Beranda / Fantasi / Adiptara Family's / CHAPTER 25 Padang Rumput

Share

CHAPTER 25 Padang Rumput

Penulis: Orekyu
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

     "Tuan, hari ini adalah pertemuan Anda dengan Mr. Zhou Cheng. Pihak mereka telah menanti Anda sejak tiba di Shanghai kemarin. Namun karena kesehatan beliau sedang menurun, pertemuannya baru dilaksanakan sekarang." Antonio berjalan mengimbangi Rayland di sisinya. Ketika dia menjelaskan rencana hari ini, Rayland hanya mendengarkan kemudian melaksanakan sesuai jadwal pertemuan.

     Langkah kaki keduanya berjalan cepat memasuki sebuah restoran ternama di Shanghai. Lantas, seorang pegawai pria berbadan tinggi, berkulit putih, bermata sipit, dan terlihat ramah menyambut kedatangan mereka dengan gaya profesionalitas yang tinggi. 

  

          Baik Rayland maupun Antonio, keduanya berjalan mengikuti sang pegawai menuju salah satu ruang VIP di sana. Tempat dimana pertemuan bisnis itu akan berlangsung dengan pemilik Zhou Grup--yang tidak lain adalah Mr. Zhou Cheng sendiri.

Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Adiptara Family's   CHAPTER 26 Bau Bangkai akan Tetap Tercium

    "RAIN!!!" "Aku di sini." Anya menoleh ke samping. Di sana, sosok Rain menatapnya dengan datar, sedang bersandar pada kusen pintu. Anya kemudian memijit kepalanya yang berdenyut pening, bukan karena keberadaan Rain melainkan karena ia tidak menyangka akan terbangun dari alam mimpi sembari berteriak memanggil nama pria itu. Lagipula, dia bangun dalam keadaan tidak pada posisi yang benar. Itu jelas membuatnya pusing. Lalu, mengapa dia memanggil nama Rain? Anya tidak tahu. Mungkin hanya refleks sebab Anya memimpikannya. "Kamu baik-baik saja?" Rain berjalan mendekat, lalu kemudian duduk di kursi yang entah ia ambil dari mana. Anya tidak peduli tentang hal kecil seperti itu. Yang lebih penting sekarang, dimana dia? Menatap sekeliling Anya menyadari ia berada di sebuah kamar bernuansa ma

  • Adiptara Family's   CHAPTER 27 Sekali lagi, Takdir Bermain

    Secepat Anya menyelesaikan perkataannya, secepat itu pulalah Rain terkejut bukan main. Pasalnya, nama Rahman Ady Adiptara adalah nama yang begitu tabu baginya. Nama itu, adalah malapetaka sesungguhnya untuknya. Pria itu adalah sosok paling mengerikan di balik senyum palsunya. "Rain?" Rain tertegun ketika sekali lagi suara Anya terdengar menginterupsinya, membawanya menuju kesadaran. Manik cokelat Anya berkilat, tertimpa sinar matahari yang terik menerpa balkon. Dan Rain menyadari, dia tidak bisa mengelak dari pertanyaan gadis itu. "Kamu baik-baik saja? Wajahmu terlihat aneh, apa kamu sakit?" Anya melepas pelukannya, lantas tangan kecilnya bergerak mencoba menyentuh kening Rain. Dia menggeleng, "kamu tidak demam." Gumamnya. Rain tersenyum. "Aku memang tidak sakit, Anya." Rain bergerak menuntun Anya memasuki apar

  • Adiptara Family's   CHAPTER 28 Sebuah Fakta I

    Seperti yang sudah-sudah, Anya kembali dibuat syok setelah melihat bagaimana miripnya orang yang dipanggil Rahman dengan wajah mertuanya--Ramlan Ady Adiptara. Berbagai prasangka juga dugaan yang sama sekali tidak ada dalam bayangannya selama ini, kini mengelana dengan bebas di otak kecilnya. Apa hanya kebetulan? Mungkin saja. Anya tidak ingin mengambil kesimpulan secara serampangan. Itu jelas berbahaya. Tetapi kemungkinan-kemungkinan tidak masuk akal atau mustahil sekalipun, tidak berhenti menari di dalam pikirannya. Apakah mertuanya--Ramlan Ady Adiptara--adalah orang yang sama dengan Rahman Ady Adiptara? Atau yang paling masuk akal adalah, mertuanya memiliki seorang kembaran? Ataukah, Anya hanya sedang berhalusinasi?  

