Setelah dokter bisa menangani Aristya aku memutuskan kembali ke ruang rawat Alisha. Hendra berdiri di depan pintu kamar bersama John dan Hans. Saat melihatku, mereka mengangguk namun tak berbicara. “Hendra, jika ada kabar penting langsung hubungi aku,” pesanku sebelum kembali ke kamar Alisha. “Baik Pak.” “Bukannya tadi ada Adrian?” tanyaku melihat sekeliling. Hendra menatap John dan Hans bergantian. Tadi Adrian memang ada di sini. Mereka sempat mengobrol. Adrian datang bersama Dania. Aku menghubungi Alisha. Hanya nada sambung terdengar berbunyi, tapi Alisha tidak mengangkatnya. Kucoba hingga tiga kali, namun hasilnya sama saja. Aku langsung bergegas menuju lorong ruang rawat Alisha. Perasaanku tak enak. Hendra kuminta menghubungi Fathir. Jika ada di luar minta segera kembali ke ruang Alisha. John dan Hans mengikuti langkahku. Aku tak ingin kejadian buruk menimpa Alisha. Apalagi ada bayiku di sana. Sesampainya di depan ruangan tak kulihat Fathir dan Petra. Aku ingin
"Bagaimana, Tyo?” Anggukan kecil Tyo membuat aku tersenyum. Akhirnya adik semata wayangku tak akan merengek lagi padaku. Sahabat terbaikku siap membantu, dua bulan waktu yang tersisa hingga sidang skripsi dilaksanakan. Walaupun aku adalah salah satu komisaris di kampus tempat Alisha kuliah, namun dia harus mengikuti semua aturan seperti mahasiswa lainnya. Semua untuk kebaikannya di masa depan. Agar bisa bertanggung jawab dengan pekerjaannya nanti.“Bagaimana mau menolak? Semua keinginanmu kan harus terpenuhi,” tanya Tyo beralasan dengan bersungut. Walau menyetujui, Tyo tetap saja beralasan. Aku hanya tersenyum. Tyo tak bisa menolak jika aku yang meminta bantuan. Kami saling mengenal saat kami mulai merintis usaha hingga akhirnya perusahaan kami menjadi dua perusahaan besar di ibukota dalam bidang yang berbeda. Tyo memang memiliki banyak pengalaman dalam bidang desain interior. Mulai dari pusat perbelanjaan hingga rumah sakit tak lepas dari desain tenaga-tenaga ahlinya. Hingga perus
“Bagaimana kondisi kantor, Angga?” tanya bunda saat sarapan. “Sudah ditangani, bunda," jawabku lanjut menjelaskan padanya Tim investigasi sudah dibentuk. Hendra bergerak cepat. Semalam rapat dadakan dilakukan di lobi kantor setelah pemadam berhasil menjinakkan api. Tiga puluh persen lokasi yang terbakar diberi garis polisi, relokasi dilakukan untuk mempermudah penyelidikan dari pihak kepolisian dan asuransi. Aku meminta Tyo langsung membuat desain relokasi agar semua cepat ditangani. Melihat beberapa ruang yang dapat digunakan serta melakukan perhitungan kebutuhannya. Kekhawatiran di wajah bunda sirna dengan penjelasanku. Alisha hanya ikut mendengarkan. “Sha, jika nanti sudah siap ikut ke kantor ya. Mulai belajar sedikit-sedikit. Nanti juga bisa ke kantor Tyo kalau mau belajar desain,” ucapku memerintah.Alisha hanya mengangguk setuju. Bagaimanapun Alisha harus membantuku. Kemarin Tyo memberitahu jika Alisha sudah bisa ikut terjun langsung. Hanya menunggu kesempatan dan kontrak yan
