Aku mendengarkan dengan baik apa yang dokter katakan. Bunda sudah berdiri di sampingku, memeluk bahuku memberikan kekuatannya. Aku mencoba tersenyum agar tak membuatnya khawatir.“Apakah kami bisa melihatnya dokter?”“Bisa, bergantian dan jangan diajak banyak bicara. Untuk meminimalkan kerja jantungnya.”“Baik dokter. Terima kasih.”Aku meminta Oma dan Opa serta Nenek melihat Mas Tyo terlebih dahulu, nanti jika sudah selesai baru aku dan Arjuna. Aku akan membawa Arjuna untuk sarapan dahulu. Aku sendiri juga lapar, dari kemarin belum makan.Oma mengangguk setuju, bagaimanapun kesehatan Alisha harus dijaga. Akan lelah nantinya jika mengurus orang yang sedang sakit. Aku mengantar mereka sampai ke pintu dan menutup kembali pintunya setelah mereka masuk.***Setelah memaksakan untuk sarapan, aku dan Arjuna kembali ke ruang rawat Daddy. Opa sudah duduk kembali di ruang tunggu. Oma dan Nenek masih di dalam menemaninya.“Tyo ingin menemui kalian, masuklah,” perintah Opa pelan.Aku masih mengge
Saat mengetahui Alisha akan pergi meninggalkan luka dan menata kembali hatinya, aku sangat keberatan. Ingin sekali mengulang peristiwa lalu saat kami masih bersama. Jika Alisha bersedih pasti aku yang dicarinya. Walau hanya untuk berkeluh kesah penyebab kesedihannya.Sudah satu pekan dan tak ada yang tahu ke mana mereka berdua menenangkan diri. Apakah ke rumah Pak Yudha, kakek Arjuna atau ke tempat lain?“Pak Angga.”“Alisha..., kamu kembali?”Sherly mematung mendengar ucapannya. Sudah sejauh ini hubungan mereka, namun Angga tak pernah bisa melupakan Alisha. Sampai kapan aku harus mengikuti jalan ini, batinnya sambil beranjak meninggalkan ruangan.Angga tersadar dan menatap Sherly beberapa saat. Sherly yang berdiri di depan mejanya, bukan Alisha. Meletakkan berkas laporan yang harus diperiksanya dan beranjak keluar.“Sherly..., maaf...”Suara Angga menggantung karena Sherly sudah menutup pintu dan kembali ke mejanya. Sherly bingung dengan rencana yang sudah disusunnya untuk siang nanti
Sebuah pertemuan bisnis diadakan di Hotel Ambasador. Pertemuan ini akan mengenalkan pemilik baru ShaBra Desain. Menurut rumor di antara pengusaha, pemilik baru ini adalah desainer ruang terkenal yang telah menjuarai lomba-lomba di luar negeri.Banyak pengusaha dalam negeri yang ingin mengenalnya dan bekerja sama suatu hari nanti. Kepiawaiannya membuat desain diajarkan oleh pemilik ShaBra Desain sebelumnya yang dikembangkan dengan menimba ilmu di Paris.“Arjuna, jangan berlarian. Banyak tamu undangan di sini, bisa bersikap menjadi pendamping bunda yang baik?”Arjuna berhenti berlari dan melangkah dengan gagah ke samping bundanya. Menggandeng tangan bunda dan berjalan berdampingan layaknya pria dewasa. Tuxedo hitam yang digunakannya menambah aura tampan yang dimilikinya.Oma, Opa, dan Neneknya selalu menjadi pengiring setia pangeran tampan ini. Angga sangat senang karena dua hari lagi dia akan merayakan ulang tahunnya yang ketiga. Malam ini dia diajak oleh Oma dan Opanya ke pesta penyam