  • Adiptara Family's   CHAPTER 29 Sebuah Fakta II

    Amora sedang menyiram tanaman mawarnya ketika bel rumahnya terdengar berbunyi, tentu saja karena seseorang baru saja memencetnya. Tidak lantas membuka pintu pagar rumahnya yang besar dengan dominasi cat putih tersebut, wanita itu justru dengan gerakan santai mencabuti rumput liar, yang tidak sengaja tumbuh di sekitar tanaman mawar miliknya. Dia seakan tidak perduli, siapa yang baru saja menekan bel rumahnya. Suara bel terdengar kembali, bahkan semakin sering. Alih-alih marah, Amora tersenyum begitu cantik sembari bersenandung ringan. Pagi ini, ia hanya seorang diri di rumah. Linda--dengan kesal harus kembali ke kantornya tepat setelah seseorang dari tempatnya bekerja menghubunginya pukul lima pagi. Wanita itu sungguh dibuat marah, bukannya menikmati hari cutinya yang khusus untuk Sang adik, namun rupanya tidak bisa mengelak ketika bawahannya lagi-lagi m

  • Adiptara Family's   CHAPTER 30 Sebuah Fakta III

    Setelah Rahman mengatakan sesuatu yang terdengar bagai bilah es lalu menembus ulu hatinya, Anya terdiam membeku ditempat. Kakinya tidak bisa bergerak seakan lantai keramik di bawahnya menenggelamkannya. Dia tidak bisa berpikir dan jiwanya terasa kosong. Memikirkan Sinta Adiptara dan Rahman memiliki hubungan bahkan sampai memiliki anak, merupakan sesuatu yang tidak terduga pun menyakitkan. Anya tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan mertuanya. Dan bagaimana reaksi Rayland, Rendi, Rangga, bahkan Ryan, saat mereka tahu bahwa ibu yang sudah melahirkannya telah berkhianat. Lalu Rain? Anya tidak ingin membayangkannya lebih jauh. Rasanya terlalu menyakitkan. Mereka hanya anak, namun kesannya begitu tidak adil jika mereka harus ikut merasakan sakit karena perbuatan egois orang tuanya. Pada dasarnya, penghianatan selalu membawa kepedihan mendalam. Entah itu kepa

  • Adiptara Family's   CHAPTER 31 Gelombang Bencana

    "Bagaimana, sudah menemukan lokasi Anya dan Rendi?" Rayland bertanya dari balik telfon. Suaranya terdengar cemas, dan rasa khawatirnya membuncah tanpa ia sadari. Ini sudah hampir satu setengah hari dan kedua bocah itu masih belum ditemukan. Denyut di kepalanya kian bertambah. Sementara perasaan gundahnya semakin jadi. Antonio menjawab, "belum, tuan." Rayland mendengus jengkel, ingin marah tetapi tidak bisa melampiaskannya sekarang. Dari balik dinding transparan di belakangnya, semua kolega bisnis mengamati pergerakannya seolah tidak membiarkannya pergi tanpa menyelesaikan meeting mereka. Karena dirundung pekerjaan yang sama sekali tidak bisa ditinggalkan. Terpaksa, dia mengutus Antonio kembali ke Indonesia kemarin sore, setelah mendengar Anya dan adik lelakinya--Rendi--menghilang.

  • Adiptara Family's   CHAPTER 32 Penentu!

    Suara piring kaca berbunyi nyaring disertai pecahan yang saling bertebaran merebak, ketika jatuh dengan gerakan cepat menghantam lantai keramik di bawahnya. Dan tangan gemetar disertai wajah pias seorang wanita cantik menjadi latar mengerikan pagi ini. Tanpa meminta, sebulir air mata bening perlahan menerus turun dari sela manik indahnya, membelah pipinya yang seputih salju. Tidak mungkin, pikirnya. Seolah tidak mampu menahan bobot tubuhnya sendiri, Amora jatuh terduduk di atas lantai yang telah ditaburi pecahan kaca bekas piring. Kakinya terluka, tetapi dia tidak peduli, bahkan jika cairan merah kental berbau amis telah keluar merembes dari luka sayatannya, membuat kesan kontras dengan kulitnya yang putih, begitupun dengan lantai di bawahnya. Telinganya seolah mendengung dengan suara melengking nyaring, saat mendengar kabar jika anggota keluarga

  • Adiptara Family's   CHAPTER 33 Welcome Home, Son!

    Dingin. Beku. Perasaan seperti itu yang akan segera terbesit, ketika melihat tumpukan putih bersih menghiasi seluruh tempat; pohon, jalan, tanah, dan bahkan rumah. Semua tertimbun putihnya salju. Sejauh mata memandang, hanya ada salju, salju, dan salju. Lalu diantara pemandangan salju yang tampak mencekam, sebuah pondok kecil mengeluarkan kepulan uap panas dari cerobongnya, menjadi satu-satunya rumah di sana. Terlihat kontras dengan suasana hutan yang tampak menyeramkan di kala malam hari. Dari balik rumah, cahaya lilin minyak menjadi penerang di teras pondok. Meski temaram, tetapi dengan adanya cahaya kecil tersebut menandakan ada seseorang di sana. Menilik jauh ke dalam pondok, seorang gadis bertubuh mungil sedang terbaring kaku di atas ranjang berukuran sedang. Kemudian dari arah dapur, seorang pria berumur kisaran 60 tahun tengah memanaskan air dengan peralatan seadanya.  