“Hai, Sha. Kok wajahmu merah begitu sih, kenapa?” tanya Dania sambil tersenyum.Sapaan Dania dan senyumannya membuat Alisha salah tingkah. Wajahnya kini terasa tambah memerah lagi. Dihampiri Dania dan memeluknya. Sambil memberikannya peringatan dengan suara pelan. “Dania, jangan macam-macam ya,” bisik Alisha dekat telinganya.Senyuman di wajah Dania semakin merekah. "Dania, kenalkan ini Mas Tyo," ucap Alisha meminta Dania berkenalan. Diulurkan tangan Dania pada Mas Tyo yang masih berdiri di sampingnya.“Dania.” “Tyo.” Dania mempersilakan Alisha dan Mas Tyo untuk duduk. Sambil memesan makanan, Dania menanyakan apakah Mas Angga akan ikut bergabung. Suara dering ponsel mengisi keheningan. Mas Tyo menggeser layar dan menjawab panggilan. “Iya, sudah.” “Oke, aku sampaikan nanti. Kabari jika memerlukan bantuan.” Mas Tyo menyampaikan salam dari Mas Angga. Meminta maaf tidak bisa bergabung karena harus ke kantor polisi terkait penyelidikan kebakaran kemarin. Dania mengangguk dan memahami
Tak terlihat siapa yang melakukan pembakaran, api muncul setelah tak ada orang dalam ruangan. Pihak kepolisian meminta izin melakukan interogasi pada Pak Hanafi. Sebelum dokumen penyebab kebakaran diterbitkan. Pihak asuransi juga sudah melakukan penyelidikannya sendiri. Dua sampai tiga hari waktu yang akan digunakan hingga proses klaim asuransi dapat dilakukan. Hendra mencatat semua yang disampaikan pihak kepolisian. “Baik pak, kami pamit dahulu jika begitu. Terima kasih banyak bantuannya.” Aku keluar menuju parkiran diikuti Hendra. Mobil langsung bergerak menuju kantor. Aku meminta Hendra untuk mampir ke restoran terdekat. Rasa lapar membuat konsentrasiku berkurang. Sebuah pesan dari Tyo dibacanya. -Besok Alisha kujemput, mau kuajak rapat divisi.- Tanda ok dan terima kasih kukirim sebagai jawaban. Akhirnya mereka berdua dekat kembali. Semenjak Alisha kuketahui bukan adik kandungku, mengapa ada rasa memiliki yang lebih dari sebelumnya. Terlebih saat Tyo selalu dekat dengannya. K
Alisha sedang bersiap. Sesuai janjinya, hari ini akan mulai belajar di kantor Mas Tyo. Blus dipadukan blazer dan rok selutut warna navi dikenakannya. Rambutnya dibiarkan tergerai dengan jepit agar terlihat rapi. Setelah melakukan riasan tipis Alisha turun menuju meja makan. “Aduh, cantik sekali putri bunda. Pangerannya belum datang sepertinya.” Mendengar ucapan bunda, Aku menoleh ke arah tangga. Alisha memang cantik, jika dilihat wajahnya sebenarnya mirip bunda. Kubuang jauh pikiran yang tiba-tiba menyeruak. Hari ini Alisha akan dikenalkan dengan manajemen kantor. Jika sudah siap Angga akan menyerahkan dokumen yang dititipkan Paman Hasan. “Pangeran dari mana bunda? Memangnya ada?” Ucapanku membuat Alisha tersipu, tanpa kuketahui dia mencubit pinggangku sesaat sebelum duduk. "Aww...! Alisha...," teriakku kaget mendapat cubitannya. Alisha tak peduli, membuka piring dan mengambil nasi goreng yang sudah disiapkan bunda. Bunda tersebyum melihat kelakuan keduanya. “Ada dong Angga, seb
“Sari sekretaris kantor dan sudah dua tahun bekerja. Kemarin memang beberapa kali sedang mendapat tugas ke luar kota," jelasnya sambil menatap Alisha lekat. Mas Tyo lanjut berkata, "Aku lebih senang menceritakan mengapa “Shabra” menjadi nama perusahaan." Ditariknya napas setelah berhenti sejenak dan melanjutkan ucapannya. "Alisha dan Bramantyo disingkat Shabra. Mana yang lebih tertarik? Sari atau Shabra?," tanya Mas Tyo sambil menatapnya tajam. Sesaat menatap matanya yang dingin, akhirnya Alisha tertunduk malu. Tak pernah kukira jika Mas Tyo sudah sejauh itu membuat hubungan yang dia sendiri belum memahaminya. “Sudahlah. Yuk, kembali ke ruangan. Kita diskusikan di ruangan,” ajak Tyo setelah selesai memakannya. Dikirimnya pesan agar Hendra membayarkan makanannnya. Mas Tyo menarik tangan Alisha dan sengaja menggandengnya mesra saat melewati meja Sari dan rekan-rekannya. *** Besok adalah jadwal sidang. Beberapa hari berdiskusi dengan Mas Tyo membuat keraguan Alisha hilang. Kini dia
