Aku dan Mas Tyo kini tinggal di apartemennya. Setelah cuti selama tiga hari kerja, besok kami akan kembali ke rutinitas. Malam ini kami sengaja tidur lebih cepat, agar nanti bisa maksimal menyelesaikan pekerjaan yang tertunda selama tiga hari ini. Selepas subuh aku berkutat di dapur membuat sarapan. Pagi ini sengaja kubuat sarapan agak berat, nasi goreng seafood. Sebentar lagi akan siap. Saat aku fokus mengaduk nasi goreng di wajan, sepasang tangan melingkar memelukku. “Mas, ini sudah mau matang, nanti gosong loh.” “Kalau makannya berdua, gosong juga enak kok.” “Mas lebay deh. Sudah tunggu di meja saja kalau sudah lapar.” Aku sudah mencium bau citrus, artinya Mas Tyo sudah berpakaian kerjanya. Bukannya melepas pelukannya, malah sebuah kecupan mendarat di pipiku. “Mas..., nanti baunya nular ini, bau nasi goreng.” “Tidak apa sayang, wangi nasi goreng gosong juga enak.” Aku biarkan Mas Tyo tetap di sana. Aku matikan kompor dan memindahkan nasi goreng pada piring yang sudah
“Siapa mas? Buat aku penasaran saja.” “Dania.” “Serius mas! Sejak kapan? Kok tidak cerita sih. Dania, awas ya harus traktir nanti gajian pertamanya.” Alisha sangat antusias mengetahuinya. Aku tersenyum sendiri mendengarnya yang berbicara sendiri setelah mendengar nama Dania kusebut. *** Sampai di apartemen, sudah menjelang magrib. Setelah membersihkan diri dan salat magrib berjamaah, Alisha langsung menuju dapur menyiapkan makan malam. Sedangkan aku mengecek beberapa email di laptop. Alisha meminta lemari pendingin dipenuhi dengan bahan makanan dan sayuran. Jika dia ingin masak tak perlu repot membeli bahannya jika sudah lengkap. Menu makan malam kali ini capcay, teriyaki, dan sambal bawang. Aku keluar dari kamar setelah selesai mengecek email. Aku menarik kursi di meja makan dan menghempaskan tubuhku. Sambil menunggu makan malamnya siap, kubuka media sosial. Sebuah postingan yang viral hari ini. Dua foto terpampang di akun tanpa nama. Sosok lelaki yang berdiri di balik
Makan malam bersama keluarga ayah sedikit membuat aku melupakan sikap Mas Tyo yang tak biasa. Obrolan dengan Haikal dan Deandra serta canda mereka membuat aku tersenyum. Ayah dan mami juga sangat menyayangiku seperti putri pertama mereka. Mas Tyo hanya menanggapi jika ayah atau mami bertanya. Semenjak keberangkatan sikap Mas Tyo tidak seperti biasanya. Padahal awalnya dia yang bersemangat untuk berbulan madu. Apakah ada masalah di kantor sebelum berangkat. Akan kutanyakan pada Dania nanti malam. Kami kembali ke kamar setelah ayah, mami, dan kedua adikku pamit. Besok mami mengundang kami ke rumah mereka. Agenda jalan-jalan dari agen wisata baru dimulai lusa. Setelah mengganti pakaian dengan kimono katun aku sempatkan mengirim pesan pada Dania. Rasa penasaran dan khawatir menjadi satu di benakku. -Dania, apakah ada kendala pekerjaan kantor hari ini?- -Aku tunggu jawabannya ya, maaf mengganggu- Aku menghampiri Mas Tyo yang sudah berbaring di kasur, merebahkan tubuhku di sampin
