"Memang bod*h kau! Kodrat wanita itu, harus melayani suaminya! Termasuk mencuci, memasak, dan membersihkan rumah!" terangnya, sok pintar.
Ini, tipe orang yang sekolah hanya datang lalu pulang. Ilmunya nggak nyampe di benak. Bisa-bisanya mengatakan pekerjaan rumah tangga adalah kodrat wanita. Apa dia tidak tahu apa itu kodrat?
"What? Belajar ilmu agama dari mana kau rupanya?" tanyaku, melihat sinis ke arahnya. Aku menarik napas kasar. Menjelaskan padanya butuh tenaga ekstra. Apalagi dengan manusia sejenis kadal.
"Mencuci, memasak, dan membersihkan rumah, itu bukan kodrat wanita. Keong sawah! Kodrat wanita itu, hanya ada 4. Menstruas*, hamil, melahirkan dan menyusui. Selebihnya itu, bukan kodrat!" imbuhku menjelaskan. Agar lelaki seperti dia tau mana kodrat, mana bukan.
"Nggak usah mengguruiku, kau!" sungutnya berkacak pinggang. Napasnya kembang kempis, sepertinya menahan amarah.
Mau berdebat sampai gimana, tetap gue jabani! Loe jual gue beli!
"Lah, kau itu o*n, atau beg*? Ngatain aku bod*h. Taunya diri sendiri yang bod*h. Kau tau apa itu kodrat?" tanyaku meremehkan. Mas Dendi diam tak menjawab, bibirnya terkatup rapat. Ya, pasti dia tidak tahu apa itu kodrat.
Kurasa dulu, waktu sekolah, dia tidur aja kerjaannya. Makanya, tak tau apa-apa.
"Kodrat itu, adalah sesuatu yang ditetapkan oleh tuhan yang maha esa, sehingga manusia tidak mampu untuk merubah atau menolaknya. Sedangkan mencuci, memasak dan membersihkan rumah, lelaki pun bisa melakukannya. Sampai di sini paham kau?" sambungku menjelaskan sejelas jelasnya. Agar dia tak salah tanggap lagi, dan terbuka juga mata hatinya, jangan tertutup terus oleh egonya.
"Ah, terserah kau lah itu. Yang penting cuci bajuku dan Rama. Terus bersihkan juga rumah!" ucapnya memerintah. Seperti bos, tak bisa dibantah.
Yang buat berantakan siapa! Yang suruh bereskan siapa!
Sabar Melia, perhiasanmu yang dijualnya belum dikembalikan. Buat saja dulu dia darah tinggi tiap hari, biar makin stres. Ujar sisi baik dalam hatiku.
"Eiiittsss. Berani bayar berapa kau? Aku pula disuruh bersihkan, kalian yang bikin berantakan!" seruku padanya, dan berhasil membuatnya membelalakkan mata. Mungkin dia kaget, melihatku tak mau menuruti perintahnya.
Kubuat dulu kau senam jantung tiap hari. Biar kena struk ringan, hahahah.
Baru setelah struk, kucampakkan!
"Jadi, apalah fungsimu di rumah?" tanyanya menggebu.
"Nggak usah kau tanya apa fungsiku! Pikirkan dulu apa fungsimu sebagai suami!" Aku membalikkan ucapannya dengan santai.
"Fungsiku, bekerja mencari uang," jawabnya semakin darah tinggi.
"Mencari uang untukmu dan keluargamu sendiri kan?" sindirku, dan berhasil membuatnya salah tingkah.
"Kan untukmu juga!" sanggahnya, berusaha mengendalikan diri. Pintar kali ngelesnya.
"Untukku sejuta itu? Kau pikir cukup untuk kita hidup? Belum lagi untuk bayar bulanan kredit rumah ini! Kau cari sajalah pembantu, untuk masak dan membersihkan rumah. Biar tau dulu kau berapa pengeluaran untuk semuanya." Aku udah muak melihatnya. Andai perhiasanku sudah dikembalikannya ... Hufttt...
"Untuk apa ada kau kalau sampai pake pembantu!" serunya galak.
"Apa bedanya sama kau? Untuk apa ada suami, kalau sampai aku cari uang sendiri? Udah cari uang sendiri, kalau belanja kurang, aku yang nambahi. Kerjaan rumah juga aku yang ngerjain, enak kali lah hidupmu itu!" Aku berhenti sejenak untuk menarik nafas. Naik pula gula darahku dibuatnya.