Selesai sarapan Mas Angga langsung pamit menuju kantor, beberapa pekerjaan harus diselesaikan lebih cepat sebelum ke Bandung. Beberapa hari akan dihabiskan di sana. Karena tak mungkin dia bolak-balik ke Bandung untuk melakukan pengecekan nanti. Mas Angga hanya ditemani Hendra untuk menyelesaikan semua pekerjaan nanti. -Sha, sudah siap? Mau bareng tidak berangkatnya?- Sebuah pesan masuk pada ponselnya, saat dilihat tertera nama Dania. Alisha tersenyum dan dibalas 'sudah'. Setelah lima hari bersama Mas Tyo, kegugupan Alisha menghilang berganti dengan percaya diri jika dia akan melewati semua dengan baik. Bunda juga selalu mendoakannya. Terkadang dia tak sengaja mendengar doa bunda selepas salat. Bunda adalah yang terbaik. Walau ayah sudah pergi meninggalkan mereka. Alisha tak pernah kehilangan kasih sayang ayah, karena Mas Angga selalu memberikannya. -Bareng?- tanya Dania mengulangi. -Sepertinya tidak Dania, kita bertemu di kampus saja ya.- -Ok.- Setelah membantu merapikan meja ma
Setelah dokter bisa menangani Aristya aku memutuskan kembali ke ruang rawat Alisha. Hendra berdiri di depan pintu kamar bersama John dan Hans. Saat melihatku, mereka mengangguk namun tak berbicara. “Hendra, jika ada kabar penting langsung hubungi aku,” pesanku sebelum kembali ke kamar Alisha. “Baik Pak.” “Bukannya tadi ada Adrian?” tanyaku melihat sekeliling. Hendra menatap John dan Hans bergantian. Tadi Adrian memang ada di sini. Mereka sempat mengobrol. Adrian datang bersama Dania. Aku menghubungi Alisha. Hanya nada sambung terdengar berbunyi, tapi Alisha tidak mengangkatnya. Kucoba hingga tiga kali, namun hasilnya sama saja. Aku langsung bergegas menuju lorong ruang rawat Alisha. Perasaanku tak enak. Hendra kuminta menghubungi Fathir. Jika ada di luar minta segera kembali ke ruang Alisha. John dan Hans mengikuti langkahku. Aku tak ingin kejadian buruk menimpa Alisha. Apalagi ada bayiku di sana. Sesampainya di depan ruangan tak kulihat Fathir dan Petra. Aku ingin
Saat Alisha membuka matanya, dirasakannya dia terbaring dalam kamar dengan aroma yang sangat dikenalnya. Dinding putihnya selalu bersih. Walau suka dengan warnanya tapi dia tak mau lama-lama di sini. Mas Angga…? Tadi Hendra bilang jika Mas Angga kecelakaan. Sari yang menabraknya. Jadi benar yang dikatakan Adrian jika kotak hadiah itu dari Sari. Nomor yang selalu menerornya mungkin juga Sari. Tapi mengapa? Alisha mencoba bangun dari tidurnya. Alisha harus mencari Mas Angga. Dia harus tahu kondisinya saat ini. Saat badannya mulai digeser untuk duduk, suara pintu dibuka menghentikan gerakkannya. Ditunggunya siapa yang akan masuk dengan terus menatap lurus ke arah pintu. “Mas Angga…!” Aku duduk di kursi roda yang didorong masuk oleh Fathir, menatap Alisha tajam. Kemudian tersenyum saat melihatnya diam. Setelah Alisha sadar siapa yang datang, Alisha ingin beranjak turun memeluknya. “Di sana saja Hanny. Mas tidak mau kamu lelah,” ucapku sambil memberikan tanda agar Alisha tetap di
