Dokter langsung memeriksa kondisi Alisha yang masih kebingungan. Perawat mengobati sikunya yang berdarah karena terjatuh tadi. Setelah pemeriksaan selesai aku menemui dokter. Mengangguk memahami kondisinya. Aku menghampiri Alisha yang masih shock atas kejadian tadi. Memeriksa sikunya yang sudah diobati dan tersenyum agar tenang. “Mas, dede bagaimana?” tanya Alisha yang menatapku sendu. “Alhamdulillah, dedenya seperti Daddy, kuat.” “Beneran mas?” Aku mengangguk yakin. Dokter akan memberikan penguat rahim karena kondisinya terjatuh, kami belum mengetahui efeknya. Mudah-mudahan setelah diberi obat akan kembali membaik. “Ya benar dong, sayang. Coba mas mau dengar detak jantungnya. Tadi waktu diperiksa kencang sekali sampai terdengar di luar.” Mas Tyo mendekatkan telinganya ke perutku. Aku usap kepalanya dan tersenyum. Dokter memeriksa detak jantungnya tadi dan Mas Tyo sedang mengurus administrasi. Saat masuk kembali sudah selesai diperiksa. “Wah benar, jagoan Daddy detak jan
Kini usia kandungan Alisha memasuki tujuh bulan. Pengajian akan digelar, sebagai ungkapan rasa syukur. Kali ini lokasinya adalah kantor SbaBra Desain. Mereka mempersiapkan semua kebutuhan pengajian. Mulai makanan hingga hampers yang akan diberikan pada tamu undangan.Pengamanan ditingkatkan mulai pekan kemari. Tamu yang datang harus memiliki janji terlebih dahulu. Peristiwa sebelumnya memberikan banyak pelajaran untuk meningkatkan pengawasan.Hari ini Alisha resmi mengundurkan diri dari Anugerah Aksara. Tyo tak lagi mengizinkan istrinya bekerja. Perutnya juga semakin membesar sehingga mudah sekali lelah. Angga kini kembali pada jabatannya dahulu, menjadi CEO utama dibantu asisten pribadinya Hendra.Sherly ditempatkan menjadi sekretaris pribadi Angga. Hubungan mereka juga semakin dekat. Hanya Hendra yang mengetahui pergulatan perasaan yang dialami bosnya. Alisha sudah tak mungkin dikejar bosnya, Sherly selama ini mengharapkan hubungan lebih, namun Angga tak pernah merseponnya.“Hendra,
Mereka memutuskan untuk makan terlebih dahulu sebelum melanjutkan perbincangan yang terjeda. Sherly mencoba memahami maksud Angga dengan melupakan Alisha. Perasaan sayang yang berubah menjadi rasa cinta apakah bisa dihapusnya? Batin Sherly bertanya. Selama menjadi sekretarisnya di Singapura dan mengikuti kembali ke Jakarta, Angga tak pernah menceritakan apalagi menunjukkannya di hadapanku. Tapi dari tindakan yang dilakukannya jelas terlihat. Jika bersangkutan dengan Alisha bagaimanapun keadaan dan kondisinya, dia akan bereaksinya sangat cepat. “Bagaimana, Sherly? Bisa bantu saya?” Tanyanya saat aku meminum air setelah makananku tandas di piring. “Bantu apa ya mas?” “Kita mencoba menjalin hubungan. Ajari aku mencintai kamu, Sherly,” ucapnya lirih. Wajahku pasti sudah memerah kini. Pernyataan atau pertanyaan aku pun tak tidak tahu. Aku hanya terdiam memainkan gelas yang sudah kosong. Dihentikannya tanganku dan digenggamnya erat. Tatap matanya tajam meminta jawaban. Aku sendir
