Liora membekap mulutnya, menatap nanar stik berwarna biru muda itu ke cermin. Seluruh tubuhnya gemetar, lututnya melemah dan terhuyung jatuh di dudukan toilet. Selesai sudah. Ia sudah menghancurkan masa depannya yang sudah dipenuhi kenyamanan dan keamanan. Semua rancangan masa depannya runtuh dengan kehadiran buah hati yang datang tidak tepat. Bagaimana ia harus memberi tahu Jerome?
Denting bel apartemennya berbunyi. Liora terperanjat kaget. Jerome? Dengan panik ia segera melompat berdiri. Mengambil testpack di wastafel dan melempar bukti dosa besarnya ke dalam tempat sampah. Sekilas mematut wajahnya di cermin untuk menyembunyikan kepucatannya. Setengah berlari keluar kamar dan menghampiri pintu apartemen. Menghela napas sejenak sebelum membuka pintu dan memasang seulas senyum.
Senyum itu hanya sekilas bertengger di bibir Liora, ketika pintu terbuka dan ia belum sempat bereaksi ketika tubuhnya didorong mundur. Oleh seseorang yang jelas bukan Jerome Lim, tunangannya.
Daniel langsung menangkap pinggang dan memenjara tubuh Liora di dinding. Menyambar lumatan panas di bibir Liora sebelum wanita itu sempat berkedip. Melahap rasa manis yang seperti candu, tangannya mulai bergerak menelusup ke balik pakaian Liora. Bersamaan lumatannya yang semakin dalam dan panas.
Kedua mata Liora membulat. Tubuhnya menggeliat, mengusir gairah Daniel yang mulai merambati dirinya. Kedua tangannya mendorong dada Daniel. Melemparkan tatapan tajamnya.
“Hentikan, Daniel. Jerome sebentar lagi datang,” sergah Liora.
Daniel hanya tersenyum, sama sekali tak terpengaruh dengan kalimat Liora. “Aku melihatnya masuk ke lift. Kita masih punya lima sampai sepuluh menit untuk bersenang-senang.”
Liora melotot, menyelinap keluar dari kedua lengan Daniel yang mengurungnya dan membuka pintu apartemen. “Sebaiknya kau keluar sekarang.”
Daniel malah bersandar di dinding, menyilangkan kedua tangan di depan dada dengan sikap santai. “Kau ingin melewatkan lima menit berharga kita begitu saja?”
“Cepat, Daniel. Jangan bercanda.” Liora mendelik penuh peringatan. Saat kepalanya bergerak ke arah luar sebagai isyarat pengusiran, tanpa sengaja pandangannya melihat pintu lift di ujung lorong terbuka dan Jerome muncul. Kontan ia melompat masuk dan mendorong pintu apartemen terbuka.
“Jerome, cepat sembunyi.”
Daniel memutar matanya, membiarkan Liora mendorong tubuhnya ke ruang tengah. Wanita itu tampak panik, sibuk mencarikannya tempat untuk bersembunyi. “Masuk ke kamar tamu, Daniel.”
Daniel menghela napas panjang, menuruti perintah Liora bukan karena takut pada sepupunya, tetapi karena kepucatan yang memenuhi permukaan wajah kekasih gelapnya tersebut.
Jantung Liora berdegup kencang, tepat ketika Daniel menghilang di balik pintu kamar tamu, pintu apartemennya terbuka dan Jerome melangkah masuk. Pria itu berhenti sejenak, menatapnya dengan kerutan tersamar di kening. Dengan napas tertahan, Liora memaksa seulas senyum sambutan untuk pria itu.
“Hai, sayang.” Liora mehampiri Jerome. Mengalungkan kedua lengan di leher Jerome. Namun ketika ia hendak menempelkan bibir, Jerome mengurai lengannya.
“Aku harus bergegas. Apa sekretarisku membawa pakaian gantiku?”
Liora melirikkan sudut matanya ke pintu kamar tamu sambil mengangguk. “Ya, ada di kamar.”
Jerome langsung melangkah melewati Liora.
“Aku akan menyiapkan secangkir kopi untukmu.”
