Part 2Enak sekali dia meneriaki aku. Sudah bagus aku membantunya mencari nafkah. Agar kehidupan semakin meningkat. Eehhh seenaknya pula dia mau menghamburkan uang untuk adik lelakinya yang tak tahu malu itu."Memang, keterlaluan, Kau!" Tangannya melayang ke udara hendak menamparku."Apa? Mau menamparku, kau? Tampar nih!" Aku memiringkan sedikit kepala agar dia leluasa menamparku."Ayo cepat, tampar!" teriakku masih dengan posisi yang sama.Aku tidak dapat melihat wajahnya karena posisiku masih miring. Karena tak kunjung ada pergerakkan darinya, aku mencoba untuk melihatnya. Wajahnya merah padam. Mungkin menahan emosi. "Kau ingat ini! Sampai berani kau sentuh sedikit saja kulitku ini. Siap kau jadi duda!" teriakku tepat di wajahnya. Tangan Mas Dendi terkepal kuat.Bugh!Dinding di sampingku ia tonjok dengan kepalannya. Aku jelas terkejut. Tapi segera kunetralkan, agar terkesan tidak tukut padanya. Bagaimanapun dia lelaki, tenaganya pasti lebih kuat dibandingkan aku. Jika melawannya
Prang!Meja kaca dihadapanku hancur lebur berantakan. Mas Dendi baru saja mengangkat dan membantingnya."Heiiii! Kamu marah jangan coba-coba banting barangku, ya! Kamu pikir belinya pake daun jambu?" teriakku.Meja yang kubeli dengan jerih payahku harus hancur seperti ini!Enak sekali dia."Aku, tak peduli!" pungkasnya. Dia lalu berjalan menuju kamar tanpa membereskan hasil perusakannya. Enak saja dia! Sudah menghancurkan, main tinggal begitu aja. Emang dipikir aku sudi untuk membereskan ini semua?Minta dibina ini suami. Jika tidak bisa dibina, maka harus dibinasakan.Kuikuti dia masuk ke dalam kamar. Kita sambung perkelahian ini. Biar tahu punya istri macan sepertiku."Mas! Bereskan itu ulahmu!" teriakku di ambang pintu.Kulihat dia bergeming."Mas, punya telinga nggak? Beresin itu hasil perbuatanmu," kataku lagi. Sekarang aku sudah berada di hadapannya.Dia masih tetap diam, duduk di atas kasur. Kutarik pergelangan tangannya. Dia bangkit dan mengikutiku.Setelah mencapai depan pin
Oh, kita lihat saja nanti apa yang akan aku lakukan pada adik benalumu itu!Enak saja main datang lalu numpang! Emang dia pikir di sini tempat penampungan? "Kenapa harus tinggal di sini? Dia kan bisa ngekost!" protesku padanya.Aku tidak bisa menerima adiknya untuk tinggal di sini. Malas jika harus direpotkan dengan kehadirannya."Rama belum ada uang, Mel. Makanya biarkan dia tinggal di sini dulu," jelasnya. Selalu saja mengatakan belum punya uang! Jadi selama hidupnya, apa saja yang sudah dilakukannya. Sampai-sampai tak punya uang!Begini, jika terlalu dimanja. Baru kerja seminggu, tidak betah, langsung disuruh pulang.Bekerja sedikit berat, langsung menyerah, dan mengatakan nggak sanggup.Jika bisa sobek, kurasa sudah sobek mulut ini dari dulu karena menasehati suamiku. Padahal sudah kubilang, biarkan saja adiknya itu bekerja. Agar bisa lebih mandiri dan bertanggung jawab atas dirinya dan pekerjaan. Tapi selalu saja dibela. Nggak abangnya, nggak Ibunya, nggak Kakaknya semua selalu