“Mas Angga, aku merasa tak akan pernah bisa membuatmu jatuh cinta lagi. Seluruh cinta yang mas punya sudah mas serahkan padanya. Aku memilih mundur mas, karena aku tahu pasti akan kecewa akhirnya.”Sherly berhenti sejenak untuk menghela napasnya. Setelah dia menarik napas kembali, dilanjutkan ucapannya.“Mas, aku juga minta maaf jika aku akan membuka hatiku untuk orang yang mencintaiku. Aku akan belajar mencintainya seperti aku belajar mencintai Mas Angga dahulu. Mas Angga, maafkan. Aku akan mencoba menerima cinta Hendra, sahabat yang ternyata begitu memahamiku selama ini. Menemaniku saat aku sedih juga senang.”“Hendra...?”“Aku minta tolong jangan salahkan Hendra karena mencintaiku. Aku ingin hubungan mas dengannya tak berubah hanya karena aku memilihnya mas.”***“Sejak itulah aku menggantikan posisi Pak Angga di sampingnya. Saya minta maaf Bu Alisha,” jawab Hendra saat aku meminta penjelasan.Aku mengangguk. Aku menanyakan satu hal lagi pada Hendra. Selama ini pertanyaan ini selal
Aku memperhatikan lebih dalam pria dengan topi tersebut. Pesta itu juga sepertinya aku pernah ada di sana. Sesaat mataku menatap tubuhnya, tak salah lagi pria ini ‘Mas Angga’ dan pesta pernikahanku dengan Mas Tyo. Kutarik napas dalam mengetahui siapa pria di foto tersebut.Seingatku saat pernikahanku dengan Mas Tyo, Mas Angga tidak bisa hadir, hanya mengirimkan hadiah yang dibawa Hendra. Jika melihat foto ini maka Mas Angga sebenarnya hadir saat pernikahanku. Air mata itu... Untuk siapa air mata itu?Kumulai membaca tulisan pada kertas yang menjadi pembungkus kedua foto tersebut.Sebuah persahabatan akan terus terasa indah kala pengorbanan yang dilakukannya adalah sebuah kebahagiaan untuk sahabatnya. Aku tak pernah menyangka pengorbanan yang diberikannya begitu dalam. Semoga Alisha mengetahuinya suatu saat nanti. Jika waktunya tiba aku akan titipkan orang-orang yang aku sayang padamu, sahabat terbaikku.BramantyoAku mulai mengeluarkan satu persatu foto dan benda-benda kenangan yang di
“Terima kasih jagoan,” ucap Mas Angga sambil bangun dari jongkoknya dan mengusap kepala Arjuna dengan sayang.Digesernya beberapa langkah dari makam untuk memberikan ruang padaku mendekat. Aku bersimpuh dan memanjatkan doa untuk Mas Tyo. Arjuna masih menggandeng tangan Mas Angga di sisi lain makam.Setelah melihat aku selesai berdoa, Arjuna menarik tangan Mas Angga agar ikut mendekat dan berjongkok di dekatnya. Ditepuk-tepuknya rumput di atas makan seolah-olah membangunkan Daddynya.“Daddy, semoga Daddy si sana baik-baik ya.”“Daddy aku sudah membawa Papa Angga, Daddy bilang aku harus menjadi anaknya Papa Angga. Sekarang Arjuna mau bilang sama Daddy mulai hari ini Arjuna adalah putra Papa Angga.”“Papa Angga, mau kan jadi Papanya Arjuna?”Aku tak mengerti mengapa Arjuna mengatakan hal ini, siapa yang memintanya? Apakah Mas Tyo sebelum pergi berpesan pada Arjuna?Mas Angga terdiam. Apa yang harus di jawabnya. Ditatapnya Alisha untuk meminta bantuan menjawab pertanyaan Arjuna. Tapi seper
Aku mulai menjelaskan pada Oma dan Opa ucapan Arjuna pada Mas Angga. Aku juga tak menyangka Mas Tyo bisa membicarakan hal tersebut pada Arjuna yang saat itu baru berusia satu tahun dan Arjuna mengingat itu semua.“Oma, Alisha sebenarnya bingung. Apa yang saat itu harus Alisha katakan pada Arjuna.”Oma mendengarkan ceritaku, sesekali diusapnya air mata yang mengalir di pipinya. Kepergian Bramantyo bertepatan dengan ulang tahun Arjuna. Saat kegembiraan merayakan ulang tahunnya ada kesedihan yang tak bisa dihapus begitu saja.“Alisha, Opa harap kamu juga bisa memenuhi keinginan Tyo, bagaimanapun kamu berhak meraih kebahagiaan. Opa akan mendukung keinginan Tyo menyatukanmu dengan Nak Angga.”“Opa, Alisha masih belum sanggup membuka diri. Kenangan dengan Mas Tyo masih membayangi, walau sebentar tapi kehadirannya aku rasakan pada Arjuna.”“Perasaanku pada Mas Angga, selama ini hanya menganggapnya sebagai kakak. Aku tak tahu apakah bisa mengubah rasa itu,” lanjutku palan.Oma yang duduk di sa
