Duduk di dalam apartemennnya dengan keadaan gelap gulita tanpa membuka tirai yang akan membantu cahaya matahari untuk mentinari ke dalam, Okta duduk di sofa ditemani sebotol minuman.Pandangan pria itu lurus dan tampak kosong. Sesekali tangannya bergerak mendekatkan ujung botol ke arah bibir lalu meneguk isinya. Bola matanya yang memerah menandakan kalau pria itu baru saja meluapkan emosi. Menangis, berteriak, sedih tertawa dan marah bersatu menjadi satu.Okta sedang kesal saat ini. Pria itu merasa menjadi sosok yang bodoh karena telah ditipu habis-habisan oleh Rani. Perempuan yang baru dia nikahi beberapa minggu terakhir ini telah menjebaknya ke dalam sebuah masalah yang sudah membuat hidupnya hancur berantakan."Sialan!" teriak Okta dengan melempar botol yang ada di tangannya. Isinya memang sudah tidak ada. Itu mengapa dia berani melemparnya hingga bentuk botol itu sudah tidak beraturan. Terpecah berai di lantai membentuk serpihan-serpihan."Dia telah membohongiku," ujarnya geram de
Okta keluar dari klinik setelah mendapat perawaran. Tubuhnya terasa remuk akibat pukulan dan tendangan beberapa preman tadi. Salah sendiri.Sepanjang perjalanan, para pedagang pasar menatap ke arahnya sembari berbisik. Tentu mereka tahu apa yang terjadi padanya. Apa yang tidak diketahui penghuni pasar jika itu tentang Toto?"Masnya nggak papa?" tanya salah satu pedagang pasar yang merasa kasihan melihat Okta"Saya masih hidup. Jadi saya nggak papa." Sayangnya Toto malah memberikan respon yang tidak terlalu baik pada pedagang itu.Pedagang itu pun melotot. "Ye. Nih orang. Jadi ngerti kenapa Toto sampe mukulin dia," ujarnya kemudian."Hu ... nyesel tanya tadi." Dia melanjutkan.Sedangkan Okta sendiri tidak menanggapi ha itu. Ptia itu tetap pergi meninggalkan pasar menuju mobilnya. Di sela rasa sakit yang dia rasakan, Okta menyandarkan punggung pada sandaran kursi lalu memejamkan matanya sesaat."Akh! Sial! Bukannya puas malah bonyok." Dia memukul kemudi yang ada di hadapannya. Namun, be
Melissa membawakan minuman untuk papanya yang kini sedang duduk di kursi taman samping rumah mereka. Melissa melihat ada sesuatu yang berbeda dengan sang papa sejak pulang dari rumah sakit menjenguk Rani."Papa kenapa?" tanya Melissa kemudian. Dia duduk di samping papanya lalu memberikan minuman hangat itu untuk Bagus.Bagus menerima miuman dari putrinya itu. "Terima kasih,'' ujarnya kemudian.Melissa mengangguk. Dia tersenyum sembari memerhatikan sang papa yang meneguk minumannya. "Papa kenapa? Papa ada masalah?" tanyanya kemudian.Bagus menggeleng dengan senyuman tipis. "Tidak. Papa tidak ada masalah," ujarnya kemudian.Melissa sedikit mengubah posisi duduknya untuk menghadap ke arah sang papa. Dia memiringkan kepalanya sedikit. "Pa. Jangan bohong sama Melisa. Melissa tahu ada sesuatu yang sedang papa pikirkan. Ayo katakan dan jangan ditutupi lagi dari Melissa. Melissa tidak mau apa yang menjadi beban pikiran Papa kali ini akan membuat kesehataan Papa menurun nanti,'' ujarnya merayu