Aku masuk ke dalam kamar untuk mengambil kunci gudang. Mas Dendi sudah tidak lagi mengikutiku.Biarkan saja mereka berdua kelaparan. Masa lelaki tidak bisa berpikir dan berusaha untuk mengisi perutnya. Mau hutang kek, mau mencuri kek, terserah!Entah pernikahan apa yang kujalani saat ini. Sepertinya sudah sangat jauh dari kata harmonis.Setelah mengambil kunci, aku berjalan keluar melewati ruang tamu. Kebetulan pintu gudang hanya bisa dibuka dari depan. Bangunan berukuran 3x4 meter hanya memiliki satu pintu di depan. Cukuplah untuk menampung barang daganganku.Mas Dendi dan Rama duduk dengan bibir dimonyongkan di sofa. Mungkin sebal karena tidak kuberi uang untuk membeli makanan.Kulewati saja mereka setelah meliriknya sekilas. Pekerjaanku lebih penting dibandingkan mengurusi mereka berdua. Udah tua ini 'kan! Aku membuka gudang lebar, agar bisa memaskukkan barang dengan leluasa. Di dalam juga sudah sangat banyak pakaian yang belum diambil oleh reseller. Mungkin sore ini mereka akaan
"Memang bod*h kau! Kodrat wanita itu, harus melayani suaminya! Termasuk mencuci, memasak, dan membersihkan rumah!" terangnya, sok pintar.Ini, tipe orang yang sekolah hanya datang lalu pulang. Ilmunya nggak nyampe di benak. Bisa-bisanya mengatakan pekerjaan rumah tangga adalah kodrat wanita. Apa dia tidak tahu apa itu kodrat?"What? Belajar ilmu agama dari mana kau rupanya?" tanyaku, melihat sinis ke arahnya. Aku menarik napas kasar. Menjelaskan padanya butuh tenaga ekstra. Apalagi dengan manusia sejenis kadal."Mencuci, memasak, dan membersihkan rumah, itu bukan kodrat wanita. Keong sawah! Kodrat wanita itu, hanya ada 4. Menstruas*, hamil, melahirkan dan menyusui. Selebihnya itu, bukan kodrat!" imbuhku menjelaskan. Agar lelaki seperti dia tau mana kodrat, mana bukan."Nggak usah mengguruiku, kau!" sungutnya berkacak pinggang. Napasnya kembang kempis, sepertinya menahan amarah.Mau berdebat sampai gimana, tetap gue jabani! Loe jual gue beli!"Lah, kau itu o*n, atau beg*? Ngatain aku b
Pov Rama.Entah apa maksud Melia. Sedang asyik menonton tv, malah main matikan saklar saja. Apa dia merasa bahwa rumah ini adalah miliknya? Makanya berlaku sesuka hatinya? Tak sadar dia bahwa rumah beserta isinya milik abangku. Mana mungkin wanita sepertinya bisa membeli semua ini.Sekolah juga palingan cuma tamat SD. Dia yang menumpang dengan abangku. Dia pula sok berkuasa di rumah ini. Ada ya, wanita tak tahu malu seperti Melia!Kakak iparku itu, adalah wanita tidak tahu diri! Tidak bersyukur dia mendapatkan suami seperti abangku. Lelaki rajin, dan pekerja keras. Bahkan memiliki gaji besar. Masih saja disia-siakan.Melihat suami hendak berangkat bekerja, bukannya dibuatkan kopi dan sarapan. Eehh, malah dia asyik mencuci pakaian dan membiarkan abangku berangkat bekerja dengan perut keroncongan. Bahkan lebih parahnya lagi, Melia hanya mencuci pakayannya sendiri, sedangkan punyaku dan bang Dendi diserak di lantai. Apa bisa dibenarkan kelakuan istri seperti itu?Aku ini adalah tamu, dan
Pov Dendi.Lelah sekali rasanya. Tiap hari harus tarik urat bila berbicara dengan Melia. Wanita yang sudah tiga tahun kunikahi.Dia sangat berubah semenjak mengetahui adik lelakiku meminta ponsel seharga lima juta. Memang aku meminta untuk dia terlebih dahulu yang membelikannya. Tanggal tua, sudah pasti uangku tidak bersisah. Biasanya juga aku meminta padanya bila kekurangan uang untuk membeli bensin.Aku tahu, bahkan ponsel miliknya tidak semahal itu. Tapi demi adik, masa dia tidak mau menurutinya. Apalagi adik bungsuku belum bekerja. Kan kasihan jika dia meminta tapi tidak diberikan.Mengapa dia menjadi sangat perhitungan begini. Bukankah selama ini uangku adalah uangnya. Dan uangnya adalah uangku?Selama ini juga dia tidak pernah protes bila kuberi uang satu juta untuk keperluan rumah. Apa betul yang dikatakan Rama, bahwa dia sudah memiliki pria idaman lain?Melia istriku, kenapa kamu sampai seperti ini!Dulu, saat pertama kali aku bertemu dengan Melia, aku langsung jatuh cinta pad