Jerome tak menjawab dan menghilang di balik pintu.
Liora bergegas ke pintu kamar tamu. Daniel keluar. “Cepat, Daniel.”
Daniel kembali merapatkan tubuh mereka. Berusaha mencium bibir Liora.
“Lepaskan, Daniel.” Liora menggeliat dalam pelukan Daniel. Menatap panik ke arah pintu kamar tidurnya.
Daniel hanya terkekeh. Mengikuti arah tatapan Liora. “Tenang saja, baby.”
“Daniel!” delik Liora mendorong tubuh Daniel menjauh darinya ke arah ruang tamu. “Keluar.”
“Katakan kau mencintaiku.”
“Aku mencintaimu.”
“Aku juga mencintaimu, baby.” Daniel tersenyum puas, mencuri lumatan kecil sebelum benar-benar melangkah pergi seperti keinginan Liora.
Liora bernapas lega setelah Daniel benar-benar lenyap di balik pintu apartemen, Ia bergegas ke dapur. Membuat secangkir kopi untuk Jerome. Saat ia keluar dari dapur, Jerome melangkah keluar dengan penampilan yang sudah lebih segar.
“Kau sudah selesai?” Liora menyodorkan cangkir kopi di nampan kepada Jerome.
Jerome berhenti. Selama tiga detik penuh pria itu menatap wajah Liora. Kemudian turun ke arah
Dengan tatapan sedatar itu, Liora merasa seakan Jerome tengah mencari sesuatu di wajahnya. Membuatnya menahan napas dengan waspada. “K-kenapa kau menatapku seperti itu? A-apa ada yang salah dengan wajahku?”
Segurat senyum tersamar di ujung bibir Jerome. Kemudian pria itu menggeleng.
Liora tak tahu apakah harus merasa lega atau tidak dengan jawaban Jerome. Tiga tahun menjadi kekasih dan dua tahun bertunangan dengan Jerome Lim, hingga detik ini ia tak pernah mampu meraba emosi pria itu lebih dalam.
“Aku harus pergi.” Jerome melangkah melewati Liora.
“Kopimu?”
Jerome tak menjawab.
Liora terdiam. Meletakkan nampan di meja terdekat dan melangkah mengejar Jerome ke pintu. “Jerome?”
Jerome berhenti, menoleh ke arah Liora.
Liora tampak gugup. Kedua tangannya di depan perut tampak saling terpaut. “Ada sesuatu yang perlu kubicarakan denganmu.”
Jerome mengangkat salah satu alisnya, tampak berpikir kemudian mengeluarkan sebuah kartu hitam metalik dari dompet dan menyodorkannya pada Liora. “Lakukan apa pun yang kauinginkan. Kau tahu aku sibuk mengurus pekerjaan untuk persiapan pernikahan kita, kan?”
Pandangan Liora turun ke arah tangan Jerome. menatap kartu itu sesaat dan mengambilnya. Memaksa seulas senyum di kedua bibirnya lalu mengangguk. Menyembunyikan kecewa yang menyelimuti hatinya.
Liora masih tertegun di depan pintu apartemen selepas kepergian Jerome. Menatap kartu hitam di tangannya, meremas kartu tersebut dan satu tangannya menyentuh perutnya yang masih rata.