"Kau gila!" tanya Melissa tak habis pikir. "Kau sinting? Kau tidak waras atau bagaimana?" Dia kembali bertanya, merasa tidak percaya dengan apa yang baru saja dikatakan oleh Okta.Begitu mudahnya meminta hak dalam perusahaannya setelah apa yang pria itu lakukan padanya. Yang benar saja. Melissa tertawa. Dia menjentikkan jarinya di depan wajah Okta beberapa kali. "Hei bangun. Bangun. Ini sudah pagi. Waktunya sudah bangun. Jangan terus bermimpi," ujar Melissa memberitahu."Bagaimana mungkin kamu meminta sesuatu yang pastinya tidak mungkin aku berikan? Bahkan jika kamu masih menjadi suamiku pun, aku juga tidak akan melakukan itu, Mas. Apalagi setelah apa yang kamu lakukan padaku," ujar perempuan itu dengan menunjuk dadanya menggunakan kedua tangan.Apa yang dikatakan Melisa membuat Rani sempat merasa tidak enak. Karena bagaimanapun dia juga turut andil dalam hancurnya rumah tangga mereka.Melissa yang mengerti menatap Rani, dia mengangkat tangan. "Aku tidak bermaksud, Ran. Maaf."Rani
Okta memasuki kediaman orang tuanya dengan wajah ditekuk. Semua penyesalan akan apa yang telah dia lakukan tiada guna, membuat dia kehilangan semuanya.Khalif dan sang istri yang melihat kedatangan Okta pun mengerutkan keningnya. "Dia kenapa, Ma?" tanya Khalif pada Windi.Windi yang sedang asyik memakan keripik menggeleng dan mengedikkan bahunya. "Tidak tahu, Pa."Okta berjalan mendekati kedua orang tuanya. Dia menatap pasangan suami istri itu yang menunjukkan ekspresi bingung. Okta pun langsung duduk di kursi single yang ada di dekat kedua orang tuanya. "Pa, Ma," panggilnya kemudian.Khalif dan Windi saling tatap beberapa saat lalu kembali menatap ke arah Okta. ''Apa?" tanya Khalif."Aku mau cerai." Satu kalimat singkat dari Okta yang mampu mengejutkan Khalif dan Windi."Apa?" tanya Windi."Kau gila?" maki Khalif. "Baru menikah kau sudah ingin bercerai lagi? Kau benar-benar sudah tidak waras?" Dia menggeleng pelan sembari berdecak. Tak habis pikir dengan kelakuan anaknya yang satu i
"Kamu melamar aku?" tanya Melisa pada Kafka dengan kerutan di kening.Kafka masih menatap Melissa dengan santai. "Tidak ada seserahan yang aku bawa. Jadi, ini bukan lamaran. Hanya ajakan nikah saja. Itu pun kalau kamu mau." Pria itu menjawab begitu santai seolah kalau dia ditolak pun, dia tidak merasa masalah.Melisa kini malah merasa bingung. Dia menggaruk kepalanya yang tidak gatal karena tidak tahu harus menjawab atau menanggapi perkataan Kafka yang tadi bagaimana.Kafka yang menyadari sikap Melissa pun mulai paham. "Tidak usah terlalu dipikirkan. Anggap saja angin lalu. Toh kamu juga baru menjadi janda. Jangan terlalu keras memikirkannya."Melisa tersenyum sungkan pada Kafka. Dia bersyukur kalau pria ini mengerti apa yang dia pikirkan. "Tapi kamu tidak akan memutus kerja sama antara perusahaan kita, kan?" tanyanya kemudian.Kafka tersenyum miring. "Ini dunia kerja, Melisa. Bukan dunia permainan yang mana jika salah satu pemain merasa patah hati, maka dia akan berhenti bermain."Di
Melissa menatap sedih ke arah kamar Rina. Dia melihat adik tirinya itu tengah memasukkan semua pakaian ke dalam koper. Padahal, baru beberapa hari lalu dia mengeluarkannya dari koper dan menatanya di lemari.Melissa pun memasuki kamar Rina. Perempuan itu duduk di tepi ranjang dan menatap adik tirinya dengan sedih.Rina yang melihat itu pun tersenyum tipis. "Ada apa, Kak? Kenapa wajah Kakak seperti itu ekspresinya?" tanyanya kemudian."Kamu benar mau pergi juga?" tanya Melissa dengan sedih.Rani masih menunjukkan senyum tipis. Dia mengangguk beberapa kali. "Iya, Kak. Aku tidak mungkin membiarkan Mama tinggal sendirian di luar sana." Dia menjelaskan.Apa yang dikatakan oleh Rani ada benarnya. Setelah memutuskan keluar dari rumah setelah persetujuan berpisah, Riyanti akan mencari tempat tinggal lain. Jadi, mana mungkin Rani membiarkan Riyanti tinggal sendirian."Kalian nanti tinggal di mana?" tanya Melissa. "Atau tinggal di apartemen kakak saja?" Dia mencoba menawarkan. Dia meraih tangan