Pov Dendi.Jam sudah menunjukkan pukul enam sore saat aku baru saja sampai di rumah. Kulihat Melia sedang duduk bersantai di sofa.Apakah dia sengaja menungguku pulang bekerja? Apa dia tahu hari ini aku gajian? Tanya hatiku bertubi.Setelah melepas sepatu, aku berjalan mendekatinya. Dan setelah sampai kujatukan bok*ng di sampingnya."Dek, hari ini abang gajian," ucapku membuka percakapan.Melia hanya melirik sekilas. "Terus?" tanyanya, seperti tidak tertarik dengan bahasanku."Ini, Mas kasih uang untuk belanja bulanan." Kuserahkan uang satu juta padanya.Melia menerima lalu menghitungnya."Jadi, sekarang, Adek udah bisa masak untuk abang dan Rama lagi 'kan?" sambungku. Kulihat ekspresi wajahnya menunjukkan ketidaksukaan."Huuuufffttt." Melia mendesah lelah."Uang sejuta untuk makan kalian berdua? Ini nggak cukup," ujarnya, seraya meletakkan kembali uang yang telah kuberi ke tanganku."Tapi biasanya, 'kan memang segini, Dek," jawabku."Itu, karena kamu sendiri. Sekarang kan berdua. Ja
"Mel, maafkan aku!" ujar lelaki yang ternyata Mas Dendi.Semenjak kejadian dia bertengkar dan adiknya ditangkap polisi, aku tak pernah lagi bertemu dengannya. Mengapa sekarang dia muncul lagi dihadapanku?Aku heran, darimana dia tahu aku tinggal di sini. Padahal, selama pindah, tak pernah sekalipun aku memberi tahunya tinggal di mana.Apa jangan-jangan dia memata-mataiku?"Maaf, untuk apa?" tanyaku malas.Malas jika harus bertemu dengannya. Malas segalanya bila berurusan dengan yang namanya mantan. Jika sudah menjadi mantan, maka semuanya telah usai bagiku."Untuk segala yang sudah kulakukan padamu dulu. Aku menyesal telah melepaskanmu demi adik tak tahu diri itu!" ucapnya dengan mimik wajah yang penuh dengan penyesalan.Semuanya sudah terlambat. Untuk apa lagi dia meminta maaf. Toh, tidak akan merubah segalanya yang sudah terjadi."Sudahlah. Lagi pula, semuanya sudah berlalu.""Tapi, aku benar-benar menyesal, Mel. Bila waktu bisa diputar kembali. Aku, ingin memperbaiki segalanya. Dan
Sesuai dengan ucapannya. Bang Ilyas membawaku dan Karin melihat rumah baru kami. Hari ini, dia libur bekerja karena sudah berjanji untuk melihat-lihat rumah tersebut. Dan jika cocok, maka langsung bayaran.Rumah ini cukup besar. Apalagi jika hanya untuk kami berdua tinggal. Bahkan menurutku, terlalu besar. Hanya rumah, sementara ruko seperti yang kami bicarakan sebelumnya, tidak ada."Rumah dulu, Dek. Nanti, kita bangun ruko di samping. Tanahnya juga kebetulan masih luas." Bang Ilyas, seperti bisa membaca isi hatiku. Tanpa aku berbicara, dia sudah mengatakan yang baru saja kupikirkan."Iya, gimana bagusnya aja, Bang." Aku tersenyum."Cantik kali ini, kalau jadi rumahmu, Kak!" ucap Karin takjub.Karena di depan abangnya ini, makanya dia panggil Kak. Coba kalau nggak, udah pasti aku, kau."Iya, aku suka kali rumah ini. Cocok untuk buka usaha juga. Depan langsung jalan besar.""Iya, kan. Bisa buka toko sekalian jualan online ini," ucap Karin sambil terus berkeliling untuk melihat-lihat.