Bab terbaru

  • Adiptara Family's   CHAPTER 43 Epilog; Mesin Pencetak

    "Astaga, Rayaaaa!!" "Buahh! Baa!!" Rendi melotot. Merasa bodoh sendiri memaki bocah perempuan yang masih berusia satu tahun. Beralih menatap ke arah bocah laki-laki di samping Raya; berambut punk, bertindik ala-ala, jangan lupakan tato mainan disekujur tubuhnya. Kemudian pemuda itu menunjuk ke arah dinding kamarnya yang dipenuhi coretan tinta. "Eh, bocah rock jalanan, kamu yang coret dinding kamarku?" tuduhnya, merasa jengkel dengan anak kakaknya yang satu ini. Kenakalannya berada di tingkat dewa. Masih berumur dua tahun saja, cita-citanya sudah ingin menjadi penyanyi rock. Manik kelam milik bocah

  • Adiptara Family's   CHAPTER 42 END

    Bau dupa merebak kuat memenuhi seluruh tempat. Lalu di beberapa bagian, kelopak bunga mawar bertebaran seolah sengaja diletakkan di antara salju putih yang menyilaukan mata, begitu kontras dengan warna merahnya. Perpaduan dupa dan harum mawar terasa pekat, menusuk hidung sampai ke ubun-ubun. Dan ketika Anya terbangun, wajahnya luar biasa syok menyadari di mana dirinya saat ini. Dunia mimpi-tetapi tidak di pondok kakek Pram. Kerutan di dahinya bertambah seiring kemilau gaun putih yang ia kenakan tertimpa beberapa cahaya matahari, menyembul malu di antara awan, sementara salju terus berguguran. Kemudian maniknya menyipit menatap sekeliling; tidak ada apapun selain hamparan salju di tanah lapang tanpa kontur tanah, selain ranjang yang ia tempati sekarang. Anya termangu. Merasa bingung seb

  • Adiptara Family's   CHAPTER 41 Sadar!

    Drap! Drap! Langkah kaki terdengar terburu, memenuhi nyaris separuh lorong rumah sakit dari arah ruang bersalin menuju ruangan lain--khusus VIP. Beberapa perawat menegur mereka, meminta dengan sopan agar tidak membuat keributan. Rangga berhenti, membiarkan Rendi, Anya, dan Lolita untuk melanjutkan langkah. Sementara dia menatap perawat untuk meminta maaf atas kelancangannya. Perawat yang baru saja menegur lantas memasang mimik mengerti, namun meminta, agar Rangga tidak mengulangi hal yang sama. Sebab ini jelas menggangu pasien yang sedang beristirahat. Sekali lagi meminta maaf, Rangga akhirnya berlalu dengan langkah cepat. Orang pertama yang memasuki ruang inap Rayland adalah Rendi dan Lolita. Sementara Anya, dia berhenti, kakinya tiba-tiba terasa berat d

  • Adiptara Family's   CHAPTER 40 Mengalah Bukan Berarti Kalah

    Tik! Tik! Anya termenung. Memejamkan mata merasai rintik hujan yang mulai membasahi wajah, nyaris seluruh tubuh. Dia berjongkok, menyamai tubuhnya dengan tumpukan tanah basah yang baru saja menenggelamkan tubuh Rain dalam kesunyian. Kesannya bagai mimpi, dan rasanya baru kemarin dia bertemu dengan sosok pria yang kini tengah terbaring damai dalam peraduan terakhirnya. Anya tidak menangis, sebab terlalu lelah dan ia ingin mengakhirinya. Anya hanya ingin menerka, mencoba bertanya kepada diri sendiri, mengapa Rain pergi? Mengapa pria itu memilih pergi setelah semua yang terjadi di antara mereka? Tidak seperti yang Anya duga, nyatanya hujan tidak turun dengan deras. Gerimis yang semula muncul menghilang entah ke mana, t

  • Adiptara Family's   CHAPTER 39 Selamat Tinggal Rain

    Membelalak. Rahman seolah tidak mampu mengucapkan satu kata pun sekarang. Maniknya melebar terkejut, melihat bagaimana ledakan yang nyaris menghempaskannya andai tidak segera memasang kuda-kuda pertahanan yang tepat. Tubuhnya jelas akan ikut terjebak dalam pusaran angin, membawa raganya terpental bersama yang lain. Beruntung, sebab ia memiliki refleks yang bagus. Mendongak. Kilat kemarahan di manik pria baya itu bertambah seiring mata gelapnya menatap sosok Anya; melayang di udara dengan posisi yang tidak berubah sedikitpun. Tidak ada riak berarti di wajah gadis itu. Matanya masih membuka dengan iris sehitam arang tanpa setitik pantulan cahaya di sana. Yang dia lakukan hanya diam melayang dengan sorot luar biasa kosong. Bukankah seharusnya proses penengah hanya bisa terjadi saat tubuh pengguna dalam keadaan sadar?