"Kalau nggak, kita tukar peran aja! Aku kerja cari duit. Kukasih kau uang satu juta untuk keperluan di rumah selama sebulan. Kau bersihkan rumah, masak mencuci, dan kerja untuk menambahkan kekurangan kita. Sekalian kau bayarkan uang kreditan rumah ini. Sanggup nggak kau?" sambungku menantangnya.
"Kau itu! Sebagai istri, selalu saja membangkang dengan ucapan suami. Apa kau lupa? Surga istri itu ada pada suami. Mau kau masuk neraka karena aku nggak ridho?" cerocosnya.
Beneran, deh! Pengen kulempar mulutnya pakai brus yang kupegang. Aku masih menghargainya sebagai suami. Jadi kuurungkan niat itu.
"Hey! Apa kau rupanya panitia surga? Sampai butuh ridho darimu untuk masuk surga! Lagian, surga istri memang ada pada suaminya. Tapi, suami seperti apa dulu! Kalau suaminya macam kau, yang ada aku ikut masuk neraka. Sholat, ngaji, amal aja nggak pernah kau! Tiap pulang kerja selalu ke warung tuak, bisa pula bilang surgaku ada samamu! Nggak malu kau sama kelakuan!" ejekku, wajah kubuat menjengkelkan.
"Durhaka kau sama suami!" hardiknya.
"Kau lebih durhaka sama istri," sahutku enteng.
"Ahhh! Udahlah. Mau kerja aku! Yang ada gila aku, meladeni kau bicara," ucapnya, lalu menghilang. Tak lagi kulihat dia di depan pintu.
Hahahah. Kehabisan kata-kata dia makanya menghindar. Mamak medan kau lawan! Habislah kubuat.
Mamak medan ini bung! Bukan kaleng, kaleng. Satpol Pp berteduh aja diusir, apalagi benalu macam kau!
Aku meneruskan pekerjaanku yang sempat tertunda akibat perdebatan sengit antara Mas Dendi dan aku.
Setelah selesai menjemur pakaian. Aku kembali masuk ke dalam rumah. Ternyata, masih sama seperti tadi pagi saat aku melihatnya. Berantakan!
Rama tiduran di depan tv, kaki dia taruh di atas loudspeaker kecil di samping tv. Rokok tak lepas dari bibirnya, abu dari rokoknya berserakan di tikar mahalku.
Berati dia belum bekerja. Bukannya pergi mencari pekerjaan! Ehhh, malah enak-enakan dia bersantai seperti di pantai.
Hemmhh. Cari masalah rupanya dia denganku. Dapur tidak dibersihkannya, pakaian hanya ditumpuknya kembali kedalam ember, ruang menonton tv penuh dengan sampah, kok bisa dia dengan santainya menonton. Kau lihat dulu jurus mengusir kuman parasit dari depan tv.
Gegas kuberjalan menuju saklar. Jika dimatikan dari sini, pasti dia bakal kabur dari ruang tv itu.
Ctak!
Listrik berhasil kupadamkan di rumah ini. Tv pun spontan mati. Kulihat Rama beranjak dari tidurannya. Dia pergi dan masuk ke dalam kamar.
BLAMM!
pintu kamar ditutupnya dengan sekuat tenaga.
"Wooiiii! Sopan sikit kau numpang di rumah orang!" teriakku dengan suara membahana. Tidak ada sahutan darinya.
Mungkin dia sedang meratapi nasib mempunyai ipar sepertiku. Biarkan saja aku bersikap seperti kakak tiri. Karena dia juga tak tahu diri.
Aku mengamankan tikar mahalku, bersihkan lalu masukkan kedalam gudang. Mulai sekarang, semua barang-barangku akan kuamankan ke dalam gudang. Agar tak dirusak oleh benalu itu.
Jangan tanya kenapa aku bertahan dengan suami dan adik ipar seperti itu. Karena jawabannya pasti cuma satu.
Perhiasanku belum dikembalikannya. Aku tidak ikhlas bila Mas Dendi tidak memulangkan hasil keringatku sebelum menikah.
Aku dengan susah payah mengumpulkan uang, bekerja pontang panting demi membelinya. Dan sekarang aku harus melepaskannya begitu saja! Maaf ferguzo. Hidup ini tak segampang yang kau fikirkan!