"Lelaki itu, adiknya Dendi, Dek?" tanya suamiku, melihat kepergian dua makhluk yang tak bisa disebutkan jenisnya itu."Iya," jawabku singkat padat dan jelas.Malas bahas manusia tak tahu diri itu. Bikin nambah dosa aja."Kok, mereka tega sih, main belakang begitu?" tanyanya lagi.Kok tumben suamiku ini mengurusi kehidupan orang. Kalau aku sih malas."Nggak tau, Bang. Mungkin mereka dibutakan oleh hawa nafsu. Ah, udahlah, malas bahas mereka. Ayo, kita balik ke penginapan aja." Aku menarik tangannya pelan dan membawanya berjalan menuju tempat istirahat kami.Gara-gara ketemu mereka jadi bad mood deh. Hemmmm...Udah nggak semangat untuk jalan-jalan. Pengen cepat pulang aja deh."Abang, udah dapat rumah yang pas untuk kita pindah, Dek!" ucapnya saat kami masih melangkahkan kaki beriringan.Syukurlah, akhirnya bisa menjauh dari mereka semua yang selalu bikin rusuh.Berjalan sambil mengobrol begini, setidaknya bisa mengurangi rasa jengkelku pada Rama dan Ratna.Mereka yang ketahuan selingku
Tak salah lagi. Itu memang Ratna. Dia melihat ke arahku, dan Aku sepontan menutup sebagian wajah dengan menggunakan hijab yang menjuntai. Sengaja membentuknya seperti cadar agar dia tak mengenaliku.Nanti, dia berpikir pula kalau aku sengaja membuntutinya. Padahal, nggat tau sama sekali kalau dia juga sedang berada di sini. Dan parahnya bersama adik iparnya sendiri.Mereka berdua berjalan mendekat ke arahku, dengan Ratna yang bersandar pada bahu Rama.Kalau Bang Ilyas datang ke sini, bisa hancur penyamaranku ini.[Abang, tolong ke penginapan dulu, ambilkan jaket. Adek sedikit kedinginan nih!] aku mengirimkan pesan pada suamiku. Sengaja mengulur waktu agar tak bertemu dengan kedua manusia lucknut ini.[Oke, sayang. Ditunggu, jangan kemana-mana.] balasnya.Kedua makhluk tak tahu diri itu terus berjalan mendekat ke arahku. Kebetulan, bangku yang kududuki masih luas dan kosong.Tamatlah riwayatku. Mereka duduk di sampingku. Sekitar satu meter dari tempat dudukku."Aku, terlalu bosan denga
Aku tersenyum saat suamiku menyentuh tanganku. Aku tau kalau dia tidak suka aku berdebat dengan tantenya."Jangan Marah gitu dong, tan. Aku kan cuma bercanda. Jangan dibawa serius ah!" kilahku."Halah! Nggak usah banyak kali alasanmu!" serunya emosi."Udah tante, jangan emosi. Nanti naik loh, gula darahnya! Ayo, Bang. Kita berangkat!" Aku mengalihkan pembicaraan, karena yakin Bang Ilyas tak suka dengan pertdebatan kami."Abang, masih lama menginap di rumah tante?" tanya Saras memulai percakapan, setelah beberapa saat terdiam."Belum tau, kenapa?" tanya suamiku."Nggak apa. Kalau masih lama, aku kan bisa main lagi ke sana," ujar Saras."Kayaknya, kalau nggak besok atau nanti sore, kami udah pulang sih, Ras. Soalnya pengen honeymoon!" Aku ikut menanggapi obrolan mereka.Padahal, tak ada rencana honeymoon. Ini hanya alasan biar si Saras semakin kepanasan. Dia pasti tak suka melihatku menikmati hidup bersama suamiku.Bang Ilyas menoleh ke arahku. Wajahnya seperti ingin bertanya. Karena se
"Eeehhh. Mau ngapain, Bang?" Aku terus beringsut mundur saat Bang Ilyas mendekat."Mengulang yang tadi malam," ucapnya santai."Isshhh. Udah terang gini. Nanti dipanggil sarapan sama yang lain gimana?" protesku, mencoba mendorongnya."Udah, biarkan aja mereka sarapan duluan." Dia tetap kekeuh melanjutkan aksinya.Ngeyel banget sih, Bang!Tok! Tok! Tok!"Ilyas! Ayo sarapan!" panggil Mama.Bang Ilyas menghentikan aksinya dan mengacak rambutnya asal."Hmmm... Mama datang di saat yang tidak tepat. Padahal anaknya sedang berusaha memberikannya cucu!" omel suamiku lucu sekali. Aku cekikikan melihatnya."Nanti Ilyas dan Melia menyusul. Mama dan yang lain, lanjutkan aja sarapannya!" ujar suamiku dengan sedikit berteriak."Nggak bisa dong, Nak. Tante Yulia dan Saras akan pulang pagi ini. Jadi kita sarapan bersama dulu!" ujar Mama lagi. Wah, ternyata mereka tahu diri juga. Kupikir mau sampai aku dan suamiku pergi dari sini, baru mereka pulang.Tak perlu lah, tarik urat sepanjang hari. Karena p