Jadi hadiah itu dari Sari. Tiba-tiba rasa mual kurasakan, aku bangun menuju toilet. Dania mengikutiku dari belakang. Adrian hanya duduk diam dalam kebingungan memutuskan untuk menunggu mereka. Aku didampingi Dania Kembali duduk di hadapan Adrian. Masih banyak yang ingin aku ketahui. Tapi aku ingin tahu di mana Mas Angga saat ini. Pesan yang tadi kukirim masih belum dibacanya. Kucoba menghubungi, tapi hanya suara operator yang menjawab. Aku mencoba menghubungi Hendra, namun sama saja. Saat aku panik, dering telepon berbunyi. Mas Angga. Aku langsung menggeser layer dan berbicara padanya. “Mas di mana? Kenapa sulit dihubungi?” “Maaf Hanny, mas lagi rapat dan susah sinyal. Ini juga hanya sebentar bisa teleponnya. Mas mau mengingatkan jangan lupa makan siang ya.” “Iya mas. Mas Angga juga ya,” ucapku menginggatkannya. “Kalau di kantor, jangan terlalu lelah ya, kasihan dede nanti. Makan siangnya ditemenin Dania saja ya Hanny,” ucap Mas Angga. Belum sempat aku jawab, suara samb
Aku menoleh ke arah Mas Angga, mencoba tersenyum dan menatap wajahnya lekat. Aku Kembali mengusap lembut perutku. Aku harus kuat, Arjuna dan aku bisa melewatinya dulu. Kini aku juga harus bisa. “Tidak apa mas, sudah mulai terasa tidak enak perutnya,” jawabku pelan. “Sebentar lagi kita sampai dede, sabar ya.” Aku tersenyum mendengarnya. Mas Angga sangat memperhatikan kami, aku berharap ini bukan sementara. Pikiranku mengenai Aristya masih mengganjal. Apalagi nomor asing yang mengirim pesan dan foto, membuat aku bertanya-tanya siapa dia? Sesampainya di rumah besar, aku langsung masuk ke dalam kamar. Mas Angga menggendong Arjuna ke kamarnya. Oma dan Opa juga akan beristirahat, sebelum Oma menyiapkan makan siang. Suara pintu kamar yang dibuka membuat aku menoleh. Mas Angga sudah melangkah menuju ke arahku yang masih duduk di tepi tempat tidur. “Masih jail dedenya?” tanya Mas Angga padaku. “Tidak papa. Dede aman,” jawabku sambil tersenyum. Mas Angga mendekat dan berhenti di ha
Aku menatap wajah Alisha lekat, rasa bersalah menyelimuti. Aku sepertinya terlalu terburu-buru mengharapkan kehamilannya. Seharusnya aku membahagiakannya dahulu. Aku melangkah mendekatinya dan memeluknya erat. “Tidak apa Hanny, masih banyak waktu. Arjuna pasti mau menunggu,” ucapku pelan di telinganya. “Arjuna mau menunggu, apakah mas juga mau menunggu?” tanyanya pelan. Aku lepas pelukanku, menangkup kedua pipinya dan memintanya menatapku. Mata Alisha berkaca-kaca, aku tak ingin butiran air mata itu turun. Aku tersenyum menguatkannya. “Aku pasti akan menunggu Hanny, tidak perlu khawatir. Sampai nanti Allah memberikan kita kepercayaan untuk menjaga amanah,” ucapku pelan sambil tetap tersenyum. “Mas, ini hasilnya,” suara Alisha terdengar pelan sambil menyodorkan testpack yang tadi kuberikan. Aku mengambilnya dan meneliti bagian yang memiliki garis merah. Kesedihan Alisha sepertinya harus kuhilangkan, aku sudah merencanakan akan mengajaknya bersama Arjuna berlibur nanti. Aku
“Lebih baik diperiksa ke dokter kandungan, biar lebih yakin hasilnya,” ucap Oma sambil menatap pada Alisha. “Oma bilang apa? Aku tidak salah dengar kan?” tanyaku mendengar ucapan Oma pada Alisha. Oma hanya tersenyum. Mengajak Arjuna untuk kembali ke rumah. Arjuna yang masih duduk di samping Alisha mengangguk, meminta papa untuk menjaga bunda dan dia berjanji akan menuruti Oma dan Opa. Aku tersenyum mendengarnya kemudian menurunkan Arjuna setelah mencium pipi Alisha dan membuat janji kelingking agar Arjuna menepati janji. Alisha melambaikan tangannya hingga Arjuna menghilang di balik pintu. Kini hanya ada aku dan Alisha di kamar. “Mas mau keluar sebentar Hanny, berani sendiri atau mau dipanggilkan perawat?” tanyaku sesaat tiba di samping tempat tidur. “Berani mas, tapi jangan lama-lama ya,” jawab Alisha pelan sambil menatap matanya. Sebuah senyum terbit dari sudut bibirku, kemudian melangkah keluar kamar. Setelah aku menutup pintu Alisha merebahkan tubuhnya. Sebenarnya Alisha