Membawa sebuah amplop berwarna cokelat dengan tulisan pengadilan agama di bagian atas, Melissa berjalan keluar dari mobil. Dia baru saja mendatangi pengadilan untuk mengambil akta cerai dari papanya.Memasuki rumah, dia mencari keberadaan sang papa. "Pa," panggilnya. Ketika dia sampai di ruang tengah, Melissa juga tidak mendapati keberadaan papanya"Mbok. Papa mana?" tanyanya ketika melihat asisten rumah tangganya datang membawa sebuah sapu."Ada di taman belakang, Non. Sedang memandikan burung,'' ujar perempuan tua itu.Kening Melissa mengerut. "Burung? Sejak kapan Papa punya burung, Mbok?" Mbok Nem tersenyum. "Baru tadi sih, Non. Tadi pagi agak siangan ada yang nganter burungnya," ujarnya memberitahu.Melissa mengangguk beberapa kali dengan bibir yang membentuk huruf o. "Ya sudah. Tolong buatin aku minum ya, Bi. Aku mau nemuin Papa dulu," ujarnya kemudian.Mbok Nem mengangguk. "Baik, Non."Melissa pun segera ke taman belakang untuk menemui sang papa. Terlihat pria itu yang tengah b
Setelah hampir satu jam berlalu, akhirnya ruangan Melissa pun kembali bersih. Tidak ada lagi bunga, balon atau ucapan-ucapan penyemangat apalah itu yang mengganggu bagi Melissa."Ada-ada saja. Bikin pusing saja." Perempuan itu menggeleng pelan sembari berjalan menuju kursinya.Duduk di kursi kebesarannya, Melissa tampak berpikir beberapa saat. "Tidak bisa seperti ini. Dia benar-benar mengganggu. Aku sudah tidak nyaman," ujarnya dengan kesal.Melissa meraih gagang telepon dan menghubungi seseorang. "Pak. Tolong ke ruangan saya," ujar Melissa. Setelah mendapat persetujuan dari seseorang di seberang sana, Melissaol pun menutup kembali teleponnya lalu menyandarkan punggung pada sandaran kursi. Dia mengembuskan napas kasar.Tak lama, suara ketukan terdengar. "Masuk," ujarnya kemudian.Pintu terbuka, menampilkan sosok pria paruh baya yang tak lain adalah kepala HRD perusahaan ini. Pak Miko, yang bisa dikatakan salah satu orang terperc
Lisa menatap foto mendiang Papa dan mamaya dengan senyuman merekah. Entahlah. Sejak tadi, dia senang melakukan hal itu. Dia membayangkan seandainya mereka ada di sini. Biasanya, seorang anak yang membayangkan hal itu mereka akan sedih. Namun, tidak dengan Lisa.Pak Bowo yang melihat itu mengerutkan kening. Dia pun ikut duduk di samping cucunya. "Kamu lagi apa?" tanyanya kemudian.Lisa menoleh lalu tersenyum. "Eh Kakek." Dia menggeleng. "Lisa hanya lagi lihatin foto Papa sama Mama," ujarnya jujur."Kamu kangen, ya?" tebak Pak Bowo dan melihat cucunya itu yang mengangguk.Lisa kembali menatap foto kedua orang tuanya. "Mama cantik ya, Kek? Papa juga tampan." Dia terkekeh geli."Em ... awas nanti kedengeran papa Argo, dia cemburu loh." Pak Bowo berujar.Tidak tahu saja kalau di sana ada Argo yang sedang mengawasi mereka dengan menyandarkan pundak pada dinding dan tangan yang dilihat di depan dada.Lisa tertawa keci