Boleh komen marah. Tapi disensor ya..
Trimakasih semuanya.
Pov Rama.Entah apa maksud Melia. Sedang asyik menonton tv, malah main matikan saklar saja. Apa dia merasa bahwa rumah ini adalah miliknya? Makanya berlaku sesuka hatinya? Tak sadar dia bahwa rumah beserta isinya milik abangku. Mana mungkin wanita sepertinya bisa membeli semua ini.Sekolah juga palingan cuma tamat SD. Dia yang menumpang dengan abangku. Dia pula sok berkuasa di rumah ini. Ada ya, wanita tak tahu malu seperti Melia!Kakak iparku itu, adalah wanita tidak tahu diri! Tidak bersyukur dia mendapatkan suami seperti abangku. Lelaki rajin, dan pekerja keras. Bahkan memiliki gaji besar. Masih saja disia-siakan.Melihat suami hendak berangkat bekerja, bukannya dibuatkan kopi dan sarapan. Eehh, malah dia asyik mencuci pakaian dan membiarkan abangku berangkat bekerja dengan perut keroncongan. Bahkan lebih parahnya lagi, Melia hanya mencuci pakayannya sendiri, sedangkan punyaku dan bang Dendi diserak di lantai. Apa bisa dibenarkan kelakuan istri seperti itu?Aku ini adalah tamu, dan
Pov Dendi.Lelah sekali rasanya. Tiap hari harus tarik urat bila berbicara dengan Melia. Wanita yang sudah tiga tahun kunikahi.Dia sangat berubah semenjak mengetahui adik lelakiku meminta ponsel seharga lima juta. Memang aku meminta untuk dia terlebih dahulu yang membelikannya. Tanggal tua, sudah pasti uangku tidak bersisah. Biasanya juga aku meminta padanya bila kekurangan uang untuk membeli bensin.Aku tahu, bahkan ponsel miliknya tidak semahal itu. Tapi demi adik, masa dia tidak mau menurutinya. Apalagi adik bungsuku belum bekerja. Kan kasihan jika dia meminta tapi tidak diberikan.Mengapa dia menjadi sangat perhitungan begini. Bukankah selama ini uangku adalah uangnya. Dan uangnya adalah uangku?Selama ini juga dia tidak pernah protes bila kuberi uang satu juta untuk keperluan rumah. Apa betul yang dikatakan Rama, bahwa dia sudah memiliki pria idaman lain?Melia istriku, kenapa kamu sampai seperti ini!Dulu, saat pertama kali aku bertemu dengan Melia, aku langsung jatuh cinta pad
Pov Dendi.Jam sudah menunjukkan pukul enam sore saat aku baru saja sampai di rumah. Kulihat Melia sedang duduk bersantai di sofa.Apakah dia sengaja menungguku pulang bekerja? Apa dia tahu hari ini aku gajian? Tanya hatiku bertubi.Setelah melepas sepatu, aku berjalan mendekatinya. Dan setelah sampai kujatukan bok*ng di sampingnya."Dek, hari ini abang gajian," ucapku membuka percakapan.Melia hanya melirik sekilas. "Terus?" tanyanya, seperti tidak tertarik dengan bahasanku."Ini, Mas kasih uang untuk belanja bulanan." Kuserahkan uang satu juta padanya.Melia menerima lalu menghitungnya."Jadi, sekarang, Adek udah bisa masak untuk abang dan Rama lagi 'kan?" sambungku. Kulihat ekspresi wajahnya menunjukkan ketidaksukaan."Huuuufffttt." Melia mendesah lelah."Uang sejuta untuk makan kalian berdua? Ini nggak cukup," ujarnya, seraya meletakkan kembali uang yang telah kuberi ke tanganku."Tapi biasanya, 'kan memang segini, Dek," jawabku."Itu, karena kamu sendiri. Sekarang kan berdua. Ja