“Arjuna mau kita mainkan dronenya sekarang?”Arjuna menggeleng. Apa yang harus aku katakan agar Arjuna mau menerima alasanku terlambat. Membujuknya sepertinya tak akan berhasil. Sesaat aku ingat jika Arjuna memiliki pemikiran yang berbeda dengan anak seusianya. Aku mulai menarik napas sebelum memberikan penjelasan padanya.“Arjuna, Papa minta maaf ya tidak bisa menepati janji. Tapi Papa punya alasannya. Papa ini pemimpin perusahaan. Karyawan Papa banyak, kalau Papa tidak berusaha keras nanti bagaimana Papa harus membayar gaji karyawan Papa? Makanya tadi Papa rapat untuk mendapatkan keuntungan yang besar.”“Arjuna mau membantu Papa kan agar perusahaan kita bisa membatu orang lain, bagaimana menurut Arjuna?”“Berapa keuntungan yang Papa dapat dari rapat tadi?” tanya Arjuna tiba-tiba.Aku tersenyum mengusap kepalanya penuh rasa sayang. Sekecil ini tapi sudah bisa diajak bicara mengenai perusahaan. Buah memang jatuh tak jauh dari pohonnya. Aku melirik Alisha yang juga tersenyum mendengar p
Setelah dokter bisa menangani Aristya aku memutuskan kembali ke ruang rawat Alisha. Hendra berdiri di depan pintu kamar bersama John dan Hans. Saat melihatku, mereka mengangguk namun tak berbicara. “Hendra, jika ada kabar penting langsung hubungi aku,” pesanku sebelum kembali ke kamar Alisha. “Baik Pak.” “Bukannya tadi ada Adrian?” tanyaku melihat sekeliling. Hendra menatap John dan Hans bergantian. Tadi Adrian memang ada di sini. Mereka sempat mengobrol. Adrian datang bersama Dania. Aku menghubungi Alisha. Hanya nada sambung terdengar berbunyi, tapi Alisha tidak mengangkatnya. Kucoba hingga tiga kali, namun hasilnya sama saja. Aku langsung bergegas menuju lorong ruang rawat Alisha. Perasaanku tak enak. Hendra kuminta menghubungi Fathir. Jika ada di luar minta segera kembali ke ruang Alisha. John dan Hans mengikuti langkahku. Aku tak ingin kejadian buruk menimpa Alisha. Apalagi ada bayiku di sana. Sesampainya di depan ruangan tak kulihat Fathir dan Petra. Aku ingin
Saat Alisha membuka matanya, dirasakannya dia terbaring dalam kamar dengan aroma yang sangat dikenalnya. Dinding putihnya selalu bersih. Walau suka dengan warnanya tapi dia tak mau lama-lama di sini. Mas Angga…? Tadi Hendra bilang jika Mas Angga kecelakaan. Sari yang menabraknya. Jadi benar yang dikatakan Adrian jika kotak hadiah itu dari Sari. Nomor yang selalu menerornya mungkin juga Sari. Tapi mengapa? Alisha mencoba bangun dari tidurnya. Alisha harus mencari Mas Angga. Dia harus tahu kondisinya saat ini. Saat badannya mulai digeser untuk duduk, suara pintu dibuka menghentikan gerakkannya. Ditunggunya siapa yang akan masuk dengan terus menatap lurus ke arah pintu. “Mas Angga…!” Aku duduk di kursi roda yang didorong masuk oleh Fathir, menatap Alisha tajam. Kemudian tersenyum saat melihatnya diam. Setelah Alisha sadar siapa yang datang, Alisha ingin beranjak turun memeluknya. “Di sana saja Hanny. Mas tidak mau kamu lelah,” ucapku sambil memberikan tanda agar Alisha tetap di