Malam itu, mereka mengadakan acara barbeque di halaman depan villa. Cuaca sedang baik, langit cerah bertabur bintang, menciptakan suasana yang sempurna untuk makan malam di luar ruangan."Untung saja langitnya cerah. Tidak hujan." Pak Bowo menatap langit dengan perasaan senang.Tuan Bagus mengangguk. "Iya. Kita bisa mengadakan acara ini di halaman.""Tenang, Kek. Lisa sudah minta sama Tuhan agar malam ini tidak hujan. Makanya dikasih terang," ujar Lisa dengan lucu yang mana langsung mengundang tawa semuanya."Bnarkah?" tanya Pak Bowo."Iya dong." Lisa langsung tertawa ketika kakeknya menggelitiki. Dia meminta ampun.Mereka tidak hanya membakar daging, tetapi juga sosis dan beberapa makanan lainnya. Semangat dan kebahagiaan menyelimuti mereka, membuat suasana semakin meriah. Tawa dan canda terdengar di antara suara api yang menyala dan aroma masakan yang menggugah selera.Lisa tampak bersemangat, membantu membalik daging
Argo, Melissa, dan Lisa pergi ke pasar untuk membeli bahan makanan yang akan mereka gunakan untuk acara makan di villa nanti. Argo melihat belanjaan sudah banyak. Dia pun mencabik alih dari tangan Melissa."Ada yang mau dibeli lagi?" tanyanya kemudia.Melissa mengangguk. "Iya. Daging dan ikan." Dia menjawan."Ya sudah. Ayo kita cari penjualnya," ujar Argo. Dia berjalan dengan kantung belanjaan di tangan kanan dan kiri. Sedangkan Melissa menggadeng tangan Lisa."Kamu perlu bantuan tidak?" tanya Melissa pada Argo yang merasa tidak rega karenalriaitu membawa semua belanjaan mereka.Argo menggeleng. "Aman." Mereka pun membeli ikan, daging ayam dan terakhir daging sapi. Ketika mereka tiba di kios penjual daging, Lisa dengan penuh semangat meminta kepada papanya. "Pa. Beli dagingnya yang banyak, ya. Lisa ingin barbeque di depan villa nanti malam," ujar gadis itu kemudian.Argo pun menuruti permintaan putri kecilnya. "Apa yang
Okta membuka pintu apartemennya dengan kasar, suara gebrakan nyaring ketika dia kembali membantingnya untuk menutup. "Akh! Sialan!" teriakannya keras. Dia melepaskan jaketnya dengan kasar lalu membuangnya sembarangan.Napasnya memburu, otot-otot dalam lehernya masih terlihat jelas akibat kemarahan yang dia rasakan saat ini. Atas insiden yanalg baru saja dia alami di rumah mantan mertuanya dulu."Kurang ajar. Berani-beraninya mereka memperlakukan aku seperti itu," ujarnya marah. Dia mengusap hidungnya yang tiba-tiba merasa gatal."Aku datang dengan niat baik, mereka malah mengusirku seperti sampah. Enak saja." Dia membanting tubuhnya pada sofa sembari menatap lurus ke depan dengan tajam."Mereka memang orang yang sombong. Seenaknya mengusir aku dari sana." Dia terus menggerutu tiada henti. Padahal, hal itu terjadi juga bukan karena tidak ada alasan, tetapi karena mereka sudah merasa muak dengan Okta.Dia yang bersalah, tetapi dia yang mera
Melissa juga tampak terkejut dengan keberadaan Okta di sini, meski di dalam hatinya, dia sudah bisa menebak alasan kedatangan Okta. Lelaki itu masih belum menyerah setelah semua yang terjadi. Hanya saja dia tidak menyangka kalau Okta berani untuk datang kemari.Sedangkan Okta yang mendapat pertanyaan bernada marah itu malah menunjukkan senyumnya. Dia mengulurkan tangan pada Tuan Bagus. "Pa."Sayangnya, Tuan Bagus sudah enggan pada mantan menantinya itu. Dia pun menepis tangan Okta dengan kasar. Okta sempat terkejut, tetapi di memaklumi itu. Iyalah. Dia yang salah. "Saya datang untuk bertemu dengan Melissa, Pa," jawab Okta dengan suara mantap, meski dalam hatinya dia merasakan tekanan besar dari tatapan tajam Tuan Bagus."Tidak ada yang perlu kau bicarakan dengannya lagi! Pergi dari sini sebelum aku menyuruh satpam mengusirmu!" bentak Tuan Bagus tanpa basa-basi dengan menunjuk ke arah luar rumah.Arga yang menyadari keadaan tidak kondusif
