Apa hanya kebetulan? Mungkin saja. Anya tidak ingin mengambil kesimpulan secara serampangan. Itu jelas berbahaya. Tetapi kemungkinan-kemungkinan tidak masuk akal atau mustahil sekalipun, tidak berhenti menari di dalam pikirannya.
Apakah mertuanya--Ramlan Ady Adiptara--adalah orang yang sama dengan Rahman Ady Adiptara?
Atau yang paling masuk akal adalah, mertuanya memiliki seorang kembaran?
Ataukah, Anya hanya sedang berhalusinasi?
 
Amora sedang menyiram tanaman mawarnya ketika bel rumahnya terdengar berbunyi, tentu saja karena seseorang baru saja memencetnya. Tidak lantas membuka pintu pagar rumahnya yang besar dengan dominasi cat putih tersebut, wanita itu justru dengan gerakan santai mencabuti rumput liar, yang tidak sengaja tumbuh di sekitar tanaman mawar miliknya. Dia seakan tidak perduli, siapa yang baru saja menekan bel rumahnya. Suara bel terdengar kembali, bahkan semakin sering. Alih-alih marah, Amora tersenyum begitu cantik sembari bersenandung ringan. Pagi ini, ia hanya seorang diri di rumah. Linda--dengan kesal harus kembali ke kantornya tepat setelah seseorang dari tempatnya bekerja menghubunginya pukul lima pagi. Wanita itu sungguh dibuat marah, bukannya menikmati hari cutinya yang khusus untuk Sang adik, namun rupanya tidak bisa mengelak ketika bawahannya lagi-lagi m
Setelah Rahman mengatakan sesuatu yang terdengar bagai bilah es lalu menembus ulu hatinya, Anya terdiam membeku ditempat. Kakinya tidak bisa bergerak seakan lantai keramik di bawahnya menenggelamkannya. Dia tidak bisa berpikir dan jiwanya terasa kosong. Memikirkan Sinta Adiptara dan Rahman memiliki hubungan bahkan sampai memiliki anak, merupakan sesuatu yang tidak terduga pun menyakitkan. Anya tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan mertuanya. Dan bagaimana reaksi Rayland, Rendi, Rangga, bahkan Ryan, saat mereka tahu bahwa ibu yang sudah melahirkannya telah berkhianat. Lalu Rain? Anya tidak ingin membayangkannya lebih jauh. Rasanya terlalu menyakitkan. Mereka hanya anak, namun kesannya begitu tidak adil jika mereka harus ikut merasakan sakit karena perbuatan egois orang tuanya. Pada dasarnya, penghianatan selalu membawa kepedihan mendalam. Entah itu kepa
"Bagaimana, sudah menemukan lokasi Anya dan Rendi?" Rayland bertanya dari balik telfon. Suaranya terdengar cemas, dan rasa khawatirnya membuncah tanpa ia sadari. Ini sudah hampir satu setengah hari dan kedua bocah itu masih belum ditemukan. Denyut di kepalanya kian bertambah. Sementara perasaan gundahnya semakin jadi. Antonio menjawab, "belum, tuan." Rayland mendengus jengkel, ingin marah tetapi tidak bisa melampiaskannya sekarang. Dari balik dinding transparan di belakangnya, semua kolega bisnis mengamati pergerakannya seolah tidak membiarkannya pergi tanpa menyelesaikan meeting mereka. Karena dirundung pekerjaan yang sama sekali tidak bisa ditinggalkan. Terpaksa, dia mengutus Antonio kembali ke Indonesia kemarin sore, setelah mendengar Anya dan adik lelakinya--Rendi--menghilang.
