi yang mengingatkannya akan peristiwa tadi siang, saat Risa tak bisa memikirkan apa pun selain mencium bibir dan
ALVA semakin mengeratkan pelukannya sambil sesekali meninggalkan sebuah kecupan singkat di puncak kepala Risa. Dia tidak peduli pada keadaan sekitar yang mulai ramai orang dan mulai memandangi keduanya dengan tatapan iri."Va ...," panggil Risa pelan."Hm?""Lepasin pelukannya. Banyak yang lihat ke arah kita sekarang, Va," kata Risa nyaris serupa rengekan. Wajahnya semakin menunduk, kepalanya mendekati dada Alva guna bisa menyembunyikan wajahnya di sana."Buat gue nggak masalah, toh mereka cuma iri karena nggak ada yang bisa mereka peluk sekarang," katanya santai dan lagi-lagi mencium puncak kepala Risa tanpa merasa bersalah sama sekali.Dehaman dari belakang tubuh Alva terpaksa membuat pria itu mendengkus pelan. Pasti sepupu sialannya yang tidak terima, lantaran Risa kini telah menjadi miliknya. Bodo amat, memangnya dia peduli?Yang dia inginkan sekarang
Beberapa bulan sebelumnya ...."Kantor kita, katanya dapat personel baru.""Ah, yang katanya mutasi dari kantor pusat itu?"Beberapa mendengkus pelan. "Apes, apes, dari kantor pusat malah dilempar ke sini, pasti ada yang nggak beres sama kerjaan mereka di sana.""Sialnya, salah satunya bakal masuk divisi kita!""Sial! Nambah beban mulu, jadi pengin resign aja bawaannya!"Ralf menyimak gerutuan rekan-rekan kerjanya dengan ekspresi datar. "Ribut banget, cuma ketambahan satu orang aja kayak ketambahan seratus orang. Dasar manusia julid!""Emang lo bukan salah satunya?" Alva tertawa pelan.Ralf mendelik ke arahnya. "Gue nyinyir ke orang yang tepat aja. Nah, mereka? Lihat manusianya aja belum, udah nyinyir aja kayak nenek lampir." Tiba-tiba pria itu
ALVA mengernyitkan dahi begitu membuka mata dan tak menemukan siapa pun berada di sampingnya. Pria itu langsung duduk tegak dengan sempurna, walau efeknya rasa pusing langsung menyergap kepalanya."Risa?"Tanpa memperhatikan penampilannya yang belum berbusana. Dia bergerak menuju kamar mandi, mencari keberadaan Risa tapi tak ada sosok perempuan itu di sana.Alva menggeram pelan. Dia mengambil dalaman, kaus, celana panjang dari koper miliknya. Tanpa repot-repot pergi ke kamar mandi, Alba langsung mengenakan pakaiannya. Setelah selesai, dia menuju tempat kunci mobilnya berada, sambil mengacak rambut hitam yang mulai memanjang.Namun, kunci itu tidak ada di tempatnya.Alva melirik ponselnya, lalu dengan cepat dia mengambilnya dan lekas memanggil nomor Risa. Sekali, dua kali, dia mengulangi panggilan itu, tapi tak ada jawaban apa pun."Di mana dia?" geramnya lalu menutup panggilan.Dia mengambil laptop yang ada di kopernya untuk ia keluar
MALAM itu, Alva sudah terlelap saat ponselnya tiba-tiba saja berbunyi. Risa meliriknya berulang kali. Berpikir, apakah dia harus membangunkan Alva ataukah langsung saja mengangkat panggilan yang masuk ke ponsel pria itu?Risa terdiam cukup lama hingga nada dering panggilan itu selesai. Namun, sekali lagi ponsel itu berbunyi dan ia tak bisa menahan dirinya lagi.Dia menggoyangkan tubuh Alva secara perlahan sambil memanggil-manggil namanya. "Va! Alva!""Hm?" sahut pria itu terdengar malas-malasan.Dia malah menarik bantal dan menyembunyikan kepalanya ke balik bantal itu. Terlihat jelas jika dia tidak mau diganggu, dia ingin beristirahat penuh malam ini setelah bercinta panas dengan Risa sejak sejak yang lalu."Ponsel kamu bunyi mulu dari tadi. Nggak mau kamu angkat dulu?" Risa mengingatkan Alva pada ponselnya yang masih berbunyi.Alva pasti juga mendengar suara ponselnya walau hanya sayup-sayup suaranya saja. Itu alasan kenapa dia mengam
"KENAPA kamu tiba-tiba bertanya seperti itu?" Risa terkejut setelah mendengar soal terakhir yang Alva berikan padanya. Dia bahkan sampai melepas paksa pelukan di antara mereka.Alva tersenyum miring. "Aku hanya ingin memastikannya. Kamu mau, kan, menjadi istriku, Sa?""Bukannya, aku sudah pernah menjawab pertanyaanmu ini sebelumnya?" Risa balik bertanya dengan kepala berpaling ke arah lain, rona merah sudah menghiasi pipi dan membuat seluruh wajahnya terasa panas bukan main.Alva menggeleng pelan, tangannya terulur menyentuh rambut Risa dan membelainya dengan perlahan. "Saat itu kamu memang menjawabnya, tapi bukan jawaban seperti itu yang mau aku dengar. Ayo, Sa, jangan terus menerus menghindar. Apa kamu tidak mau memberiku sebuah kepastian tentang pernikahan kita?"Alva masih ingat dengan baik jawaban Risa sebelumnya— yang jujur saja terdengar sangat mengkhawatirkan untuknya. Walaup