Seketika, raut wajahnya berberubah garang. Saras yang berada di sampingnya juga terlihat semakin sinis.Hahahah, mereka pikir aku takut? Ya, jelas enggaklah. Selama masih sama-sama memijak bumi. Tak akan pernah aku takuti. Kecuali udah jadi kunti, barulah aku bacakan ayat kursi."Eeehh, perempuan kampung! Nggak ada lah ot*kmu itu! Kau suruh pula aku jadi babu!" makinya sambil menunjuk mukaku.Semakin dia emosi, semakin suka aku melawannya."Lah, kan kalau aku udah pernah jadi babu. Kalau tante kan belum. Apa salahnya sekarang kita bergantian," sahutku enteng dan menepis tangannya tak lupa kuberikan senyuman sinis."Berani kali kau, melawanku!" sungutnya.Kalau di pilem kartun yang sering kutonton, pasti lah tante Yulia udah keluar asap dari telinga saking emosinya. "Kenapa harus nggak berani?" sahutku."Memang, lah. Salah kali si Ilyas udah menikahimu. Berani kau menjawab orang tua. Lebih bagus lagi Saras. Sopan santunnya ada. Nggak macam kau! Kampungan!" Wanita itu terus saja berbic
"Abang, pikir aku, set*n?" tanyaku ketus langsung membalikkan badan menghadapnya.Bang Ilyas tersenyum salah tingkah. Dia sampai menggaruk-garuk kepalanya yang kurasa tak gatal."Bukan begitu, Dek. Siapa coba yang bilang, kalau adek, set*n?" tanyanya sambil tersenyum manis, semanis gula jawa."Itu, tadi. Omongan Abang, nggak tahan godaan. Emang, aku set*n penggoda manusia?" tanyaku mulai tersulut emosi. Mata sengaja kubesarkan agar dia tau kalau istrinya yang cantik ini lagi marah."Enggak sayang, bahkan kamu seperti bidadari yang cantiknya tiada tara," ungkapnya lembut.Mau melayang karena pujian, tapi gengsi dong. Kan masih ngambek!"Bilang cantik kayak bidadari, tapi selalu menghindari. Sebenarnya, Abang normal atau nggak sih?" tanyaku to the point.Mata Bang Ilyas melotot, mulutnya mengaga lebar. Ekspresi ini, bisa dikatakan sangat terkejut bukan?"Nggak usah akting sok terkejut gitu deh!" ucapku ketus karena dia tak kunjung mengeluarkan suara."Adek, kok sampai berpikiran kalau A
"Maaf tante, saya tidak tertarik untuk menikah lebih dari satu. Cukup, Melia saja yang menemani hingga nanti ajal menjemput." Good, man! Jawaban dari lelakiku ini, mampu mengukir senyum di bibir ini.Sedikit legah mendendarnya berkata seperti itu aku pikir, dia hanya akan diam aja saat didesak menikah dengan paribannya."Kalau bisa dua kenapa harus satu?" tanya Tante Yulia lagi, tersenyum miring.Wahhhh, belum pernah beserak ginjalnya kubuat?Belum lihat dia gimana kalau aku marah, bisa patah-patah kubuat tulang keringnya, baru tahu rasa!"Kalau bisa setia, kenapa harus mendua?" sahut suamiku membalikkan ucapannya.Duhhh, abang sayang, pengen meluk deh... Sweet banget sih, suamiku ini..."Sekarang, bisa kau bilang begitu. Tapi nanti, setelah orang tuamu semakin ingin memiliki cucu, pasti lah kau mencari cara untuk menikah lagi. Lagian Saras ini masih perawan kok. Coba kalau istrimu, sudah pernah menikah kan? Selama tiga tahun lagi. Tapi, belum memiliki keturunan. Dari situ kita bisa