"Sudahlah, tinggalkan saja wanita seperti Melia, Bang! Untuk apa lagi dipertahankan. Bahkan sampai sekarang dia belum memiliki anak. Padahal pernikahan kalian sudah berjalan tiga tahun. Jangan-jangan dia mandul. Masih banyak kok, wanita lain yang mau menerimamu," ujar Rama. Suaranya sangat keras. Aku yang baru saja sampai di ruang tamu mendengar dia berucap seperti itu. Sengaja kaki ini kulangkahkan dengan perlahan. Aku ingin mendengar semua yang diucapkan Rama di belakangku. Dan teryata adik iparku sangat berbisa.Sungguh tajam sekali lidahnya. Bisanya dia mengatakan bahwa aku mandul. Sudah yakin sekali dia bahwa akulah yang bermasalah. Tidak bisa kubiarkan ini. Harus segera ditumpas.Sehabis maghrib tadi, memang aku keluar untuk menjemput, Bang Randi, abang kandungku. Kami hanya dua bersaudara. Setelah menikah, dia bersama sang istri tinggal di kota lain.Dari kemarin dia sudah mengabariku bahwa akan datang berkunjung. Sebenarnya ingin melihat ibuku di kampung. Sudah lama dia tidak
Aku duduk di samping Bang Randi, sedangkan Mas Dendi dan Rama di hadapan kami. "Jadi, apalah pokok permasalahannya?" tanya Pak Jupri, marga harahap, selaku ketua RT di lorong kami. Kami memang tinggal diperumahan yang dibangun pemerintah untuk dibeli secara kredit. Tak taulah aku apa namanya. Rumah kpr atau apalah itu. Yang penting, rumahlah setauku. "Saya ingin berpisah dengan suami saya, Pak!" jawabku mantap, tanpa ragu sedikitpun. Semangat Melia! Hatiku menyorakiku. "Saya juga ingin berpisah dengan dia, Pak." Mas Dendi ikut bersuara tak mau kalah. Mungkin malu, jika hanya aku yang minta berpisah. "Apakah sudah tidak bisa dicari jalan keluarnya? Pernikahan kalian, masih bisa dipertahankan. Jangan sampai menyesal belakangan." Pak Umar sekalu imam desa, menasehati kami. "Sudah tidak bisa lagi dipertahankan, Pak. Istri saya menjadi pembangkang. Apapun yang saya ucapkan, selalu dibantahnya. Belum lagi dia tidak akur dengan adik saya. Bahkan tidak membolehkan saya memberikan apa kei
"Cepat kumpulkan barangmu dan pergi tinggalkan rumah ini," imbuhnya mengusirku dan Bang Randi. Wahhh, minta dilempar ke kandang buaya nih, kamvret. Dia pikir, dirinya siapa sampai bisa mengusirku? Perlu dijelaskan sepertinya. Biar tahu diri dia. "Oh, ya Bapak-bapak dan ibu. Saya juga ingin kalian semua menjadi saksi pembagian harta gono gini," ujarku mengintrupsi. Semuanya mengangguk sepakat. Rama tersenyum miring mengejek. "Jadi, seluruh berkakas yang ada dirumah ini adalah milik saya. Dari mulai, kulkas, TV, Sofa, seluruh lemari, kasur, dan beberapa perabotan dapur, saya yang membelinya sendir. Pakai uang dari kantong pribadi-" "Bohong dia Pak, Bu! Mana mungkin dia bisa membeli semua ini," potong Rama. Memang mulutnya. Tak ada sopan santunnya sama sekali! Belum siap aku berbicara, dia langsung memotong. "Kau! Kalau tidak tau apa-apa, lebih baik diam aja!" tegurku jengkel. "Apa kau tidak sadar semua ini milik abangku?" tanyanya sok tau. Tengik sekali gayanya. Serasa pengen men
"Apa begini yang dinamakan pembagian harta, Pak Umar? Seharusnya, semua dibagi dua karena kami sudah menikah. Seperti orang cerai pada umumnya, harta dibagi dua." Mas Dendi protes dengan semua yang kukatakan. Mungkin dia tidak terima karena tak mendapatkan apa-apa.Apa tidak tau malu dirinya? sampai bisa berkata begitu! Kurasa, udah putus urat malunya. Seenak muncun9 kalau bicara.Bagi dua katanya? Ngimpi!"Masa, saya hanya kebagian motor butut, kompor butut, dan beberapa berkakas saja?" keluhnya. Bibirnya manyun lima senti. Bila dikuncir dengan karet gelang, kurasa bisa.Mungkin nyawanya belum menyatu dengan raganya, jadi dia sedikit lupa ingatan. Yang dia punya memang hanya itu. Masa iya, mau minta yang lainnya. Huuufffftt, Tuhan! Salah apa aku pada-Mu, dapat suami macam dia."Pak Dendi. Harta yang dibagi dua adalah harta yang anda cari sendiri tanpa bantuan istri. Misalnya, istri anda hanya dirumah, menyiapkan semuanya untuk anda, ya seperti ibu rumah tangga pada umumnya. Duduk man