“Alisha mau mampir ke The Centrepoint, lihat kuliner di sana,” ucap Mami Jessy. Aku mengangguk menyetujui keinginan Alisha. Sebelum kembali ke hotel mereka akan mampir ke sana. “Mas, boleh sekalian undang Mas Angga dan Sherly?” “Coba tanyakan dulu ya, Sha. Mereka kan harus bekerja.” Alisha mengangguk dan berjanji akan menanyakan terlebih dahulu pada Mas Angga dan Sherly. Aku hanya bisa mengiyakan sambil menarik napas panjang. Semoga perasaan Angga sudah berubah dengan adanya Sherly. *** Kami berempat akhirnya di sini, The Centerpoint. Awalnya Angga menolak namun akhirnya tak tega karena Alisha terus merajuk. Kami sudah memesan makanan di Chicken Up. Alisha dan Sherly mengunjungi toko busana di dekat restoran. Kini hanya aku dan Angga duduk menunggu pesanan datang. “Kapan kembali ke Jakarta?” tanyaku membuka percakapan. “Setelah semua terapi selesai. Juga membereskan beberapa hal terkait pekerjaan.” “Anugerah memerlukan bos besarnya. Alisha lambat laun harus menarik
Angga masuk ke dalam ruangan setelah mengucapkan salam. Pak Yudha dan mami sedang memeluk Alisha. Angga menghampiriku dan menanyakan kondisi Alisha. Aku tersenyum dan menjawab jika kemungkinan besar Alisha hamil. Kupeluk Angga karena luar biasa senang. Setelah memastikan kondisi kandungannya di bagian obstetricians, Alisha tetap bermalam di rumah sakit. Besok pagi baru berencana keluar dan kembali ke hotel. Aku ingin memastikan jika kondisi Alisha dan calon anak kami baik-baik saja. Menurut hasil USG usia kandungannya memasuki minggu ketujuh. Setelah berita kehamilannya sampai di Jakarta, bunda dan mama melakukan panggilan video. Mereka mengucapkan selamat dan meminta untuk lekas kembali ke Jakarta. Aku sampaikan akan kembali menunggu kondisi Alisha dan kandungannya semakin membaik. “Mas, hari ini kita kembali ke hotel kan?” “Iya kita ke hotel. Jika nanti kondisinya belum memungkinkan melakukan penerbangan, kita perpanjang ya liburan di sini.” “Nanti tanyakan ke dokter saja m
“Sha, mas berangkat dahulu ya. Besok baru mas cuti. Nanti kalau mau ada yang dibeli minta Bik Arum yang belikan,” ucapnya sambil mengenakan dasi di depan kaca. “Kalau dede mau yang belikan Daddynya bagaimana?” Didekatinya aku yang duduk dipinggir tempat tidur. “Dede... kalau mau Daddy yang beli harus sabar ya. Tunggu Daddy pulang kerja,” ucapnya pelan sambil mengusap perutku. Aku tersenyum senang. Mas Tyo sangat perhatian pada dede dan ibunya. Saat aku tersenyum sebuah kecupan singkat dicurinya dari bibirku. Aku merengut karena kaget. “Manis, Daddy suka,” ucapnya. Dilangkahkan kakinya sambil menarik tanganku ke luar kamar. Aku ambilkan tas kerja yang biasa dibawanya. Di meja makan sudah ada papa dan mama yang akan memulai sarapan. “Alisha tidak berangkat kan?” “Tidak ma, sekarang kan sudah ada Mas Angga. Jadi aman di kantor,” jawab Tyo memastikan. Mama mengambilkanku beef sandwich ke piringku. Segelas susu khusus ibu hamil sudah tersedia di samping piring. Mama sangat
Dokter langsung memeriksa kondisi Alisha yang masih kebingungan. Perawat mengobati sikunya yang berdarah karena terjatuh tadi. Setelah pemeriksaan selesai aku menemui dokter. Mengangguk memahami kondisinya. Aku menghampiri Alisha yang masih shock atas kejadian tadi. Memeriksa sikunya yang sudah diobati dan tersenyum agar tenang. “Mas, dede bagaimana?” tanya Alisha yang menatapku sendu. “Alhamdulillah, dedenya seperti Daddy, kuat.” “Beneran mas?” Aku mengangguk yakin. Dokter akan memberikan penguat rahim karena kondisinya terjatuh, kami belum mengetahui efeknya. Mudah-mudahan setelah diberi obat akan kembali membaik. “Ya benar dong, sayang. Coba mas mau dengar detak jantungnya. Tadi waktu diperiksa kencang sekali sampai terdengar di luar.” Mas Tyo mendekatkan telinganya ke perutku. Aku usap kepalanya dan tersenyum. Dokter memeriksa detak jantungnya tadi dan Mas Tyo sedang mengurus administrasi. Saat masuk kembali sudah selesai diperiksa. “Wah benar, jagoan Daddy detak jan