Suara piring kaca berbunyi nyaring disertai pecahan yang saling bertebaran merebak, ketika jatuh dengan gerakan cepat menghantam lantai keramik di bawahnya. Dan tangan gemetar disertai wajah pias seorang wanita cantik menjadi latar mengerikan pagi ini. Tanpa meminta, sebulir air mata bening perlahan menerus turun dari sela manik indahnya, membelah pipinya yang seputih salju. Tidak mungkin, pikirnya. Seolah tidak mampu menahan bobot tubuhnya sendiri, Amora jatuh terduduk di atas lantai yang telah ditaburi pecahan kaca bekas piring. Kakinya terluka, tetapi dia tidak peduli, bahkan jika cairan merah kental berbau amis telah keluar merembes dari luka sayatannya, membuat kesan kontras dengan kulitnya yang putih, begitupun dengan lantai di bawahnya. Telinganya seolah mendengung dengan suara melengking nyaring, saat mendengar kabar jika anggota keluarga
Dingin. Beku. Perasaan seperti itu yang akan segera terbesit, ketika melihat tumpukan putih bersih menghiasi seluruh tempat; pohon, jalan, tanah, dan bahkan rumah. Semua tertimbun putihnya salju. Sejauh mata memandang, hanya ada salju, salju, dan salju. Lalu diantara pemandangan salju yang tampak mencekam, sebuah pondok kecil mengeluarkan kepulan uap panas dari cerobongnya, menjadi satu-satunya rumah di sana. Terlihat kontras dengan suasana hutan yang tampak menyeramkan di kala malam hari. Dari balik rumah, cahaya lilin minyak menjadi penerang di teras pondok. Meski temaram, tetapi dengan adanya cahaya kecil tersebut menandakan ada seseorang di sana. Menilik jauh ke dalam pondok, seorang gadis bertubuh mungil sedang terbaring kaku di atas ranjang berukuran sedang. Kemudian dari arah dapur, seorang pria berumur kisaran 60 tahun tengah memanaskan air dengan peralatan seadanya.  
Rasanya Rain ingin mengamuk; meremukkan kepala Rahman yang sedang tersenyum senang melihat kehadirannya. Selama ini, pria baya itu selalu ingin menangkap Rain lantas mengurungnya kembali. Tetapi mengingat Rain berada dalam pengawasan Mr. Steph, Rahman memilih mengurungkan niat. Dia tahu jelas siapa pria itu. Manik Rain berubah kelam dan api amarah membakar jiwanya. Lalu tanpa peringatan, Rain melesat cepat menghampiri Rahman, meraih batang lehernya. Sayangnya, bahkan sebelum tangannya menyentuh apapun, pria itu sudah terlempar jauh ke arah padang rumput kemudian menghantam pohon di sisi jalan terdekat. Segera, darah menyembur keluar dari dalam mulutnya. "PAK RAINN!!" Teriakan Lolita nyaris bersamaan dengan Ryuu. Mereka syok, serta wajah pias memutih menghiasi rupa mereka, tidak menyangka dengan kejadian yang ama
Langkah kaki yang terdengar pelan beradu dengan suara gesekan ranting pun dedaunan kering, ketika terseret, terdengar bagai gema suara yang khas. Mengalun dengan aneh; srek ... srek. Seonggok tubuh manusia bergerak menyapu bersih dedaunan, ketika bokong hingga ujung kakinya menyentuh tanah, ditarik dengan kasar, sementara dia tidak sadarkan diri. Separuh tubuhnya telah kotor, celana panjangnya di penuhi bekas tanah, lalu sepatu hitamnya hilang sebelah, dan hanya menyisakan kaos kaki. Dari jarak dua meter, tampak bangunan tua beratap flat di penuhi lumut, cat tembok terkelupas, beberapa bagian rusak, dan sekitarnya dirambati tanaman rambat. Pun, dipenuhi semak belukar berduri. Jika dilihat, berpikir dua kali adalah pikiran wajar sebelum mengunjungi tempat tersebut. Begitu kotor dan menakutkan. Bisa jadi, tempat itu adalah sarang destinasi ekperimen paranormal.