  • Adiptara Family's   CHAPTER 38 Mati atau Hidup

    Satu jam sebelum Rayland tertangkap Sejatinya, Lolita begitu malas menghampiri Rayland di kamar mandi. Inginnya hanya berdua saja dengan Ryuu lalu tidur setelahnya. Namun, seperti yang sudah-sudah, dia jelas tidak bisa menolak jika mengingat hanya dirinya yang paling memungkinkan untuk bergerak bebas. Jadi, tidak ada pilihan lain selain dia yang harus menghampiri pria itu. Tiba di depan kamar mandi, Lolita mengetuk pintu hingga berulang kali dan Rayland di dalamnya sama sekali tidak merespon. Sampai ketukan ke empat, pintu akhirnya terbuka dan Rayland muncul di baliknya. Satu detik! Dua detik! Tiga detik! "Aaaaaaaa ...," Teriakan Lolita menggema. Bukan tanpa alasan, sebab nyatanya, orang yang muncul dari balik

  • Adiptara Family's   CHAPTER 37 Awal Pertempuran Dua Saudara

    BRAK!! BRAK!! Darah mengucur deras, mengaliri hidung, mulut, bahkan telinga Rain. Pria itu meluruh lemas ke bawah lantai dengan penampilan mengerikan. Sekujur tubuhnya dipenuhi luka sayatan dan darah tidak berhenti merembes dari sana. Manik kelamnya menyorot sosok Rahman yang sedang duduk di kursi, sembari menyeringai setan melihat penderitaannya. Kedua tangannya dirantai begitupun lehernya. Kini, Rain tidak ubahnya seekor hewan penyiksaan. Dua orang pria bertopeng berdiri di sisi Rahman, memegang senapan aneh dan sejak tadi hanya terdiam menyaksikan kekejaman Rahman kepada Rain. Kasih sayang seorang ayah seolah tidak ada dalam jiwanya, lantas menyiksa anak sendiri bukanlah masalah besar baginya. Ketika mengetahui Ren telah terbunuh, Rahma

  • Adiptara Family's   CHAPTER 36 Berubah

    Perih. Panas. Dan rasa sakit perlahan mulai merambati Antonio dari satu titik, kemudian menyebar hingga ke seluruh perutnya. Satu tembakan bisa ditahan, namun dua tembakan berikutnya menembus dada, memaksa Antonio untuk tersungkur ke lantai. Matanya berkunang, pandangannya mulai memburam, dan kesadarannya nyaris menghilang. Dinginnya lantai seolah tidak berasa, ketika pipinya menghantam keramik di bawahnya. Sosok wanita yang selalu ia kenal ramah dan baik menjadi latar mengerikan, memegangi pistol yang masih mengepulkan asap panas, sedang berdiri mengarah kepadanya. Sejatinya, Antonio tidak menyangka akan kalah secepat ini. Bangun! pikirnya. Rayland masih membutuhkannya dan ia harus melakukan sesuatu, sebelum wanita ular itu melukai Rayland dan Anya. Mereka berdua baru saja bertemu. Tania tidak boleh menghancurkan setitik kebahagi

  • Adiptara Family's   CHAPTER 35 Bertemu

    Langkah kaki yang terdengar pelan beradu dengan suara gesekan ranting pun dedaunan kering, ketika terseret, terdengar bagai gema suara yang khas. Mengalun dengan aneh; srek ... srek. Seonggok tubuh manusia bergerak menyapu bersih dedaunan, ketika bokong hingga ujung kakinya menyentuh tanah, ditarik dengan kasar, sementara dia tidak sadarkan diri. Separuh tubuhnya telah kotor, celana panjangnya di penuhi bekas tanah, lalu sepatu hitamnya hilang sebelah, dan hanya menyisakan kaos kaki. Dari jarak dua meter, tampak bangunan tua beratap flat di penuhi lumut, cat tembok terkelupas, beberapa bagian rusak, dan sekitarnya dirambati tanaman rambat. Pun, dipenuhi semak belukar berduri. Jika dilihat, berpikir dua kali adalah pikiran wajar sebelum mengunjungi tempat tersebut. Begitu kotor dan menakutkan. Bisa jadi, tempat itu adalah sarang destinasi ekperimen paranormal.

DMCA.com Protection Status