Kini usia kandungan Alisha memasuki tujuh bulan. Pengajian akan digelar, sebagai ungkapan rasa syukur. Kali ini lokasinya adalah kantor SbaBra Desain. Mereka mempersiapkan semua kebutuhan pengajian. Mulai makanan hingga hampers yang akan diberikan pada tamu undangan.Pengamanan ditingkatkan mulai pekan kemari. Tamu yang datang harus memiliki janji terlebih dahulu. Peristiwa sebelumnya memberikan banyak pelajaran untuk meningkatkan pengawasan.Hari ini Alisha resmi mengundurkan diri dari Anugerah Aksara. Tyo tak lagi mengizinkan istrinya bekerja. Perutnya juga semakin membesar sehingga mudah sekali lelah. Angga kini kembali pada jabatannya dahulu, menjadi CEO utama dibantu asisten pribadinya Hendra.Sherly ditempatkan menjadi sekretaris pribadi Angga. Hubungan mereka juga semakin dekat. Hanya Hendra yang mengetahui pergulatan perasaan yang dialami bosnya. Alisha sudah tak mungkin dikejar bosnya, Sherly selama ini mengharapkan hubungan lebih, namun Angga tak pernah merseponnya.“Hendra,
Setelah dokter bisa menangani Aristya aku memutuskan kembali ke ruang rawat Alisha. Hendra berdiri di depan pintu kamar bersama John dan Hans. Saat melihatku, mereka mengangguk namun tak berbicara. “Hendra, jika ada kabar penting langsung hubungi aku,” pesanku sebelum kembali ke kamar Alisha. “Baik Pak.” “Bukannya tadi ada Adrian?” tanyaku melihat sekeliling. Hendra menatap John dan Hans bergantian. Tadi Adrian memang ada di sini. Mereka sempat mengobrol. Adrian datang bersama Dania. Aku menghubungi Alisha. Hanya nada sambung terdengar berbunyi, tapi Alisha tidak mengangkatnya. Kucoba hingga tiga kali, namun hasilnya sama saja. Aku langsung bergegas menuju lorong ruang rawat Alisha. Perasaanku tak enak. Hendra kuminta menghubungi Fathir. Jika ada di luar minta segera kembali ke ruang Alisha. John dan Hans mengikuti langkahku. Aku tak ingin kejadian buruk menimpa Alisha. Apalagi ada bayiku di sana. Sesampainya di depan ruangan tak kulihat Fathir dan Petra. Aku ingin
Saat Alisha membuka matanya, dirasakannya dia terbaring dalam kamar dengan aroma yang sangat dikenalnya. Dinding putihnya selalu bersih. Walau suka dengan warnanya tapi dia tak mau lama-lama di sini. Mas Angga…? Tadi Hendra bilang jika Mas Angga kecelakaan. Sari yang menabraknya. Jadi benar yang dikatakan Adrian jika kotak hadiah itu dari Sari. Nomor yang selalu menerornya mungkin juga Sari. Tapi mengapa? Alisha mencoba bangun dari tidurnya. Alisha harus mencari Mas Angga. Dia harus tahu kondisinya saat ini. Saat badannya mulai digeser untuk duduk, suara pintu dibuka menghentikan gerakkannya. Ditunggunya siapa yang akan masuk dengan terus menatap lurus ke arah pintu. “Mas Angga…!” Aku duduk di kursi roda yang didorong masuk oleh Fathir, menatap Alisha tajam. Kemudian tersenyum saat melihatnya diam. Setelah Alisha sadar siapa yang datang, Alisha ingin beranjak turun memeluknya. “Di sana saja Hanny. Mas tidak mau kamu lelah,” ucapku sambil memberikan tanda agar Alisha tetap di