“Apa ada masalah?” tanya Liora begitu pintu apartemennya terbuka dan Daniel melangkah masuk, menangkap pinggang Liora dan menyudutkan wanita itu di dinding. Tidak biasanya Daniel datang tanpa pemberitahuan seperti ini. Berjaga-jaga jika ada Jerome di sini. “Besok aku harus pergi ke Singapore untuk mengurus beberapa hal.” “Lalu?” “Jadi …” Daniel mengulur kalimatnya dengan kerlingan mata menggoda. “… malam ini aku akan bermalam di sini.” Liora melotot. “T-ta …” Daniel langsung membungkam protes Liora dengan lumatan. “Sepupuku tak akan datang. Dia masih di ruangannya saat aku pulang. Sepertinya akan langsung pulang ke rumah.” “D-daniel … kita butuh bicara.” Liora mendorong dada Daniel. Pria itu hanya mundur sedikit, masih dengan kedua lengan di pinggangnya. “Mengenai?” “Pernikahanku dengan Jerome.” “Kenapa? Apa kau akan mengatakan pada Jerome untuk membatalkan pernikahan kalian?” “Kau tahu itu tidak mungkin.” “Kenapa? Kau takut dia akan membunuh kita berdua?” “Kita harus berhe
Liora mengguyur seluruh tubuhnya dengan air dingin. Meringkuk di lantai kamar mandi yang dingin dan membiarkan air jatuh mengaliri seluruh tubuhnya. Air matanya melebur dalam aliran air dan menghilang tanpa bekas. Sejak awal Jerome sudah mengetahui siapa dirinya sebenarnya, dan sekarang ia harus mengorbankan sang adik sebagai penebus untuk dosa-dosanya. Kemudian menghilang dari kehidupan pria itu untuk selamanya. Tangan Liora menyentuh perutnya. Merasakan sebuah kehidupan tengah bertumbuh di dalam sana. Berjanji juga akan menghilang dari hidup Daniel untuk selamanya. Ia sudah menghancurkan hidup Jenna, maka ia pun tak berhak memiliki hidup yang baik. “Kumohon perlakukan dia dengan baik, Jerome.” “Kau tak berhak meminta apa pun padaku, Liora.” Liora meringis dalam hati. Ternyata selama ini Jerome pun tahu nama aslinya. “Kau menggunakan nama adikmu, bukankah sejak awal kau sudah mengorbankan adikmu? Sebaiknya simpan rasa bersalahmu untuk dirimu sendiri,” balas Jerome dengan dingin.
Dan, ternyata seorang teman yang dikatakan oleh Daniel ternyata adalah Carissa, wanita cantik yang adalah mantan kekasih Jerome. Liora dibuat murka bukan main. Mendengar pembicaraan Carissa dan Daniel di ruangan Carissa saat ia hendak ke dapur untuk mengambil air minum. “Kau membohongiku, Daniel,” sembur Liora begitu Daniel masuk ke kamar. “Dia memang seorang teman.” “Mantan kekasih Jerome,” koreksi Liora dengan sengit. Daniel maju ke depan, meraih tangan Liora. “Pikirkan ini, Liora. Kau ingin menyelamatkan adikmu, kan. Kita bisa meminta bantuan Carissa. Carissa akan kembali kepada Jerome sehingga Jerome bisa melepaskan kau dan adikmu.” “Hanya ini yang bisa kulakukan untuk membantumu.” Liora terdiam. Tampak menimbang-nimbang selama beberapa saat. “Juga, dia juga akan membantu pernikahan kita.” Wajah Liora seketika berubah pucat. “Menikah? Apa maksudmu?” “Ya, kita akan menikah.” “Kenapa kita perlu menikah?” Liora menepis tangan Daniel yang berusaha menyentuhnya. “Karena kau