Matahari siang itu mulai meredup ketika Arga tiba di sekolah untuk menjemput Lisa. Sepertinya langit akan menjatuhkan air asin dalam jumlah yang banyak. Dia pun menunggu di depan gerbang seperti biasanya.Selalu menjadi pusat perhatian wali murid lainnya karena rata-rata adalah para ibu rumah tangga, hanya dia pria dewasa di sini. Itu sudah menjadi hal biasa bagi Argo.Kadang beberapa dari mereka berani menawari Arga untuk menjadi menantu mereka.Tak lama, Argo melihat Lisa berlari menghampirinya dengan tas ransel kecil yang hampir lebih besar dari tubuh mungilnya. Wajahnya berseri-seri penuh antusiasme seperti biasa, membuat Arga tersenyum lebar."Halo, Papa!" sapa Lisa riang, memeluk lengan Arga begitu mereka berjalan menuju mobil."Hai juga, Sayang." Dia mengusap kepala Lisa dengan senyuman."Kita pulang sekarang?" tanyanya kemudian. Dia melebarkan senyum ketika melihat Lisa mngangguk.Arga langsung menggadeng tangan
Senja mulai turun perlahan ketika Pak Bowo tiba di kediaman Tuan Bagus. Rumah besar bergaya kolonial itu dikelilingi taman yang terawat rapi, dengan pohon-pohon rindang yang menambah kesan tenang. Pak Bowo disambut oleh seorang pelayan yang membawanya ke ruang kerja Tuan Bagus, tempat pertemuan penting itu akan berlangsung.Tuan Bagus duduk di balik meja kayu mahoni besar, dikelilingi tumpukan dokumen yang tertata rapi. Wajahnya menunjukkan kewibawaan, namun kali ini ada sorot antusias yang berbeda di matanya saat melihat kedatangan sahabat lamanya."Bowo, akhirnya kau datang juga. Duduklah," ucap Tuan Bagus sambil menunjuk kursi di seberang meja.Pak Bowo tersenyum hangat dan duduk. "Bagus. Ada apa? Tumben sekali kau memintaku datang seperti ini. Biasanya kau hanya mengajak mampir ketika kita selesai memancing."Tuan Bagus tertawa pelan. "Kau benar. Aku ingin membahas sesuatu yang lebih pribadi. Tentang anak-anak kita, Arga dan Melissa."
Melissa duduk di ruang kerjanya, menatap kosong ke arah meja. Pikirannya masih melayang pada percakapannya dengan sang ayah tadi pagi. Kata-kata beliau masih terngiang di telinganya, membuat hatinya resah. Ia menatap foto mendiang mamanya yang terletak di sudut meja, jemarinya menyentuh bingkai foto itu dengan lembut."Ma, aku harus bagaimana?" bisiknya pelan. "Papa bilang aku harus mulai memikirkan masa depanku ... Tapi aku belum siap. Aku tidak tahu apakah ini benar atau hanya perasaan sesaat."Melissa menarik napas dalam, seolah berharap udara yang dihirupnya bisa membawa serta kegundahan hatinya."Seandainya Mama masih ada, pasti Mama bisa memberiku saran terbaik," lanjutnya dengan suara lirih.Sebenarnya, dia ingin mendatangi Riyanti dan meminta saran mengenai hal ini. Hanya saja, dia juga masih merasa ragu untuk melakukan ini."Hai. Papa bikin aku banyak pikiran aja deh." Dia menumpu dagu pada lipatan tangan.Melissa begitu