"MAAF, aku malah membuat pertunjukan mengerikan seperti itu di depanmu tadi." Alva mengatakannya tanpa melirik ke arah Risa, begitu mereka sudah berada di dalam mobil yang menyala dan mulai meninggalkan rumah orang tuanya.Walaupun dia dengan tulus meminta maaf, tapi Alva tak sepenuhnya menyesali perbuatannya. Karena nyatanya, Alva memang ingin Risa mengetahui semua hal termasuk aib tentang dirinya, juga tentang semua kebusukan anggota keluarganya. Dia hanya merasa bersalah jika Risa sampai terkena serangan mental atau serangan jantung setelah melihat peperangannya dengan Jared secara langsung.Ibunya saja tak pernah sanggup melihatnya bertengkar dengan sang ayah, apalagi Risa yang notabenenya masih orang baru dalam lingkup dunianya. Perempuan itu pasti sangat terkejut tadi, Alva bisa memahaminya. Mungkin juga Risa ingin menyerah begitu saja, tapi Alva tak ingin membiarkan Risa melepaskan dirinya.Apa pun
TAK ada satu pun yang berubah dari rumah ini. Alva masih bisa merasakan hal yang sama setiap kali dia masuk ke dalam rumahnya sendiri. Dia juga tidak begitu mengerti kenapa hal seperti itu bisa terjadi. Dia juga tidak tahu apa alasannya hingga dia menjadi seperti ini setiap kali ia kembali. Namun, memang sejak dulu dia tidak pernah merasa betah, ketika ia sedang berada di rumah.Jika Alva bisa pergi, maka dia akan pergi meninggalkan rumah. Entah itu untuk pergi bermain, pergi ke rumah Alan, ke rumah teman-temannya yang lain, juga pergi ke kelab malam. Dia hanya akan pulang ketika dia butuh tempat tidur untuk semalam, itu pun setelah dewasa dia kadang lebih memilih menyewa hotel untuk ia tiduri daripada pulang ke rumah.Namun, semuanya menjadi semakin menjadi semenjak Alva kuliah. Dia yang akhirnya bisa hidup sendiri dan bisa mencari uang sendiri dari jalan kecil yang ditemukannya pun merasakan sebuah kenyamanan yang membua
"APA Alan bakal balik lagi ke Bandung, ya?"Alva yang semula mau memejamkan mata dan terlelap ke alam mimpinya, langsung membuka matanya lebar-lebar. Kepala menoleh dengan cepat ke arah Risa yang berbaring di sebelahnya. "Kenapa kamu tiba-tiba bahas soal dia?""Memangnya nggak boleh? Kamu nggak suka aku bahas soal dia?" Risa mengedipkan kedua matanya sembari menatap Alva yang wajahnya terlihat tidak sedap dipandang. Apa dia marah? batinnya, heran sekaligus penuh pertanyaan. Kenapa Alva bisa terlihat semarah itu hanya karena Risa membahas Alan?"Boleh aja, sih, tapi kalau bisa jangan bahas dia sekarang." Alva memejamkan mata sambil mengembuskan napas panjang. Harus berapa lama dia merasakan perasaan tak nyaman ini setiap kali Risa membahas soal sepupunya?"Kenapa?" Risa mengernyitkan dahi. Kali ini dia benar-benar tak mengerti alasan yang membuat Alva hingga tak menyukai bahasan soal Alan, yang notabenenya masih saudara pria itu sendiri."Sa, kamu b
ALAN langsung mendatangi rumah kedua orang tuanya untuk mengabarkan jika dia batal menikahi Risa. Mamanya langsung memarahinya habis-habisan, bertanya apa alasannya hingga dia melakukannya dan terus menanyakan hal yang sama berulang kali. Bahkan papanya langsung mengambil senapan dan siap menembaknya di tempat saat itu juga.Alan tersenyum tipis sembari menyesap kopi yang dibuatkan mamanya sebelum kemarahan di antara mereka berkobar. Dia meletakkan cangkir itu kembali di piring, sebelum menatap kedua orang tuanya dengan sorot mata dipenuhi kepedihan."Aku yang salah, Pa, Ma. Aku tidak bisa mempertahankannya dengan baik, aku juga pernah bermain di belakangnya. Aku yang salah, hingga dia berpaling ke pelukan pria lain dan merasa nyaman di sana. Kami sudah mengambil langkah masing-masing, jalan di antara kami tak lagi sama. Dia telah memilih jalannya dan menemukan kebahagiaannya sendiri, sedang aku masih harus larut pada penyesalan karena telah menyia-nyiakannya sebelum i
"JADI, Alan udah balik ke Jakarta?" tanya Risa begitu Ralf pergi dari sana, meninggalkan mereka hanya berdua saja di ruangan itu. Menurut penjelasan Ralf sebelum ini, Risa harus menginap di rumah sakit untuk sementara waktu, sampai keadaannya benar-benar membaik. Esok harinya, dia akan melakukan USG untuk mengecek keadaan kandungannya setelah dia pingsan sebelumnya. Risa pun disarankan untuk pergi ke dokter kandungan secepat mungkin untuk kebaikan dirinya serta bayinya. Walaupun sekarang Risa merasa tubuhnya sudah lebih baik setelah menelan makanan yang dipesan Alva, dia ingin pulang, tapi dia tak bisa melakukannya. Lantaran, sejak tadi Alba terus menatapnya tajam. Sebuah tatapan yang menyiratkan ancaman, jika Risa tidak mau menurut padanya, maka dia akan melakukan sesuatu yang tak perempuan itu suka. Risa mengembuskan napas kasar begitu mengingat peristiwa beberapa saat lalu. "Tentu saja dia harus pulang dan memberi tahu semua keluarga besarnya. Sala