Tiga tahun kemudian … Di salah satu unit apartemen, Liora duduk berjongkok di laci nakas terbawah mencari-cari dengan ponsel yang terselip di antara pundak dan telinga. “Ya, Jenna. Aku tak akan melupakannya. Dua hari lagi, kan?” “…” “Bagaimana keadaan Axel. Apa dia sudah membaik?” “…” “Syukurlah. Alexa dan Xiu?” “…” “Dia masih pemilih ya? Kenapa kau membeda-bedakannya? Alexa pasti merasa cemburu dengan saudarinya.” “…” “Bukan salahnya. Dia mengikutimu.” “…” Liora terkikik. “Sepertiku? Bagaimana bisa? Aku tak pernah membuat masalah ya.” “…” “Setidaknya dua hari terakhir ini. Ah tidak, sejak kemarin. Lusa aku lupa mengatur jadwal Samuel dengan klien baru dari Singapore. Pria itu kesal, tapi dia menyapaku lebih dulu. Mengatakan rencananya untuk mendiamkanku selama seminggu gagal total.” Liora terkikik lagi. “…” Liora terdiam, senyumnya seketika membeku. “Kau sudah mendengarnya?” “…” “Kenapa kau masih saja membencinya?” “…” Liora tertawa tipis. “Kami hanya professional,
Tepat jam delapan malam, Samuel datang menjemput Liora dengan Buggati birunya. Liora segera turun begitu ia memberitahu kedatangannya. Lima menit kemudian suara sepatu yang beradu di lantai lobi membuatnya berbalik dengan seketika. Kedua mata Samuel memandang penuh ketakjuban begitu Liora muncul dengan begitu sempurna. Rambut bergelombang wanita dibiarkan terurai ke samping, dengan gaun berwarna merah yang menampilkan lekukan tubuh seksi Liora, wanita itu sangat mampu memenuhi segala macam pikiran terliar pria manapun. Belahan samping yang menampilkan kaki jenjang Liora mengintip dengan malu-malu di setiap langkah wanita itu. "Kau terlihat menawan, Liora." Samuel menghampiri wanita itu dengan salah satu tangan di belakang. "Aku tahu dan aku memang selalu seperti ini. Kenapa kau masih saja terkejut, Samuel?" balas Liora dengan senyum yang semakin melengkapi kesempurnaan wanita itu dan kerlingan mata yang mampu melumpuhkan kedua kakinya. Wanita itu selalu dipenuhi kepercayaan diri yan
"Tunggu, Liora." Samuel berhasil menangkap pergelangan tangan Liora di depan pintu lift yang nyaris memisahkannya dirinya dari Samuel. Merasa begitu terkhianati oleh pria itu. "Kau tahu dia yang akan datang?" sembur Liora dalam desisan yang tajam. "Aku tak mungkin membawamu datang jika tahu cucu tuan Saito adalah Daniel. Daniel Lim,” tekan Samuel pada kalimat terakhirnya. Satu-satunya saingannya untuk menaklukkan hati Liora hanyalah Daniel Lim, yang meskipun hanya sebagai bayang-bayang masa lalu Liora. Liora berusaha mencari gurat kebohongan di wajah Samuel, yang tak bisa ia temukan. Ia tahu Samuel mengatakan yang sebenarnya. "Lalu apa yang terjadi tiga tahun lalu? Kau mengatakan padaku bahwa dia dipenjara." Meski Liora tak tahu detail berapa lama pria itu ditahan. Liora tak perlu dan tak ingin tahu. Satu-satunya hal yang membekas hanyalah geram kemarahan Daniel saat ia masuk ke dalam mobil Samuel. Kemudian kegilaan pria itu yang mencoba membunuh mereka berdua dalam kecelakaan itu.
Sungguh, satu-satunya hal yang menahan dirinya untuk tidak mendobrak meja di hadapannya ini adalah dendam yang mengendap di dadanya. Dan bukan sekarang saat yang tepat untuk memberi wanita satu ini hadiah. Setelah semua penderitaan di masa lalu yang tak pernah bisa ia lupakan, bagaimana mungkin Liora sama sekali tak terpengaruh dengan kemunculannya. Meninggalkannya layaknya sampah seperti yang dulu wanita itu lakukan padanya. Tidak, kali ini ia tidak akan menjadi sampah itu. Lioralah yang akan ia tinggalkan. “Melarikan diri lagi, huh?” Akhirnya kalimat itu keluar dalam bentuk dengusan yang tipis. Sudut mata Daniel melirik surat pengunduran diri tersebut. Sama sekali tak sudi akan menyentuhnya. Well, ia muncul di hidup Liora untuk memporak porandakan kehidupan nyaman wanita itu. Kehidupan nyaman yang didapatkannya ketika ia berkubang dalam rasa bersalah dan pengkhiatan yang dilakukan oleh wanita ini. Rasa bersalah telah menjadi pembunuh untuk darah dagingnya sendiri dan luka hati ya