Tiga hari lagi Arjuna berulang tahun yang pertama. Rumah besar mempersiapkan perayaan ulang tahun untuknya, Taman dihias dengan beraneka permainan anak-anak layaknya taman bermain. Opa dan Omanya yang memesan pada EO pesta ulang tahun.“Daddy, ini untuk ulang tahunku?” mata Arjuna membulat melihatnya.“Iya sayang, suka?”“Sangat suka.”"Daddy dan bunda berangkat kerja ya, Arjuna sama Opa dan Oma ya," ucapnya sambil menurunkan Arjuna dari gendongannya.“Oke.”Dikenakan jas hitam yang sedari tadi dipegang Alisha, diulurkan tangannya untuk dicium oleh Arjuna. Alisha berjongkok dan mencium kedua pipi gembulnya. Aku usap kepalanya perlahan. Aku seolah tak ingin meninggalkannya hari ini.Alisha menggandeng tanganku pelan dan melambaikan tangan pada Arjuna. Arjuna membalasnya dan memberikan ciuman jauhnya. Setelah itu dia berjalan digandeng pengasuhnya semenjak bayi menuju Oma dan Opanya.***“Pak Hendrawan kritis, saat ini di ruang ICCU,” lapor Radinka pada David.“Kondisi terakhir bagaimana
Alisha sudah menunggu di depan lobi kantornya, saat mobil yang membawaku sampai. Setelah Alisha masuk sopir langsung menuju rumah besar. Mas Tyo mencoba membalas senyumnya saat masuk dan duduk di sampingnya.Alisha merasakan sikap dingin Mas Tyo, apakah ada masalah dikantornya saat rapat tadi. Digeser duduknya hingga saling berdekatan, dan disandarkannya kepala pada bahunya sambil menggenggam tangannya.Terasa tangan yang dingin dan degup jantungnya yang tak beraturan. Dicobanya mengalirkan kehangatan dengan mengeratkan genggamannya.“Mas, ada apa? Mau berbagi denganku.”Tangannya yang lain mengusap punggung tanganku kemudian digenggamnya hingga sebelah tanganku ada dalam kedua tangannya. Tak ada suara, namun detak jantungnya mulai teratur, aku tersenyum. Belakangan ini aku selalu ingin di dekapannya dan merasa sangat nyaman seperti ini.Setelah sampai di halaman rumah besar, beberapa mobil terparkir di sana. Mas Angga, Hendra, kalau tidak salah satu mobil lagi adalah mobil ayah Yudha
Aku sudah keluar jalan bebas hambatan. Sebentar lagi menuju jalan pemakaman Kamboja. Tak terpikir untuk berhenti sejenak. Pikiranku mengenai Arjuna membuatnya seperti orang gila.Di hadapannya kini terpampang tulisan yang cukup besar "Pemakaman Kamboja". Aku memarkirkan kendaraan di tempatnya, berjalan menuju lokasi yang dikirim Sari.Bergegas berjalan dengan sesekali menatap layar Hp. beberapa panggilan tak kugubris. pikiran dan konsentrasiku hanya pada Arjuna. Sari tak boleh menyakitinya, kalau sampai terjadi aku akan membalas lebih kejam, batinku.Beberapa meter lagi aku sampai. Kulihat di kejauhan beberapa orang mengelilingi sebuah makam. Arjuna digendong oleh salah satu lelaki di sana."Sari!" "Sudah sampai rupanya. Selamat datang Alisha.""Bunda...! lepas om..., Arjuna mau ke bunda!""Sabar sayang, biarkan bunda bicara dengan teman om dulu ya," katanya sambil menahan Arjuna tetap pada gendongannya.Aku bergegas berjalan menuju Arjuna. Sari mencegahku hingga aku urungkan melanjut
Aku mendengarkan dengan baik apa yang dokter katakan. Bunda sudah berdiri di sampingku, memeluk bahuku memberikan kekuatannya. Aku mencoba tersenyum agar tak membuatnya khawatir.“Apakah kami bisa melihatnya dokter?”“Bisa, bergantian dan jangan diajak banyak bicara. Untuk meminimalkan kerja jantungnya.”“Baik dokter. Terima kasih.”Aku meminta Oma dan Opa serta Nenek melihat Mas Tyo terlebih dahulu, nanti jika sudah selesai baru aku dan Arjuna. Aku akan membawa Arjuna untuk sarapan dahulu. Aku sendiri juga lapar, dari kemarin belum makan.Oma mengangguk setuju, bagaimanapun kesehatan Alisha harus dijaga. Akan lelah nantinya jika mengurus orang yang sedang sakit. Aku mengantar mereka sampai ke pintu dan menutup kembali pintunya setelah mereka masuk.***Setelah memaksakan untuk sarapan, aku dan Arjuna kembali ke ruang rawat Daddy. Opa sudah duduk kembali di ruang tunggu. Oma dan Nenek masih di dalam menemaninya.“Tyo ingin menemui kalian, masuklah,” perintah Opa pelan.Aku masih mengge