Alisha mengeratkan genggamannya pada tangan Mas Angga. Menatapnya lembut dan mencoba tersenyum padanya. Bebannya sudah sangat berat. Sepertinya dia harus mengesampingkan perasaan cemburu pada Aristya, apalagi Oma tadi sudah berpesan agar dirinya tak egois. “Mas, jika mas ingin melihat Nenek Hanum pergilah. Alisha bisa sendiri di sini. Alisha juga tidak mau lama-lama di rawat Mas,” ucapnya pelan. “Iya Hanny, Mas juga ingin kamu sehat. Tidak sakit seperti ini. Mas minta maaf ya. Lain kali Mas akan hati-hati dengan orang-orang yang suka mengambil foto sembunyi-sembunyi," ucapku meyakinkan. Alisha mengangguk. Aku kembali mengecup tangan Alisha dan tersenyum padanya. Sedikit bebanku sudah terangkat. Aku bisa tersenyum sekarang. Alisha membalas senyumku hingga aku seakan diberikan sedikit kekuatan dengan adanya kabar mengenai Nenek Hanum. “Mas menunggu Hendra di IGD ya Hanny, jika ada apa-apa panggil perawat," ucapku saat menghitung waktu kemungkinan Hendra sudah sampai. “Iya mas, nan
Oma dan Opa mendekati tempat tidur perlahan. Mereka tak mau mengganggu tidur Arjuna. Oma mengusap pelan tangan Alisha yang memeluk Arjuna. Setelah memastikan keduanya pulas. Mereka menunggu di sofa. Aku memilih untuk tetap duduk di samping tempat tidur menunggu mereka berdua bangun. Setelah menunggu hampir setengah jam. Arjuna mulai membuka matanya. Digesernya tangan bunda yang memeluknya saat tertidur. Aku menutup laptop dan meletakkannya di meja. Arjuna yang kini sudah duduk di ranjang, mengucek matanya dan membuka perlahan. “Papa, kita di rumah sakit?” “Iya jagoan. Masih mengantuk?” tanyaku sambil mengusap lembut pucuk kepalanya. Arjuna menggeleng dan matanya berpindah ke arah bunda yang masih tertidur. Diciumnya pipi bunda dengan penuh rasa sayang kemudian diusapnya. “Bunda maaf ya. Oma bilang kalau Arjuna mau punya adik perempuan bunda akan sakit dan muntah-muntah juga. Arjuna mau adik tapi tidak mau bunda sakit,” ujarnya pelan. Aku yang mendengarnya tersenyum. Semoga
Aku terduduk dipinggir tempat tidur, butir air mata mulai mengalir di pipiku. Di saat aku baru saja merasakan kebahagiaan mengapa ada yang merusaknya? Apakah Mas Angga benar-benar menjalin hubungan dengan Aristya tanpa sepengetahuanku. Aristya memang masa lalu Mas Angga, namun Mas Angga juga mengatakan jika mereka tak pernah memiliki hubungan dekat. Tapi mengapa bukti-bukti yang kuterima tidak menunjukkannya, malah sebaliknya hubungan mereka terlihat sangat dekat. Apakah dalam lubuk hati terdalam, Mas Angga masih mencintainya? Kepalaku terasa semakin pusing, aku menarik napas panjang. Tak kubayangkan apa jadinya hari-hariku menghadapi hubungan yang aku tak tahu kapan dimulainya. Aku beranjak menuju kamar mandi, sepertinya berendam memang akan menyegarkanku. *** “Papa...!” Arjuna berlari menyambutku yang baru saja turun dari mobil yang dikendarai Fathir. Setelah cukup lama menunggu bagasi akhirnya aku bisa meninggalkan bandara. Hampir dua jam menunggu, untungnya Alisha sudah k