Samuel menjemput Liora tepat jam dua belas siang. Pria itu bersikeras menemani Liora untuk mencarikan beberapa hadiah untuk ulang tahun keponakannya. “Kau tak bisa menolakku, Liora.” Tangan Samuel bersidekap keras kepala di dada. “Kau harus bergegas ke rumah Jenna, kan?” Mata Liora menyipit, menusuk penuh curiga tepat ke kedua mata Samuel. “Dari mana kau tahu tentang itu?” Samuel mengeluarkan sebuah kartu undangan dengan warna pelangi dan bertema kartun favorit Xiu dan Alexa, Snow White. Dilengkapi senyum kemenangan pria itu. “Kau tahu jam makan siang adalah saat jalanan paling merepotkan. Amat sangat merepotkan jika kau menggunakan taksi. Belum dengan pemilihan hadiah. Aku seorang pria, sudah pasti Axel tak suka hadiah boneka, kan?” Liora mendengus sinis akan pengetahuan Samuel tentang ketiga kembar. “Kau tahu Jenna akan menyemburmu begitu kau muncul di depan wajahnya, kan?” “Beruntung jika dia tidak menyiramkan seember air padaku lagi, kan,” canda Samuel. “Tapi … kali ini aku me
Raut Jenna tampak berantakan ketika Liora menemui wanita itu di ruang tengah. Dengan Axel dan Alexa yang berada dalam pangkuang sang mama. Jenna tampak kewalahan memegang si kembar yang merengek dengan kedua tangan. Membuat Liora bergegas mengambil alih Alexa dan menenangkan bocah mungil tersebut, dengan begitu Jenna lebih mudah menenangkan Axel. Setelah beberapa saat kemudian setelah si kembar lebih tenang dan bersama pengasuh Xiu di kamar Xiu, Liora dan Jenna duduk di kursi pantry dengan gelas berisi jus untuk masing-masing. “Di mana Jerome?” Liora memulai pembicaraan lebih dulu. “Di kantor.” “Apa Jerome tahu kau di sini?” “Belum.” Jenna mengangkat pergelangan tangannya. “Sepertinya sebentar lagi akan datang.” “Kau bertengkar dengannya?” Jenna menggeleng, tetapi kemudian mengangguk. “Keberadaan Juna benar-benar mempengaruhi hubunganku dan Jerome.” Liora mendesah pelan. Pria itu tak hanya menargetkan dirinya untuk balas dendam, tetapi juga pada Jenna. Tetapi mereka pun tak b
Daniel menggeram dengan wajah yang menggelap. Kedua tangannya terkepal kuat dan tubuhnya siap melayang ke arah Juna. Tubuhnya sudah menghambur ke arah Juna sebelum Liora mendorong tubuhnya dan menghadang kemurkaan yang siap diluapkan. “Kita pergi, Daniel,” bisik Liora menahan kedua lengan sang suami dengan sekuat tenaga. Daniel menggeram tak setuju. Satu-satunya hal yang diinginkannya hanyalah meninju wajah Juna yang dengan lancangnya menyentuh Liora. Dan semakin berang bukan main ketika menangkan seringai di ujung bibir pria itu. Salah satu tangan Juna bergerak naik menyentuh bibir bagian bawah dengan ujung ibu jari. Sambil terkekeh, Juna bergumam pelan, “Well, mungkin inilah yang dirasakan Jerome ketika memergoki kalian berselingkuh di belakangnya. Jangan terlalu mengambil hati, Daniel.” “Tutup mulutmu, Juna,” sentak Liora menyangkal. “Kita pergi.” “Dengarkan istrimu, Daniel.” Tentu saja Juna tak mengindahkan kata-kata peringatan Liora. Kali ini juga menjilat bibir bagian bawahn