Saat mengetahui Alisha akan pergi meninggalkan luka dan menata kembali hatinya, aku sangat keberatan. Ingin sekali mengulang peristiwa lalu saat kami masih bersama. Jika Alisha bersedih pasti aku yang dicarinya. Walau hanya untuk berkeluh kesah penyebab kesedihannya.Sudah satu pekan dan tak ada yang tahu ke mana mereka berdua menenangkan diri. Apakah ke rumah Pak Yudha, kakek Arjuna atau ke tempat lain?“Pak Angga.”“Alisha..., kamu kembali?”Sherly mematung mendengar ucapannya. Sudah sejauh ini hubungan mereka, namun Angga tak pernah bisa melupakan Alisha. Sampai kapan aku harus mengikuti jalan ini, batinnya sambil beranjak meninggalkan ruangan.Angga tersadar dan menatap Sherly beberapa saat. Sherly yang berdiri di depan mejanya, bukan Alisha. Meletakkan berkas laporan yang harus diperiksanya dan beranjak keluar.“Sherly..., maaf...”Suara Angga menggantung karena Sherly sudah menutup pintu dan kembali ke mejanya. Sherly bingung dengan rencana yang sudah disusunnya untuk siang nanti
Setelah dokter bisa menangani Aristya aku memutuskan kembali ke ruang rawat Alisha. Hendra berdiri di depan pintu kamar bersama John dan Hans. Saat melihatku, mereka mengangguk namun tak berbicara. “Hendra, jika ada kabar penting langsung hubungi aku,” pesanku sebelum kembali ke kamar Alisha. “Baik Pak.” “Bukannya tadi ada Adrian?” tanyaku melihat sekeliling. Hendra menatap John dan Hans bergantian. Tadi Adrian memang ada di sini. Mereka sempat mengobrol. Adrian datang bersama Dania. Aku menghubungi Alisha. Hanya nada sambung terdengar berbunyi, tapi Alisha tidak mengangkatnya. Kucoba hingga tiga kali, namun hasilnya sama saja. Aku langsung bergegas menuju lorong ruang rawat Alisha. Perasaanku tak enak. Hendra kuminta menghubungi Fathir. Jika ada di luar minta segera kembali ke ruang Alisha. John dan Hans mengikuti langkahku. Aku tak ingin kejadian buruk menimpa Alisha. Apalagi ada bayiku di sana. Sesampainya di depan ruangan tak kulihat Fathir dan Petra. Aku ingin
Saat Alisha membuka matanya, dirasakannya dia terbaring dalam kamar dengan aroma yang sangat dikenalnya. Dinding putihnya selalu bersih. Walau suka dengan warnanya tapi dia tak mau lama-lama di sini. Mas Angga…? Tadi Hendra bilang jika Mas Angga kecelakaan. Sari yang menabraknya. Jadi benar yang dikatakan Adrian jika kotak hadiah itu dari Sari. Nomor yang selalu menerornya mungkin juga Sari. Tapi mengapa? Alisha mencoba bangun dari tidurnya. Alisha harus mencari Mas Angga. Dia harus tahu kondisinya saat ini. Saat badannya mulai digeser untuk duduk, suara pintu dibuka menghentikan gerakkannya. Ditunggunya siapa yang akan masuk dengan terus menatap lurus ke arah pintu. “Mas Angga…!” Aku duduk di kursi roda yang didorong masuk oleh Fathir, menatap Alisha tajam. Kemudian tersenyum saat melihatnya diam. Setelah Alisha sadar siapa yang datang, Alisha ingin beranjak turun memeluknya. “Di sana saja Hanny. Mas tidak mau kamu lelah,” ucapku sambil memberikan tanda agar Alisha tetap di