Jadi hadiah itu dari Sari. Tiba-tiba rasa mual kurasakan, aku bangun menuju toilet. Dania mengikutiku dari belakang. Adrian hanya duduk diam dalam kebingungan memutuskan untuk menunggu mereka. Aku didampingi Dania Kembali duduk di hadapan Adrian. Masih banyak yang ingin aku ketahui. Tapi aku ingin tahu di mana Mas Angga saat ini. Pesan yang tadi kukirim masih belum dibacanya. Kucoba menghubungi, tapi hanya suara operator yang menjawab. Aku mencoba menghubungi Hendra, namun sama saja. Saat aku panik, dering telepon berbunyi. Mas Angga. Aku langsung menggeser layer dan berbicara padanya. “Mas di mana? Kenapa sulit dihubungi?” “Maaf Hanny, mas lagi rapat dan susah sinyal. Ini juga hanya sebentar bisa teleponnya. Mas mau mengingatkan jangan lupa makan siang ya.” “Iya mas. Mas Angga juga ya,” ucapku menginggatkannya. “Kalau di kantor, jangan terlalu lelah ya, kasihan dede nanti. Makan siangnya ditemenin Dania saja ya Hanny,” ucap Mas Angga. Belum sempat aku jawab, suara samb
Aku menoleh ke arah Mas Angga, mencoba tersenyum dan menatap wajahnya lekat. Aku Kembali mengusap lembut perutku. Aku harus kuat, Arjuna dan aku bisa melewatinya dulu. Kini aku juga harus bisa. “Tidak apa mas, sudah mulai terasa tidak enak perutnya,” jawabku pelan. “Sebentar lagi kita sampai dede, sabar ya.” Aku tersenyum mendengarnya. Mas Angga sangat memperhatikan kami, aku berharap ini bukan sementara. Pikiranku mengenai Aristya masih mengganjal. Apalagi nomor asing yang mengirim pesan dan foto, membuat aku bertanya-tanya siapa dia? Sesampainya di rumah besar, aku langsung masuk ke dalam kamar. Mas Angga menggendong Arjuna ke kamarnya. Oma dan Opa juga akan beristirahat, sebelum Oma menyiapkan makan siang. Suara pintu kamar yang dibuka membuat aku menoleh. Mas Angga sudah melangkah menuju ke arahku yang masih duduk di tepi tempat tidur. “Masih jail dedenya?” tanya Mas Angga padaku. “Tidak papa. Dede aman,” jawabku sambil tersenyum. Mas Angga mendekat dan berhenti di ha
Aku menatap wajah Alisha lekat, rasa bersalah menyelimuti. Aku sepertinya terlalu terburu-buru mengharapkan kehamilannya. Seharusnya aku membahagiakannya dahulu. Aku melangkah mendekatinya dan memeluknya erat. “Tidak apa Hanny, masih banyak waktu. Arjuna pasti mau menunggu,” ucapku pelan di telinganya. “Arjuna mau menunggu, apakah mas juga mau menunggu?” tanyanya pelan. Aku lepas pelukanku, menangkup kedua pipinya dan memintanya menatapku. Mata Alisha berkaca-kaca, aku tak ingin butiran air mata itu turun. Aku tersenyum menguatkannya. “Aku pasti akan menunggu Hanny, tidak perlu khawatir. Sampai nanti Allah memberikan kita kepercayaan untuk menjaga amanah,” ucapku pelan sambil tetap tersenyum. “Mas, ini hasilnya,” suara Alisha terdengar pelan sambil menyodorkan testpack yang tadi kuberikan. Aku mengambilnya dan meneliti bagian yang memiliki garis merah. Kesedihan Alisha sepertinya harus kuhilangkan, aku sudah merencanakan akan mengajaknya bersama Arjuna berlibur nanti. Aku
“Lebih baik diperiksa ke dokter kandungan, biar lebih yakin hasilnya,” ucap Oma sambil menatap pada Alisha. “Oma bilang apa? Aku tidak salah dengar kan?” tanyaku mendengar ucapan Oma pada Alisha. Oma hanya tersenyum. Mengajak Arjuna untuk kembali ke rumah. Arjuna yang masih duduk di samping Alisha mengangguk, meminta papa untuk menjaga bunda dan dia berjanji akan menuruti Oma dan Opa. Aku tersenyum mendengarnya kemudian menurunkan Arjuna setelah mencium pipi Alisha dan membuat janji kelingking agar Arjuna menepati janji. Alisha melambaikan tangannya hingga Arjuna menghilang di balik pintu. Kini hanya ada aku dan Alisha di kamar. “Mas mau keluar sebentar Hanny, berani sendiri atau mau dipanggilkan perawat?” tanyaku sesaat tiba di samping tempat tidur. “Berani mas, tapi jangan lama-lama ya,” jawab Alisha pelan sambil menatap matanya. Sebuah senyum terbit dari sudut bibirku, kemudian melangkah keluar kamar. Setelah aku menutup pintu Alisha merebahkan tubuhnya. Sebenarnya Alisha