Ya, apartemennya memang bukan apartemen mewah seperti milik Daniel. Yang ia yakin keamanannya masih bisa diterobos oleh Juna menggunakan Lim sebagai nama belakang pria itu. ‘Kau ingin aku mengirim foto ini pada mantan selingkuhan yang kau bilang suami itu? Mata Liora terpejam, hanya sesaat rasanya hubungannya dan Daniel baru saja membaik, dan sekarang kenapa harus direcoki oleh hal semacam ini. Seolah belum cukup ia harus membayar dosanya di masa lalu. Liora memutuskan tak menggubris pesa n tersebut. Menghapus chat tersebut dan meletakkan ponselnya kembali ke meja kemudian berjalan ke dapur menyiapkan makanan untuk Daniel. Ia baru saja selesai menyeduh coklat hangat ketika Daniel muncul dan langsung duduk di kursi pantry. “Kau memasak?” tanya pria itu. “Sudah kubilang aku akan mengurusnya …” Liora menggeleng. Meletakkan piring berisi dada ayam panggang yang sudah ia hangatkan. “Tadi sore Jenna menyuruh orang mengirimnya.” Daniel hanya mengangguk. “Besok aku akan meminta pelayan
“Hai, apa yang kau pikirkan?” Daniel menyentuh pundak Liora yang tampak melamun di depan cermin wastafel. Liora menoleh, memegang lengan Daniel dan memberikan seulas senyum tipis. Membiarkan tubuhnya dipeluk dari belakang. “Sepertinya ada sesuatu yang menggelisahkanmu.” “Hanya sedikit kekhawatiran.” Liora tak sepenuhnya berbohong. Sejak pulang dari rumah Jerome, pikirannya masih dipenuhi oleh Juna. Keseriusan pria itu tampaknya tak bisa ia abaikan begitu saja. “Tentang?” Daniel mencium pipi Liora dan sisi wajahnya dirangkum oleh telapak tangan wanita itu sedangkan pandangan mereka bertemu di cermin. Liota tak langsung menjawab. Tak yakin apakah harus membicarakan hal tersebut pada Daniel tentang apa yang dilakukannya pada Juna untuk menyelamatkan hidupnya saat itu dari Jerome. Tapi, setidaknya ia perlu tahu lebih dalam tentang Juna, kan? “Apa kau mengenal Juna?” “Juna? Julian?” Liora mengangguk, mengamati lekat-lekat ekspresi di wajah Daniel. Kening pria itu berkerut tipis, ta
"Hai." Liora berhasil menangkap lengan Samuel. Membuat tubuh pria itu menghadapnya. "Ada apa?" "Liora." Suara Samuel terdengar begitu sendu, dengan kedua mata yang mulai digenangi air mata. Menatap Liora dan membawa wanita itu ke dalam pelukannya. "Alicia. Kening Liora berkerut. Belum pernah Samuel mengucapkan nama Alicia dengan nada sesedih ini. "Ada apa dengan Alicia?" "Dia nyaris mati karena kehabisan darah," jawab Samuel dalam isak tangisnya. "D-dia … dia hamil dan keguguran." Liora terkesiap kaget, sebagai seorang ibu tentu saja ia bisa merasakan kehilangan itu. Telapak tangannya mengelus punggung Samuel. Menyalurkan dukungan dan semangat dengan tulus. "Sshhh, semuanya akan baik-baik saja." "Aku bahkan tak tahu kalau dia sedang hamil. Dia tak mengatakannya padaku." Ada rasa bersalah di hati Liora akan keberadaannya di antara hubungan Alicia dan Samuel. "Maafkan aku." "Tidak, Liora. Kau tak bersalah. Akulah yang paling bersalah. A-aku … seharusnya aku lebih memperhatikan Al
Liora keluar dari ruangan Arata Saito dengan senyum samar yang menghiasi ujung bibirnya. Tentu saja ia tak akan kalah tanpa melakukan apapun. Arti Daniel bagi Arata Saito jelas lebih besar ketimbang Carissa atau kerajaan bisnis ini. Sejujurnya ia tak mengharap lebih, ia pun bisa hidup dengan Daniel tanpa bayang-bayang Arata Saito. Ditambah arti Arata tak lebih besar dari dirinya dan Xiu, juga anak dalam kandungannya bagi Daniel. Ia bisa membanggakan diri untuk yang satu itu. Huffttt, setidaknya satu masalah sudah tertangani. Berkat bantuan dari Jerome. Ya, kemarin ia menghubungi Jerome untuk mencari tahu tentang hubungan Arata Saito dan kedua orang tua Daniel, yang ternyata memang tidak baik seperti perkiraannya. “Ck, ck, ck.” Suara decakan mengejek dari arah depan menghentikan Liora yang baru saja akan masuk ke dalam lift. Carissa dengan kedua lengan bersilang dada, mengamati Liora dari ujung kepala hingga ujung kaki dengan tatapan merendahkan. “Apa yang sedang dilakukan istri sim