Jadi hadiah itu dari Sari. Tiba-tiba rasa mual kurasakan, aku bangun menuju toilet. Dania mengikutiku dari belakang. Adrian hanya duduk diam dalam kebingungan memutuskan untuk menunggu mereka. Aku didampingi Dania Kembali duduk di hadapan Adrian. Masih banyak yang ingin aku ketahui. Tapi aku ingin tahu di mana Mas Angga saat ini. Pesan yang tadi kukirim masih belum dibacanya. Kucoba menghubungi, tapi hanya suara operator yang menjawab. Aku mencoba menghubungi Hendra, namun sama saja. Saat aku panik, dering telepon berbunyi. Mas Angga. Aku langsung menggeser layer dan berbicara padanya. “Mas di mana? Kenapa sulit dihubungi?” “Maaf Hanny, mas lagi rapat dan susah sinyal. Ini juga hanya sebentar bisa teleponnya. Mas mau mengingatkan jangan lupa makan siang ya.” “Iya mas. Mas Angga juga ya,” ucapku menginggatkannya. “Kalau di kantor, jangan terlalu lelah ya, kasihan dede nanti. Makan siangnya ditemenin Dania saja ya Hanny,” ucap Mas Angga. Belum sempat aku jawab, suara samb
Aku menoleh ke arah Mas Angga, mencoba tersenyum dan menatap wajahnya lekat. Aku Kembali mengusap lembut perutku. Aku harus kuat, Arjuna dan aku bisa melewatinya dulu. Kini aku juga harus bisa. “Tidak apa mas, sudah mulai terasa tidak enak perutnya,” jawabku pelan. “Sebentar lagi kita sampai dede, sabar ya.” Aku tersenyum mendengarnya. Mas Angga sangat memperhatikan kami, aku berharap ini bukan sementara. Pikiranku mengenai Aristya masih mengganjal. Apalagi nomor asing yang mengirim pesan dan foto, membuat aku bertanya-tanya siapa dia? Sesampainya di rumah besar, aku langsung masuk ke dalam kamar. Mas Angga menggendong Arjuna ke kamarnya. Oma dan Opa juga akan beristirahat, sebelum Oma menyiapkan makan siang. Suara pintu kamar yang dibuka membuat aku menoleh. Mas Angga sudah melangkah menuju ke arahku yang masih duduk di tepi tempat tidur. “Masih jail dedenya?” tanya Mas Angga padaku. “Tidak papa. Dede aman,” jawabku sambil tersenyum. Mas Angga mendekat dan berhenti di ha
Aku menatap wajah Alisha lekat, rasa bersalah menyelimuti. Aku sepertinya terlalu terburu-buru mengharapkan kehamilannya. Seharusnya aku membahagiakannya dahulu. Aku melangkah mendekatinya dan memeluknya erat. “Tidak apa Hanny, masih banyak waktu. Arjuna pasti mau menunggu,” ucapku pelan di telinganya. “Arjuna mau menunggu, apakah mas juga mau menunggu?” tanyanya pelan. Aku lepas pelukanku, menangkup kedua pipinya dan memintanya menatapku. Mata Alisha berkaca-kaca, aku tak ingin butiran air mata itu turun. Aku tersenyum menguatkannya. “Aku pasti akan menunggu Hanny, tidak perlu khawatir. Sampai nanti Allah memberikan kita kepercayaan untuk menjaga amanah,” ucapku pelan sambil tetap tersenyum. “Mas, ini hasilnya,” suara Alisha terdengar pelan sambil menyodorkan testpack yang tadi kuberikan. Aku mengambilnya dan meneliti bagian yang memiliki garis merah. Kesedihan Alisha sepertinya harus kuhilangkan, aku sudah merencanakan akan mengajaknya bersama Arjuna berlibur nanti. Aku
“Lebih baik diperiksa ke dokter kandungan, biar lebih yakin hasilnya,” ucap Oma sambil menatap pada Alisha. “Oma bilang apa? Aku tidak salah dengar kan?” tanyaku mendengar ucapan Oma pada Alisha. Oma hanya tersenyum. Mengajak Arjuna untuk kembali ke rumah. Arjuna yang masih duduk di samping Alisha mengangguk, meminta papa untuk menjaga bunda dan dia berjanji akan menuruti Oma dan Opa. Aku tersenyum mendengarnya kemudian menurunkan Arjuna setelah mencium pipi Alisha dan membuat janji kelingking agar Arjuna menepati janji. Alisha melambaikan tangannya hingga Arjuna menghilang di balik pintu. Kini hanya ada aku dan Alisha di kamar. “Mas mau keluar sebentar Hanny, berani sendiri atau mau dipanggilkan perawat?” tanyaku sesaat tiba di samping tempat tidur. “Berani mas, tapi jangan lama-lama ya,” jawab Alisha pelan sambil menatap matanya. Sebuah senyum terbit dari sudut bibirku, kemudian melangkah keluar kamar. Setelah aku menutup pintu Alisha merebahkan tubuhnya. Sebenarnya Alisha