Jadi hadiah itu dari Sari. Tiba-tiba rasa mual kurasakan, aku bangun menuju toilet. Dania mengikutiku dari belakang. Adrian hanya duduk diam dalam kebingungan memutuskan untuk menunggu mereka. Aku didampingi Dania Kembali duduk di hadapan Adrian. Masih banyak yang ingin aku ketahui. Tapi aku ingin tahu di mana Mas Angga saat ini. Pesan yang tadi kukirim masih belum dibacanya. Kucoba menghubungi, tapi hanya suara operator yang menjawab. Aku mencoba menghubungi Hendra, namun sama saja. Saat aku panik, dering telepon berbunyi. Mas Angga. Aku langsung menggeser layer dan berbicara padanya. “Mas di mana? Kenapa sulit dihubungi?” “Maaf Hanny, mas lagi rapat dan susah sinyal. Ini juga hanya sebentar bisa teleponnya. Mas mau mengingatkan jangan lupa makan siang ya.” “Iya mas. Mas Angga juga ya,” ucapku menginggatkannya. “Kalau di kantor, jangan terlalu lelah ya, kasihan dede nanti. Makan siangnya ditemenin Dania saja ya Hanny,” ucap Mas Angga. Belum sempat aku jawab, suara samb
Aku menoleh ke arah Mas Angga, mencoba tersenyum dan menatap wajahnya lekat. Aku Kembali mengusap lembut perutku. Aku harus kuat, Arjuna dan aku bisa melewatinya dulu. Kini aku juga harus bisa. “Tidak apa mas, sudah mulai terasa tidak enak perutnya,” jawabku pelan. “Sebentar lagi kita sampai dede, sabar ya.” Aku tersenyum mendengarnya. Mas Angga sangat memperhatikan kami, aku berharap ini bukan sementara. Pikiranku mengenai Aristya masih mengganjal. Apalagi nomor asing yang mengirim pesan dan foto, membuat aku bertanya-tanya siapa dia? Sesampainya di rumah besar, aku langsung masuk ke dalam kamar. Mas Angga menggendong Arjuna ke kamarnya. Oma dan Opa juga akan beristirahat, sebelum Oma menyiapkan makan siang. Suara pintu kamar yang dibuka membuat aku menoleh. Mas Angga sudah melangkah menuju ke arahku yang masih duduk di tepi tempat tidur. “Masih jail dedenya?” tanya Mas Angga padaku. “Tidak papa. Dede aman,” jawabku sambil tersenyum. Mas Angga mendekat dan berhenti di ha
Aku menatap wajah Alisha lekat, rasa bersalah menyelimuti. Aku sepertinya terlalu terburu-buru mengharapkan kehamilannya. Seharusnya aku membahagiakannya dahulu. Aku melangkah mendekatinya dan memeluknya erat. “Tidak apa Hanny, masih banyak waktu. Arjuna pasti mau menunggu,” ucapku pelan di telinganya. “Arjuna mau menunggu, apakah mas juga mau menunggu?” tanyanya pelan. Aku lepas pelukanku, menangkup kedua pipinya dan memintanya menatapku. Mata Alisha berkaca-kaca, aku tak ingin butiran air mata itu turun. Aku tersenyum menguatkannya. “Aku pasti akan menunggu Hanny, tidak perlu khawatir. Sampai nanti Allah memberikan kita kepercayaan untuk menjaga amanah,” ucapku pelan sambil tetap tersenyum. “Mas, ini hasilnya,” suara Alisha terdengar pelan sambil menyodorkan testpack yang tadi kuberikan. Aku mengambilnya dan meneliti bagian yang memiliki garis merah. Kesedihan Alisha sepertinya harus kuhilangkan, aku sudah merencanakan akan mengajaknya bersama Arjuna berlibur nanti. Aku
“Lebih baik diperiksa ke dokter kandungan, biar lebih yakin hasilnya,” ucap Oma sambil menatap pada Alisha. “Oma bilang apa? Aku tidak salah dengar kan?” tanyaku mendengar ucapan Oma pada Alisha. Oma hanya tersenyum. Mengajak Arjuna untuk kembali ke rumah. Arjuna yang masih duduk di samping Alisha mengangguk, meminta papa untuk menjaga bunda dan dia berjanji akan menuruti Oma dan Opa. Aku tersenyum mendengarnya kemudian menurunkan Arjuna setelah mencium pipi Alisha dan membuat janji kelingking agar Arjuna menepati janji. Alisha melambaikan tangannya hingga Arjuna menghilang di balik pintu. Kini hanya ada aku dan Alisha di kamar. “Mas mau keluar sebentar Hanny, berani sendiri atau mau dipanggilkan perawat?” tanyaku sesaat tiba di samping tempat tidur. “Berani mas, tapi jangan lama-lama ya,” jawab Alisha pelan sambil menatap matanya. Sebuah senyum terbit dari sudut bibirku, kemudian melangkah keluar kamar. Setelah aku menutup pintu Alisha merebahkan tubuhnya. Sebenarnya Alisha