Perih. Panas. Dan rasa sakit perlahan mulai merambati Antonio dari satu titik, kemudian menyebar hingga ke seluruh perutnya. Satu tembakan bisa ditahan, namun dua tembakan berikutnya menembus dada, memaksa Antonio untuk tersungkur ke lantai. Matanya berkunang, pandangannya mulai memburam, dan kesadarannya nyaris menghilang. Dinginnya lantai seolah tidak berasa, ketika pipinya menghantam keramik di bawahnya. Sosok wanita yang selalu ia kenal ramah dan baik menjadi latar mengerikan, memegangi pistol yang masih mengepulkan asap panas, sedang berdiri mengarah kepadanya. Sejatinya, Antonio tidak menyangka akan kalah secepat ini. Bangun! pikirnya. Rayland masih membutuhkannya dan ia harus melakukan sesuatu, sebelum wanita ular itu melukai Rayland dan Anya. Mereka berdua baru saja bertemu. Tania tidak boleh menghancurkan setitik kebahagi
"Astaga, Rayaaaa!!" "Buahh! Baa!!" Rendi melotot. Merasa bodoh sendiri memaki bocah perempuan yang masih berusia satu tahun. Beralih menatap ke arah bocah laki-laki di samping Raya; berambut punk, bertindik ala-ala, jangan lupakan tato mainan disekujur tubuhnya. Kemudian pemuda itu menunjuk ke arah dinding kamarnya yang dipenuhi coretan tinta. "Eh, bocah rock jalanan, kamu yang coret dinding kamarku?" tuduhnya, merasa jengkel dengan anak kakaknya yang satu ini. Kenakalannya berada di tingkat dewa. Masih berumur dua tahun saja, cita-citanya sudah ingin menjadi penyanyi rock. Manik kelam milik bocah
Bau dupa merebak kuat memenuhi seluruh tempat. Lalu di beberapa bagian, kelopak bunga mawar bertebaran seolah sengaja diletakkan di antara salju putih yang menyilaukan mata, begitu kontras dengan warna merahnya. Perpaduan dupa dan harum mawar terasa pekat, menusuk hidung sampai ke ubun-ubun. Dan ketika Anya terbangun, wajahnya luar biasa syok menyadari di mana dirinya saat ini. Dunia mimpi-tetapi tidak di pondok kakek Pram. Kerutan di dahinya bertambah seiring kemilau gaun putih yang ia kenakan tertimpa beberapa cahaya matahari, menyembul malu di antara awan, sementara salju terus berguguran. Kemudian maniknya menyipit menatap sekeliling; tidak ada apapun selain hamparan salju di tanah lapang tanpa kontur tanah, selain ranjang yang ia tempati sekarang. Anya termangu. Merasa bingung seb
Drap! Drap! Langkah kaki terdengar terburu, memenuhi nyaris separuh lorong rumah sakit dari arah ruang bersalin menuju ruangan lain--khusus VIP. Beberapa perawat menegur mereka, meminta dengan sopan agar tidak membuat keributan. Rangga berhenti, membiarkan Rendi, Anya, dan Lolita untuk melanjutkan langkah. Sementara dia menatap perawat untuk meminta maaf atas kelancangannya. Perawat yang baru saja menegur lantas memasang mimik mengerti, namun meminta, agar Rangga tidak mengulangi hal yang sama. Sebab ini jelas menggangu pasien yang sedang beristirahat. Sekali lagi meminta maaf, Rangga akhirnya berlalu dengan langkah cepat. Orang pertama yang memasuki ruang inap Rayland adalah Rendi dan Lolita. Sementara Anya, dia berhenti, kakinya tiba-tiba terasa berat d
Tik! Tik! Anya termenung. Memejamkan mata merasai rintik hujan yang mulai membasahi wajah, nyaris seluruh tubuh. Dia berjongkok, menyamai tubuhnya dengan tumpukan tanah basah yang baru saja menenggelamkan tubuh Rain dalam kesunyian. Kesannya bagai mimpi, dan rasanya baru kemarin dia bertemu dengan sosok pria yang kini tengah terbaring damai dalam peraduan terakhirnya. Anya tidak menangis, sebab terlalu lelah dan ia ingin mengakhirinya. Anya hanya ingin menerka, mencoba bertanya kepada diri sendiri, mengapa Rain pergi? Mengapa pria itu memilih pergi setelah semua yang terjadi di antara mereka? Tidak seperti yang Anya duga, nyatanya hujan tidak turun dengan deras. Gerimis yang semula muncul menghilang entah ke mana, t
Membelalak. Rahman seolah tidak mampu mengucapkan satu kata pun sekarang. Maniknya melebar terkejut, melihat bagaimana ledakan yang nyaris menghempaskannya andai tidak segera memasang kuda-kuda pertahanan yang tepat. Tubuhnya jelas akan ikut terjebak dalam pusaran angin, membawa raganya terpental bersama yang lain. Beruntung, sebab ia memiliki refleks yang bagus. Mendongak. Kilat kemarahan di manik pria baya itu bertambah seiring mata gelapnya menatap sosok Anya; melayang di udara dengan posisi yang tidak berubah sedikitpun. Tidak ada riak berarti di wajah gadis itu. Matanya masih membuka dengan iris sehitam arang tanpa setitik pantulan cahaya di sana. Yang dia lakukan hanya diam melayang dengan sorot luar biasa kosong. Bukankah seharusnya proses penengah hanya bisa terjadi saat tubuh pengguna dalam keadaan sadar?