"Kau, tunggu apa lagi? Ambil semua barangmu dan pergi dari rumah ini," usirku.Rama tersentak kaget. Dia juga langsung berdiri dan berjalan ke arah kamar belakang."Ambil semua barang kalian! Jangan ada yang tertinggal," ucapku setengah berteriak. Dari pada nanti mereka kembali ke rumah ini dengan alasan ada barang yang tertinggal. Malas kali bertemu mereka lagi. Kalau bisa sekalian di telan bumi aja, mereka berdua.Manusia nggak ada akhlak! "Sabar, ya, dekku! Semua pasti yang terbaik untukmu dekku," ujar Bu Saidah menguatkanku. Tangannya mengelus pelan pundakku. Sebagai tetangga, kami memang cukup dekat. Ya, walaupun tidak terlalu.Meskipun sibuk, biasanya aku tetap menyempatkan diri untuk bergabung dengan para tetangga, agar lebih dekat dan terjalin kekeluargaan. Jadi, ketika kita butuh bantuan, mereka tidak akan segan membantunya."Pasti, masih banyak lelaki yang suka samamu. Masih cantik kau, rajin cari uang lagi. Suami seperti itu, memang cocok di campakkan. Sabar ya, dekku!" Ki
"Mel, maafkan aku!" ujar lelaki yang ternyata Mas Dendi.Semenjak kejadian dia bertengkar dan adiknya ditangkap polisi, aku tak pernah lagi bertemu dengannya. Mengapa sekarang dia muncul lagi dihadapanku?Aku heran, darimana dia tahu aku tinggal di sini. Padahal, selama pindah, tak pernah sekalipun aku memberi tahunya tinggal di mana.Apa jangan-jangan dia memata-mataiku?"Maaf, untuk apa?" tanyaku malas.Malas jika harus bertemu dengannya. Malas segalanya bila berurusan dengan yang namanya mantan. Jika sudah menjadi mantan, maka semuanya telah usai bagiku."Untuk segala yang sudah kulakukan padamu dulu. Aku menyesal telah melepaskanmu demi adik tak tahu diri itu!" ucapnya dengan mimik wajah yang penuh dengan penyesalan.Semuanya sudah terlambat. Untuk apa lagi dia meminta maaf. Toh, tidak akan merubah segalanya yang sudah terjadi."Sudahlah. Lagi pula, semuanya sudah berlalu.""Tapi, aku benar-benar menyesal, Mel. Bila waktu bisa diputar kembali. Aku, ingin memperbaiki segalanya. Dan
Sesuai dengan ucapannya. Bang Ilyas membawaku dan Karin melihat rumah baru kami. Hari ini, dia libur bekerja karena sudah berjanji untuk melihat-lihat rumah tersebut. Dan jika cocok, maka langsung bayaran.Rumah ini cukup besar. Apalagi jika hanya untuk kami berdua tinggal. Bahkan menurutku, terlalu besar. Hanya rumah, sementara ruko seperti yang kami bicarakan sebelumnya, tidak ada."Rumah dulu, Dek. Nanti, kita bangun ruko di samping. Tanahnya juga kebetulan masih luas." Bang Ilyas, seperti bisa membaca isi hatiku. Tanpa aku berbicara, dia sudah mengatakan yang baru saja kupikirkan."Iya, gimana bagusnya aja, Bang." Aku tersenyum."Cantik kali ini, kalau jadi rumahmu, Kak!" ucap Karin takjub.Karena di depan abangnya ini, makanya dia panggil Kak. Coba kalau nggak, udah pasti aku, kau."Iya, aku suka kali rumah ini. Cocok untuk buka usaha juga. Depan langsung jalan besar.""Iya, kan. Bisa buka toko sekalian jualan online ini," ucap Karin sambil terus berkeliling untuk melihat-lihat.