Alisha mengeratkan genggamannya pada tangan Mas Angga. Menatapnya lembut dan mencoba tersenyum padanya. Bebannya sudah sangat berat. Sepertinya dia harus mengesampingkan perasaan cemburu pada Aristya, apalagi Oma tadi sudah berpesan agar dirinya tak egois. “Mas, jika mas ingin melihat Nenek Hanum pergilah. Alisha bisa sendiri di sini. Alisha juga tidak mau lama-lama di rawat Mas,” ucapnya pelan. “Iya Hanny, Mas juga ingin kamu sehat. Tidak sakit seperti ini. Mas minta maaf ya. Lain kali Mas akan hati-hati dengan orang-orang yang suka mengambil foto sembunyi-sembunyi," ucapku meyakinkan. Alisha mengangguk. Aku kembali mengecup tangan Alisha dan tersenyum padanya. Sedikit bebanku sudah terangkat. Aku bisa tersenyum sekarang. Alisha membalas senyumku hingga aku seakan diberikan sedikit kekuatan dengan adanya kabar mengenai Nenek Hanum. “Mas menunggu Hendra di IGD ya Hanny, jika ada apa-apa panggil perawat," ucapku saat menghitung waktu kemungkinan Hendra sudah sampai. “Iya mas, nan
Oma dan Opa mendekati tempat tidur perlahan. Mereka tak mau mengganggu tidur Arjuna. Oma mengusap pelan tangan Alisha yang memeluk Arjuna. Setelah memastikan keduanya pulas. Mereka menunggu di sofa. Aku memilih untuk tetap duduk di samping tempat tidur menunggu mereka berdua bangun. Setelah menunggu hampir setengah jam. Arjuna mulai membuka matanya. Digesernya tangan bunda yang memeluknya saat tertidur. Aku menutup laptop dan meletakkannya di meja. Arjuna yang kini sudah duduk di ranjang, mengucek matanya dan membuka perlahan. “Papa, kita di rumah sakit?” “Iya jagoan. Masih mengantuk?” tanyaku sambil mengusap lembut pucuk kepalanya. Arjuna menggeleng dan matanya berpindah ke arah bunda yang masih tertidur. Diciumnya pipi bunda dengan penuh rasa sayang kemudian diusapnya. “Bunda maaf ya. Oma bilang kalau Arjuna mau punya adik perempuan bunda akan sakit dan muntah-muntah juga. Arjuna mau adik tapi tidak mau bunda sakit,” ujarnya pelan. Aku yang mendengarnya tersenyum. Semoga
Aku terduduk dipinggir tempat tidur, butir air mata mulai mengalir di pipiku. Di saat aku baru saja merasakan kebahagiaan mengapa ada yang merusaknya? Apakah Mas Angga benar-benar menjalin hubungan dengan Aristya tanpa sepengetahuanku. Aristya memang masa lalu Mas Angga, namun Mas Angga juga mengatakan jika mereka tak pernah memiliki hubungan dekat. Tapi mengapa bukti-bukti yang kuterima tidak menunjukkannya, malah sebaliknya hubungan mereka terlihat sangat dekat. Apakah dalam lubuk hati terdalam, Mas Angga masih mencintainya? Kepalaku terasa semakin pusing, aku menarik napas panjang. Tak kubayangkan apa jadinya hari-hariku menghadapi hubungan yang aku tak tahu kapan dimulainya. Aku beranjak menuju kamar mandi, sepertinya berendam memang akan menyegarkanku. *** “Papa...!” Arjuna berlari menyambutku yang baru saja turun dari mobil yang dikendarai Fathir. Setelah cukup lama menunggu bagasi akhirnya aku bisa meninggalkan bandara. Hampir dua jam menunggu, untungnya Alisha sudah k