Alisha mengeratkan genggamannya pada tangan Mas Angga. Menatapnya lembut dan mencoba tersenyum padanya. Bebannya sudah sangat berat. Sepertinya dia harus mengesampingkan perasaan cemburu pada Aristya, apalagi Oma tadi sudah berpesan agar dirinya tak egois. “Mas, jika mas ingin melihat Nenek Hanum pergilah. Alisha bisa sendiri di sini. Alisha juga tidak mau lama-lama di rawat Mas,” ucapnya pelan. “Iya Hanny, Mas juga ingin kamu sehat. Tidak sakit seperti ini. Mas minta maaf ya. Lain kali Mas akan hati-hati dengan orang-orang yang suka mengambil foto sembunyi-sembunyi," ucapku meyakinkan. Alisha mengangguk. Aku kembali mengecup tangan Alisha dan tersenyum padanya. Sedikit bebanku sudah terangkat. Aku bisa tersenyum sekarang. Alisha membalas senyumku hingga aku seakan diberikan sedikit kekuatan dengan adanya kabar mengenai Nenek Hanum. “Mas menunggu Hendra di IGD ya Hanny, jika ada apa-apa panggil perawat," ucapku saat menghitung waktu kemungkinan Hendra sudah sampai. “Iya mas, nan
Oma dan Opa mendekati tempat tidur perlahan. Mereka tak mau mengganggu tidur Arjuna. Oma mengusap pelan tangan Alisha yang memeluk Arjuna. Setelah memastikan keduanya pulas. Mereka menunggu di sofa. Aku memilih untuk tetap duduk di samping tempat tidur menunggu mereka berdua bangun. Setelah menunggu hampir setengah jam. Arjuna mulai membuka matanya. Digesernya tangan bunda yang memeluknya saat tertidur. Aku menutup laptop dan meletakkannya di meja. Arjuna yang kini sudah duduk di ranjang, mengucek matanya dan membuka perlahan. “Papa, kita di rumah sakit?” “Iya jagoan. Masih mengantuk?” tanyaku sambil mengusap lembut pucuk kepalanya. Arjuna menggeleng dan matanya berpindah ke arah bunda yang masih tertidur. Diciumnya pipi bunda dengan penuh rasa sayang kemudian diusapnya. “Bunda maaf ya. Oma bilang kalau Arjuna mau punya adik perempuan bunda akan sakit dan muntah-muntah juga. Arjuna mau adik tapi tidak mau bunda sakit,” ujarnya pelan. Aku yang mendengarnya tersenyum. Semoga
Aku terduduk dipinggir tempat tidur, butir air mata mulai mengalir di pipiku. Di saat aku baru saja merasakan kebahagiaan mengapa ada yang merusaknya? Apakah Mas Angga benar-benar menjalin hubungan dengan Aristya tanpa sepengetahuanku. Aristya memang masa lalu Mas Angga, namun Mas Angga juga mengatakan jika mereka tak pernah memiliki hubungan dekat. Tapi mengapa bukti-bukti yang kuterima tidak menunjukkannya, malah sebaliknya hubungan mereka terlihat sangat dekat. Apakah dalam lubuk hati terdalam, Mas Angga masih mencintainya? Kepalaku terasa semakin pusing, aku menarik napas panjang. Tak kubayangkan apa jadinya hari-hariku menghadapi hubungan yang aku tak tahu kapan dimulainya. Aku beranjak menuju kamar mandi, sepertinya berendam memang akan menyegarkanku. *** “Papa...!” Arjuna berlari menyambutku yang baru saja turun dari mobil yang dikendarai Fathir. Setelah cukup lama menunggu bagasi akhirnya aku bisa meninggalkan bandara. Hampir dua jam menunggu, untungnya Alisha sudah k