"Lelaki itu, adiknya Dendi, Dek?" tanya suamiku, melihat kepergian dua makhluk yang tak bisa disebutkan jenisnya itu."Iya," jawabku singkat padat dan jelas.Malas bahas manusia tak tahu diri itu. Bikin nambah dosa aja."Kok, mereka tega sih, main belakang begitu?" tanyanya lagi.Kok tumben suamiku ini mengurusi kehidupan orang. Kalau aku sih malas."Nggak tau, Bang. Mungkin mereka dibutakan oleh hawa nafsu. Ah, udahlah, malas bahas mereka. Ayo, kita balik ke penginapan aja." Aku menarik tangannya pelan dan membawanya berjalan menuju tempat istirahat kami.Gara-gara ketemu mereka jadi bad mood deh. Hemmmm...Udah nggak semangat untuk jalan-jalan. Pengen cepat pulang aja deh."Abang, udah dapat rumah yang pas untuk kita pindah, Dek!" ucapnya saat kami masih melangkahkan kaki beriringan.Syukurlah, akhirnya bisa menjauh dari mereka semua yang selalu bikin rusuh.Berjalan sambil mengobrol begini, setidaknya bisa mengurangi rasa jengkelku pada Rama dan Ratna.Mereka yang ketahuan selingku
Tak salah lagi. Itu memang Ratna. Dia melihat ke arahku, dan Aku sepontan menutup sebagian wajah dengan menggunakan hijab yang menjuntai. Sengaja membentuknya seperti cadar agar dia tak mengenaliku.Nanti, dia berpikir pula kalau aku sengaja membuntutinya. Padahal, nggat tau sama sekali kalau dia juga sedang berada di sini. Dan parahnya bersama adik iparnya sendiri.Mereka berdua berjalan mendekat ke arahku, dengan Ratna yang bersandar pada bahu Rama.Kalau Bang Ilyas datang ke sini, bisa hancur penyamaranku ini.[Abang, tolong ke penginapan dulu, ambilkan jaket. Adek sedikit kedinginan nih!] aku mengirimkan pesan pada suamiku. Sengaja mengulur waktu agar tak bertemu dengan kedua manusia lucknut ini.[Oke, sayang. Ditunggu, jangan kemana-mana.] balasnya.Kedua makhluk tak tahu diri itu terus berjalan mendekat ke arahku. Kebetulan, bangku yang kududuki masih luas dan kosong.Tamatlah riwayatku. Mereka duduk di sampingku. Sekitar satu meter dari tempat dudukku."Aku, terlalu bosan denga
Aku tersenyum saat suamiku menyentuh tanganku. Aku tau kalau dia tidak suka aku berdebat dengan tantenya."Jangan Marah gitu dong, tan. Aku kan cuma bercanda. Jangan dibawa serius ah!" kilahku."Halah! Nggak usah banyak kali alasanmu!" serunya emosi."Udah tante, jangan emosi. Nanti naik loh, gula darahnya! Ayo, Bang. Kita berangkat!" Aku mengalihkan pembicaraan, karena yakin Bang Ilyas tak suka dengan pertdebatan kami."Abang, masih lama menginap di rumah tante?" tanya Saras memulai percakapan, setelah beberapa saat terdiam."Belum tau, kenapa?" tanya suamiku."Nggak apa. Kalau masih lama, aku kan bisa main lagi ke sana," ujar Saras."Kayaknya, kalau nggak besok atau nanti sore, kami udah pulang sih, Ras. Soalnya pengen honeymoon!" Aku ikut menanggapi obrolan mereka.Padahal, tak ada rencana honeymoon. Ini hanya alasan biar si Saras semakin kepanasan. Dia pasti tak suka melihatku menikmati hidup bersama suamiku.Bang Ilyas menoleh ke arahku. Wajahnya seperti ingin bertanya. Karena se
"Eeehhh. Mau ngapain, Bang?" Aku terus beringsut mundur saat Bang Ilyas mendekat."Mengulang yang tadi malam," ucapnya santai."Isshhh. Udah terang gini. Nanti dipanggil sarapan sama yang lain gimana?" protesku, mencoba mendorongnya."Udah, biarkan aja mereka sarapan duluan." Dia tetap kekeuh melanjutkan aksinya.Ngeyel banget sih, Bang!Tok! Tok! Tok!"Ilyas! Ayo sarapan!" panggil Mama.Bang Ilyas menghentikan aksinya dan mengacak rambutnya asal."Hmmm... Mama datang di saat yang tidak tepat. Padahal anaknya sedang berusaha memberikannya cucu!" omel suamiku lucu sekali. Aku cekikikan melihatnya."Nanti Ilyas dan Melia menyusul. Mama dan yang lain, lanjutkan aja sarapannya!" ujar suamiku dengan sedikit berteriak."Nggak bisa dong, Nak. Tante Yulia dan Saras akan pulang pagi ini. Jadi kita sarapan bersama dulu!" ujar Mama lagi. Wah, ternyata mereka tahu diri juga. Kupikir mau sampai aku dan suamiku pergi dari sini, baru mereka pulang.Tak perlu lah, tarik urat sepanjang hari. Karena p