Suara dering ponsel dari nakas mengusak tidur Liora yang masih ingin lebih pulas lagi. Mulai terganggu, ia berusaha membangunkan Daniel dengan menyodokkan sikunya ke belakang. Tapi ujung sikunya tak menyentuh apapun. “Ponselmu, Daniel,” gumamnya lirih dengan nada yang mengantuk. Semalam Daniel tak sudah tak membiarkannya tidur hingga tengah malam, dan sekarang paginya pun harus diganggu dengan suara ponsel pria itu. “Aku di sini,” bisik Daniel dan mengakhirinya dengan lumatan di bibir Liora. Mata wanita itu segera terbuka dan menamukan sang suami yang ternyata sudah berdiri di sisi ranjang. Membungkuk ke arahnya dengan wajah yang masih basar. Bahkan air masih menetes-netes dari rambut pria itu yang belum dihanduk. “Kau sudah bangun?” Liora menjauhkan wajahnya. “Hmm, bangunlah. Hari ini kita akan berjalan-jalan dengan Xiu.” Kening Liora berkerut. “Jalan-jalan?” “Ya.” Daniel menegakkan punggungnya, berjalan memutari tempat tidur dan meraih ponselnya yang masih bersikeras mengingin
“Lalu apa yang sebenarnya kau inginkan dari semua ini, Daniel?” “Apakah kau masih perlu mempertanyakannya?” Liora terdiam sejenak. “Aku tak membutuhkan semua itu.” “Aku melakukannya bukan untuk kau butuhkan, Liora. Aku yang membutuhkanmu. Membutuhkan kalian bertiga.” Lagi-lagi kata Daniel membuat Liora tertegun. Merasakan hatinya yang meleleh. “Tidak bisakah kita memulainya kembali?” “Kita sudah berkali-kali mencoba memulai kembali, Daniel. Tak ada satu pun yang berhasil.” “Kalau begitu kita hanya perlu memulainya kembali dan kembali. Sampai semua ini berhasil untuk kita berdua. Ah, tidak. Sekarang kita berempat.” Pandangan Daniel turun ke arah perut Liora yang rata. “Semuanya terlalu rumit untuk kita berdua, bahkan masih ada banyak masalah yang sedang menunggu di belakangmu. Aku yakin Carissa tak akan memberimu perceraian yang mudah. Juga kakekmu, dia sangat menyukai Carissa. Mereka berdua tak akan membiarkanmu. Dan tidak menutup kemungkinan mereka tidak akan menyentuh Xiu.”
Kehangatan dan kenyamanan yang melingkup tubuhya membuat Liora enggan untuk membuka matanya meski tubuhnya mulai terbangun. Membuatnya semakin menenggelamkan diri dalam dekapan hangat. Ia ingin berlama-lama menikmati kenyamanan ini. Lebih lama dan …Suara napas yang berhembus teratur di tengkuknya seketika membangunkannya dari alam mimpi. Kenyamanan dan kehangatan yang ia rasakan bukanlah sebuah mimpi. Dekapan itu nyata, melingkupi tubuhnya. Daniellah yang melakukannya. Kedua lengan yang memeluknya dari belakang adalah milik Daniel. Hembusan napas hangat yang menerpa tengkuknya adalah milik Daniel.Kedua matanya seketika terbuka dan ia menggeliatkan tubuh, berusaha membebaskan diri dari pelukan tersebut.Gerakan kasar Liora seketika membangunkan Daniel. Pria itu mengerang pelan sambil mengerjap-ngerjapkan mata. Menggeliatkan tubuh dengan senyum konyolnya ketika bertatapan dengan Liora. “Apa yang kau lakukan di sini, hah?”“Tidak ada.”“Kau melewati batasanmu. Seharusnya kau tidur di s