Satu jam sebelum Rayland tertangkap Sejatinya, Lolita begitu malas menghampiri Rayland di kamar mandi. Inginnya hanya berdua saja dengan Ryuu lalu tidur setelahnya. Namun, seperti yang sudah-sudah, dia jelas tidak bisa menolak jika mengingat hanya dirinya yang paling memungkinkan untuk bergerak bebas. Jadi, tidak ada pilihan lain selain dia yang harus menghampiri pria itu. Tiba di depan kamar mandi, Lolita mengetuk pintu hingga berulang kali dan Rayland di dalamnya sama sekali tidak merespon. Sampai ketukan ke empat, pintu akhirnya terbuka dan Rayland muncul di baliknya. Satu detik! Dua detik! Tiga detik! "Aaaaaaaa ...," Teriakan Lolita menggema. Bukan tanpa alasan, sebab nyatanya, orang yang muncul dari balik
BRAK!! BRAK!! Darah mengucur deras, mengaliri hidung, mulut, bahkan telinga Rain. Pria itu meluruh lemas ke bawah lantai dengan penampilan mengerikan. Sekujur tubuhnya dipenuhi luka sayatan dan darah tidak berhenti merembes dari sana. Manik kelamnya menyorot sosok Rahman yang sedang duduk di kursi, sembari menyeringai setan melihat penderitaannya. Kedua tangannya dirantai begitupun lehernya. Kini, Rain tidak ubahnya seekor hewan penyiksaan. Dua orang pria bertopeng berdiri di sisi Rahman, memegang senapan aneh dan sejak tadi hanya terdiam menyaksikan kekejaman Rahman kepada Rain. Kasih sayang seorang ayah seolah tidak ada dalam jiwanya, lantas menyiksa anak sendiri bukanlah masalah besar baginya. Ketika mengetahui Ren telah terbunuh, Rahma
Perih. Panas. Dan rasa sakit perlahan mulai merambati Antonio dari satu titik, kemudian menyebar hingga ke seluruh perutnya. Satu tembakan bisa ditahan, namun dua tembakan berikutnya menembus dada, memaksa Antonio untuk tersungkur ke lantai. Matanya berkunang, pandangannya mulai memburam, dan kesadarannya nyaris menghilang. Dinginnya lantai seolah tidak berasa, ketika pipinya menghantam keramik di bawahnya. Sosok wanita yang selalu ia kenal ramah dan baik menjadi latar mengerikan, memegangi pistol yang masih mengepulkan asap panas, sedang berdiri mengarah kepadanya. Sejatinya, Antonio tidak menyangka akan kalah secepat ini. Bangun! pikirnya. Rayland masih membutuhkannya dan ia harus melakukan sesuatu, sebelum wanita ular itu melukai Rayland dan Anya. Mereka berdua baru saja bertemu. Tania tidak boleh menghancurkan setitik kebahagi
Langkah kaki yang terdengar pelan beradu dengan suara gesekan ranting pun dedaunan kering, ketika terseret, terdengar bagai gema suara yang khas. Mengalun dengan aneh; srek ... srek. Seonggok tubuh manusia bergerak menyapu bersih dedaunan, ketika bokong hingga ujung kakinya menyentuh tanah, ditarik dengan kasar, sementara dia tidak sadarkan diri. Separuh tubuhnya telah kotor, celana panjangnya di penuhi bekas tanah, lalu sepatu hitamnya hilang sebelah, dan hanya menyisakan kaos kaki. Dari jarak dua meter, tampak bangunan tua beratap flat di penuhi lumut, cat tembok terkelupas, beberapa bagian rusak, dan sekitarnya dirambati tanaman rambat. Pun, dipenuhi semak belukar berduri. Jika dilihat, berpikir dua kali adalah pikiran wajar sebelum mengunjungi tempat tersebut. Begitu kotor dan menakutkan. Bisa jadi, tempat itu adalah sarang destinasi ekperimen paranormal.