Seketika, raut wajahnya berberubah garang. Saras yang berada di sampingnya juga terlihat semakin sinis.Hahahah, mereka pikir aku takut? Ya, jelas enggaklah. Selama masih sama-sama memijak bumi. Tak akan pernah aku takuti. Kecuali udah jadi kunti, barulah aku bacakan ayat kursi."Eeehh, perempuan kampung! Nggak ada lah ot*kmu itu! Kau suruh pula aku jadi babu!" makinya sambil menunjuk mukaku.Semakin dia emosi, semakin suka aku melawannya."Lah, kan kalau aku udah pernah jadi babu. Kalau tante kan belum. Apa salahnya sekarang kita bergantian," sahutku enteng dan menepis tangannya tak lupa kuberikan senyuman sinis."Berani kali kau, melawanku!" sungutnya.Kalau di pilem kartun yang sering kutonton, pasti lah tante Yulia udah keluar asap dari telinga saking emosinya. "Kenapa harus nggak berani?" sahutku."Memang, lah. Salah kali si Ilyas udah menikahimu. Berani kau menjawab orang tua. Lebih bagus lagi Saras. Sopan santunnya ada. Nggak macam kau! Kampungan!" Wanita itu terus saja berbic
"Abang, pikir aku, set*n?" tanyaku ketus langsung membalikkan badan menghadapnya.Bang Ilyas tersenyum salah tingkah. Dia sampai menggaruk-garuk kepalanya yang kurasa tak gatal."Bukan begitu, Dek. Siapa coba yang bilang, kalau adek, set*n?" tanyanya sambil tersenyum manis, semanis gula jawa."Itu, tadi. Omongan Abang, nggak tahan godaan. Emang, aku set*n penggoda manusia?" tanyaku mulai tersulut emosi. Mata sengaja kubesarkan agar dia tau kalau istrinya yang cantik ini lagi marah."Enggak sayang, bahkan kamu seperti bidadari yang cantiknya tiada tara," ungkapnya lembut.Mau melayang karena pujian, tapi gengsi dong. Kan masih ngambek!"Bilang cantik kayak bidadari, tapi selalu menghindari. Sebenarnya, Abang normal atau nggak sih?" tanyaku to the point.Mata Bang Ilyas melotot, mulutnya mengaga lebar. Ekspresi ini, bisa dikatakan sangat terkejut bukan?"Nggak usah akting sok terkejut gitu deh!" ucapku ketus karena dia tak kunjung mengeluarkan suara."Adek, kok sampai berpikiran kalau A
"Maaf tante, saya tidak tertarik untuk menikah lebih dari satu. Cukup, Melia saja yang menemani hingga nanti ajal menjemput." Good, man! Jawaban dari lelakiku ini, mampu mengukir senyum di bibir ini.Sedikit legah mendendarnya berkata seperti itu aku pikir, dia hanya akan diam aja saat didesak menikah dengan paribannya."Kalau bisa dua kenapa harus satu?" tanya Tante Yulia lagi, tersenyum miring.Wahhhh, belum pernah beserak ginjalnya kubuat?Belum lihat dia gimana kalau aku marah, bisa patah-patah kubuat tulang keringnya, baru tahu rasa!"Kalau bisa setia, kenapa harus mendua?" sahut suamiku membalikkan ucapannya.Duhhh, abang sayang, pengen meluk deh... Sweet banget sih, suamiku ini..."Sekarang, bisa kau bilang begitu. Tapi nanti, setelah orang tuamu semakin ingin memiliki cucu, pasti lah kau mencari cara untuk menikah lagi. Lagian Saras ini masih perawan kok. Coba kalau istrimu, sudah pernah menikah kan? Selama tiga tahun lagi. Tapi, belum memiliki keturunan. Dari situ kita bisa