Alisha mengeratkan genggamannya pada tangan Mas Angga. Menatapnya lembut dan mencoba tersenyum padanya. Bebannya sudah sangat berat. Sepertinya dia harus mengesampingkan perasaan cemburu pada Aristya, apalagi Oma tadi sudah berpesan agar dirinya tak egois. “Mas, jika mas ingin melihat Nenek Hanum pergilah. Alisha bisa sendiri di sini. Alisha juga tidak mau lama-lama di rawat Mas,” ucapnya pelan. “Iya Hanny, Mas juga ingin kamu sehat. Tidak sakit seperti ini. Mas minta maaf ya. Lain kali Mas akan hati-hati dengan orang-orang yang suka mengambil foto sembunyi-sembunyi," ucapku meyakinkan. Alisha mengangguk. Aku kembali mengecup tangan Alisha dan tersenyum padanya. Sedikit bebanku sudah terangkat. Aku bisa tersenyum sekarang. Alisha membalas senyumku hingga aku seakan diberikan sedikit kekuatan dengan adanya kabar mengenai Nenek Hanum. “Mas menunggu Hendra di IGD ya Hanny, jika ada apa-apa panggil perawat," ucapku saat menghitung waktu kemungkinan Hendra sudah sampai. “Iya mas, nan
Oma dan Opa mendekati tempat tidur perlahan. Mereka tak mau mengganggu tidur Arjuna. Oma mengusap pelan tangan Alisha yang memeluk Arjuna. Setelah memastikan keduanya pulas. Mereka menunggu di sofa. Aku memilih untuk tetap duduk di samping tempat tidur menunggu mereka berdua bangun. Setelah menunggu hampir setengah jam. Arjuna mulai membuka matanya. Digesernya tangan bunda yang memeluknya saat tertidur. Aku menutup laptop dan meletakkannya di meja. Arjuna yang kini sudah duduk di ranjang, mengucek matanya dan membuka perlahan. “Papa, kita di rumah sakit?” “Iya jagoan. Masih mengantuk?” tanyaku sambil mengusap lembut pucuk kepalanya. Arjuna menggeleng dan matanya berpindah ke arah bunda yang masih tertidur. Diciumnya pipi bunda dengan penuh rasa sayang kemudian diusapnya. “Bunda maaf ya. Oma bilang kalau Arjuna mau punya adik perempuan bunda akan sakit dan muntah-muntah juga. Arjuna mau adik tapi tidak mau bunda sakit,” ujarnya pelan. Aku yang mendengarnya tersenyum. Semoga
Aku terduduk dipinggir tempat tidur, butir air mata mulai mengalir di pipiku. Di saat aku baru saja merasakan kebahagiaan mengapa ada yang merusaknya? Apakah Mas Angga benar-benar menjalin hubungan dengan Aristya tanpa sepengetahuanku. Aristya memang masa lalu Mas Angga, namun Mas Angga juga mengatakan jika mereka tak pernah memiliki hubungan dekat. Tapi mengapa bukti-bukti yang kuterima tidak menunjukkannya, malah sebaliknya hubungan mereka terlihat sangat dekat. Apakah dalam lubuk hati terdalam, Mas Angga masih mencintainya? Kepalaku terasa semakin pusing, aku menarik napas panjang. Tak kubayangkan apa jadinya hari-hariku menghadapi hubungan yang aku tak tahu kapan dimulainya. Aku beranjak menuju kamar mandi, sepertinya berendam memang akan menyegarkanku. *** “Papa...!” Arjuna berlari menyambutku yang baru saja turun dari mobil yang dikendarai Fathir. Setelah cukup lama menunggu bagasi akhirnya aku bisa meninggalkan bandara. Hampir dua jam menunggu, untungnya Alisha sudah k